"Kalau tidak mau, silahkan Mbak tempuh jalur hukum," aku bicara asal. "Kalau Mbak bersikeras juga, selamanya aku tidak akan mengijinkan Mbak untuk bertemu sama Alta," aku mulai memberikan ancaman. Dia terdiam, kemudian mengangguk. Syukurlah, padahal aku juga tidak tahu bagaimana posisiku sekarang. Untungnya dia percaya dan merasa takut kalau ancamanku benar-benar terjadi. Ternyata dia sama lugu dan polosnya seperti aku dulu. "Baiklah, aku permisi dulu, Naya. Besok aku akan kembali lagi," ucapnya pelan. Diapun pergi meninggalkan tokoku. Tiba-tiba saja lututku bergetar. Seluruh tubuh terasa lemas. Aku hampir jatuh jika Rina tak segera memegangiku. "Mbak Naya tidak apa-apa? Wajah Mbak pucat sekali," ucapnya sambil terus memegangiku. Pasti Rina sudah mendengarkan percakapan kami tadi, karena beberapa perkataan kuucapkan dengan nada tinggi. Pokoknya jangan sampai Mbak Lusi membaca cerbung-cerbung di kbm. Kalau tidak, dia pasti akan mencari cara untuk merebut Alta dariku."Mbak mau ke
Malam semakin larut, namun sedikitpun mata tak mau terpejam. Kupandangi wajah polos Alta yang kini sedang tertidur nyenyak di sampingku. Kubelai lembut anak rambutnya yang sedikit berserakan, ku usap dan ku kecup pipi lembut itu. Air mata tak berhenti mengalir mengingat pembicaraan kami sebelum tidur. "Alta capek Bunda. Alta tidak mau pergi-pergi lagi dari Bunda. Alta tidak mau tinggal di rumah Mama Viona lagi, Alta juga tidak mau jika harus tinggal dengan Mama baru lagi. Kenapa Mama Alta banyak sekali? Kenapa bukan Bunda sendiri saja?" ucapnya polos saat kubilang kalau Ibu kandungnya ingin bertemu. "Bunda ingin sekali, sayang. Bunda memang ingin menjadi satu-satunya yang Alta sayangi," tangisku sambil memeluknya. "Tapi Bunda tidak akan menyuruh Alta pergi dari sini, bukan? Alta senang tinggal di sini, Bunda. Walaupun Alta tahu kalau bukan Bunda yang melahirkan Alta."Aku terkejut mendengar kejujurannya. Apa yang dia katakan. Sejak kapan dia mengerti kalau bukan aku yang melahirk
"Mama bawa hadiah untuk Alta." Dia meraih jemari Alta dan menuntunnya kembali ke sofa. Sebuah papperbag terulur dari tangannya. Lagi-lagi Alta menoleh ke arahku. Seperti meminta persetujuan seperti yang biasa dia lakukan. Aku kembali mengangguk dan mencoba tersenyum. Diintipnya isi papperbag itu, kemudian tersenyum lebar. "Terima kasih, Tante," ujarnya. "Kok Tante? Ini Mama sayang. Alta panggil Mama saja, ya?" bujuk Mbak Lusi dengan wajah sedih. "Mama Alta cuma Bunda, Tante. Alta tidak mau berpisah lagi dari Bunda. Alta mau tinggal di sini saja sama Bunda." Kata-katanya membuat hatiku terharu. Tapi bagaimana dengan Mbak Lusi? Hatinya pasti hancur mendengar perkataan itu. "Kenapa Alta berpikir seperti itu? Kapan Mama bilang akan membawa Alta dari rumah Bunda?" "Waktu Ayah meminta Alta memanggil Tante Viona dengan sebutan Mama, Ayah langsung mengajak Alta pindah dan tinggal di rumah Tante Viona. Tante Viona jahat, dia tidak sayang kepada Alta seperti Bunda. Alta tidak mau yang la
"Dia juga bilang sudah sekuat tenaga untuk merebut Alta dari kamu, tapi karena kamu mengancam akan memasukkannya ke penjara seperti Mas Ilham, dia jadi tidak bisa berkutik. Makanya dia memintaku untuk merebut hak asuh Alta dari kamu.""Jadi, Mbak memang bermaksud untuk mengambil dan membawa Alta dari aku?""Awalnya memang niatku seperti itu, Nay. Tapi setelah melihat tulusnya kasih sayang dan perhatian kamu kepada anakku, aku jadi mengurungkan niatku. Aku jadi lebih yakin kalau Viona benar-benar seorang pembohong."Akupun menceritakan segala yang terjadi terhadap hubunganku dengan Mas Ilham hingga berujung perceraian. Aku juga mengatakan kalau hukuman penjara yang didapatkannya karena kesalahannya sendiri. "Aku percaya sama kamu, Nay. Kamu tidak mungkin melakukan seperti apa yang dituduhkan oleh Viona. Ternyata dari dulu Mas Ilham tidak pernah berubah. Hukuman itu memang pantas dia dapatkan.""Terima kasih, Mbak. Karena sudah percaya sama aku. Aku janji akan segera membujuk Alta. Tap
