"Kamu serius, Fika? Jadi kamu benar-benar sudah pulih ingatannya?" Papa masih meragukan apa yang aku katakan."Sudah, Pah, aku ingat Syakila dan Mas Danu yang sangat jahat padaku.""Kalau begitu permintaanmu, Papa akan urus pengacara, Hendra akan urus semua bukti dulu, setelah kita kembali ke Indonesia, barulah memberikan pelajaran dengan melayangkan surat penangkapan," ungkap papa.Papa menghubungi pengacaranya sekitar lima belas menit. Ia bicara panjang lebar di hadapanku. Salah satunya meminta pengacara untuk menyita semua yang telah mereka kuras dariku.Setelah selesai bicara, papa kembali duduk dekat denganku. Ia menggenggam erat tangan ini dan mengecup keningku.Benar kata orang, suami itu ada bekasnya. Sedangkan orang tua tidak akan ada bekasnya. Mata ini tidak kuat menahan air mata, jadi kami berdua menangis sejadinya karena kebahagiaan ini. Tidak pernah dipungkiri, Mas Danu telah hadir di kehidupanku dan masa lalu. Tapi Mas Danu juga lah yang membuatku bersemangat untuk kemb
Haris tidak mengetahui masa lalu ku dengan Mas Danu. Makanya ia tidak tega terhadapnya. Kalau tahu keburukannya Mas Danu, mungkin ia bisa tega juga terhadapnya."Mas Haris, jadi Mas Danu dan Syakila itu suami istri. Mereka sengaja membohongi aku dengan berharap mereka bisa menguasai harta Papa. Untungnya sudah tertangkap basah saat aku menemukan foto mereka. Biarkan mereka menerima ganjarannya, Mas," jelasku menjelaskan pada Haris.Aku jadi terbiasa memanggilnya dengan sebutan Mas pada Haris. Sebab, awal mula aku sadar yang dikenalkan oleh papa adalah dirinya."Oh, kasusnya ia menipu dengan cara memalsukan identitas. Lalu bagaimana tentang pencurian mobil, Pak Wijaya? Apa berniat balas dendam?" tanya Haris penasaran. Sepertinya Haris tidak suka dengan balas membalas keburukan."Ya, awalnya ingin memberikan mereka pelajaran agar tidak sembarangan mempermainkan hati orang lain!" sahut papa."Anda seorang Ayah yang hebat, Pak Wijaya. Saya salut pada Pak Wijaya. Kalau begitu, saya akan ba
Aku muak mendengar Syakila bicara, jadi lebih baik aku matikan saja sambungan teleponnya. Daripada kesehatanku yang jadi imbasnya. Ya, aku harus mengingat kembali kesehatan yang sudah hampir pulih ini.Kuletakkan ponsel milik papaku kembali, lalu berbaring ke arah kanan. Kemudian, Papa datang bersama Haris."Papa," sapaku setelah melihat papa melangkah."Laki-laki itu masih beruntung diberikan kesempatan untuk bicara. Seharusnya Tuhan azab saja dia!" Papa nampak kesal saat baru saja datang."Mungkin kasihan Pah, Syakila pun berniat meninggalkannya," jawabku."Biar tahu rasa Danu itu. Biar melek mata, salah sendiri menipu wanita demi perempuan brengsek kayak Syakila. Coba setelah ini dia sadar nggak!" Papa semakin emosi ketika membicarakan Syakila dan Mas Danu."Pak, sabar. Jangan emosi ya," pesan Haris menasehati. Papa terlihat menghela napas kasar, ia berdecak kesal juga sambil mengambil kursi dan mendudukinya."Kata Rasul memang gitu, Pah. Jika kita marah, maka duduklah untuk mered
