"Ada yang bisa Fika bantu, Pah?" tanyaku dengan senang hati. Tiba-tiba telepon terputus. Sepertinya signal di sana kurang bagus. Kemudian, aku mencoba menghubunginya kembali, agar tidak ada lagi gundah di hati ini. Saat ini hatiku antara gelisah dan senang melebur jadi satu. Tak lama kemudian, Haris mengirim pesan untukku. Seketika wajah wanita yang tadi bersama Haris pun muncul kembali saat melihat pesan dari Haris.[Fika, malam ini bisa ketemu di Mall Buaran Plaza?]Aku abaikan sajalah, masalah papa lebih penting dari pertemuanku dengan Haris.Aku mencoba menghubungi papa kembali, akhirnya tersambung juga. Namun, masalah masih sama, yaitu signal masih putus-putus."Pah, ada yang bisa Fika lakukan?""Iya Nak, kamu tahu tempat tinggal mereka yang baru tidak?" Sontak yang ada dipikiran ini adalah Tante Siska. Ya, ia yang tahu rumah mereka. Aku pun berinisiatif untuk menghubungi Tante Siska."Sepertinya aku tahu. Papa tunggu ya, nanti aku hubungi beberapa saat lagi. Sekitar 10 menit,"
"Halo, Pah." Aku menyapa lebih dulu tapi dari ujung sana tidak ada jawaban.Hingga akhirnya sambungan telepon pun terputus. Aku menghela napas kasar sampai membuang ponsel ke sofa, rasanya sangat khawatir padanya jika seperti ini. Namun, Mbok yang menenangkanku.Akhirnya aku coba menunggu di rumah satu kali dua puluh empat jam, sesuai dengan nasihat Mbok.***Haris yang akan datang ke rumah papa, sudah dalam perjalanan. Nanti saat ia ke sini, akan aku tanyakan padanya siapa dokter yang menggandengnya tadi. Karena seingat aku, ia kan dijodohkan oleh papa denganku. Harusnya ia tidak boleh sembarangan dekat dengan wanita lain.Mbok Asih masih tengah masak. Untuk hidangan Haris yang akan berkunjung ke sini. Juga papa yang barangkali lelah karena harus ikut dengan polisi untuk menahan Syakila dan Mas Danu. Rasanya sudah tidak sabar lagi mendengar kabar dari papa tentang mereka.Makanan sudah tersaji di meja makan. Dan aku juga sudah mandi, saatnya menunggu Haris datang di ruang televisi.
"Terima kasih banyak informasinya Pak, jika ada perkembangan tolong hubungi saya," sahut papa dengan kondisi ponsel diaktifkan speakernya. Lalu mereka mematikan sambungan teleponnya setelah mengucapkan salam.Mereka sudah lari secepat itu. Pastinya sudah ada orang yang menuntun mereka. Apa Tante Siska? Aku jadi menduga-duga."Hemm, Pah aku hubungi Tante Siska ya! Ia itu kan Tantenya Danu. Masa iya tidak tahu keberadaannya.""Iya, coba saja! Siapa tahu ada titik terang!" ujar papa. Aku mencoba menghubungi Tante Siska, tapi setelah berkali-kali menghubunginya, nomernya sudah tidak terjangkau lagi. Setelah Haris pulang, hanya beda beberapa menit saja. Papa kedatangan tamu yang tidak aku kenal, ia hendak mencari papa. Katanya ia menemukan dompet papa yang terjatuh di depan rumah Syakila dan Mas Danu."Assalamualaikum.""Wa'alaikumsalam, iya ada apa ya?""Ini Mbak, saya ingin mengembalikan dompet bapaknya Mbak yang jatuh," ucap laki-laki itu yang tak kukenali. Ia menyerahkan dompet milik
