Dahinya berkeringat membaca isi surat tersebut, meski kini kami berada di ruangan yang ber AC. Apa dia pikir semua itu tidak akan pernah terjadi? "Nay, tega-teganya kamu melakukan semua ini sama Mas," wajahnya terlihat marah. Namun sedikitpun aku tidak gentar. Apalagi kini ada kedua orang tuaku yang dengan sigap akan menyelamatkanku jika sewaktu-waktu dia akan bertindak nekat dan berbuat kasar kepadaku. "Kamu menggugat cerai Ilham, Nak?" tanya Bapak merasa tak percaya. "Benar, Pak. Nay tidak mau lagi hidup bersama lelaki yang sudah menghianati Nay," jawabku tegas. "Itu tidak benar, Pak," bantah Mas Ilham. "Nay hanya mencari alasan. Mungkin saja sekarang dia sudah memiliki laki-laki lain, makanya mencari-cari alasan untuk berpisah dengan Ilham."Bapak menjadi semakin bingung. Terlihat dari wajahnya kalau dia tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Ibu terlihat lebih pasrah dalam menerima semua keputusan yang telah aku ambil. "Tega sekali kamu, Nay. Mau meninggalkan Alta begitu sa
Sedih sekali rasanya berpisah untuk kedua kalinya dengan anak yang sejak balita sudah kuasuh. Tapi lagi-lagi aku meyakinkan diri, bahwa semua ini bukanlah salahku. "Awas kamu ya, Nay. Sampai berlutut pun kamu tidak akan bisa kembali lagi ke rumah ini. Sana balik ke rumah kampung kamu itu," teriak Mas Ilham dengan nada kesal. Aku tertawa sinis melihat tingkahnya yang arogan itu. Apa dia pikir dia juga bisa berlama-lama tinggal di rumah itu? Rasanya aku ingin sekali melihat bagaimana dia terusir dari rumah yang dibangga-banggakannya itu. .Ibu tak henti-hentinya menangis di dalam taksi online yang kami tumpangi. Berulang-ulang kali aku mencoba menenangkan dan membuatnya mengerti kalau semua akan baik-baik saja. Untuk saat ini, biarlah kubawa dulu mereka ke rumah Ratna. Sampai di sana akan kuceritakan dengan tenang agar mereka tidak terlalu terkejut dengan apa yang telah aku miliki sekarang. Kamipun sampai di rumah Ratna yang tidak terlalu besar itu. Namun cukup untuk membuat Bapak
Bapak dan Ibu sangat senang awal aku mengajak mereka masuk. Ada binar kebahagiaan di wajah mereka melihat suasana lantai satu yang begitu elegan ku desain. Mata Ibu memancarkan kebahagiaan yang tidak biasa melihat peralatan untuk membuat kue yang begitu lengkap aku beli. Semoga dengan begini, Ibu juga bisa mewujudkan impiannya yang juga sama sepertiku, memiliki toko kue sendiri. Puas menyisiri lantai dasar, aku membawa mereka menaiki tangga menuju lantai dua. Lagi-lagi aura bahagia itu terpancar. Bapak dan Ibu sampai-sampai tak tahu harus berkata apa. Mereka hanya menyentuh satu persatu barang mewah yang aku siapkan khusus untuk mereka. Ada kebahagiaan tersendiri buatku melihat wajah bahagia mereka. Akhirnya setelah sekian lama, baru kali ini aku dapat membuat mereka menikmati kebahagiaan."Benar semua ini tidak jadi masalah kan, Nay?" tanya Ibu yang juga masih terlihat khawatir. "Tenang saja, Bulek. Ini semua sudah menjadi milik Naya. Mas Ilham tidak akan bisa berbuat apa-apa kar