"Gimana kondisimu?" Aku bertanya hanya sekadar basa-basi."Ya begini, tenggorokan masih ada rasa serat-serat gitu." Ada saja kelakuannya, menenggak alkohol untuk membersihkan luka. Mas Danu aneh."Bagus masih bisa bicara, Mas. Kalau tiba-tiba kami bisu seperti aku dulu, bagaimana? Apa Syakila akan menemani kamu?" Pertanyaan yang aku lontarkan sedikit mengejutkannya. Itu terlihat dari caranya menelan ludahnya."Iya, maafkan aku ya, Dek." Dia menggunakan nama panggilan saat masih bersama dulu. Mungkin berusaha mengingatkan masa lalu."Rasanya sudah tidak pantas, kamu memanggilku seperti itu. Mas, aku harap kamu segera urus perceraian, dan jangan memelas lagi!" ancamku ketus."Iya Dek, padahal Mas sudah memiliki keputusan sebelumnya, untuk lebih memilihmu dibandingkan Syakila," timpalnya membuatku terkekeh. Rupanya urat malunya sudah putus, sampai berani bicara seperti itu."Aku bukan pilihan, Mas. Laki-laki memang berhak memilih, tapi tidak untuk laki-laki yang mau dijadikan robot oleh
"Iya, apa Siska ada hubungannya dengan Danu dan Syakila?" Papa malah bertanya balik. "Alah, sudah mendingan kita pulang, daripada urusin yang nggak penting," tambah papa sambil mengibaskan tangannya dan mengajakku untuk naik ke mobil.Akhirnya kami telah sampai di rumah, rasanya rindu sekali dengan suasana rumah ini. Si Mbok yang tidak mengetahui bahwa aku telah bisa bicara, pun menghampiri dengan mengajakku bicara memakai bahasa isyarat."Non, alhamdulilah Non sehat ya sekarang? Mbok kaget, dengar Non Fika kecelakaan! Cuma bisa nangis di sini," ungkap Mbok memakai bahasa isyarat. Papa yang melihatnya hanya bisa tersenyum. Aku apalagi, rindu dengan Mbok. Akhirnya aku peluk tubuh wanita setengah tua itu. Lalu mengatakan sesuatu di telinganya."Terima kasih, Mbok. Ini berkat do'a Mbok juga," bisikku membuat Mbok melepaskan pelukannya. Ia tampak terkejut dan bahagia."Non, alhamdulilah ya Allah. Non Fika sudah bisa bicara!" Mbok bicara dengan setengah berteriak, raut wajahnya tampak baha
Tok ... tok ... tok .... Aku buru-buru keluar dari aplikasi berwarna hijau. Sebab, ada suara ketukan pintu dari arah luar kamar. Pasti itu papa, sebaiknya aku buka pintu dulu. Papa harus kembali ke kantor, mengurus semuanya yang pernah terbengkalai. Lalu aku buka pintu lebar-lebar."Fika, papa berangkat ke kantor ya. Terus, papa pulang ke rumah papa! Gak mampir lagi. Kamu di sini sama Mbok, gak apa-apa kan?" tanyanya sambil menyodorkan tangan.Aku pun mengecup punggung tangan papa. Kemudian menyodorkan kening seperti biasanya.Papaku sudah lama meninggalkan kantor dan rumahnya, pasti sudah rindu dengan rumah peninggalan mama. "Pah, hati-hati ya! Aku dan Mbok pindah ke sana ya, besok?" tanyaku sambil merangkul lengannya. Lengan yang selalu sigap dalam menghadapi semua yang menyakiti anaknya."Iya, itu ide bagus. Papa jalan dulu ya, jangan pernah terima tamu dari orang yang tak dikenal, sampai kamu resmi bercerai dari Danu, ingat pesan Papa!" Itu pesan papa saat ini, ia khawatir Syaki
"Jangan, Tante, aku rasa tidak perlu. Nanti kalau sudah saatnya kenalan, pasti ketemu kok," sahutku melarangnya."Untung Tante izin dulu. Ya udah next time semoga kita ketemu ya, Fika." Aku menutup sambungan telepon saat kami sudah memutuskan mengakhiri pembicaraan.Kemudian, rencana untuk mengantarkan barang papa yang tertinggal pun aku urungkan. Sebab, tiba-tiba teringat ingin pindah ke rumah papa."Daripada buang waktu ke kantor cuma mau cerita doang, mendingan aku kemas-kemas," ucapku bicara sendirian.Akhirnya aku putuskan untuk meminta tolong taksi online mengantarkan barangnya saja. Ia aku berikan uang lebih supaya amanah dan barang yang papa butuhkan cepat sampai di tangannya.Tak lupa aku mengirimkan pesan untuk papa bahwa aku tidak jadi mengantarkan ke kantor. Ia pun setuju dengan keputusanku yang lebih baik berkemas-kemas.***[Pah, aku sama Mbok mau jalan ke rumah Papa ya. Sudah siap-siap nih!]Terbiasa dengan chat sewaktu bisu, beliau pun tak keberatan. [Iya Fika, keuan