Mataku tak berkedip saat membaca pesan dari Mas Danu. Itu artinya aku tidak boleh percaya pada Haris sepenuhnya untuk sekarang ini."Pah, Haris kenal dengan Mas Danu saat di rumah sakit, ini dia ngucapin makasih segala, apa mungkin mereka komplotan?" Aku bertanya meskipun dada ini tengah bergemuruh hebat.Papa terdiam sambil menyorot ke arah layar ponsel."Papa kecewa jika memang begitu adanya, tapi kita tidak bisa menyimpulkan hanya karena pesan ucapan terima kasih, lebih baik kita selidiki lebih dalam lagi, Papa akan suruh orang untuk mengintai Haris," timpal papa. Tak berselang kemudian, mobilnya Haris terdengar kembali di area halaman rumah. Aku yakin ia baru menyadari bahwa ponselnya tertinggal."Sudah, matikan layarnya, jangan sampai Haris curiga," suruh papa.Aku pun keluar rumah dan segera menyerahkan ponsel genggam miliknya. Ia sempat melihat ke layar ponselnya, lalu menyorotku diam."Kamu baru pegang handphone ini, kan?" tanya Haris."Iya,barusan aku ke toilet, nemu langsun
"Menurut informasi anak buah Papa, Haris itu ada utang budi pada Danu, makanya ia yang memberi informasi bahwa Papa mau menangkap mereka," terang papa.Sungguh pernyataan papa barusan sangat membuatku merasa bersalah. Gara-gara terlalu percaya pada orang, kini malah jadi merepotkan papaku."Lantas kenapa tadi dia bilang sedang cari Mas Danu dan Syakila," jawabku agak kesal, sebab ternyata orang yang cukup denganku adalah penjilat.Papa mengangkat bahunya, lalu menggelengkan kepalanya.Tidak disangka akan seperti ini jadinya. Kami pun berpikir positif karena papa sendiri yang merekomendasikan Haris sebagai dokter yang menemaniku di rumah sakit."Papa kecewa, tapi alasan Haris melakukan ini tentu karena terpaksa," tutur papa memaklumi."Aku nggak bisa maklum, Pah," timpalku kesal."Ya udah, kita bicarakan nanti lagi, sekarang lebih baik ketemu Khairul, teman papa." Ia menarik lenganku paksa.Kami tiba di ruangan rawat inap tempat teman papa dirawat. Aku tadi sempat membeli buah yang dit
"Ya Allah, Fika. Aku harus bagaimana jelasin ke kamu dan Pak Wijaya ya? Sepertinya ada yang membuat kamu berubah gini," ungkap Haris. Aku menoleh ke arah papa. Mana mungkin papa sembarangan memfitnah orang. Haris saja yang pandai bersilat lidah.Kemudian, aku mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Sebab, kantor polisi sudah berada di depan mata.Aku dan papa segera turun dari mobil dan masuk ke kantor. Lalu lalang petugas membuat kami berdua celingukan mencari komandan."Wah, Pak Wijaya sudah datang!" teriak komandan Aji, seperti tulisan di papan namanya yang kubaca."Iya, Pak. Tadi dapat kabar katanya buronan Syakila dan Danu sudah ditemukan, apa itu betul?" tanya papa tanpa basa-basi."Duduk, Pak!" seru pak polisi. "Begini, Pak. Ya, tadi sudah tertangkap oleh polisi dan beberapa preman di sana. Tapi, saat di jalan, mereka menyeburkan diri ke kali. Sampai saat ini, sedang dalam pencarian tim kami," sahutnya membuatku menghela napas panjang. Astaga, kedua orang itu licin seka
Aku jadi fokus mendengarkan ucapan Haris kata demi kata. Tidak menutup kemungkinan orang itu adalah mereka, buronan yang tengah dicari polisi."Haris, aku tutup dulu teleponnya. Nanti papa mau hubungi Pak Aji terlebih dahulu," timpalku sambil mematikan sambungan teleponnya.Bukan tidak tahu terima kasih, tapi aku masih harus waspada terhadap Haris. Sebab, ia bisa saja berubah lagi.Aku ke luar kamar, ternyata papa berada di ruangan televisi. Aku segera mendekat dengannya."Pah, ambil ponsel coba, kata Haris polisi hubungi Papa nggak diangkat-angkat," paparku sambil menggoyangkan tangannya.Kemudian, papa memerintahkan pembantunya untuk mengambil handphone di kamar.Setelah ponselnya berada di genggaman. Ternyata benar, ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Pak Aji. Ia mungkin ingin menyampaikan perihal orang yang ditemukan saat itu. Meskipun Pak Aji tidak berada di lokasi, pastinya rekan di Jogjakarta tengah melaporkan segala hal sekecil apapun mengenai buronan tersebut."Pah, cepat
