Kemudian, Papa mengirimkan suatu video.[Nak, simak baik-baik rekaman ini. Percakapan antara Papa dan Danu ketika di rumah, saat Danu sudah tak bisa menggunakan mobile banking yang papa sudah bekukan.]Aku menyimaknya, tapi sebelumnya, aku pura-pura bergegas ke toilet. Khawatir Syakila bangun dari tidurnya."Pah, ini kenapa mobile banking nggak bisa digunakan?" Aku dengar Mas Danu bicara seperti itu pada papaku. Jelas sekali, meskipun aku bisu dan sedikit terganggu pendengaran, tapi kali ini Mas Danu mengucapkan dengan lantang."Danu, di luar negeri sana, kamu sudah mendapatkan fasilitas komplit. Jadi, untuk sementara keuanganmu Papa bekukan terlebih dulu. Nanti sepulang dari sana, akan Papa buka kembali! Kamu tidak keberatan kan?" Papa hebat sudah bicara seperti itu, pasti Mas Danu sulit mengelak lagi dengan alasan Papa yang masuk akal. "Papa tidak percaya denganku?""Bukan tidak percaya, tapi mencegah sesuatu hal yang kita tidak inginkan, itu lebih baik." "Ya sudah, Pah. Aku ke ka
POV Sang PapaAnak adalah segalanya untukku, membuat Fika bahagia adalah termasuk kebahagiaan aku juga, seorang single parents. Sejak mamanya meninggal, saat itulah aku sebagai papanya berjanji tidak akan melakukan kesalahan secuil apapun kepada Fika. Ya, anak satu-satunya yang lebih memilih untuk tidak mau membuka suaranya sejak kejadian kecelakaan yang menewaskan ibundanya.'Seandainya kamu mau papa ajak terapi dari dulu, mungkin saat ini kamu bersanding dengan laki-laki yang layak. Bukan laki-laki pecundang seperti Danu,' batinku.Malam itu saat mobil Syakila terparkir di depan, aku menghubungi salah seorang preman untuk mencurinya. Aku berani melakukan hal ini, bukan karena ingin melanggar hukum. Namun, ingin memberikan pelajaran pada mereka yang silau akan harta."Kamu ambil mobil yang tadi saya kirimkan fotonya berikut alamat. Lalu bakar segera. Saya tidak ingin melihat mobil itu masih berkeliaran di sini. Ingat itu ya!" suruhku pada salah satu orang suruhan. Daripada mobil itu
Kata orang, cinta pertama seorang wanita adalah papanya. Ya, papa cinta pertamaku, sekaligus cinta sejati. Tidak ada yang lebih mencintaiku selain papa untuk saat ini. Beliaulah yang membuat hidupku menjadi berwarna. Beliau adalah semangatku. Membalas rasa sakit hati ini pun, atas permintaan papa. Karena, tidak terima anak gadisnya yang dulu ia gendong dan manja. Dipermainkan oleh teman dan suaminya sendiri.Papa telah banyak membantuku. Ia sangat mendukung untuk memberikan pelajaran pada Syakila juga Mas Danu. Meskipun masih ada perasaan cinta padanya, kini keputusanku tetap bulat untuk membuatnya sengsara. Seperti awal sebelum mengenalku, akan aku buat ia seperti itu lagi.Setibanya di bandara, aku celingak-celinguk. Sempat juga bertukar pesan dengan papa, tapi setelah itu baterai ponselku mati total."Maaf, Fika Amara ya?" tanyanya dengan suara lantang. Apa ia orang suruhan papa yang datang khusus menemaniku menemui dokter khusus pita suara di sini? Bingung bicara dengannya, karena