"Mbok, ada Syakila dengan Mas Danu. Ayo buruan masuk mobil, aku malas bertemu dengannya!" Aku menarik tangan Mbok Asih secepat kilat. Lalu masuk ke dalam mobil. Melihat mereka berdua bergandengan tangan rasanya muak. "Ayo Non, kita ke tempat Bapak. Mbok juga malas bertemu dengan mereka. Kenapa gak lapor polisi si, Non? Itu kan sudah menipu namanya," timpal Mbok ikut kesal. "Biarin Mbok, itu urusan Papa. Aku tidak ingin turut campur urusan seperti ini. Yang terpenting, aku ingin menata hati saja untuk melupakan mereka dengan hidup yang baru," sahutku sembari membelokkan setir lalu keluar dari parkiran. Mata ini melihat mereka dari kaca mobil, rasanya ingin menabraknya saja. Namun, aku tahan emosi dengan membuang muka."Mereka gak lihat kita, Non. Itu lewat begitu saja," ucap Mbok menoleh ke arah mereka."Tampang mereka seperti orang tak berdosa ya, Mbok. Biarlah nanti pasti ada balasannya." Aku tetap menggerutu, padahal sudah ikhlas suamiku dimiliki Syakila seutuhnya.Sekitar setenga
Seorang pria berhasil membawa maling tersebut bersama dengan Ari dan Haris. Mereka berdua diseret ke mobil dan diperintahkan masuk olehnya."Udah jebloskan aja ke penjara, kalau sudah berani kabur sih artinya sangat berani," ucap Haris.Kemudian, kami memutuskan untuk membuat laporan ke kantor polisi atas penjambretan tadi. Namun, sebelumnya, aku menghubungi papa melalui pesan singkat untuk sekadar memberikan informasi padanya.[Pah, aku ke kantor polisi ya. Ada jambret tadi.]Setelah mengirimkan pesan, aku duduk kembali ke mobil dan menuju kantor polisi.***Setibanya di kantor polisi dan selesai membuat laporan, pihak kepolisian pun sangat berterima kasih terhadap kami, sebab ternyata orang yang menjambret adalah buronan. Jadi ini justru sangat memudahkan kami juga dalam membuat laporan."Ayo, Fik, pulang!" ajak Haris. "Ri, kami pamit, terima kasih bantuannya, sudah membantu menangkap maling tadi.""Iya, sama-sama. Kalian hati-hati," ucap Ari sembari meninggalkan kami yang masih mem
Kemudian Tante Siska membicarakan perihal dokter yang memanggil Mas Danu dan dirinya. Ia bilang bahwa Syakila menitip pesan pada dokter, bahwa akan mendonorkan matanya untukku.Lagi-lagi ini hal yang tidak masuk akal, Syakila tengah memperjuangkan hidupnya tapi ia malah ingin menyerahkan matanya untukku.Aku terharu mendengarnya, sekaligus ingin menolak apa yang menjadi niat baik Syakila."Maaf Tante aku tolak mentah-mentah, ini tidak adil jika aku menyetujuinya," ucapku dengan tegas.Aku pun meminta apa-apa untuk melarang Tante Siska membujukku. Ini semua demi kebaikan bersama, seharusnya Syakila juga sembuh, bukan malah ingin mendonorkan matanya untukku."Tante paham betul, tapi ini keinginan Syakila," jawab Tante Siska lagi."Aku tolak, Tante," ucapku lagi."Kenapa tolak?" tanya Tante Siska.Aku hanya menggelengkan kepala dan tidak berkomentar apa-apa lagi."Baiklah, tapi Syakila sudah meninggal dunia, Fika," ucap Tante Siska membuatku spontan melotot. Mata ini benar-benar membuka l