Tiba-tiba Haris tersungkur dan bersujud di kakiku. Benar dugaanku ia pasti melakukan satu hal yang membuatnya seperti ini."Fik, aku minta maaf," ucap Haris.Aku bergeming, tak bicara satu kata pun untuk menanggapinya.Suster ikut berhenti ketika menoleh ke belakang."Cepat bangun, kita ketemu dokter dulu," ajakku kasar. Kemudian kaki ini melangkah mengekor suster yang kini mulai beranjak kembali.Suster membuka pintu lebar-lebar, ia mempersilakan kami masuk dan memperkenalkan pada dokter yang menangani Mas Danu dan Syakila."Dok, ini Mbak dan Mas yang ingin bertemu Dokter," ucap suster dengan lemah lembut."Sore Dok, saya Dokter Haris, dan ini Fika, mantan istri Danu, pria yang dirawat di ruang ICU." Haris menjelaskan statusku, agar dokter lebih percaya untuk menceritakan kondisinya."Sore juga, Dok, Mbak. Senang berkenalan dengan kalian. Saya akan menjelaskan kondisi mereka saat ini." Kami pun duduk setelah dipersilakan."Iya, sebenarnya kami sudah tidak peduli, tapi ingin tahu kea
Seorang pria berhasil membawa maling tersebut bersama dengan Ari dan Haris. Mereka berdua diseret ke mobil dan diperintahkan masuk olehnya."Udah jebloskan aja ke penjara, kalau sudah berani kabur sih artinya sangat berani," ucap Haris.Kemudian, kami memutuskan untuk membuat laporan ke kantor polisi atas penjambretan tadi. Namun, sebelumnya, aku menghubungi papa melalui pesan singkat untuk sekadar memberikan informasi padanya.[Pah, aku ke kantor polisi ya. Ada jambret tadi.]Setelah mengirimkan pesan, aku duduk kembali ke mobil dan menuju kantor polisi.***Setibanya di kantor polisi dan selesai membuat laporan, pihak kepolisian pun sangat berterima kasih terhadap kami, sebab ternyata orang yang menjambret adalah buronan. Jadi ini justru sangat memudahkan kami juga dalam membuat laporan."Ayo, Fik, pulang!" ajak Haris. "Ri, kami pamit, terima kasih bantuannya, sudah membantu menangkap maling tadi.""Iya, sama-sama. Kalian hati-hati," ucap Ari sembari meninggalkan kami yang masih mem
Kemudian Tante Siska membicarakan perihal dokter yang memanggil Mas Danu dan dirinya. Ia bilang bahwa Syakila menitip pesan pada dokter, bahwa akan mendonorkan matanya untukku.Lagi-lagi ini hal yang tidak masuk akal, Syakila tengah memperjuangkan hidupnya tapi ia malah ingin menyerahkan matanya untukku.Aku terharu mendengarnya, sekaligus ingin menolak apa yang menjadi niat baik Syakila."Maaf Tante aku tolak mentah-mentah, ini tidak adil jika aku menyetujuinya," ucapku dengan tegas.Aku pun meminta apa-apa untuk melarang Tante Siska membujukku. Ini semua demi kebaikan bersama, seharusnya Syakila juga sembuh, bukan malah ingin mendonorkan matanya untukku."Tante paham betul, tapi ini keinginan Syakila," jawab Tante Siska lagi."Aku tolak, Tante," ucapku lagi."Kenapa tolak?" tanya Tante Siska.Aku hanya menggelengkan kepala dan tidak berkomentar apa-apa lagi."Baiklah, tapi Syakila sudah meninggal dunia, Fika," ucap Tante Siska membuatku spontan melotot. Mata ini benar-benar membuka l