"Papa." Hanya kata itu yang mampu aku ucapkan. Bibirku masih kaku mengucapkan kata-kata lain. Aku mendengar kebahagiaan papa saat suaraku mulai memanggilnya, terharu melihatnya yang amat bahagia atas keajaiban ini. Ya, bagiku ini adalah keajaiban dari segala keajaiban yang pernah aku alami. Tuhan memberikan suaraku kembali. Saat aku sedang berusaha keras untuk mengembalikan anugerah yang pernah Tuhan berikan untukku.Dokter berdatangan, memeriksa kondisiku. Pendengaranku juga kini telah normal. Aku dapat mendengar suara tanpa mereka harus berteriak di telingaku. 'Terima kasih, Tuhan atas semua ini,' batinku bersyukur. Kemudian aku dengarkan baik-baik penjelasan dokter dengan seksama. Dokter menjelaskan dengan menggunakan bahasa Inggris."Kondisi Fika membaik, ini suatu keajaiban Tuhan!" ucap Dokter yang menanganiku. Semua yang mendengar tampak berkaca-kaca. Apalagi papa, ia sedari tadi yang tampak bahagia."Syukurlah, bagaimana dengan ingatannya, Dok?" tanya papa cemas. Aku terkeju
Papa menutup teleponnya. Aku pun dengan cepat menanyakan siapa nama yang disebut olehnya."Pah, Danu itu siapa?" tanyaku menyelidik."Bukan siapa-siapa, udah kamu fokus pada Haris aja," jawab Papa.Tiba-tiba saja, ada yang datang mengetuk pintu. Ia diantar oleh petugas. Aku melihat raut wajah Papa yang seketika itu juga membulat."Fika, istriku," celetuknya membuatku mengernyitkan dahi.Laki-laki itu tiba-tiba datang dengan menyebut aku sebagai istrinya. Astaga, lelucon macam apa ini?"Astaga, kamu siapa?" Kagetnya aku saat melihatnya."Fika, kamu sudah bisa bicara?" tanyanya kegirangan. Sepertinya aku merasakan pernah dekat dengannya."Tolong jangan ganggu, Fika," cegah Haris tiba-tiba muncul dari balik pintu."Mas Haris, laki-laki ini siapa?" tanyaku kebingungan."Fika, aku ini suamimu!" ungkapnya kepadaku, dan mendadak kepalaku sakit sekali. Tiba-tiba bayangan laki-laki tadi muncul di kepalaku. "Argh, sakit. Mas, kepalaku sakit!" teriakku meremas baju Haris. Setelah itu aku tidak
"Fika, kamu itu kenapa sih?" tanya balik perempuan itu. Bisa-bisanya ia pura-pura bodoh, padahal aku tahu maksudnya menghubungi papa pasti karena ingin menggodanya.Aku tidak menjawab pertanyaan dari Syakila. Ya, aku memilih menutup panggilan telepon secara sepihak.Aku menghela napas kasar. Kemudian berusaha mengingat kembali siapa sebenarnya Syakila. Namun, keningku semakin sakit saat berusaha mengingat semuanya.Tok ... tok ... tok ....Tiba-tiba salah seorang suster datang membawakan obat-obatan, untuk mengganti perban yang akan diganti. Aku pun bersedia diganti semua sesuai dengan perintah suster. Papa datang bersama Haris. Ia meminta ponsel yang tadi berada di sebelahku."Tadi perempuan yang bernama Syakila nelpon Papa, aku marah padanya, karena sudah lancang menghubungi papaku. Pasti ia ingin merayu, ya kan?"Aku yang sulit bergerak karena tengah diganti perban pun hanya mampu meliriknya. Papa terlihat mengerutkan dahinya. "Syakila? Bicara apa dia?" tanya papa."Nggak bicara
"Apa aku dulunya bisu karena Mas Danu, Pah? Lalu dia kena karma," ucapku ngasal. Hilangnya ingatan membuatku seperti orang bodoh. Selalu banyak tanya di setiap apa yang aku cerna."Bukan begitu ceritanya, Fika," ucap papa."Jadi aku ini benar istrinya Mas Danu, dan shakila juga istrinya Mas Danu? Laki-laki itu membohongi kita berdua gitu kan, Pah?" Mungkin pertanyaanku membuat Papa bingung menjelaskannya. Sebab matanya hanya berkeliling ke ruangan."Papa doakan ingatanmu cepat pulih, biar kamu bisa ingat kembali siapa Danu sebenarnya, dia memang suamimu, tapi tidak pantas disebut suami. Foto prewedding yang kamu temukan di laci kerja suamimu, itu adalah awal dari bencana," papar papa.Tiba-tiba kepalaku mendadak sakit kembali. Setelah Papa menyebutkan foto prewedding di laci kerja suamiku. Ia sebut itu awal dari bencana."Awal bencana atau awal terkuaknya, Pah?" tanyaku padanya."Iya itu suatu awal terkuak dan kita seharusnya bersyukur. Bencana itu datang untuk mereka yang sudah menya
