Kemudian Tante Siska membicarakan perihal dokter yang memanggil Mas Danu dan dirinya. Ia bilang bahwa Syakila menitip pesan pada dokter, bahwa akan mendonorkan matanya untukku.Lagi-lagi ini hal yang tidak masuk akal, Syakila tengah memperjuangkan hidupnya tapi ia malah ingin menyerahkan matanya untukku.Aku terharu mendengarnya, sekaligus ingin menolak apa yang menjadi niat baik Syakila."Maaf Tante aku tolak mentah-mentah, ini tidak adil jika aku menyetujuinya," ucapku dengan tegas.Aku pun meminta apa-apa untuk melarang Tante Siska membujukku. Ini semua demi kebaikan bersama, seharusnya Syakila juga sembuh, bukan malah ingin mendonorkan matanya untukku."Tante paham betul, tapi ini keinginan Syakila," jawab Tante Siska lagi."Aku tolak, Tante," ucapku lagi."Kenapa tolak?" tanya Tante Siska.Aku hanya menggelengkan kepala dan tidak berkomentar apa-apa lagi."Baiklah, tapi Syakila sudah meninggal dunia, Fika," ucap Tante Siska membuatku spontan melotot. Mata ini benar-benar membuka l
Seorang pria berhasil membawa maling tersebut bersama dengan Ari dan Haris. Mereka berdua diseret ke mobil dan diperintahkan masuk olehnya."Udah jebloskan aja ke penjara, kalau sudah berani kabur sih artinya sangat berani," ucap Haris.Kemudian, kami memutuskan untuk membuat laporan ke kantor polisi atas penjambretan tadi. Namun, sebelumnya, aku menghubungi papa melalui pesan singkat untuk sekadar memberikan informasi padanya.[Pah, aku ke kantor polisi ya. Ada jambret tadi.]Setelah mengirimkan pesan, aku duduk kembali ke mobil dan menuju kantor polisi.***Setibanya di kantor polisi dan selesai membuat laporan, pihak kepolisian pun sangat berterima kasih terhadap kami, sebab ternyata orang yang menjambret adalah buronan. Jadi ini justru sangat memudahkan kami juga dalam membuat laporan."Ayo, Fik, pulang!" ajak Haris. "Ri, kami pamit, terima kasih bantuannya, sudah membantu menangkap maling tadi.""Iya, sama-sama. Kalian hati-hati," ucap Ari sembari meninggalkan kami yang masih mem
[Dek, tolong cek berkas-berkas, Mas yang ada di laci. Tolong antarkan melalui ojek online ya! Itu mau dibawa saat meeting nanti siang.]Barusan adalah isi chat yang Mas Danu Raditya kirim. Aku segera ke ruangan kerjanya mencari berkas yang Mas Danu butuhkan. Dengan semangat, aku langkahkan kaki ini ke arah ruangan kerja Mas Danu. Hati ini rasa senang, tiap kali Mas Danu membutuhkan tenagaku. Ya, ia adalah laki-laki yang paling aku sayang selain papa. Sayangnya, aku sudah 2 tahun menikah, namun belum juga dikaruniai keturunan. Mas Danu adalah pria yang satu-satunya berani melamarku. Bagaimana tidak, aku ini anak semata wayang, tapi mempunyai kekurangan. Kekurangan itu, sangat memalukan untuk sebagian wanita. Yaitu, tidak dapat bicara atau disebut juga tunawicara. Bukan bisu bawaan atau dari lahir, tapi karena kecelakaan.Sepanjang pernikahan, Mas Danu sangat mencintaiku sepenuh hati. Oleh karena itu, ia mendapatkan hak perusahaan oleh Papa. Aku pun sangat percaya padanya.Segera mung
Dengan penuh keberanian, aku segera bergegas ke kantor papa. Ya, di sana tidak hanya ada suamiku, Papa Wijaya berada di kantor juga, orang tua tunggal yang masih menjabat sebagai pemilik perusahaan. Mas Danu memiliki hak atas keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan. Akan tetapi, aku yakin setelah papa mendengar ini semua, ia akan berusaha mengambil kembali hak-hak yang tidak pantas diberikan pada Mas Danu.Sepanjang perjalanan, aku berharap papa tidak sedang meeting di kantor. Lebih baik sebelum menemuinya, aku kirim pesan terlebih dulu. Tangan ini dengan cepat mengusap layar ponsel yang kupegang.[Pah, ada sesuatu hal yang ingin aku bicarakan pada, Papa.] Pesan itu aku kirim sesegera mungkin. Papa pun dengan cepat membalasnya. Itu artinya, beliau tidak dalam kondisi meeting.[Iya, Nak. Papa saat ini berada di Cafe samping kantor. Kamu bisa susul Papa ke sini.] Aku tersenyum membaca respon orang tua tunggalku yang cepat.[Ada Mas Danu, nggak, Pah?] tanyaku singkat.[Tidak, Nak!