Mereka semua berhamburan keluar. Hanya aku yang tersisa di dalam. Papa pun ikut karena aku yang menyuruhnya.Aku merebahkan tubuh sambil menunggu kedatangan mereka. Dalam hati kecil ini berharap ada kabar baik yang dokter katakan pada mereka semua.Kecemasan yang aku alami memang terbilang berlebihan, Syakila bukan siapa-siapa, hanya seorang sahabat yang pernah menghancurkan hidupku. Namun, justru saat ini aku menginginkan dia bisa bertahan hidup.Selang beberapa menit kemudian, papa datang bersama dengan Haris dan Ari. Namun, tidak dengan Tante Siska juga Mas Danu, ia masih menemani Syakila. Setidaknya bukan kabar buruk yang aku terima, sebab tidak ada yang papa ucapkan saat mereka masuk ke dalam ruangan."Kok cepat? Nggak ada sepuluh menit," tanyaku seakan menyecar."Iya, Syakila tadi sadar, dan dokter ingin bicara dengan Danu dan Siska," kata papa sambil menarik kursi lalu duduk di dekatku."Syukurlah, ternyata Syakila masih berjuang untuk hidup," timpalku dengan disertai helaan na
Dikarenakan teriakan Kau sangat kencang, Papa yang tadi berada di luar pun panik dan masuk ke dalam.Begitu juga dengan Haris dan Ari yang masuk mengekor di belakang papa."Ada apa, Fika? Kenapa kamu teriak?" tanya papa."Tadi aku dengar di kamar mandi suara kran mengalir, Pah, Aku takut Coba lihat ke sana!" Aku ketakutan sambil memegang selimut dan meremasnya."Aku akan melihat!" Itu suara Haris ia yang bersedia memantau toilet.Berselang kemudian Haris pun datang. "Nggak ada siapa-siapa dan kran pun masih tertutup." Ucapannya membuatku terdiam.Telingaku ini sudah berfungsi kembali seperti orang normal. Tadi jelas-jelas aku mendengar suara air mengalir dari keran kamar mandi."Mungkin kamu lelah, Fika, lebih baik kamu tidur ya, jangan mikirin macam-macam. Apalagi halusinasi tentang Syakila lagi, doakan aja dia mendapatkan yang terbaik untuk kesembuhannya," pesan papa.Kemungkinan besar halusinasiku ini terjadi karena terlalu takut. Ya, aku merasa sebagai penyebab kehancuran Syakila.
"Tapi, Syakila di ruangan ICU, Fik," ucap Haris."Iya, katanya kritis lagi," susul Ari."Jadi aku halusinasi?" Aku bertanya sambil menutup seluruh wajah dengan kedua telapak tangan."Fika, kamu istirahat ya, jangan sampai cemas berlebihan hingga membuat kamu jadi berpikiran tentang Syakila," tambah papa.Aku terdiam, bukankah ada suaranya tadi? Ya, suara raungan wanita bisu. Aku dapat mengetahuinya, sebab pernah berada di posisi Syakila dulu. "Aku yakin itu Syakila, apa dia ingin bicara denganku?" "Fika, biar aku dan Ari yang lihat kondisi Syakila ya," pesan Haris.Aku mengangguk senang, senyumku melebar ketika ia melakukan hal itu. Sebab, memang dari tadi aku menunggunya menawarkan diri setelah aku suruh.Setelah mereka pergi, aku pun ditemani papa. Ia duduk di sebelahku sambil mengusap lembut jari jemari ini."Kamu itu lelah, kepikiran sana sini, jadilah mikirin Syakila lagi, padahal sudah tidak ada yang perlu kamu cemaskan, dia sudah ditangani oleh dokter, Papa rasa dokter juga p
Aku merasa ini semua tidak adil jika harus kehilangan indera yang sangat penting, yaitu penglihatan. Seandainya mata ini tak bisa melihat dunia, aku pasti merasa orang yang paling buruk sedunia. Sebab, musibah yang ku terima tidak ada ujungnya.Dokter mulai melepaskan perban yang mengelilingi kepala dan mata ini. Kemudian, setelah lilitan terakhir ia menyuruhku untuk membuka mata.Perlahan aku buka mata yang biasa memandang indahnya dunia. Namun, setelah membukanya, aku malah menelan pil pahit. Semua berbayang, bahkan samar-samar. Untuk mengenali wajah papa saja aku tak mampu."Pah, mataku kenapa begini?" Aku bertanya sambil berteriak. Sebab, aku takut salah apakah yang berdiri di sebelahku persis itu papa atau dokter?"Nak, kamu yang sabar. Kamu pasti kuat, dokter bilang masih ada harapan dengan donor mata," ungkap papa.Papa memelukku, kemudian mengelus rambut ini."Kenapa aku tidak pernah merasakan bahagia, Pah? Baru sembuh dan bisa bicara, kini harus menerima kenyataan bahwa matak