Hari ini aku dan Ibu sibuk mempersiapkan kue-kue yang akan kami buat. Rencananya besok kami akan melakukan opening toko dan membagikan gratis kepada tetangga-tetangga sekitar ruko. Aku dan Ibu sedang sibuk-sibuknya di dapur. Beberapa macam kue telah selesai dan disusun Bapak di steling depan. Tiba-tiba gawaiku kembali berbunyi. Nama Mas Ilham terpampang di layar pipih tersebut. Mau apalagi dia menghubungiku? Bukankah sudah jelas kalau lusa akan ada jadwal sidang pertama kami? Ah seandainya saja dia tidak hadir dan semua berjalan dengan cepat, tentu aku tidak akan lagi susah-susah berurusan dengannya.Lama kubiarkan gawai menyala. Masih enggan untuk meladeninya. Berbicara dengannya, hanya akan membuat darahku mendidih. Entah kenapa dia bisa berubah begitu drastis setelah menjalin hubungan dengan Viona. Sampai-sampai tega melupakan janji-janji setianya dulu. "Siapa itu, Nay? Kenapa tidak diangkat?" tanya Ibu yang merasa terusik dengan suara nada dering gawaiku. "Mas Ilham, Buk," sah
Aku masih terdiam, antara percaya atau tidak. Namun hati kecilku meyakinkan bahwa Alta benar-benar sakit dan Mas Ilham tidak berbohong. 'Kamu cepat kemari ya, Nay? Alta sangat membutuhkan kamu.'Akupun segera pergi menemui Alta setelah mendapatkan persetujuan dari Bapak dan Ibu. Bapak ingin sekali mengantarku, namun aku tidak tega membiarkan ibu mengerjakan banyak pekerjaan sendirian. "Nanti Nay akan menghubungi Ratna, Pak. Biar sehabis pulang kerja, dia bisa langsung menyusul dan menemani Nay di sana," usulku agar Bapak dan Ibu merasa tenang. Mereka hanya khawatir kalau Ilham akan memanfaatkan ini untuk melakukan hal yang tidak-tidak denganku. Akupun segera berangkat. Cukup lama waktu yang kutempuh untuk sampai ke klinik tempat Alta berobat. Ruko yang kuambil memang letaknya cukup jauh dari rumah lamaku yang terletak di tengah kota dan dekat dengan perkantoran. Lama aku berdoa untuk kesembuhan Alta. Akhirnya aku sampai dan langsung berlari memasuki ruangan. Mas Ilham sedang menu
"Kenapa tidak menyuruh Viona saja," sindirku. "Kamu itu apa-apaan sih, Nay. Lagi-lagi Viona. Kamu itu terlalu cemburuan sama dia.""Cemburu? Maaf ya, Mas. Aku sudah tidak punya lagi perasaan terhadapmu. Apalagi harus cemburu terhadap wanita murahan seperti itu.""Naya, kamu... ""Kalau kamu hanya ingin mengajakku bertengkar, aku akan segera pergi dari sini," ancamku. Dia yang tadi mulai meninggikan suaranya mendadak diam dan mengalah. Hari sudah sore, Alta belum juga bangun dari tidurnya. Kusentuh kembali keningnya, namun panasnya belum juga mereda. Tak lama Ratna muncul. Dia langsung menuju ke klinik begitu selesai kerja. "Bagaimana keadaannya, Nay?" Ratna juga terlihat cemas. "Badannya masih panas, Rat. Alta juga belum bangun dari tadi. Aku jadi cemas."Kulihat Mas Ilham segera beranjak keluar setelah mendengar gawainya berdering. Aku melihat dia berbicara di depan pintu, seperti sedang berdebat dengan seseorang. Terserahlah, aku sudah tidak perduli lagi. Apapun masalahnya,
Sungguh aku merasa sangat geram melihat tingkah Viona yang tiba-tiba membuat keributan pada saat Alta sakit. Ingin sekali rasanya aku menyuruhnya diam kemudian mengusirnya dari ruangan ini. Namun tentu saja niat itu kuurungkan, biarlah wanita tidak waras itu menjadi urusan Mas Ilham saja. Wajah Viona tampak tidak senang melihat keberadaanku. Apa dia pikir aku tidak merasakan hal yang sama? Aku juga merasa risih berada di tengan-tengah mereka. Ah, seandainya saja Alta adalah putri kandungku, tentu semua masalah tidak akan serumit ini. "Sudah berapa hari kamu tidak ke kantor, Mas?" tanya Viona geram. "Kalau kamu tiba-tiba dipecat, bagaimana?" dia seolah-olah sudah mengendalikan hidup lelaki yang belum sah bercerai dariku itu. "Kamu tidak lihat kalau Alta sedang sakit? Tentu saja Mas harus menjaga dia," Mas Ilhampun tidak mau kalah. Aku dan Ratna hanya diam menonton perdebatan mereka. "Halah. Itu cuman alasan kamu saja. Bukannya sudah ada pengasuhnya di sini?" Viona mulai melibatka