Lucu sekali dokter Indra ini. Bagaimana mungkin dia bisa betah karena memiliki tetangga seperti aku. Bertemupun kami jarang-jarang. Apa karena profesinya sebagai seorang Dokter gigi yang terkesan menakutkan, sehingga dia berusaha seramah mungkin kepada pasien? Dan itu juga terbawa ke semua orang? Bahkan denganku? Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Semoga tidak ada maksud apa-apa di balik ini semua. Bukankah pria dewasa dan mapan seperti dia seharusnya sudah memiliki keluarga? "Dokter bisa saja," balasku dengan ucapannya barusan. Dia pun tertawa. "Biasanya pagi-pagi, kamu sudah mengantar Alta ke sekolah. Kok beberapa hari ini tidak kelihatan?" Lho, kok dia bisa tahu kalau setiap pagi aku keluar. Bukankah setiap aku mengantar Alta, klinik ini belum buka? Aku mendongak ke atas. Menatap lantai dua dan tiga ruko miliknya. Apa dia sering melihatku dari jendela itu? Seperti ruko pada umumnya, jendela di lantai atas memang langsung menghadap ke jalan depan. Sepagi itukah dia ba
"Bunda jangan takut, ya? Ada Alta di sini yang menemani Bunda," bujuknya. Lagi-lagi hatiku terenyuh. Bukankah seharusnya aku yang berkata seperti itu? Dokter Indra menyambut kedatangan kami masih dengan senyum ramahnya. Dia mempersilahkan kami duduk di sofa ruang tunggu untuk mengobrol. "Halo anak manis," dokter Indra memulai aksinya. Dia sudah tahu apa yang sedang Alta alami. Dengan terpaksa aku harus menjelaskan semua yang terjadi tentang keadaan yang sebenarnya. Dokter Indra mengerti. Dia turut merasa prihatin, sekaligus memujiku karena begitu mengkhawatirkan Alta yang bahkan bukan darah dagingku sendiri. Dia mengajukan beberapa pertanyaan kepada Alta dengan bahasa yang sangat luar biasa menurutku. Entah bagaimana dia mendapatkan kata-kata yang bisa membuat Alta merasa rileks dan mudah menjawabnya. Alta juga terkadang tertawa. Dokter Indra benar-benar berhasil membuat Alta yang murung kembali ceria. "Jadi, Alta tidak keberatan kan, kalau Bunda berteman dengan Mama Lusi? Kasih
"Tapi bagaimana saat Mas Ilham nanti keluar dari penjara, dan dia tidak memiliki apa-apa lagi?""Itu urusan dia, Nay. Mas harap kamu tidak memikirkan tentang dia lagi.""Bukan Mas Rafi. Nay bukannya memikirkan Mas Ilham. Nay hanya berusaha agar usaha Nay ini lancar tanpa merasa berhutang seumur hidup sama Mas Ilham.""Sudahlah, Nay. Kalau tidak kamu jual pun, rumah itu tetap akan disita oleh perusahaan. Jadi secara tidak langsung, rumah itu bukan lagi milik Ilham."Jadi, rumah itu sebenarnya sudah menjadi milik perusahaan? Atau lebih tepatnya, milik Mas Rafi? Dan dia masih tetap ingin membayarnya tanpa berpikir? "Mas sayang sama kamu, Nay. Mas hanya ingin kamu bahagia," ucapnya sambil mengusap rambutku. .Malam ini, aku juga sudah mengabarkan kepada Mas Rafi tentang keadaan Alta. Aku tertawa bahagia saat menceritakan apa yang terjadi di ruang tunggu itu. Aku sangat bersemangat saat menirukan kata-kata dokter Indra kepada Alta. "Coba seandainya Nay sekolah seperti itu, ya Mas? Tentu
Minggu ini aku membiarkan Alta dan Mbak Lusi jalan berdua. Tentunya setelah aku kembali berpura-pura sakit gigi, sesaat menuju keberangkatan. Mau tidak mau Alta menurut karena takut Mbak Lusi kecewa. Kulihat binar mata Mbak Lusi memancarkan kebahagiaan. Sungguh dia sangat berterima kasih kepadaku karena telah memberinya kesempatan. Dan dia tidak akan mungkin sampai hati menghianatiku dengan mencoba merebut Alta. Siang ini aku main ke tempat Ratna, setelah sebelumnya mengawasi para pekerja yang sedang merenofasi ruko sebelah. Ratna terus-terusan mengataiku sangat jahat dan tidak peka setelah kuceritakan tentang percakapanku dengan Mas Rafi. "Nay, Nay. Mas Rafi lagi cemburu, kamunya makin asik muji-muji dokter Indra," ledek Ratna. "La, aku mana tahu, Rat. Mas Rafi tidak bilang. Seharusnyakan dia jujur seperti aku waktu itu.""Tidak usah dikatakan, semua orang juga tahu, Nay. Kamu saja yang kurang nalar. Heran aku melihat sifat lugumu itu tidak hilang-hilang.""Kemarin sudah hilang
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung