Kira-kira Giska kemana ya? Ada yang bisa nebak? oh ya, sambil nunggu bab berikutnya, baca juga : Cinta yang Disadari Usai Bercerai beneran bikin baper. Siapin tissue!
"Maaf, permisi, permisi ...!" Aku berusaha menerobos kerumunan para ibu-ibu dan remaja yang sibuk memotret wajah Pras. Cukup sulit melewati para wanita itu. Namun akhirnya aku tiba di hadapan Pras. Pria tersentak melihatku yang sudah berlinang air mata.. "Seraa ...!" "Prass, Giska belum ketemu!" jeritku tanpa sadar. "Bundaaaa! Bunda kenapa nangis?" sontak aku menoleh ke arah suara yang sejak tadi aku rindukan. Astaga! Ternyata Giska ada di samping Pras. Tangan kiri pria bule itu sedang menggenggam erat jemari Giska. Sementara tangan kanannya sedang mengusap-usap pangeran yang mulai mengantuk. Jelas saja aku tadi tak bisa melihat Giska, karena tertutup oleh para wanita yang berebut hendak berfoto bersama Pras.. "Giskaaa, sini, Nak!" Tanpa peduli pada semua mata memandang, Aku meraih putriku dan membawanya menjauh dari kerumunan itu. Tak kuhiraukan panggilan Pras berkali-kali menyebut namaku. Entah kenapa rasanya kesal sekali hati ini. Kenapa Pras tidak mengabariku bahwa ia suda
"Aku ...ingin Kamu!" "Haah? M-maksud Kamu--" Pras menatapku begitu dalam. Wajahnya semakin dekat. "Tuan Tirta, maaf. Ada Bu Sarah dan Non Grace datang." Terdengar suara Bik Yati dari luar kamar. Pintu kamar ini sedikit terbuka. Asisten rumah tangga Pras itu pasti melihat Pras sedang mendekapku. Sontak Pras melepaskan dekapannya secara perlahan. Ia berkali-kali berdecak kesal. "Mau apa lagi sih mereka itu? Ganggu aja!" gerutunya sambil melangkah meninggalkanku yang masih berusaha mengendalikan rasa gugup. Aku terduduk di ranjang. Jantungku berdetak cepat. Napasku memburu. Tatapan Pras tadi begitu berbeda. Ia belum pernah menatapku seperti itu. Satu tanganku menekan dada yang masih berdebar-debar. Setelah sedikit tenang, Aku beranjak hendak keluar kamar. Ketegangan yang baru saja kurasakan membuat tenggorokanku kering dan merasa haus. Samar-samar Aku mendengar perdebatan antara Pras dan Tante Sarah. Aku melangkah ke dapur hendak minum. Setelah meneguk segelas air putih, aku ke
"Kamu meeting nanti jam berapa?" Pras bertanya sambil menyetir mobil. Pagi ini jalanan belum terlalu macet. Setelah subuh tadi, kami langsung berangkat kembali menuju Jakarta. "Setelah makan siang. Meetingnya di kantorku, kok." jawabku sambil memberi Asi botol pada Pangeran. "Nanti biar Aku temani!" "Eh, nggak usah, Pras! Kamu sudah terlalu lama meninggalkan perusahaanmu. Mulai sekarang perusahaan Arief biar aku yang handle. Jika nanti Aku membutuhkanmu, Aku pasti akan hubungi Kamu." Aku tidak mengatakan pada Pras bahwa yang akan meeting denganku nanti siang bernama Roy dan Levin. Aku juga tidak mau melibatkan Pras disini. Perlahan-lahan Aku harus terbiasa tanpa bantuan pria ini. Dia tak akan selamanya berada diantara Aku dan anak-anak. Tante Sarah pasti akan mencarikan wanita yang memang pantas untuk pria tampan dan mapan sepertinya. "Sera, kenapa melamun? itu Pangeran susunya sudah habis." Astaga! Kenapa Aku sampai lalai begini? Sejak Tamte Sarah datang ke Bungalow kemarin, A
"Loh, Sera?" Levin sangat terkejut melihatku. Pria dengan warna kulit sawo matang dan sedikit gemuk itu menatapku tak percaya. "Levin? Ternyata beneran kamu, Pak Levin CEO PT. Abadi Jaya." Aku pun memandangnya intens, Levin jauh berbeda dengan selan jas berwarna krem serta dasi coklat tua yang menggantung di kemejanya. Levin pun berkali-kali menatapku dari bawah hingga ke atas. Mungkin ia juga mellihat penampilanku yang berbeda kali ini..Hari ini aku memakai pakaian formal stelan rok panjang dan blazer. Tidak seperti kemarin di puncak, memakai kemeja panjang dan celana jeans. "Sebenarnya sejak kemarin aku sudah menduga--duga, ketika Keanu mengatakan perwakilan PT Abadi Jaya bernama Pak Levin dan Pak Roy," ujarku dengan mengulas senyum. Kami tertawa karena pertemuan yang cukup mengejutkan ini."Silakan duduk, Pak Levin!" "Terina kasih." sahut pria berjambang tebal itu.. "Sebenarnya perusahaan ini adalah perusahaan keluarga. Aku dan Mas Roy yang mengelola," jelasnya. Aku mengan
"Aku dan Pras tidak punya hubungan khusus. Kami hanya berteman baik. Almarhum suamiku menitipkan Aku dan anak-anak sebelum ia meninggal. Mungkin karena itu Pras merasa bertanggung jawab pada kami." Aku menjawab pertanyaan Levin setelah berpikir beberapa saat. Tampak senyum mengembang dari pria yang katanya mirip artis brazil itu. "Syukurlah. Aku pikir kalian sepasang kekasih. Karena aku lihat tatapan Tirta padamu berbeda." Aku hanya tertawa lirih mendengar pendapat Levin. Sebenarnya Aku pun merasakan hal yang sama pada tatapan mata Pras. Debaran-debaran yang sering aku rasakan, membuatku tak mengerti dengan perasaanku sendiri. "Hey, kok melamun?.Ayo dihabiskan makannya!" Aku tersentak. Kenapa Aku malah melamunkan Pras? "Kak Sarah berniat akan menjodohkan Tirta dengan Grace, keponakanku. Jika dia memang tidak ada hubungan khusus denganmu, akan lebih mudah kami untuk mendekatkan mereka." Entah kenapa ada sesuatu yang berdenyut nyeri di dalam dadaku saat mendengar kalimat yang d
"Ra ... Sera ... !" Pria itu spontan berdiri ketika melihatku datang. Begitu juga dengan Pak Yono.. "Maafkan Saya Bu Sera. Saya sudah berusaha meminta Dido untuk pergi. Tapi dia bersikeras mau nunggu Bu Sera di sini." Pak Yono tertunduk karena merasa bersalah. "Di-dido ...Lo ... Lo udah ... bebas?" Napasku tersengal, ucapanku terbata-bata. Mungkin aku masih merasa trauma mengingat sesuatu yang pernah terjadi antara aku dan Dido. "Ra ... Gue minta maaf. Gue benar-benar menyesal!" Tiba-tiba Dido berlutut di depanku. Bahunya bergetar. Dia menangis. "Kapan Lo bebas?" Aku mulai bisa menguasai diri. Bagaimanapun juga Aku kenal Dido sejak SMA. Waktu kejadian itu aku seperti tidak mengenal dirinya sama sekali. "Gue baru bebas kemarin, Ra. Gue langsung ke sini. Selama di penjara gue benar-benar menyesal. Tolong maafin Gue, Ra!" Dido masih terus bersujud di depanku.. "Bangun, Do!" "Nggak, Gue nggak akan bangun sebelum Lo maafin Gue!" Dido semakin tergugu di depanku. "Bangun , Gue bilang!
"Prass, tolong tahan emosimu!" Aku berteriak saat tiba-tiba Pras menghampiri Dido dan mencengkeram kaos lusuh yang sedang dikenakan pria kurus itu. "Ampun Tuan Tirta! Aku mohon! Aku ke sini hanya ingin minta maaf!" Dido berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan kekar Tirta. Wajah Dido.memucat. Tubuhnya gemetar. "Prass, Aku mohon tahan emosimu!" Aku terpaksa mendekati Pras yang wajahnya sudah merah padam sejak tadi. Aku khawatir Pras tak bisa mengendalikam emosinya. Tubuh Pras jauh lebih besar dari pada Dido. "Pras, sudah! Dia nggak ngapa-ngapain, kok. Cuma mau minta maaf sama Aku." Aku terus mencoba membujuk Pras sambil mencengkeram jasnya. Perlahan Pras melepaskan Dido. Namun sorot matanya masih menatap tajam dan sengit pada pria kurus yang penampilannya nampak jauh berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Pria kurus itu tertunduk dengan tubuh gemetar.. "Dido, sebaiknya Lo pergi dari sini sekarang!" pintaku. "Tapi bagaimana mengenai‐-" "Nanti Gue kabarin lewat Pak Yono
Tirta Prasetya "Sera, Sera! Buka pintunya! Aku minta maaf! Aku tidak bermaksud untuk membentakmu! Sera, please ...!" Masih tak ada jawaban dari dalam. Pintu kamar Pangeran pun terkunci. Sera pasti sangat kecewa padaku. Entah kenapa tadi aku begitu marah sampai bicara dengan nada kasar padanya? Astaga! Bodohnya Aku! Cemburu. Ya, semua ini karena aku terlalu merasa cemburu. Aku cemburu melihat Sera bersama pria lain. Aku melangkah menuju sofa yang berada tak jauh dari kamar Sera. Aku akan menunggunya disini hingga dia keluar dari kamarnya. Seketika aku teringat dengan kejadian beberapa jam yang lalu. Mataku membelalak saat melihat foto Sera dan Levin di sebuah akun media sosial dengan caption betuliskan 'wanita yang dikabarkan sedang dekat dengan Tirta Prasetya, ternyata juga dekat dengan seorang pengusaha.' Saat itu, mendadak hatiku memanas. Kedua tanganku mengepal. Pantas saja dia tidak mau Aku temani meeting. Kembali Aku memandang foto mereka berdua. Rasanya tidak rela meliha
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.