"Kamu serius, Fika? Jadi kamu benar-benar sudah pulih ingatannya?" Papa masih meragukan apa yang aku katakan."Sudah, Pah, aku ingat Syakila dan Mas Danu yang sangat jahat padaku.""Kalau begitu permintaanmu, Papa akan urus pengacara, Hendra akan urus semua bukti dulu, setelah kita kembali ke Indonesia, barulah memberikan pelajaran dengan melayangkan surat penangkapan," ungkap papa.Papa menghubungi pengacaranya sekitar lima belas menit. Ia bicara panjang lebar di hadapanku. Salah satunya meminta pengacara untuk menyita semua yang telah mereka kuras dariku.Setelah selesai bicara, papa kembali duduk dekat denganku. Ia menggenggam erat tangan ini dan mengecup keningku.Benar kata orang, suami itu ada bekasnya. Sedangkan orang tua tidak akan ada bekasnya. Mata ini tidak kuat menahan air mata, jadi kami berdua menangis sejadinya karena kebahagiaan ini. Tidak pernah dipungkiri, Mas Danu telah hadir di kehidupanku dan masa lalu. Tapi Mas Danu juga lah yang membuatku bersemangat untuk kemb
Seorang pria berhasil membawa maling tersebut bersama dengan Ari dan Haris. Mereka berdua diseret ke mobil dan diperintahkan masuk olehnya."Udah jebloskan aja ke penjara, kalau sudah berani kabur sih artinya sangat berani," ucap Haris.Kemudian, kami memutuskan untuk membuat laporan ke kantor polisi atas penjambretan tadi. Namun, sebelumnya, aku menghubungi papa melalui pesan singkat untuk sekadar memberikan informasi padanya.[Pah, aku ke kantor polisi ya. Ada jambret tadi.]Setelah mengirimkan pesan, aku duduk kembali ke mobil dan menuju kantor polisi.***Setibanya di kantor polisi dan selesai membuat laporan, pihak kepolisian pun sangat berterima kasih terhadap kami, sebab ternyata orang yang menjambret adalah buronan. Jadi ini justru sangat memudahkan kami juga dalam membuat laporan."Ayo, Fik, pulang!" ajak Haris. "Ri, kami pamit, terima kasih bantuannya, sudah membantu menangkap maling tadi.""Iya, sama-sama. Kalian hati-hati," ucap Ari sembari meninggalkan kami yang masih mem
Kemudian Tante Siska membicarakan perihal dokter yang memanggil Mas Danu dan dirinya. Ia bilang bahwa Syakila menitip pesan pada dokter, bahwa akan mendonorkan matanya untukku.Lagi-lagi ini hal yang tidak masuk akal, Syakila tengah memperjuangkan hidupnya tapi ia malah ingin menyerahkan matanya untukku.Aku terharu mendengarnya, sekaligus ingin menolak apa yang menjadi niat baik Syakila."Maaf Tante aku tolak mentah-mentah, ini tidak adil jika aku menyetujuinya," ucapku dengan tegas.Aku pun meminta apa-apa untuk melarang Tante Siska membujukku. Ini semua demi kebaikan bersama, seharusnya Syakila juga sembuh, bukan malah ingin mendonorkan matanya untukku."Tante paham betul, tapi ini keinginan Syakila," jawab Tante Siska lagi."Aku tolak, Tante," ucapku lagi."Kenapa tolak?" tanya Tante Siska.Aku hanya menggelengkan kepala dan tidak berkomentar apa-apa lagi."Baiklah, tapi Syakila sudah meninggal dunia, Fika," ucap Tante Siska membuatku spontan melotot. Mata ini benar-benar membuka l
