"Bisu permanen, Dok?" Aku bertanya seraya tak percaya."Iya, saya pastikan pasien bisu permanen," terang dokter.Aku menoleh lagi ke arah Haris yang ikut termangu saat dokter menyatakan Syakila bisu permanen."Baik, Dok. Saya akan beritahu keluarganya masalah kondisi Syakila," timpalku mengakhiri pembicaraan. Kemudian, kami bangkit dari duduk dan beranjak keluar ruangan.Kami berjalan seakan tak tahu arah tujuan. Mata kami berdua menyoroti jalan tapi pikiranku entah ada di mana. "Apa ini karma?" Aku dan Haris bertumbuk pandangan, apa yang kami tanyakan juga sama."Kita satu pemikiran," celetuk Haris. Kemudian memalingkan wajahnya dan kembali ke arah depan."Kita temui papa di bawah," ajakku. "Papa harus tahu kondisi Syakila, jujur saja aku jadi kasihan dan memiliki inisiatif untuk mencabut laporan," sambungku membuat Haris menoleh dan berhenti."Nggak gitu, Fik. Jangan jadikan kondisi Syakila sebagai kelemahan, biarkan mereka memetik apa yang sudah ditanam," cegah Haris.Aku menelan
"Jangan over thinking, Fik. Mungkin Danu bicarain aku yang udah bodoh menuruti kemauannya," sanggah Haris."Hu um, betul itu, mereka seperti menertawakan kamu, tapi sejujurnya Tante tidak tahu betul tentang mereka. Maafin Tante ya," timpal Tante Siska. "Tante mau lihat keadaan Danu, kamu mau ikut, Fika?" tanya Tante Siska."Mas Danu masih belum sadar, Tante. Sedangkan Syakila, ia harus amputasi kan, dan seharusnya Tante Sisks atau keluarganya menandatangani persetujuan," timpalku. "Satu lagi yang belum Tante ketahui, Syakila dipastikan bisu permanen," tambahku."Astaga, separah itu? Syakila pasti terpukul atas apa yang terjadi dengannya," ungkap Tante Siska "Aku juga bingung ngomongnya gimana ke Syakila," jawabku sambil mengangkat bahu."Ya udah, karena khawatir Syakila akan menyalahkan kamu, lebih baik untuk sementara waktu nggak usah temui dia, kamu ke tempat Danu aja, gimana?" tanya Tante Siska.Aku pun mengangguk dan menuruti apa kata Tante Siska. Namun, aku menemui Mas Danu dite
"Apa kamu bilang tadi? Papa?" Aku baru sadar kalau ternyata Haris menyebut papa dengan sebutan layaknya menantu."Astaga, maaf Pak Wijaya, saya Keceplosan," jawab Haris sambil menepuk keningnya. Wajahnya kelihatan merah ketika papa menautkan kedua alis sambil menggelengkan kepalanya."Jangan sebut saya Papa kalau banyak kebohongan yang kau simpan, Haris," ancam papa.Kemudian, kami pun bergegas ke kantin untuk bicara empat mata. Aku dan Haris jalan berdampingan meski tidak gandengan. Namun, tiba-tiba ia berhenti."Ayo, Ris! Kok kamu malah berhenti?" tanyaku pada Haris yang tiba-tiba berhenti melangkah. Ia menahan langkah kakinya."I-iya Fik, sepatu tadi agak tak enak dipakai," sahutnya sambil menggerak-gerakkan kaki seraya tidak nyaman dengan sepatu.Setibanya di kantin, aku duduk saling berhadapan."Ris, langsung aja. Ada yang ingin aku tanyakan. Tolong dijawab jujur, ya!" tekanku dengan nada mengancam."Tunggu ya, Fika." Haris menyuruhku untuk berhenti berbicara. "Mbak, mau pesan m
