"Astaga ... Seraaa ...!" Pras langsung menghampiri Sera yang tertidur pulas dalam keadaan miring, saat sedang menyusui bayi mereka. Perlahan ia meraih Baby Raja yang juga sudah tertidur pulas. Namun, pandangan mata Pras tertuju pada sesuatu yang sudah lama ia rindukan. Dengan sangat perlahan Pras memindahkan Raja ke dalam box bayi, agar bayi lucu itu tidak terbangun. Setelahnya, netra Pras kembali melirik pada bagian tubuh Sera yang paling favorite baginya. Ia menatap pemandangan indah itu cukup lama. Ingin rasanya menyentuh, namun ia khawatir Sera akan terjaga dan marah padanya. "Sayang, aku kangen. Kangen banget," desis Pras pelan. Akhirnya ia memilih menutup seluruh tubuh Sera dengan selimut. Dadanya berdegup cukup kencang saat begitu dekat dengan istrinya itu. Lagi-lagi pandangan netranya jatuh pada pemandangan itu dalam waktu beberapa detik. "Mau apa kamu?" Pras nyaris terlonjak. Ternyata Sera tiba-tiba membuka matanya bersamaan dengan gerakan tangan Pras hendak meraih selimu
"Kita sudah sampai. Hari ini Giska libur. Berarti semuanya ada di rumah," bisik Pras yang duduk tepat di samping Serani. "Ini ... rumah kita?" Sera tercengang melihat rumah yang begitu besar dan mewah, ketika mobil baru saja memasuki pintu gerbang. "Prasss ... aku gugup!" desis Sera. Tanpa sadar satu tangannya meremas kuat lengan Pras yang ada di dekatnya. "Tenanglah, Sayang. Semua pasti akan baik-baik saja." Pras mencoba untuk menghibur. Seorang baby sitter tergopoh-gopoh menghampiri dan membuka pintu mobil, lalu meraih baby Raja dari pangkuan Sera. Namun, Sera tampak ragu untuk menyerahkan bayinya pada sang baby sitter. "Bu Sera, bayinya biar sama saya," pinta sang baby sitter yang sudah lama bekerja dengan Serani sebelumnya. Melihat itu Pras buru-buru menghampiri dan menjelaskan perlahan. "Sayang, ini baby sitter yang biasa mengurus pangeran sejak bayi. Jadi, kamu tidak perlu khawatir. Dia akan membantu kamu untuk merawat Baby Raja." Sera mengangguk, lalu tanpa bicara lagi
"S-siapa wanita itu, Pras? Serani memandang wanita itu dengan tatapan bingung. Namun entah kenapa tiba-tiba saja timbul rasa sedih yang menyusup di hatinya, ketika melihat anak-anaknya sangat akrab dengan wanita cantik yang begitu nampak anggun dan lembut. " Elena ... sejak kapan di sini?" gumam Pras sangat pelan. Pria bule itu tertegun melihat kedua anaknya begitu dekat dengan Elena. " Siapa wanita itu Pras?" tanya Sera lagi. Hati wanita itu bertambah nyeri melihat kedekatan kedua anaknya dengan wanita cantik itu. Bahkan mereka sampai tidak menyadari kehadiran Serani dan Pras. "Dia ... dia ... temanku, eh maksudku ... teman kita. Kamu juga mengenalnya sebelum ini. Namanya ... Elena," jawab Pras pelan sambil menunduk, mendekatkan bibirnya ke telinga Sera. "Oh ...," lirih Serani singkat. Sekian detik kemudian, Elena menoleh pada Serani dan Pras yang ada di dekat pintu. "Seraaa ... Praas!" Seketika Elena berdiri, sementara Giska dan Pangeran masih bergelayut pada kedua tangan Ele