Mereka semua berhamburan keluar. Hanya aku yang tersisa di dalam. Papa pun ikut karena aku yang menyuruhnya.Aku merebahkan tubuh sambil menunggu kedatangan mereka. Dalam hati kecil ini berharap ada kabar baik yang dokter katakan pada mereka semua.Kecemasan yang aku alami memang terbilang berlebihan, Syakila bukan siapa-siapa, hanya seorang sahabat yang pernah menghancurkan hidupku. Namun, justru saat ini aku menginginkan dia bisa bertahan hidup.Selang beberapa menit kemudian, papa datang bersama dengan Haris dan Ari. Namun, tidak dengan Tante Siska juga Mas Danu, ia masih menemani Syakila. Setidaknya bukan kabar buruk yang aku terima, sebab tidak ada yang papa ucapkan saat mereka masuk ke dalam ruangan."Kok cepat? Nggak ada sepuluh menit," tanyaku seakan menyecar."Iya, Syakila tadi sadar, dan dokter ingin bicara dengan Danu dan Siska," kata papa sambil menarik kursi lalu duduk di dekatku."Syukurlah, ternyata Syakila masih berjuang untuk hidup," timpalku dengan disertai helaan na
Dikarenakan teriakan Kau sangat kencang, Papa yang tadi berada di luar pun panik dan masuk ke dalam.Begitu juga dengan Haris dan Ari yang masuk mengekor di belakang papa."Ada apa, Fika? Kenapa kamu teriak?" tanya papa."Tadi aku dengar di kamar mandi suara kran mengalir, Pah, Aku takut Coba lihat ke sana!" Aku ketakutan sambil memegang selimut dan meremasnya."Aku akan melihat!" Itu suara Haris ia yang bersedia memantau toilet.Berselang kemudian Haris pun datang. "Nggak ada siapa-siapa dan kran pun masih tertutup." Ucapannya membuatku terdiam.Telingaku ini sudah berfungsi kembali seperti orang normal. Tadi jelas-jelas aku mendengar suara air mengalir dari keran kamar mandi."Mungkin kamu lelah, Fika, lebih baik kamu tidur ya, jangan mikirin macam-macam. Apalagi halusinasi tentang Syakila lagi, doakan aja dia mendapatkan yang terbaik untuk kesembuhannya," pesan papa.Kemungkinan besar halusinasiku ini terjadi karena terlalu takut. Ya, aku merasa sebagai penyebab kehancuran Syakila.
"Tapi, Syakila di ruangan ICU, Fik," ucap Haris."Iya, katanya kritis lagi," susul Ari."Jadi aku halusinasi?" Aku bertanya sambil menutup seluruh wajah dengan kedua telapak tangan."Fika, kamu istirahat ya, jangan sampai cemas berlebihan hingga membuat kamu jadi berpikiran tentang Syakila," tambah papa.Aku terdiam, bukankah ada suaranya tadi? Ya, suara raungan wanita bisu. Aku dapat mengetahuinya, sebab pernah berada di posisi Syakila dulu. "Aku yakin itu Syakila, apa dia ingin bicara denganku?" "Fika, biar aku dan Ari yang lihat kondisi Syakila ya," pesan Haris.Aku mengangguk senang, senyumku melebar ketika ia melakukan hal itu. Sebab, memang dari tadi aku menunggunya menawarkan diri setelah aku suruh.Setelah mereka pergi, aku pun ditemani papa. Ia duduk di sebelahku sambil mengusap lembut jari jemari ini."Kamu itu lelah, kepikiran sana sini, jadilah mikirin Syakila lagi, padahal sudah tidak ada yang perlu kamu cemaskan, dia sudah ditangani oleh dokter, Papa rasa dokter juga p
Aku merasa ini semua tidak adil jika harus kehilangan indera yang sangat penting, yaitu penglihatan. Seandainya mata ini tak bisa melihat dunia, aku pasti merasa orang yang paling buruk sedunia. Sebab, musibah yang ku terima tidak ada ujungnya.Dokter mulai melepaskan perban yang mengelilingi kepala dan mata ini. Kemudian, setelah lilitan terakhir ia menyuruhku untuk membuka mata.Perlahan aku buka mata yang biasa memandang indahnya dunia. Namun, setelah membukanya, aku malah menelan pil pahit. Semua berbayang, bahkan samar-samar. Untuk mengenali wajah papa saja aku tak mampu."Pah, mataku kenapa begini?" Aku bertanya sambil berteriak. Sebab, aku takut salah apakah yang berdiri di sebelahku persis itu papa atau dokter?"Nak, kamu yang sabar. Kamu pasti kuat, dokter bilang masih ada harapan dengan donor mata," ungkap papa.Papa memelukku, kemudian mengelus rambut ini."Kenapa aku tidak pernah merasakan bahagia, Pah? Baru sembuh dan bisa bicara, kini harus menerima kenyataan bahwa matak
Aku tersadar tapi tak bisa membuka mata, sebab saat meraba ternyata mataku dibalut perban. Aku sudah berada di ruangan yang tak terlihat di mana tempatnya. Semuanya gelap, aku bahkan tak melihat satu titik pun lampu yang bersinar. Hanya suara gemericik air dan bunyi alat yang sepertinya aku kenal."Aku di mana? Kenapa gelap? Seingat aku tadi ada yang menabrak dari arah belakang, apakah aku di rumah sakit?"Tiba-tiba terdengar suara riuh yang memanggil satu sama lainnya. "Pasien sadar, pasien sadar!"Aku dengar suara riuh itu, hingga suara hentakan sepatu terdengar menghampiriku. Kemudian dadaku seperti ada yang sentuh. "Tenang ya, Bu, kami hanya ingin memeriksa," ucapnya. Aku paham sekarang, saat ini aku berada di rumah sakit. Sebab, sudah ada suara yang memeriksa. Jadi suara alat yang kudengar adalah alat-alat medis untuk mendeteksi jantung."Dok, kenapa saya tidak bisa melihat Dokter?" tanyaku padanya. "Apa karena diperban?" tambahku lagi."Nanti kita buka perban ya, Bu. Setelah sem
"Pah, katakan apa yang terjadi dengan Syakila? Tadi tuh aku dibayangi dia terus!" Aku terus mendesaknya untuk mengatakan semua padaku."Syakila sudah sadar dan terus meminta bertemu dengan kamu," terang papa.Aku terdiam, lalu mencari tempat duduk. Tadi aku merasakan bertemu dengan Syakila. Itu artinya hanya halusinasi?"Pah, tapi tadi ....""Tadi Fika halusinasi lagi, Pak. Dia bilang bertemu dengan Syakila," serobot Haris. Aku pun menautkan kedua alis seraya tak menyukai atas tindakan Haris yang memotong pembicaraanku."Benarkah itu bukan halusinasi aku merasa seperti nyata," sanggahku.Ari memintaku untuk menekuk air putih kemudian menyuruhku untuk tenang. "Tarik napas Fika, Jangan memikirkan hal yang di luar kendali kita, jalani saja hidup ini Jangan memikirkan sesuatu yang belum kita hadapi," ungkap Ari.Aku terdiam sejenak, kemudian suara panggilan untuk keberangkatan ke Yogyakarta sudah terdengar. Akhirnya kami pun bergegas supaya cepat tiba di rumah sakit dan menemui Syakila.S
Papa terlihat mengaktifkan speakernya. Kemudian meletakkan ponsel miliknya di atas meja."Halo, Wijaya ada apa?" Tante Siska bertanya duluan. "Tadi aku dan Danu lagi bertemu dokter, makanya nggak diangkat," tambah Tante Siska."Oh, gitu. Gimana kondisinya Syakila? Di sini Fika halusinasi terus," ungkap papa pada Tante Siska."Hm, tadi pagi juga dia cerita, tapi entah apa ini firasat dari Fika? Mungkin Syakila minta diikhlaskan gitu segala perbuatannya," celetuk Tante Siska membuat kami seketika saling bertumbuk pandangan."Maksud kamu?""Dokter bilang sudah tidak ada perubahan pada Syakila, hanya keajaiban Tuhan yang akan membantunya, tadi kami berembuk ingin mencopot alat medis, tapi Danu masih ingin keajaiban itu terjadi," ungkap Tante Siska. "Jadi gimana solusinya?" "Aku punya usul, bagaimana kalau Fika diajak ke sini. Bicara di telinga Syakila kalau ia sudah benar-benar memaafkannya," usul Tante Siska.Apa yang dikatakan olehnya ada benarnya juga. Bisa saja aku merasa tidak ten