"Ini kuasa Allah, janin selamat meskipun sang ibu sempat sekarat, mungkin inilah yang dinamakan takdir, janin tersebut memang ditakdirkan masih hidup," terang dokter.Aku menghela napas panjang. Sebab, janin yang ada di rahim Syakila memang tidak bersalah.Lalu keluarga Syakila mendekatiku. Memohon maaf atas tindakan yang dilakukan oleh Syakila. Ibunya sampai sujud di hadapanku. Hal inilah yang membuatku jadi terenyuh."Mbak, saya selaku orang tua dari Syakila, mohon maaf atas segala kelakuan Syakila," ucap ibundanya. Aku tidak tega melihatnya, dan membantunya untuk bangkit. Mengingat karena aku tidak memiliki ibu, jadi tiap kali ada perempuan yang membela anaknya, aku pun ikut merasakan hal yang sama."Sudahlah, Bu. Bangun ya, Syakila tetap harus menerima ganjaran yang telah ia lakukan. Maaf pasti sudah saya maafkan. Hanya saja, hukum tetap berjalan," timpalku dengan tenang. Padahal tadi kami sepakat ingin mencabut laporan. Setelah setengah jam dokter menyiapkan operasi, akhirnya Sy
"Aku dan Syakila, tidak sengaja lihat isi chat Tante Siska dan Fika. Sejujurnya, awal aku lihat Tante Siska berbalas chat tidak curiga. Tapi, rasa penasaran saat Tante Siska menyebutkan nama Fika," terang Mas Danu membuatku seketika mengembuskan napas. Sedikit lega tapi ada rasa curiga. Sebab, Haris sendiri sudah mengakuinya, tapi kenapa Mas Danu berbicara seperti itu?"Bohong, Pak. Saya yang telah memberikan informasi itu. Memang saya orangnya yang sudah sangat bodoh membantu ia untuk kabur, sambung Haris. Aku terperanjat mendengarnya. Maksudnya apa seperti ini? Kenapa semuanya jadi cari muka begini?"Aku lihat pesan Tante Siska, bukan tahu dari kamu. Bukankah kamu itu kaki tangan Pak Wijaya, jadi aku rasa bohong kalau membantuku untuk kabur," tambah Mas Danu semakin membuatku bingung."Astaga, waktu itu kamu melihat isi chat Tante dengan Fika? Kok tidak sopan?" tanya Tante Siska. Papa pun melihat ke arah Tante Siska. "Kamu terlibat?" Papa menuduh Tante Siska terlibat dalam larinya
"Alhamdulillah dong, masa Ibu malah nangis?" Aku mengangkat kedua alis seraya heran."Syakila sadar, tapi ...." Ia memotong ucapannya."Bu, ada apa dengan Syakila?" tanyaku pada ibundanya Syakila. Ia masih nangis terisak-isak. Berselang kemudian, Om dan sepupunya ikut menangis histeris. 'Ini ada apa dengan Syakila?' batinku."Maafkan segala kesalahan Syakila, Mbak Fika. Ibu mohon," lirih Ibu Surti, ia memohon agar aku ikhlas memaafkan Syakila."Bu, cerita yang jelas, ada apa ini?" tanya papa menyelidik. Ia juga penasaran akan ucapan-ucapan yang Ibu Surti lontarkan. Dalam hati kecilku jadi berpikir macam-macam. Jangan-jangan Syakila meninggal? Makanya ibunya minta diikhlaskan."Syakila, tadi sadar, tapi setelah tahu kakinya hanya sepotong, ia sangat histeris, ditambah ingin menjerit ia kesulitan bersuara, akhirnya hilang kesadaran lagi, Syakila koma," ungkap Ibu Surti."Astaga," ucapku singkat. Tangan ini spontan menutup mulut."Kalau Syakila gak ada umur, Mbak Fika tolong ikhlaskan s
"Saya mau mencabut laporannya, Pak. Apakah harus ke Jakarta?" tanya papa membuat kami serentak mengembuskan napas.Papaku orang baik, tentu ia takkan tega melihat ibunya Syakila memohon untuk mencabut laporannya. Walaupun ada rasa keinginan untuk membuat jera Syakila dan Mas Danu, aku rasa papa masih punya perikemanusiaan.Tiba-tiba Bu Surti meluruhkan tubuhnya ke lantai, tepat di bawah kaki papa ibunya Syakila memohon maaf."Terima kasih orang baik, maafkan segala kesalahan putriku, Saya berjanji akan mendidiknya menjadi orang baik," tuturnya membuatku sedikit terenyuh."Bangunlah! Tidak perlu melakukan hal ini, mendidik dan meluruskan Syakila ke jalan yang benar saja itu sudah membuat saya cukup," jawab papa dengan kewibawaannya.Kemudian wanita itu berpindah ke arahku dan memeluk tubuhku ini. "Dulu kamu yang bisu, lalu Syakila memanfaatkan kamu, tapi dengan berbesar hati kamu memaafkannya. Terima kasih Fika, Ibu yakin jodoh kamu pasti lebih baik dari Danu, sebab jodoh itu cerminan