'Jika memang pernikahan yang kita jalani hanyalah sebuah skenario dari istrimu. Sungguh bodohnya kamu, Mas, dijadikan robot olehnya. Syakila yang mencoba mengendalikan kamu,' batinku masih mengeluh di hadapan Mas Danu yang mencekal pergelangan tangan ini.Seandainya boleh memilih saat itu, aku lebih memilih menjadi perawan tua daripada harus berujung seperti ini. Kenyataan pahit harus ditelan disaat cinta yang sudah tumbuh menggunung.Kemudian, aku melepaskan genggaman tangannya dan dengan bahasa isyarat aku pun berpamitan dengannya."Mas, aku mau pulang. Belum masak," ujarku sembari menggerakkan tangan ini. Rasanya air mataku yang sudah ditahan sejak menginjakkan kaki ke kantor, ingin tumpah ketika melihat wajahnya. Sebab terbayang-bayang foto prewedding yang telah aku temui di laci itu."Ya sudah, kamu hati-hati. Langsung pulang ke rumah ya!" pesan Mas Danu masih sama sikapnya seperti biasa. Tidak ada yang berbeda padanya. Itu yang membuatku muak. Kenapa ada laki-laki munafik seper
Syakila masih tercengang, mendengar pertanyaan yang aku lontarkan tadi. Mungkin ia masih mencari alasan yang tepat kenapa belum mengenalkan calon suaminya. Sudah beberapa detik aku hitung, ia belum menjawab pertanyaan itu.Aku memandang matanya dengan tatapan penuh, wanita itu sudah menikah sejak tahun 2018 silam. Seandainya ada bukti satu lagi yang akurat, ini lebih bagus untuk memperkuat tuduhan kepada mereka.Hitungan detik sudah berubah ke menit, namun ia belum juga bersuara. Aku pun mengerutkan alis melihat Syakila diam membisu. 'Ayolah jawab Syakila, bukankah kamu tidak bisu? Bukankah kamu bisa mengeluarkan madu dari mulutmu yang sebenarnya pahit seperti empedu? Syakila, aku tidak akan pernah memaafkan kamu dan Mas Danu, kalau terbukti telah mempermainkan pernikahanku hanya untuk harta semata,' batinku kesal menunggu lama ia berbicara."Aku akan membawa calon suamiku kehadapanmu, Fika. Tapi, nanti setelah calon suamiku lulus dari kuliahnya di Jerman!" Akhirnya ku dengar sahuta
Seandainya aku memberikan jawaban iya pada papa. Apa aku harus bilang juga pada Mas Danu, bahwa aku hendak terapi ke luar negeri? Aku ingin Mas Danu dan Syakila terkejut saat mendengar suara indahku nanti. Sebaiknya dirahasiakan saja dulu.Dadaku masih terasa sesak menjadi wanita kedua, apalagi hanya menjadi batu loncatan. Harta lah yang menjadi incaran mereka, itu yang sebenarnya sangat menyakitkan. Ketulusan hati tidak ada secuil pun dalam diri mereka. [Aku mau, Pah. Tapi, aku ingin pastikan kedua insan tersebut juga tidak akan berduaan selama aku pergi. Papa bisa memberikan tugas pada Mas Danu keluar negeri juga, dengan negara yang berbeda.] Balasan pesan yang aku ketik tanpa sepengetahuan Syakila. Ia sedang ke toilet saat ini. Ternyata ponsel Syakila pun ia tinggal. Aku melirik ke layar ponsel yang menyala, tidak sengaja melihat pesan dari Mas Danu dari layar jendela.[Sayang, nanti malam pulang dari kantor aku ke rumah. Jangan lupa pakai lingerie yang aku belikan kemarin.]De
Syakila tiba-tiba datang mengejutkanku, sudah memakai jaket juga membawa kunci motor. Ia hendak ingin membeli makanan. Sangat kebetulan, saat Syakila pergi aku akan geratak seisi kamar, mencari bukti-bukti yang akan menguatkanku nanti."Kamu mau ke mana?" Gerakan tangan ini sudah membuatnya mengerti."Aku beli nasi goreng dulu, kamu mau ikut?" tanya Syakila sembari menutup resleting jaket yang ia pakai. "Aku di rumah aja, khawatir Mas Danu datang," jawabku. Ia pun tersenyum ketika melihat tanganku menjawabnya."Oke, kamu hati-hati ya di rumah!" ujar Syakila dengan suara keras dan aku tersenyum padanya. Kemudian ia bergegas ke luar rumah. 'Semoga lama perginya. Aku akan kirim pesan ke papa terlebih dulu, agar memberikan perintah pada Mas Danu untuk ke rumahnya,' ucapku dalam hati.[Pah, suruh Mas Danu ke rumah papa. Jangan sampai ia datang ke rumah Syakila. Tadi ia bilang akan bermalam di sini untuk menemaniku, tolong ya, Pah. Entah bagaimana caranya, Mas Danu tidak boleh ke sini. Ak
Seorang pria berhasil membawa maling tersebut bersama dengan Ari dan Haris. Mereka berdua diseret ke mobil dan diperintahkan masuk olehnya."Udah jebloskan aja ke penjara, kalau sudah berani kabur sih artinya sangat berani," ucap Haris.Kemudian, kami memutuskan untuk membuat laporan ke kantor polisi atas penjambretan tadi. Namun, sebelumnya, aku menghubungi papa melalui pesan singkat untuk sekadar memberikan informasi padanya.[Pah, aku ke kantor polisi ya. Ada jambret tadi.]Setelah mengirimkan pesan, aku duduk kembali ke mobil dan menuju kantor polisi.***Setibanya di kantor polisi dan selesai membuat laporan, pihak kepolisian pun sangat berterima kasih terhadap kami, sebab ternyata orang yang menjambret adalah buronan. Jadi ini justru sangat memudahkan kami juga dalam membuat laporan."Ayo, Fik, pulang!" ajak Haris. "Ri, kami pamit, terima kasih bantuannya, sudah membantu menangkap maling tadi.""Iya, sama-sama. Kalian hati-hati," ucap Ari sembari meninggalkan kami yang masih mem
Kemudian Tante Siska membicarakan perihal dokter yang memanggil Mas Danu dan dirinya. Ia bilang bahwa Syakila menitip pesan pada dokter, bahwa akan mendonorkan matanya untukku.Lagi-lagi ini hal yang tidak masuk akal, Syakila tengah memperjuangkan hidupnya tapi ia malah ingin menyerahkan matanya untukku.Aku terharu mendengarnya, sekaligus ingin menolak apa yang menjadi niat baik Syakila."Maaf Tante aku tolak mentah-mentah, ini tidak adil jika aku menyetujuinya," ucapku dengan tegas.Aku pun meminta apa-apa untuk melarang Tante Siska membujukku. Ini semua demi kebaikan bersama, seharusnya Syakila juga sembuh, bukan malah ingin mendonorkan matanya untukku."Tante paham betul, tapi ini keinginan Syakila," jawab Tante Siska lagi."Aku tolak, Tante," ucapku lagi."Kenapa tolak?" tanya Tante Siska.Aku hanya menggelengkan kepala dan tidak berkomentar apa-apa lagi."Baiklah, tapi Syakila sudah meninggal dunia, Fika," ucap Tante Siska membuatku spontan melotot. Mata ini benar-benar membuka l
Mereka semua berhamburan keluar. Hanya aku yang tersisa di dalam. Papa pun ikut karena aku yang menyuruhnya.Aku merebahkan tubuh sambil menunggu kedatangan mereka. Dalam hati kecil ini berharap ada kabar baik yang dokter katakan pada mereka semua.Kecemasan yang aku alami memang terbilang berlebihan, Syakila bukan siapa-siapa, hanya seorang sahabat yang pernah menghancurkan hidupku. Namun, justru saat ini aku menginginkan dia bisa bertahan hidup.Selang beberapa menit kemudian, papa datang bersama dengan Haris dan Ari. Namun, tidak dengan Tante Siska juga Mas Danu, ia masih menemani Syakila. Setidaknya bukan kabar buruk yang aku terima, sebab tidak ada yang papa ucapkan saat mereka masuk ke dalam ruangan."Kok cepat? Nggak ada sepuluh menit," tanyaku seakan menyecar."Iya, Syakila tadi sadar, dan dokter ingin bicara dengan Danu dan Siska," kata papa sambil menarik kursi lalu duduk di dekatku."Syukurlah, ternyata Syakila masih berjuang untuk hidup," timpalku dengan disertai helaan na
Dikarenakan teriakan Kau sangat kencang, Papa yang tadi berada di luar pun panik dan masuk ke dalam.Begitu juga dengan Haris dan Ari yang masuk mengekor di belakang papa."Ada apa, Fika? Kenapa kamu teriak?" tanya papa."Tadi aku dengar di kamar mandi suara kran mengalir, Pah, Aku takut Coba lihat ke sana!" Aku ketakutan sambil memegang selimut dan meremasnya."Aku akan melihat!" Itu suara Haris ia yang bersedia memantau toilet.Berselang kemudian Haris pun datang. "Nggak ada siapa-siapa dan kran pun masih tertutup." Ucapannya membuatku terdiam.Telingaku ini sudah berfungsi kembali seperti orang normal. Tadi jelas-jelas aku mendengar suara air mengalir dari keran kamar mandi."Mungkin kamu lelah, Fika, lebih baik kamu tidur ya, jangan mikirin macam-macam. Apalagi halusinasi tentang Syakila lagi, doakan aja dia mendapatkan yang terbaik untuk kesembuhannya," pesan papa.Kemungkinan besar halusinasiku ini terjadi karena terlalu takut. Ya, aku merasa sebagai penyebab kehancuran Syakila.
"Tapi, Syakila di ruangan ICU, Fik," ucap Haris."Iya, katanya kritis lagi," susul Ari."Jadi aku halusinasi?" Aku bertanya sambil menutup seluruh wajah dengan kedua telapak tangan."Fika, kamu istirahat ya, jangan sampai cemas berlebihan hingga membuat kamu jadi berpikiran tentang Syakila," tambah papa.Aku terdiam, bukankah ada suaranya tadi? Ya, suara raungan wanita bisu. Aku dapat mengetahuinya, sebab pernah berada di posisi Syakila dulu. "Aku yakin itu Syakila, apa dia ingin bicara denganku?" "Fika, biar aku dan Ari yang lihat kondisi Syakila ya," pesan Haris.Aku mengangguk senang, senyumku melebar ketika ia melakukan hal itu. Sebab, memang dari tadi aku menunggunya menawarkan diri setelah aku suruh.Setelah mereka pergi, aku pun ditemani papa. Ia duduk di sebelahku sambil mengusap lembut jari jemari ini."Kamu itu lelah, kepikiran sana sini, jadilah mikirin Syakila lagi, padahal sudah tidak ada yang perlu kamu cemaskan, dia sudah ditangani oleh dokter, Papa rasa dokter juga p
Aku merasa ini semua tidak adil jika harus kehilangan indera yang sangat penting, yaitu penglihatan. Seandainya mata ini tak bisa melihat dunia, aku pasti merasa orang yang paling buruk sedunia. Sebab, musibah yang ku terima tidak ada ujungnya.Dokter mulai melepaskan perban yang mengelilingi kepala dan mata ini. Kemudian, setelah lilitan terakhir ia menyuruhku untuk membuka mata.Perlahan aku buka mata yang biasa memandang indahnya dunia. Namun, setelah membukanya, aku malah menelan pil pahit. Semua berbayang, bahkan samar-samar. Untuk mengenali wajah papa saja aku tak mampu."Pah, mataku kenapa begini?" Aku bertanya sambil berteriak. Sebab, aku takut salah apakah yang berdiri di sebelahku persis itu papa atau dokter?"Nak, kamu yang sabar. Kamu pasti kuat, dokter bilang masih ada harapan dengan donor mata," ungkap papa.Papa memelukku, kemudian mengelus rambut ini."Kenapa aku tidak pernah merasakan bahagia, Pah? Baru sembuh dan bisa bicara, kini harus menerima kenyataan bahwa matak
Aku tersadar tapi tak bisa membuka mata, sebab saat meraba ternyata mataku dibalut perban. Aku sudah berada di ruangan yang tak terlihat di mana tempatnya. Semuanya gelap, aku bahkan tak melihat satu titik pun lampu yang bersinar. Hanya suara gemericik air dan bunyi alat yang sepertinya aku kenal."Aku di mana? Kenapa gelap? Seingat aku tadi ada yang menabrak dari arah belakang, apakah aku di rumah sakit?"Tiba-tiba terdengar suara riuh yang memanggil satu sama lainnya. "Pasien sadar, pasien sadar!"Aku dengar suara riuh itu, hingga suara hentakan sepatu terdengar menghampiriku. Kemudian dadaku seperti ada yang sentuh. "Tenang ya, Bu, kami hanya ingin memeriksa," ucapnya. Aku paham sekarang, saat ini aku berada di rumah sakit. Sebab, sudah ada suara yang memeriksa. Jadi suara alat yang kudengar adalah alat-alat medis untuk mendeteksi jantung."Dok, kenapa saya tidak bisa melihat Dokter?" tanyaku padanya. "Apa karena diperban?" tambahku lagi."Nanti kita buka perban ya, Bu. Setelah sem
"Pah, katakan apa yang terjadi dengan Syakila? Tadi tuh aku dibayangi dia terus!" Aku terus mendesaknya untuk mengatakan semua padaku."Syakila sudah sadar dan terus meminta bertemu dengan kamu," terang papa.Aku terdiam, lalu mencari tempat duduk. Tadi aku merasakan bertemu dengan Syakila. Itu artinya hanya halusinasi?"Pah, tapi tadi ....""Tadi Fika halusinasi lagi, Pak. Dia bilang bertemu dengan Syakila," serobot Haris. Aku pun menautkan kedua alis seraya tak menyukai atas tindakan Haris yang memotong pembicaraanku."Benarkah itu bukan halusinasi aku merasa seperti nyata," sanggahku.Ari memintaku untuk menekuk air putih kemudian menyuruhku untuk tenang. "Tarik napas Fika, Jangan memikirkan hal yang di luar kendali kita, jalani saja hidup ini Jangan memikirkan sesuatu yang belum kita hadapi," ungkap Ari.Aku terdiam sejenak, kemudian suara panggilan untuk keberangkatan ke Yogyakarta sudah terdengar. Akhirnya kami pun bergegas supaya cepat tiba di rumah sakit dan menemui Syakila.S
Papa terlihat mengaktifkan speakernya. Kemudian meletakkan ponsel miliknya di atas meja."Halo, Wijaya ada apa?" Tante Siska bertanya duluan. "Tadi aku dan Danu lagi bertemu dokter, makanya nggak diangkat," tambah Tante Siska."Oh, gitu. Gimana kondisinya Syakila? Di sini Fika halusinasi terus," ungkap papa pada Tante Siska."Hm, tadi pagi juga dia cerita, tapi entah apa ini firasat dari Fika? Mungkin Syakila minta diikhlaskan gitu segala perbuatannya," celetuk Tante Siska membuat kami seketika saling bertumbuk pandangan."Maksud kamu?""Dokter bilang sudah tidak ada perubahan pada Syakila, hanya keajaiban Tuhan yang akan membantunya, tadi kami berembuk ingin mencopot alat medis, tapi Danu masih ingin keajaiban itu terjadi," ungkap Tante Siska. "Jadi gimana solusinya?" "Aku punya usul, bagaimana kalau Fika diajak ke sini. Bicara di telinga Syakila kalau ia sudah benar-benar memaafkannya," usul Tante Siska.Apa yang dikatakan olehnya ada benarnya juga. Bisa saja aku merasa tidak ten