Mereka semua berhamburan keluar. Hanya aku yang tersisa di dalam. Papa pun ikut karena aku yang menyuruhnya.Aku merebahkan tubuh sambil menunggu kedatangan mereka. Dalam hati kecil ini berharap ada kabar baik yang dokter katakan pada mereka semua.Kecemasan yang aku alami memang terbilang berlebihan, Syakila bukan siapa-siapa, hanya seorang sahabat yang pernah menghancurkan hidupku. Namun, justru saat ini aku menginginkan dia bisa bertahan hidup.Selang beberapa menit kemudian, papa datang bersama dengan Haris dan Ari. Namun, tidak dengan Tante Siska juga Mas Danu, ia masih menemani Syakila. Setidaknya bukan kabar buruk yang aku terima, sebab tidak ada yang papa ucapkan saat mereka masuk ke dalam ruangan."Kok cepat? Nggak ada sepuluh menit," tanyaku seakan menyecar."Iya, Syakila tadi sadar, dan dokter ingin bicara dengan Danu dan Siska," kata papa sambil menarik kursi lalu duduk di dekatku."Syukurlah, ternyata Syakila masih berjuang untuk hidup," timpalku dengan disertai helaan na
Dikarenakan teriakan Kau sangat kencang, Papa yang tadi berada di luar pun panik dan masuk ke dalam.Begitu juga dengan Haris dan Ari yang masuk mengekor di belakang papa."Ada apa, Fika? Kenapa kamu teriak?" tanya papa."Tadi aku dengar di kamar mandi suara kran mengalir, Pah, Aku takut Coba lihat ke sana!" Aku ketakutan sambil memegang selimut dan meremasnya."Aku akan melihat!" Itu suara Haris ia yang bersedia memantau toilet.Berselang kemudian Haris pun datang. "Nggak ada siapa-siapa dan kran pun masih tertutup." Ucapannya membuatku terdiam.Telingaku ini sudah berfungsi kembali seperti orang normal. Tadi jelas-jelas aku mendengar suara air mengalir dari keran kamar mandi."Mungkin kamu lelah, Fika, lebih baik kamu tidur ya, jangan mikirin macam-macam. Apalagi halusinasi tentang Syakila lagi, doakan aja dia mendapatkan yang terbaik untuk kesembuhannya," pesan papa.Kemungkinan besar halusinasiku ini terjadi karena terlalu takut. Ya, aku merasa sebagai penyebab kehancuran Syakila.
"Tapi, Syakila di ruangan ICU, Fik," ucap Haris."Iya, katanya kritis lagi," susul Ari."Jadi aku halusinasi?" Aku bertanya sambil menutup seluruh wajah dengan kedua telapak tangan."Fika, kamu istirahat ya, jangan sampai cemas berlebihan hingga membuat kamu jadi berpikiran tentang Syakila," tambah papa.Aku terdiam, bukankah ada suaranya tadi? Ya, suara raungan wanita bisu. Aku dapat mengetahuinya, sebab pernah berada di posisi Syakila dulu. "Aku yakin itu Syakila, apa dia ingin bicara denganku?" "Fika, biar aku dan Ari yang lihat kondisi Syakila ya," pesan Haris.Aku mengangguk senang, senyumku melebar ketika ia melakukan hal itu. Sebab, memang dari tadi aku menunggunya menawarkan diri setelah aku suruh.Setelah mereka pergi, aku pun ditemani papa. Ia duduk di sebelahku sambil mengusap lembut jari jemari ini."Kamu itu lelah, kepikiran sana sini, jadilah mikirin Syakila lagi, padahal sudah tidak ada yang perlu kamu cemaskan, dia sudah ditangani oleh dokter, Papa rasa dokter juga p
Aku merasa ini semua tidak adil jika harus kehilangan indera yang sangat penting, yaitu penglihatan. Seandainya mata ini tak bisa melihat dunia, aku pasti merasa orang yang paling buruk sedunia. Sebab, musibah yang ku terima tidak ada ujungnya.Dokter mulai melepaskan perban yang mengelilingi kepala dan mata ini. Kemudian, setelah lilitan terakhir ia menyuruhku untuk membuka mata.Perlahan aku buka mata yang biasa memandang indahnya dunia. Namun, setelah membukanya, aku malah menelan pil pahit. Semua berbayang, bahkan samar-samar. Untuk mengenali wajah papa saja aku tak mampu."Pah, mataku kenapa begini?" Aku bertanya sambil berteriak. Sebab, aku takut salah apakah yang berdiri di sebelahku persis itu papa atau dokter?"Nak, kamu yang sabar. Kamu pasti kuat, dokter bilang masih ada harapan dengan donor mata," ungkap papa.Papa memelukku, kemudian mengelus rambut ini."Kenapa aku tidak pernah merasakan bahagia, Pah? Baru sembuh dan bisa bicara, kini harus menerima kenyataan bahwa matak