"Astagaa ...! Kenapa ada wanita di ranjang ini?" Netra Arnold membelalak melihat seorang wanita dengan rambut panjang tergerai memakai dress berwarna marun sedang tertidur pulas. Perlahan Arnold memperhatikan wajah tertutup rambut itu. Lalu ia mendekat. Tangannya terulur menepis helaian rambut yang menutupi sebagian wajah putih itu. "Idaa ...." desis Arnold, lalu melangkah mundur. Ia memutuskan untuk memutar tubuhnya hendak keluar dari kamar itu. "Abaang ...." Langkah Arnold terhenti ketika suara Ida memanggilnya. "Abang mau kemana? Di luar masih banyak sanak saudara. Kalau Abang tidur di kamar lain, Apa kata mereka nanti?" Ida yang ternyata belum nyenyak langsung duduk di tepi ranjang. Arnold berpikir sejenak. Benar apa yang dikatakan Ida. Bapak dan Mamaknya akan digunjingkan orang sekampung nantinya. Arnold kembali memutar tubuhnya. "Ya, aku akan tidur di sini." Ida mengangguk lalu bangkit dari ranjang. "Hei, kamu mau kemana?" tanya Arnold heran. Ia melihat Ida turun memba
"Kenapa cepat sekali kalian kembali ke Jakarta?" Sejak pagi tadi Dewi terus protes. Saat sarapan, Arnold dan Ida baru mengatakan bahwa mereka akan kembali ke Jakarta siang itu juga. "Sudah kubilang, pekerjaanku banyak, Mak," sahut Arnold untuk kesekian kalinya. "Maak, nanti kalau ada waktu kami pulang lagi ke sini. Abang punya tanggung jawab sama pekerjaannya." Ida berusaha memberi pengertian pada ibu mertuanya. Mendengar penjelasan lemah lembut dari Ida, Dewi pun mengangguk. "Baiklah. Tapi kalian janji, ya! Jangan menunda-nunda kehamilan. Pokoknya kalau kalian pulang lagi, Ida harus sudah hamil!" Dewi bicara sambil melotot pada Arnold. Namun putranya itu tak acuh dan pura-pura tak mendengar. Melihat itu Dewi geleng-geleng dengan wajah geram. "Sudahlah, Mak! Baru dua hari yang lalu mereka menikah, sudah cucu pula yang kau bicarakan!" Fredi akhirnya menegur istrinya yang sejak jadi ribut di meja makan. Hal itu membuat Dewi semakin kesal. Ia tidak lagi membahas tentang cucu hingga a
"Aku ingin segera punya anak, Sayang. Anak dari kamu!" Bisikan Arnold membuat wajah Elena menegang. Ia hanya mampu memberikan senyum tipisnya. Elena tak kuasa menjawab. Kegiatan percintaan mereka malam itu berakhir dengan rasa lelah yang mendera. Terutama Arnold yang belum sempat istirahat sejak tiba di Jakarta. Pria bertubuh tinggi tegap itu tertidur pulas di samping Elena. Arnold tidak menyadari adanya kegelisahan pada istrinya itu karena bisikannya tadi. Elena masih melamun. Ia kesulitan untuk bisa tertidur nyenyak. Kata-kata Arnold tentang anak terus terpikirkan olehnya. "Jika aku berterus-terang, apa Arnold masih akan mencintaiku seperti ini? Bagaimaja jika dia malah meninggalkanku?" Elena memiringkan tubuh polosnya hingga memunggungi Arnold. Dadanya bergemuruh. Ia tidak bisa membayangkan seperti apa dirinya jika Arnold meninggalkannya. Ia sudah sangat jatuh cinta pada suaminya itu. Elena geleng-geleng kepala. Sepertinya ia belum siap jika itu terjadi. Ia harus mencari cara
"Seraaa ... Seraaa ...!" Pras menepuk-nepuk pipi Sera pelan. Ia berusaha untuk tenang, meski rasa cemas semakin menguasai dirinya. Beberapa lembar tissue ia raih dari atas nakas, lalu tangan kekarnya mulai membersihkan bagian wajah Sera yang terkena darah. Pras menghela napas lega karena darah itu tidak lagi mengalir. Sera pun mulai bergerak. Perlahan Pras membalikkan tubuh Serani hingga posisinya terlentang. Ia menyelimuti tubuh Serani yang hanya berbalut selehai handuk. "Hhhh ... " Terdengar rintihan Serani meski matanya masih terpejam. "Sera ... Sayang. Kamu sadar, kan?" "Praaas ... aku pusing. Dingiiin ... peluk aku!" Pras terkejut. "Sera minta peluk?" pikirnya dalam hati. Sejak istrinya lupa ingatan, mereka jarang sekali bersentuhan apalagi berpelukan. "Iy-iyaaa. Sini Sayang, sini aku peluk!" Pras meraih tubuh sang istri dan memeluknya erat dengan rasa penuh rindu. Entah berapa lama ia tidak memeluk tubuh wanita yang ia cintai itu. Sejak Sera lupa ingatan, Pras selalu beru