"Entahlah, Bu, tadi tiba-tiba saja Syakila memegang dadanya, sekarang dokter tengah memeriksa kondisinya," jelasku.Bu Surti menghela napas, ia menurunkan bahunya seketika."Ya Allah, jika memang sudah waktunya, Hamba mohon mudahkan," lirih seorang ibu. Seburuk-buruknya anak, ia tetap darah dagingnya."Semoga Syakila masih diberikan umur panjang, Bu." Aku mencoba menguatkan. "Nanti aku coba titip pesan ke Mas Danu untuk menemui istrinya. Aku boleh pamit ke Jakarta, kan? Ini semua untuk urus cabut laporan," sambungku."Boleh, Nak. Ya Allah, Ibu malah merepotkan kamu, terima kasih banyak," timpal Bu Surti.Sebelum aku berangkat ke Jakarta, sesuai dengan janjiku tadi, untuk meminta Mas Danu menemui Syakila. Namun, ketika aku hendak ke ruangan Mas Danu. Dokter keluar dari ruangan ICU."Dok, gimana anak saya?" Bu Surti dengan cepat menanyakan kondisinya Syakila."Kembali kritis, hilang kesadaran lagi. Kita hanya banyak berdoa aja ya sekarang," ucap dokter sambil menepuk bahu sang ibu. Kemu
Seorang pria berhasil membawa maling tersebut bersama dengan Ari dan Haris. Mereka berdua diseret ke mobil dan diperintahkan masuk olehnya."Udah jebloskan aja ke penjara, kalau sudah berani kabur sih artinya sangat berani," ucap Haris.Kemudian, kami memutuskan untuk membuat laporan ke kantor polisi atas penjambretan tadi. Namun, sebelumnya, aku menghubungi papa melalui pesan singkat untuk sekadar memberikan informasi padanya.[Pah, aku ke kantor polisi ya. Ada jambret tadi.]Setelah mengirimkan pesan, aku duduk kembali ke mobil dan menuju kantor polisi.***Setibanya di kantor polisi dan selesai membuat laporan, pihak kepolisian pun sangat berterima kasih terhadap kami, sebab ternyata orang yang menjambret adalah buronan. Jadi ini justru sangat memudahkan kami juga dalam membuat laporan."Ayo, Fik, pulang!" ajak Haris. "Ri, kami pamit, terima kasih bantuannya, sudah membantu menangkap maling tadi.""Iya, sama-sama. Kalian hati-hati," ucap Ari sembari meninggalkan kami yang masih mem
Kemudian Tante Siska membicarakan perihal dokter yang memanggil Mas Danu dan dirinya. Ia bilang bahwa Syakila menitip pesan pada dokter, bahwa akan mendonorkan matanya untukku.Lagi-lagi ini hal yang tidak masuk akal, Syakila tengah memperjuangkan hidupnya tapi ia malah ingin menyerahkan matanya untukku.Aku terharu mendengarnya, sekaligus ingin menolak apa yang menjadi niat baik Syakila."Maaf Tante aku tolak mentah-mentah, ini tidak adil jika aku menyetujuinya," ucapku dengan tegas.Aku pun meminta apa-apa untuk melarang Tante Siska membujukku. Ini semua demi kebaikan bersama, seharusnya Syakila juga sembuh, bukan malah ingin mendonorkan matanya untukku."Tante paham betul, tapi ini keinginan Syakila," jawab Tante Siska lagi."Aku tolak, Tante," ucapku lagi."Kenapa tolak?" tanya Tante Siska.Aku hanya menggelengkan kepala dan tidak berkomentar apa-apa lagi."Baiklah, tapi Syakila sudah meninggal dunia, Fika," ucap Tante Siska membuatku spontan melotot. Mata ini benar-benar membuka l
Mereka semua berhamburan keluar. Hanya aku yang tersisa di dalam. Papa pun ikut karena aku yang menyuruhnya.Aku merebahkan tubuh sambil menunggu kedatangan mereka. Dalam hati kecil ini berharap ada kabar baik yang dokter katakan pada mereka semua.Kecemasan yang aku alami memang terbilang berlebihan, Syakila bukan siapa-siapa, hanya seorang sahabat yang pernah menghancurkan hidupku. Namun, justru saat ini aku menginginkan dia bisa bertahan hidup.Selang beberapa menit kemudian, papa datang bersama dengan Haris dan Ari. Namun, tidak dengan Tante Siska juga Mas Danu, ia masih menemani Syakila. Setidaknya bukan kabar buruk yang aku terima, sebab tidak ada yang papa ucapkan saat mereka masuk ke dalam ruangan."Kok cepat? Nggak ada sepuluh menit," tanyaku seakan menyecar."Iya, Syakila tadi sadar, dan dokter ingin bicara dengan Danu dan Siska," kata papa sambil menarik kursi lalu duduk di dekatku."Syukurlah, ternyata Syakila masih berjuang untuk hidup," timpalku dengan disertai helaan na
Dikarenakan teriakan Kau sangat kencang, Papa yang tadi berada di luar pun panik dan masuk ke dalam.Begitu juga dengan Haris dan Ari yang masuk mengekor di belakang papa."Ada apa, Fika? Kenapa kamu teriak?" tanya papa."Tadi aku dengar di kamar mandi suara kran mengalir, Pah, Aku takut Coba lihat ke sana!" Aku ketakutan sambil memegang selimut dan meremasnya."Aku akan melihat!" Itu suara Haris ia yang bersedia memantau toilet.Berselang kemudian Haris pun datang. "Nggak ada siapa-siapa dan kran pun masih tertutup." Ucapannya membuatku terdiam.Telingaku ini sudah berfungsi kembali seperti orang normal. Tadi jelas-jelas aku mendengar suara air mengalir dari keran kamar mandi."Mungkin kamu lelah, Fika, lebih baik kamu tidur ya, jangan mikirin macam-macam. Apalagi halusinasi tentang Syakila lagi, doakan aja dia mendapatkan yang terbaik untuk kesembuhannya," pesan papa.Kemungkinan besar halusinasiku ini terjadi karena terlalu takut. Ya, aku merasa sebagai penyebab kehancuran Syakila.
"Tapi, Syakila di ruangan ICU, Fik," ucap Haris."Iya, katanya kritis lagi," susul Ari."Jadi aku halusinasi?" Aku bertanya sambil menutup seluruh wajah dengan kedua telapak tangan."Fika, kamu istirahat ya, jangan sampai cemas berlebihan hingga membuat kamu jadi berpikiran tentang Syakila," tambah papa.Aku terdiam, bukankah ada suaranya tadi? Ya, suara raungan wanita bisu. Aku dapat mengetahuinya, sebab pernah berada di posisi Syakila dulu. "Aku yakin itu Syakila, apa dia ingin bicara denganku?" "Fika, biar aku dan Ari yang lihat kondisi Syakila ya," pesan Haris.Aku mengangguk senang, senyumku melebar ketika ia melakukan hal itu. Sebab, memang dari tadi aku menunggunya menawarkan diri setelah aku suruh.Setelah mereka pergi, aku pun ditemani papa. Ia duduk di sebelahku sambil mengusap lembut jari jemari ini."Kamu itu lelah, kepikiran sana sini, jadilah mikirin Syakila lagi, padahal sudah tidak ada yang perlu kamu cemaskan, dia sudah ditangani oleh dokter, Papa rasa dokter juga p
Aku merasa ini semua tidak adil jika harus kehilangan indera yang sangat penting, yaitu penglihatan. Seandainya mata ini tak bisa melihat dunia, aku pasti merasa orang yang paling buruk sedunia. Sebab, musibah yang ku terima tidak ada ujungnya.Dokter mulai melepaskan perban yang mengelilingi kepala dan mata ini. Kemudian, setelah lilitan terakhir ia menyuruhku untuk membuka mata.Perlahan aku buka mata yang biasa memandang indahnya dunia. Namun, setelah membukanya, aku malah menelan pil pahit. Semua berbayang, bahkan samar-samar. Untuk mengenali wajah papa saja aku tak mampu."Pah, mataku kenapa begini?" Aku bertanya sambil berteriak. Sebab, aku takut salah apakah yang berdiri di sebelahku persis itu papa atau dokter?"Nak, kamu yang sabar. Kamu pasti kuat, dokter bilang masih ada harapan dengan donor mata," ungkap papa.Papa memelukku, kemudian mengelus rambut ini."Kenapa aku tidak pernah merasakan bahagia, Pah? Baru sembuh dan bisa bicara, kini harus menerima kenyataan bahwa matak