Aku tersadar tapi tak bisa membuka mata, sebab saat meraba ternyata mataku dibalut perban. Aku sudah berada di ruangan yang tak terlihat di mana tempatnya. Semuanya gelap, aku bahkan tak melihat satu titik pun lampu yang bersinar. Hanya suara gemericik air dan bunyi alat yang sepertinya aku kenal."Aku di mana? Kenapa gelap? Seingat aku tadi ada yang menabrak dari arah belakang, apakah aku di rumah sakit?"Tiba-tiba terdengar suara riuh yang memanggil satu sama lainnya. "Pasien sadar, pasien sadar!"Aku dengar suara riuh itu, hingga suara hentakan sepatu terdengar menghampiriku. Kemudian dadaku seperti ada yang sentuh. "Tenang ya, Bu, kami hanya ingin memeriksa," ucapnya. Aku paham sekarang, saat ini aku berada di rumah sakit. Sebab, sudah ada suara yang memeriksa. Jadi suara alat yang kudengar adalah alat-alat medis untuk mendeteksi jantung."Dok, kenapa saya tidak bisa melihat Dokter?" tanyaku padanya. "Apa karena diperban?" tambahku lagi."Nanti kita buka perban ya, Bu. Setelah sem
"Pah, katakan apa yang terjadi dengan Syakila? Tadi tuh aku dibayangi dia terus!" Aku terus mendesaknya untuk mengatakan semua padaku."Syakila sudah sadar dan terus meminta bertemu dengan kamu," terang papa.Aku terdiam, lalu mencari tempat duduk. Tadi aku merasakan bertemu dengan Syakila. Itu artinya hanya halusinasi?"Pah, tapi tadi ....""Tadi Fika halusinasi lagi, Pak. Dia bilang bertemu dengan Syakila," serobot Haris. Aku pun menautkan kedua alis seraya tak menyukai atas tindakan Haris yang memotong pembicaraanku."Benarkah itu bukan halusinasi aku merasa seperti nyata," sanggahku.Ari memintaku untuk menekuk air putih kemudian menyuruhku untuk tenang. "Tarik napas Fika, Jangan memikirkan hal yang di luar kendali kita, jalani saja hidup ini Jangan memikirkan sesuatu yang belum kita hadapi," ungkap Ari.Aku terdiam sejenak, kemudian suara panggilan untuk keberangkatan ke Yogyakarta sudah terdengar. Akhirnya kami pun bergegas supaya cepat tiba di rumah sakit dan menemui Syakila.S
Papa terlihat mengaktifkan speakernya. Kemudian meletakkan ponsel miliknya di atas meja."Halo, Wijaya ada apa?" Tante Siska bertanya duluan. "Tadi aku dan Danu lagi bertemu dokter, makanya nggak diangkat," tambah Tante Siska."Oh, gitu. Gimana kondisinya Syakila? Di sini Fika halusinasi terus," ungkap papa pada Tante Siska."Hm, tadi pagi juga dia cerita, tapi entah apa ini firasat dari Fika? Mungkin Syakila minta diikhlaskan gitu segala perbuatannya," celetuk Tante Siska membuat kami seketika saling bertumbuk pandangan."Maksud kamu?""Dokter bilang sudah tidak ada perubahan pada Syakila, hanya keajaiban Tuhan yang akan membantunya, tadi kami berembuk ingin mencopot alat medis, tapi Danu masih ingin keajaiban itu terjadi," ungkap Tante Siska. "Jadi gimana solusinya?" "Aku punya usul, bagaimana kalau Fika diajak ke sini. Bicara di telinga Syakila kalau ia sudah benar-benar memaafkannya," usul Tante Siska.Apa yang dikatakan olehnya ada benarnya juga. Bisa saja aku merasa tidak ten