"Ada urusan apa kamu dengan istriku?" Agung nyaris terlonjak hingga ia spontan membalikkan badan karena terkejut. "Mmm-maaf, Pak Tirta! S-saya ... hanya melihat ada yang lain dari Sera ... eh, Bu Sera ...." Pras menghempas napas kasar. Kemudian melangkah menuju teras." Ayo ikut aku!" Agung bergegas mengikuti langkah Pras. Sebelum beranjak, ia kembali mengerling pada Serani yang ternyata masih tak mempedulikannya. Hati Agung sempat mencelos. Padahal beberapa hari sebelumnya ia sempat membayangkan akan kembali dekat dengan mantan istrinya itu. Bahkan setiap malam ia sering melamunkan Serani tanpa sepengetahuan Yuyun. "Ya sudah. Mana laporannya?" Setelah duduk di kursi teras, Pras meminta laporan yang tadi dibawa Agung. Mereka berbincang cukup serius. Pras cukup lega karena hasil kerja Agung bisa diandalkan. Ia mulai terbantu dengan adanya Agung yang bekerja menjadi asistennnya. Ia akan fokus mengurus Sera di luar jadwal syuting. Setelah makan, Sera menghampiri Baby Raja di kamar
Wajah Arnold dan Elena menegang melihat sang dokter berdiri di ambang pintu. "Bagaimana, Dok?" Elena pun tak sabar mendengar kondisi Ida dan bayinya. "Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan dan sehat," ujar dokter wanita itu hingga Arnold dan Elena bernapas lega untuk sesaat. Namun wajah sepasang suami istri itu masih cemas karena belum mendengar bagaimana kondisi Ida. "Bagaimana kondisi ibunya, Dok?" tanya Arnold gemetar. "Bapak suaminya?" Sang dokter memandang intens pada Arnold. "Iy-iyyaa, Dok." Arnold tergagap merasa bersalah karena tidak pernah menemani Ida periksa ke rumah sakit. "Pak, kondisi Bu Ida saat ini ... kritis. Pendarahannya masih berusaha kita hentikan. Mohon bantu doa!" Arnold terhenyak setelah mendengar ucapan dokter. Ia tidak bisa bicara apapun hingga dokter itu berbalik meninggalkan dia dan Elena di ruang tunggu. "Ya Tuhan, suami macam apa aku ini. Elena ... Elena ... Ida kritis. Aku harus bagaimana?" Arnold mengguncang-guncangkan tubuh Elena. Ia tampak frus
"Ida, kamu baik-baik saja, kan? Apa Arnold mengurusmu dengan baik?" Tanya Elena panik ketika Ida menghubunginya. Suara Ida terdengar serak dan parau hingga Elena merasa khawatir. "Kak, kapan kak Elena kembali ke Indonesia? Aku ingin Kak Elena ada di sini saat aku melahirkan." "Loh, memangnya Arnold kemana? Apa dia masih nggak peduli sama kamu?" Elena makin cemas. Selama ini ia memang jarang sekali menerima panggilan dari Arnold, kecuali ada masalah kantor yang harus mereka bicarakan. "Bang Arnold ... katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya, Kak." Elena menghela napas kasar. Dari suara Ida yang ia dengar, ia mendugaa adik madunya itu sedang dalam masalah. Tapi sepertinya wanita yang sedang hamil tua itu masih menutupinya. "Baiklah, Ida. Aku akan selesaikan pekerjaanku di sini. Aku usahakan secepatnya kembali sebelum kamu melahirkan. Kamu dan bayimu harus sehat, oke?" "Terima kasih, Kak. Terima kasih!" Setelah menutup panggilan dari Ida, Elena mengirim pesan pada Arnold agar su