Aku tersadar tapi tak bisa membuka mata, sebab saat meraba ternyata mataku dibalut perban. Aku sudah berada di ruangan yang tak terlihat di mana tempatnya. Semuanya gelap, aku bahkan tak melihat satu titik pun lampu yang bersinar. Hanya suara gemericik air dan bunyi alat yang sepertinya aku kenal."Aku di mana? Kenapa gelap? Seingat aku tadi ada yang menabrak dari arah belakang, apakah aku di rumah sakit?"Tiba-tiba terdengar suara riuh yang memanggil satu sama lainnya. "Pasien sadar, pasien sadar!"Aku dengar suara riuh itu, hingga suara hentakan sepatu terdengar menghampiriku. Kemudian dadaku seperti ada yang sentuh. "Tenang ya, Bu, kami hanya ingin memeriksa," ucapnya. Aku paham sekarang, saat ini aku berada di rumah sakit. Sebab, sudah ada suara yang memeriksa. Jadi suara alat yang kudengar adalah alat-alat medis untuk mendeteksi jantung."Dok, kenapa saya tidak bisa melihat Dokter?" tanyaku padanya. "Apa karena diperban?" tambahku lagi."Nanti kita buka perban ya, Bu. Setelah sem
"Pah, katakan apa yang terjadi dengan Syakila? Tadi tuh aku dibayangi dia terus!" Aku terus mendesaknya untuk mengatakan semua padaku."Syakila sudah sadar dan terus meminta bertemu dengan kamu," terang papa.Aku terdiam, lalu mencari tempat duduk. Tadi aku merasakan bertemu dengan Syakila. Itu artinya hanya halusinasi?"Pah, tapi tadi ....""Tadi Fika halusinasi lagi, Pak. Dia bilang bertemu dengan Syakila," serobot Haris. Aku pun menautkan kedua alis seraya tak menyukai atas tindakan Haris yang memotong pembicaraanku."Benarkah itu bukan halusinasi aku merasa seperti nyata," sanggahku.Ari memintaku untuk menekuk air putih kemudian menyuruhku untuk tenang. "Tarik napas Fika, Jangan memikirkan hal yang di luar kendali kita, jalani saja hidup ini Jangan memikirkan sesuatu yang belum kita hadapi," ungkap Ari.Aku terdiam sejenak, kemudian suara panggilan untuk keberangkatan ke Yogyakarta sudah terdengar. Akhirnya kami pun bergegas supaya cepat tiba di rumah sakit dan menemui Syakila.S
Papa terlihat mengaktifkan speakernya. Kemudian meletakkan ponsel miliknya di atas meja."Halo, Wijaya ada apa?" Tante Siska bertanya duluan. "Tadi aku dan Danu lagi bertemu dokter, makanya nggak diangkat," tambah Tante Siska."Oh, gitu. Gimana kondisinya Syakila? Di sini Fika halusinasi terus," ungkap papa pada Tante Siska."Hm, tadi pagi juga dia cerita, tapi entah apa ini firasat dari Fika? Mungkin Syakila minta diikhlaskan gitu segala perbuatannya," celetuk Tante Siska membuat kami seketika saling bertumbuk pandangan."Maksud kamu?""Dokter bilang sudah tidak ada perubahan pada Syakila, hanya keajaiban Tuhan yang akan membantunya, tadi kami berembuk ingin mencopot alat medis, tapi Danu masih ingin keajaiban itu terjadi," ungkap Tante Siska. "Jadi gimana solusinya?" "Aku punya usul, bagaimana kalau Fika diajak ke sini. Bicara di telinga Syakila kalau ia sudah benar-benar memaafkannya," usul Tante Siska.Apa yang dikatakan olehnya ada benarnya juga. Bisa saja aku merasa tidak ten