Aku tersadar tapi tak bisa membuka mata, sebab saat meraba ternyata mataku dibalut perban. Aku sudah berada di ruangan yang tak terlihat di mana tempatnya. Semuanya gelap, aku bahkan tak melihat satu titik pun lampu yang bersinar. Hanya suara gemericik air dan bunyi alat yang sepertinya aku kenal."Aku di mana? Kenapa gelap? Seingat aku tadi ada yang menabrak dari arah belakang, apakah aku di rumah sakit?"Tiba-tiba terdengar suara riuh yang memanggil satu sama lainnya. "Pasien sadar, pasien sadar!"Aku dengar suara riuh itu, hingga suara hentakan sepatu terdengar menghampiriku. Kemudian dadaku seperti ada yang sentuh. "Tenang ya, Bu, kami hanya ingin memeriksa," ucapnya. Aku paham sekarang, saat ini aku berada di rumah sakit. Sebab, sudah ada suara yang memeriksa. Jadi suara alat yang kudengar adalah alat-alat medis untuk mendeteksi jantung."Dok, kenapa saya tidak bisa melihat Dokter?" tanyaku padanya. "Apa karena diperban?" tambahku lagi."Nanti kita buka perban ya, Bu. Setelah sem
"Pah, katakan apa yang terjadi dengan Syakila? Tadi tuh aku dibayangi dia terus!" Aku terus mendesaknya untuk mengatakan semua padaku."Syakila sudah sadar dan terus meminta bertemu dengan kamu," terang papa.Aku terdiam, lalu mencari tempat duduk. Tadi aku merasakan bertemu dengan Syakila. Itu artinya hanya halusinasi?"Pah, tapi tadi ....""Tadi Fika halusinasi lagi, Pak. Dia bilang bertemu dengan Syakila," serobot Haris. Aku pun menautkan kedua alis seraya tak menyukai atas tindakan Haris yang memotong pembicaraanku."Benarkah itu bukan halusinasi aku merasa seperti nyata," sanggahku.Ari memintaku untuk menekuk air putih kemudian menyuruhku untuk tenang. "Tarik napas Fika, Jangan memikirkan hal yang di luar kendali kita, jalani saja hidup ini Jangan memikirkan sesuatu yang belum kita hadapi," ungkap Ari.Aku terdiam sejenak, kemudian suara panggilan untuk keberangkatan ke Yogyakarta sudah terdengar. Akhirnya kami pun bergegas supaya cepat tiba di rumah sakit dan menemui Syakila.S
Papa terlihat mengaktifkan speakernya. Kemudian meletakkan ponsel miliknya di atas meja."Halo, Wijaya ada apa?" Tante Siska bertanya duluan. "Tadi aku dan Danu lagi bertemu dokter, makanya nggak diangkat," tambah Tante Siska."Oh, gitu. Gimana kondisinya Syakila? Di sini Fika halusinasi terus," ungkap papa pada Tante Siska."Hm, tadi pagi juga dia cerita, tapi entah apa ini firasat dari Fika? Mungkin Syakila minta diikhlaskan gitu segala perbuatannya," celetuk Tante Siska membuat kami seketika saling bertumbuk pandangan."Maksud kamu?""Dokter bilang sudah tidak ada perubahan pada Syakila, hanya keajaiban Tuhan yang akan membantunya, tadi kami berembuk ingin mencopot alat medis, tapi Danu masih ingin keajaiban itu terjadi," ungkap Tante Siska. "Jadi gimana solusinya?" "Aku punya usul, bagaimana kalau Fika diajak ke sini. Bicara di telinga Syakila kalau ia sudah benar-benar memaafkannya," usul Tante Siska.Apa yang dikatakan olehnya ada benarnya juga. Bisa saja aku merasa tidak ten