Serani kembali memekik saat tiba-tiba saja tubuhnya telah melayang karana diangkat oleh Pras. Kedua tangan kokoh suaminya itu menggendongnya ala bridal menuju sebuah ranjang berukuran sangat luas. Ranjang cantik itu dikelilingi kelambu tipis namun indah, serta taburan kelopak bunga mawar yang mengeluarkan aroma harum semerbak pada kamar itu. "Dokter bilang, kita sudah boleh ..., ehm jadi ... boleh, kan?" Pras membaringkan tubuh Serani perlahan di atas pembaringan yang begitu mewah dan nyaman. Sera tersenyum dengan wajah bersemu kemerahan saat pras sudah berada di atasnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya. "Aku juga rindu, Pras!" Wanita cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Pras, hingga pria itu tak lagi bisa menunggu. Ia pun mulai memberikan kecupan demi kecupan pada wajah Serani. Hingga kecupan itu berlanjut menjadi lumatan dan sesapan pada bibir Sera yang telah membuatnya candu. Entah siapa yang memulainya lebih dulu, beberapa menit kemudian keduanya telah mele
"Sayang, sudah bangun?" Pras membelai wajah Sera. Istrinya itu mengerjap karena baru saja terjaga dari tidurnya. Sera memiringkan tubuhnya menghadap pada Pras. "Sudah pukul berapa, Pras?" "Pukul enam pagi. Kita jadi ke kantor, kan hari ini? Sera pun bangkit. "Tentu, Pras. Kamu juga mulai ke kantor, kan?" "Ya, Sayang. Oh ya, bagaiman stok ASI baby Raja? Apa sudah cukup?" "Lebih dari cukup," sahut Sera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Diam-diam Pras menyusul Sera ke kamar mandi yang ternyata memang tidak dikunci. Sera sepertinya lupa, karena sejak setelah melahirkan Raja, Sera selalu tak lupa mengunci pintu. "Praaass ...!" Sera memekik melihat Pras sudah berdiri di belakangnya, sementara ia baru saja melepaskan seluruh pakaiannya. Jantung Pras berdebar melihat tubuh polos istrinya yang hampir dua bulan tidak ia sentuh. Pagi ini Pras memberanikan diri mendekati Sera setelah sore kemarin dokter mengatakan bahwa Sera telah pulih. Istrinya itu juga telah melewati mas
"Abang, kita pulang sekarang?" Ida duduk di atas brankar. Jarum infus di tangannya baru saja dilepas. Wajah wanita itu masih terlihat pucat. "Sebentar!" Jawaban singkat dan tanpa menoleh dari Arnold lagi-lagi membuat Ida harus menarik napas panjang, guna menghalau rasa nyeri yang terus menderanya. Sejak kepergian Elena tadi, Ida melihat Arnold bolak balik mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia menduga. Arnold mencoba menghubungi Elena tapi wanita itu tidak mengangkatnya. Ida hanya diam menunggu Arnold yang masih mondar-mandir di depannya. Tiur yang berjanji akan datang lagi ternyata tidak jadi kembali. "Ya sudah, ayo kita pulang. Kamu bisa jalan, kan?" Arnold hanya memandangi Ida yang sedang berusaha turun dari brankar dengan tubuh yang lemah. "Permisi, Bu Ida pakai kursi roda ini saja. Tubuhnya masih sangat lemah." Seorang petugas UGD menyodorkan sebuah kursi roda. Ida yang sudah berdiri di tepi brankar perlahan duduk di kursi roda itu. Lalu petugas itu mendorong kurs
"Ya, Sekali lagi selamat atas kehamilan istri Bapak. Sore ini pasien boleh pulang setelah hasil observasi bagus." Arnold hanya mengangguk mendengar penjelasan dokter. Ia masih terdiam hingga dokter yang memeriksa Ida kembali ke ruangannya. Apa yang barusan ia dengar sungguh diluar dugaannya. "B-baang. Apa Abang tidak suka aku hamil?" tanya Ida dengan suara parau. Dadanya sesak karena tidak menemukan sedikitpun kebahagian di wajah Arnold setelah mendengar kehamilannya. Ia justru melihat Arnold bingung dan terkejut. Ida mencoba menekan rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan. "Apa karena bukan Kak Elena yang hamil?" tanya Ida lagi. Kali ini ia berusaha lebih kuat untuk mendengar jawaban dari Arnold. "Sudahlah, jangan pikir macam-macam. Mamak dan bapak pasti senang. Aku ke depan dulu." Arnol pun meninggalkan Ida menuju ruang tunggu yang berada di depan UGD. "Hanya mamak dan bapak yang senang. Bang Arnold tidak." Ida menekan dadanya yang terasa penuh sesak. Berusaha agar air matanya tid
