"Tidak apa-apa, asal yakin dan tekun, semua pasti akan berhasil. Om saja juga dulu memulai semuanya dari nol.""Wah, Papa ini seperti petugas spbu saja ya, pakai mulai dari nol segala," celoteh wanita yang rambutnya di potong pendek di atas bahu itu. Mama Mas Rafi masih terlihat awet muda, padahal usianya sudah hampir setengah abad. Mungkin karena rajin perawatan dan tidak pernah melakukan pekerjaan kasar. Suasana seketika mencair. Ternyata mereka sangat ramah dan tidak kaku. Perasaan takut yang tadi menyelimuti, seketika mulai pudar. Apalagi Papanya Mas Rafi juga banyak memberikan masukan-masukan tentang bagaimana cara berbisnis yang baik. Pantas saja Mas Rafi juga ikut sukses mengelola bisnisnya sendiri, ternyata hal itu diwariskan dari Papanya. Padahal seharusnya Mas Rafi tidak perlu repot-repot melakukan itu. Bukankah dia itu putra satu-satunya dari pasangan yang terlihat romantis itu? Toh seluruh perusahaan juga pasti diwariskan kepadanya. Sungguh Mas Rafi benar-benar pria ya
Hari-hari yang kini kulalui semakin berwarna. Ada Alta dan Mas Rafi yang selalu menghibur kala lelah menghampiri. Toko juga semakin ramai pengunjungnya. Aku dan juga orang tuaku semakin sibuk. Apalagi kini aku juga sudah membeli ruko sebelah dan membuat tokoku jadi lebih luas lagi.Mas Ilham kini sudah dijatuhi hukuman penjara. Dari kabar yang kudengar, tuntutannya diringankan dan hanya menjalani satu tahun penjara. Tentu saja lagi-lagi Mas Rafi menukarnya dengan sesuatu. Viona kembali melamar pekerjaan di kantornya Mas Rafi. Tentu saja aku mencak-mencak dan tidak menginjinkannya. Mas Rafi begitu senang karena sekarang aku mau membuka diri dan jujur tentang bagaimana sikapku. Baik dengan mengungkapkan rasa rindu dan juga cemburu. "Permisi saya mau pesan kue," seorang pria muncul di hadapanku saat aku asik berbalas pesan dengan Mas Rafi. "Oh, boleh, Pak. Buat ulang tahun?" tanyaku. "Bukan, saya mau mengadakan syukuran. Jadi mau pesan kira-kira seratus pack.""Oh, bisa, Pak. Untuk k
"Kapan kamu menikah dengan Mas Rafi, Nay?" tanya Ratna saat kujemput dia setelah menjemput Alta. Rencananya hari ini kami akan jalan-jalan ke mall. "Apa-apaan sih, kamu Rat. Aku belum kepikiran sampai ke situ. Masih ingin berkarir," ketusku. "Cie... Sudah jadi wanita karir dong ya sekarang?""Iya, dong. Kan berkat kamu juga.""Alta setuju tidak, kalau Bunda menikah sama Om Rafi?" Ratna ikut menggoda Alta. "Om Rafi baik, Tante. Om Rafi juga sayang sama Alta.""Wah, ternyata Mas Rafi memang idola semua keluarga kamu ya, Nay. Baik Bapak, Ibu, maupun Alta. Tidak sia-sia dia berusaha mendekati kamu selama ini.""Kamu bisa saja, Rat. Mas Rafi kan memang baik sama semua orang.""Iya, kecuali Mas Ilham sama Viona," serunya. Kulirik Alta tertunduk, entah bagaimana perasaannya saat ini. Ratna juga pasti tidak sengaja dan hanya keceplosan membicarakan Ayah dan Ibu tirinya.Namun wajahnya kembali ceria setelah kami mengajaknya berbelanja dan juga makan es krim. Hari hampir sore, aku kembali m
'Di sini menunggu malam lama sekali. Di sana sudah malam belum?' dia kembali membalas pesan. Aku kembali tertawa membaca pesannya. 'Di toko sama di kantor bedanya apa, Mas?' balasku.'Di kantor tidak kamu. Jamnya tidak mau bergerak.''Dih, gombal.''Memang begitu, kok. Mas saja sudah bosan berada di sini.''Kalau kelamaan menunggu malam, Mas bisa datang sekarang, kok.''Benar boleh? Nay tidak sedang sibuk?''Dih, semangatnya. Cuman bercanda, Mas Rafi. Sebentar lagi Nay mau bantuin Ibu membuat kue. Kan lagi banyak pesanan.''Makanya cepat-cepat cari karyawan lagi. Biar kamu dan Ibuk tidak usah repot-repot lagi di dapur.''Mau sebanyak apapun karyawan, mana mau Ibu beranjak dari dapur. Inikan impian kami yang baru terwujud. Jadi, Ibu masih asik dengan hobinya. Nay saja kalah dengan semangat Ibuk.''Asal jangan terlalu capek saja. Kamu juga jaga kesehatan, ya?''Iya, Mas.''Sampai ketemu nanti malam.'Aku mengirimkan emoticon bergambar hati sebanyak satu baris, menandakan kalau aku juga
Aku terkejut dan hampir pingsan mendengar ucapannya. Cobaan apa lagi kali ini? Setelah masalah dengan Mas Ilham dan Viona selesai, kini muncul seorang wanita yang mengaku sebagai Ibunya Alta? Apa setelah Mas Ilham di penjara, kini dia merasa berhak untuk mengambil Alta kembali? Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku bahkan sudah melakukan berbagai cara untuk mendapatkan buah hatiku itu. Bahkan Mas Rafi sampai melakukan kesepakatan dengan Mas Ilham agar masa hukumannya dikurangi. Apalagi yang harus aku lakukan sekarang? "Naya? Kamu tidak apa-apa?" ucapannya membuatku tersadar dari lamunan. "Maaf, Mbak? Apa Mbak punya bukti kalau Mbak ini Ibu kandungnya Alta? Tapi maaf, sekarang ini banyak sekali modus penipuan dan penculikan. Andaipun Mbak memang Ibu kandungnya, saya tetap tidak ingin berpisah dengan Alta. Selama ini saya sudah tersiksa hidup terpisah darinya. Jadi, saya tidak mau hal itu sampai terulang kembali," aku tidak segan-segan untuk menudingnya. Kulihat wajahnya tersenyum bah
"Jadi, Viona yang memberi tahukan kalau aku tinggal di sini?" Wanita mungil itu mengangguk. "Bolehkah aku bertemu dengan Alta?" dia mulai melancarkan tujuan utamanya datang kemari. "Maaf, Mbak. Bukannya aku jahat dan tidak mengerti tentang perasaan Mbak sebagai seorang Ibu. Hanya saja, kalau Mbak berniat untuk mengambil dan membawa Alta, aku tidak akan membiarkanya. Mas Ilham sudah menandatangani surat hak asuh kepadaku," ucapku tegas. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Aku tahu apa yang dia rasakan saat ini. Sebagai wanita yang pernah berada di posisinya, tentu saja aku paham. Betapa sakitnya berpisah dari orang yang kita sayangi. Aku bisa saja mengijinkan dia bertemu dengan Alta sekali saja. Tapi bagaimana jika dia terlalu berambisi dan ingin menguasai Alta seutuhnya? "Tolonglah, Naya. Aku tahu kamu orang baik. Tidak bisakah kamu mengijinkanku untuk memeluknya?""Jangan secara tiba-tiba seperti ini, Mbak. Alta masih kecil. Dia bisa saja syok kalau Mbak tiba-tiba datang dan men
"Kalau tidak mau, silahkan Mbak tempuh jalur hukum," aku bicara asal. "Kalau Mbak bersikeras juga, selamanya aku tidak akan mengijinkan Mbak untuk bertemu sama Alta," aku mulai memberikan ancaman. Dia terdiam, kemudian mengangguk. Syukurlah, padahal aku juga tidak tahu bagaimana posisiku sekarang. Untungnya dia percaya dan merasa takut kalau ancamanku benar-benar terjadi. Ternyata dia sama lugu dan polosnya seperti aku dulu. "Baiklah, aku permisi dulu, Naya. Besok aku akan kembali lagi," ucapnya pelan. Diapun pergi meninggalkan tokoku. Tiba-tiba saja lututku bergetar. Seluruh tubuh terasa lemas. Aku hampir jatuh jika Rina tak segera memegangiku. "Mbak Naya tidak apa-apa? Wajah Mbak pucat sekali," ucapnya sambil terus memegangiku. Pasti Rina sudah mendengarkan percakapan kami tadi, karena beberapa perkataan kuucapkan dengan nada tinggi. Pokoknya jangan sampai Mbak Lusi membaca cerbung-cerbung di kbm. Kalau tidak, dia pasti akan mencari cara untuk merebut Alta dariku."Mbak mau ke
Malam semakin larut, namun sedikitpun mata tak mau terpejam. Kupandangi wajah polos Alta yang kini sedang tertidur nyenyak di sampingku. Kubelai lembut anak rambutnya yang sedikit berserakan, ku usap dan ku kecup pipi lembut itu. Air mata tak berhenti mengalir mengingat pembicaraan kami sebelum tidur. "Alta capek Bunda. Alta tidak mau pergi-pergi lagi dari Bunda. Alta tidak mau tinggal di rumah Mama Viona lagi, Alta juga tidak mau jika harus tinggal dengan Mama baru lagi. Kenapa Mama Alta banyak sekali? Kenapa bukan Bunda sendiri saja?" ucapnya polos saat kubilang kalau Ibu kandungnya ingin bertemu. "Bunda ingin sekali, sayang. Bunda memang ingin menjadi satu-satunya yang Alta sayangi," tangisku sambil memeluknya. "Tapi Bunda tidak akan menyuruh Alta pergi dari sini, bukan? Alta senang tinggal di sini, Bunda. Walaupun Alta tahu kalau bukan Bunda yang melahirkan Alta."Aku terkejut mendengar kejujurannya. Apa yang dia katakan. Sejak kapan dia mengerti kalau bukan aku yang melahirk
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung