"Kita jalan kaki saja. Bungalownya dekat, kok," jelas Pras Saat ini kami berdua melangkah bersisian di tepi jalan diantara bungalow-bungalow dengan model bangunan yang berbeda-beda. "Ehm ...Kamu nggak mau gandeng tanganku, humm?" Pras merapatkan tubuhnya denganku. Sesekali lengan dan bahu kami saling bersenggolan saat sedang melangkah. Aku hanya tersenyum tak menjawab pertanyaan Pras. "Serius nggak mau gandengan, nih?" ulangnya sambil meraih jemariku. "Yang mana bungalownya?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan sambil menarik jemariku dan pura-pura menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Itu yang semua lampunya menyala." Pras menunjuk sebuah bungalow yang kurang lebih berjarak duapuluh meter dari tempat kami sekarang. Nampak tiga mobil mewah terparkir di depannya. "Pras, apa mereka nanti nggak berpikir macam-macam tentang kita?" tanyaku yang mulai ragu. "Ya biar saja. Nggak masalah," sahutnya tenang. Aku hanya menghela napas panjang. Kadang aku tidak mengerti dengan apa yang d
"Bik Yati, apa Pangeran bangun?" tanyaku saat wanita paruh baya itu membukakan pintu untuk kami. "Nggak, Non. Tidurnya anteng banget." "Makasih ya, Bik." Wanita itu tersenyum dan mengangguk, kemudian berjalan meninggalkan kami berdua di ruang tamu. Aku hendak berjalan menuju kamar. Namun tangan kokoh Pras meraih lenganku. "Jangan pergi, temani aku di sini!" Aku menghentikan langkahku, lalu duduk di samping Pras. Malam ini sangat dingin dan sepi. Sayup-sayup terdengar suara alunan musik dan karaoke dari salah satu bungalow yang tak jauh dari tempat kami saat ini. Aku memeluk tubuhku sendiri karena dingin. Pras menghela napas panjang beberapa kali. Ia menatapku lekat. "Kenapa?" tanyaku. "Aku minta maaf soal tadi. Aku salah, sudah mengabaikanmu." Pras bicara serius dengan tatapan tak berpindah dari mataku. Aku menghela napas pelan. "Iyaaa, lain kali Aku nggak usah diajak jika kamu ingin berkumpul dengan keluargamu," ujarku pelan. Pras menggeleng. "Tidak. Aku nggak masala
"Yati, Mana Tirta? Apa Dia sudah bangun?" "Tuan Tirta masih tidur, Bu Sarah!" Terdengar suara Bik Yati bicara dengan seseorang. Asisten rumah tangga Pras itu menyebut nama Bu Sarah. Apa tante Sarah datang ke sini? Aku yang baru saja selesai memandikan Pangeran segera keluar sambil mendorong strolernya. "Selamat pagi, Tante!" "Pagi...,loh, ini bayi siapa?" Tante Sarah nampak terkejut saat melihatku dan Pangeran. "Ini anakku, Tante.. Silakan duduk Tante. Mau ketemu Tirta? Kayaknya masih tidur di kamarnya," awabku. "Tirta tidur dimana?" Tante Sarah langsung menerobos masuk melewatiku. Ah, iya. Ini kan memang bungalow mllik keluarga mereka. "Di kamar itu, Tante." Aku menunjuk satu kamar yang berada agak di belakang dan berukuran lebih kecil daripada kamar yang aku tempati. "Kenapa Tirta tidak tidur di kamar utama? Kok malah di kamar tamu? Malah kamu yang enak-enakan tidur di kamar utama yang besar ini. Tirta gimana, sih?" Tiba-tiba Tante Sarah berhenti di depan kamar yang aku te
"Apa Kamu nggak kasihan sama Grace? Dia itu berharap banget tadi kamu akan susul dia ke lapangan tenis." Suara Tante Sarah masih terdengar membujuk Pras. "Maaf, Aku nggak bisa, Tante. Aku sudah janji untuk ajak Sera dan anak-anaknya jalan-jalan siang ini." Aku tak menyangka Pras menjawab seperti itu. Aku yakin, sebentar lagi Tantenya itu akan semakin kesal.dan marah. "Kamu lebih memilih jalan dengan janda dua anak itu dari pada bersama Grace?.Kamu itu bodoh atau bagaimana sih, Tirta? Mau-maunya disuruh-suruh momong anak!" "Maaf, Tante tadi bilang apa? Saya bodoh?" Suara Pras terdengar dingin dan tegas. "Oh, b-bukan begitu maksud tante, tapi ... bagaimana kalau kamu ikut sebentar ke bungalow Tante. Nanti kita bicara disana!" Nada bicara Tante Sarah mulai melunak. Ia tak lagi ngotot seperti tadi "Maaf, Aku tadi sudah bilang kalau Aku nggak bisa, Tante. Pendengaran tante masih bagus kan?.Atau ingatan Tante yang sedang ada gangguan?" Aku terkikik geli mendengar ucapan Pras barusa
"Itu kan Tirta Prasetya yang artis itu!" "Lama nggak muncul tau-tau sudah punya anak aja." Terdengar obrolan para pengunjung restoran yang juga sedang berjalan-jalan disekitar kebun teh ini. "Kemarin gosipnya lagi dekat sama janda. Jangan-jangan jandanya yang cantik itu." "Pantesan aja si Tirtanya mau. Jandanya cantik kayak anak gadis." "Cantik tapi tetap aja Janda. Sayang banget ganteng-ganteng dapetnya Janda!" "Iyaaa, harusnya Tirta itu jodohnya artis lagi atau model terkenal. Ini malah janda. Udah punya anak dua pula." Astaga! Kenapa mereka bicara terang-terangan seperti ini di dekat kami? Kupingku hampir panas rasanya. Aku menggandeng Giska untuk mempercepat langkah kami melewati jalan setapak di kebun teh ini, menuju saung. "Sera, kamu kenapa?" Pras yang masih menggendong Pangeran tiba-tiba menyusulku dan meraih salah satu tanganku. "Lepasin, Pras!' Sontak aku menepis tangan kekarnya, hingga pria itu terkejut. Terdengar hempasan napas kasar dari pria bule yang berjal
"Maaf, permisi, permisi ...!" Aku berusaha menerobos kerumunan para ibu-ibu dan remaja yang sibuk memotret wajah Pras. Cukup sulit melewati para wanita itu. Namun akhirnya aku tiba di hadapan Pras. Pria tersentak melihatku yang sudah berlinang air mata.. "Seraa ...!" "Prass, Giska belum ketemu!" jeritku tanpa sadar. "Bundaaaa! Bunda kenapa nangis?" sontak aku menoleh ke arah suara yang sejak tadi aku rindukan. Astaga! Ternyata Giska ada di samping Pras. Tangan kiri pria bule itu sedang menggenggam erat jemari Giska. Sementara tangan kanannya sedang mengusap-usap pangeran yang mulai mengantuk. Jelas saja aku tadi tak bisa melihat Giska, karena tertutup oleh para wanita yang berebut hendak berfoto bersama Pras.. "Giskaaa, sini, Nak!" Tanpa peduli pada semua mata memandang, Aku meraih putriku dan membawanya menjauh dari kerumunan itu. Tak kuhiraukan panggilan Pras berkali-kali menyebut namaku. Entah kenapa rasanya kesal sekali hati ini. Kenapa Pras tidak mengabariku bahwa ia suda
"Aku ...ingin Kamu!" "Haah? M-maksud Kamu--" Pras menatapku begitu dalam. Wajahnya semakin dekat. "Tuan Tirta, maaf. Ada Bu Sarah dan Non Grace datang." Terdengar suara Bik Yati dari luar kamar. Pintu kamar ini sedikit terbuka. Asisten rumah tangga Pras itu pasti melihat Pras sedang mendekapku. Sontak Pras melepaskan dekapannya secara perlahan. Ia berkali-kali berdecak kesal. "Mau apa lagi sih mereka itu? Ganggu aja!" gerutunya sambil melangkah meninggalkanku yang masih berusaha mengendalikan rasa gugup. Aku terduduk di ranjang. Jantungku berdetak cepat. Napasku memburu. Tatapan Pras tadi begitu berbeda. Ia belum pernah menatapku seperti itu. Satu tanganku menekan dada yang masih berdebar-debar. Setelah sedikit tenang, Aku beranjak hendak keluar kamar. Ketegangan yang baru saja kurasakan membuat tenggorokanku kering dan merasa haus. Samar-samar Aku mendengar perdebatan antara Pras dan Tante Sarah. Aku melangkah ke dapur hendak minum. Setelah meneguk segelas air putih, aku ke
"Kamu meeting nanti jam berapa?" Pras bertanya sambil menyetir mobil. Pagi ini jalanan belum terlalu macet. Setelah subuh tadi, kami langsung berangkat kembali menuju Jakarta. "Setelah makan siang. Meetingnya di kantorku, kok." jawabku sambil memberi Asi botol pada Pangeran. "Nanti biar Aku temani!" "Eh, nggak usah, Pras! Kamu sudah terlalu lama meninggalkan perusahaanmu. Mulai sekarang perusahaan Arief biar aku yang handle. Jika nanti Aku membutuhkanmu, Aku pasti akan hubungi Kamu." Aku tidak mengatakan pada Pras bahwa yang akan meeting denganku nanti siang bernama Roy dan Levin. Aku juga tidak mau melibatkan Pras disini. Perlahan-lahan Aku harus terbiasa tanpa bantuan pria ini. Dia tak akan selamanya berada diantara Aku dan anak-anak. Tante Sarah pasti akan mencarikan wanita yang memang pantas untuk pria tampan dan mapan sepertinya. "Sera, kenapa melamun? itu Pangeran susunya sudah habis." Astaga! Kenapa Aku sampai lalai begini? Sejak Tamte Sarah datang ke Bungalow kemarin, A
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.