Diego memeluk Corri dengan erat. Hatinya sungguh lega. Trauma yang berbeda diantara keduanya kini telah berhasil mereka kalahkan. Demikian juga dengan Corri. Sejak ia rutin ke psikiater secara diam-diam sebulan setelah menikah dengan Diego, perlahan trauma masa lalu yang ia rasakan hilang. Wanita cantik dengan rambut kemerahan itu mulai bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan setelah beberapa bulan melakukan pengobatan. Namun ia enggan untuk berterus terang pada Diego. Ia pun merasa gengsi jika ingin memulai lebih dulu atau pun meminta Diego tidak lagi meninggalkannya di ranjang. "Mau kemana, Sayang?" Corri mencengkeram erat lengan kokoh suaminya ketika suatu malam mereka sedang saling bercumbu. Namun Diego tetap bangkit dan meninggalkannya. "Maaf, Corri. A-aku tidak bisaaa ..." Corri tersentak menerima penolakan dari Suaminya. Entah kenapa Diego terus memilih menuntaskan hasratnya di kamar mandi. "Apa aku harus terus terang bahwa aku sudah sembuh? Bukankah seharusnya dia
"Kenapa buru-buru sekali, Bang? Bukannya abang akan tiga hari di rumah ini?" Ida sejak tadi memperhatikan Arnold yang makan terburu-buru. Suaminya itu tak ada bicara lagi setelah keluar dari kamar. Kata-kata mesra atau perlakuan manis yang seharusnya ada pada pasangan pengantin baru, sama sekali tidak dirasakan oleh Ida. Bahkan Arnold seolah telah melupakan kejadian semalam. Arnold tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kepalanya sesaat menoleh pada Ida yang duduk di depannya. Beberapa menit kemudian pria itu bangkit dan meraih kunci mobil di meja. "Aku pergi. Tak usah menungguku!" Tanpa menunggu jawaban dari Ida, Arnold terus melangkah terburu-buru menuju mobilnya.Ia hanya melirik sekilas pada Ida yang sedang menatap kepergiannya dengan wajah tak terbaca. Namun Arnold tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah Elena. Ia merasa bersalah dengan istri pertamanya itu. "Elena, maafkan aku. Ya Tuhan. Apa yang aku lakukan semalam? Bagaimana jika Ida benar-benar hamil? Aku akan
Ida masih terisak dengan posisi memunggungi Arnold. Wanita itu masih terbaring menahan rasa sakit. Bukan hanya sakit fisiknya. Namun hatinya pun sakit. Tanpa sadar Arnold menyebut nama Elena di akhir aktifitas panasnya. Hal itu menjadikan sakit Ida terasa hingga berlipat-lipat. Arnold langsung tertidur kelelahan di samping Ida. Pria itu merasa lega karena hasratnya sejak pagi tadi akhirnya tersalurkan. Walau sebenarnya Elena yang ia inginkan, namun Ida tetap halal untuknya. Setelah lelah menangis, Ida pun mencoba bangkit hendak membersihkan diri. Perlahan ia duduk di tepi ranjang, meraih pakaiannya, lalu memakainya kembali. Ia teringat permintaan ibu mertuanya tadi pagi. Dewi menghubunginya dan bicara lewat ponsel. "Ida, kamu harus hamil secepatnya! Kami tau Arnold belum menyentuhmu. Kamu harus bisa buat dia menidurimu,!" Ucapan Dewi ditelepon siang tadi mengejutkan Ida. "Mamak ... tahu dari mana ... kalau aku belum di ... sen ... tuh?" tanya Ida terbata. "Kami ini sudah tua.