Aku dan Ratna saling melempar senyum. Cukup senang karena sudah berhasil membuat Viona dan Mas Ilham bertengkar. Rasakan itu. Menyebutku wanita kampungan? Lalu sikap apa yang dia tunjukkan sekarang ini? Berteriak-teriak seperti orang gila, lebih dari kampungan. "Sudahlah, Viona. Ini bukan urusan kamu. Biarkan aku menyelesaikan persoalan rumah tanggaku dulu. Sudah, kamu pulang saja sana," bentak Mas Ilham. "Seenaknya saja kamu menyuruhku pergi. Transfer dulu uang yang kamu janjikan.""Aku sudah tidak punya uang lagi, Viona.""Ya, kamu usaha dong. Percuma kamu bekerja di kantor elit kalau tidak bisa meminjamkan kamu uang.""Hutangku di kantor sudah banyak, Viona. Seharusnya kamu mengerti."Ya, Allah. Mas Ilham punya banyak hutang di kantor? Demi Viona? Kurasa Mas Ilham tanpa sadar telah mengucapkannya. Tidak malukah dia dengan apa yang sudah aku dengar? Mas Ilham terlihat menunduk setelah menyadari bahwa kami mendengar semua ucapannya. Dia hanya tertunduk sembari mengusap rambutnya, s
Kamipun sampai di sebuah klinik yang tidak jauh dari rumah aku bersama Mas Rafi. Sengaja aku tak ingin pergi ke rumah sakit besar, selain malas untuk mengantri, kurasa penyakitku ini tidak terlalu parah dan juga berbahaya."Selamat ya, buat Ibu dan juga Bapak," seru seorang Dokter setelah tadi memeriksaku dengan senyuman."Selamat apa ya, Dok?" Mas Rafi bergantian memandangi kami."istri Bapak saat ini sedang mengandung. Usia kandungan sudah memasuki usia lima minggu. Selamat, karena sebentar lagi Bapak akan menjadi seorang Ayah."Kulihat binar matanya memancarkan kebahagiaan. Matanya berkaca-kaca, merasa antara percaya dan tidak percaya. Di tatapnya wajahku secara seksama, kemudian kembali ke arah Dokter itu."Benar Dokter? Istri saya hamil?" dia meyakinkan. Dokter muda itu pun mengangguk sambil tersenyum."Alhamdulillah... " ucap aku dan Mas Rafi bersamaan..Mas Rafi tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Merasa berbahagia karena telah berhasil mengandung dari buah cinta kami. Kin
Aku duduk di sofa ruang tamu lantai dua. Ruangan ini menjadi lebih luas setelah menyelesaikan renovasi. Bangunan yang tadinya bersekat tembok yang tinggi, kini telah menyatu dan menjadi luas. Karyawan di lantai bawah pun sudah bertambah dua orang lagi, sehingga mengurangi lelahnya Ibu dalam mengurus toko."Ibu masak bubur kacang hijau lho, Nay," ujar Ibu. "Pakai durian lagi. Sengaja Ibu buatkan makanan kesukaan kamu," lanjutnya lagi."Nanti Nay ambil sendiri saja, Bu," ucapku yang agak malas untuk bangkit, tanpa kutahu tiba-tiba saja Ibu sudah berjalan membawa nampan berisi mangkuk.Mendadak aku pusing, tenggorokanku rasanya penuh, hingga memaksaku untuk bergegas ke kamar mandi untuk mengeluarkan segala yang kumakan pagi tadi."Nay, kamu kenapa?" kudengar panggilan Ibu sambil mengetuk pintu. Aku terus saja memuntahkan apa yang ada, hingga tubuh ini jadi seperti tak bertenaga."Tidak tahu, Buk. Mungkin masuk angin," aku berjalan kembali ke sofa setelah membukakan pintu. Kulihat Ibu ber
Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Seperti sebuah mimpi, kini aku benar-benar telah mengakhiri masa kesendirianku. Status yang masih menjadi momok yang menakutkan bagiku itu, terlepas sudah. Entah bagaimana caraku mengungkapkannya.Pagi tadi, dengan menggenggam erat tangan Bapak, Mas Rafi mengucapkan lafaz dengan begitu lantang, hanya dengan satu tarikan nafas saja. Membuat semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dengan begitu antusias dan bersemangat.Sebuah pesta sederhana dilanjutkan dengan sebuah hiburan berupa musik dari orkestra yang biasa diadakan di kampung kami.Aku tidak perduli bagaimana dengan tanggapan keluarga Mas Rafi nantinya, yang selalu terbiasa dengan musik-musik nan elegan yang sering aku lihat di pesta-pesta kalangan orang kaya. Itupun aku tonton dari infotainment para artis.Tapi, sempat kulihat tangan Papa mertua ikut bergoyang juga, menikmati musik dangdut yang dinyanyikan sang biduan.Para sanak famili dan juga sahabat hampir semuanya hadir. Tak terkecu
"Banyak rekan-rekan yang sudah melapor sama Mas, kalau akun Mas diretas orang. Mas curiga itu Viona.jadi, kamu jangan sampai terkecoh jika ada pesan-pesan seperti itu, ya. Mas tidak akan mungkin tega meminta uang sama kamu dengan jalan seperti itu. Melihat kamu menjaga Alta sebaik ini saja, Mas sudah sangat berterima kasih." Ucapannya terdengar tulus dan tidak mengada-ada. Alhamdulillah, ternyata jawaban dari semua beban pikiranku sudah terjawab tuntas tanpa aku menanyakannya.Ternyata Mas Rafi benar juga, bahwa mimpi itu cerminan dari hati dan pikiran..Mobil kembali melaju pelan. Kulihat Alta sudah kembali akrab dengan Mas Rafi. Seakan-akan kejadian malam tadi tidak pernah terjadi. Atau mungkin dia bahagia karena sudah bertemu dengan ayahnya."Mas, tadi Mas Rafi ngomong apa saja sama Mas Ilham, kok jadi akrab?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebelum pulang tadi, kulihat Mas Rafi berbicara empat mata dengan Mas Ilham dan diakhiri dengan berjabat tangan dan... berpelukan. Ane
Aku menceritakan semua apa yang kulihat dalam mimpi tersebut. Tentang semua kejadian yang erat sekali berkaitan dengan dirinya. Mas Rafi terlihat serius dalam mendengarkan ceritaku. Malu juga sebenarnya.tapi, karena Mas Rafi terus memaksa, akhirnya aku bersikap jujur saja. Lagipula, kami sudah sepakat akan terbuka satu sama lain seperti janji kami tempo hari. Mas Rafi tersenyum sambil meraih jemariku. Menggenggamnya dengan berusaha untuk menenangkan. "Itu artinya, kamu takut kehilangan Alta dan juga Mas. Iya, kan?" senyumnya semakin mengembang. Terlihat manis dan juga mendebarkan. Eh? Kenapa pipiku jadi panas?"Mas Rafi ge er, ya!" Aku berusaha mengelak dengan menepiskan genggamannya. Mencoba menyamarkan rasa gugup dan debaran di dada. "Biasanya mimpi itu cerminan dari hati, Nay. Saat hati kita bersih, maka mimpi baiklah yang kita lihat. Tapi saat hati kita kotor dan ketakutan, maka mimpi buruk lah yang akan datang. Bukankah hati itu seperti cermin?" Mas Rafi terlihat serius. Tak b
Hari masih terlalu pagi, Ibu sudah menggedor-gedor pintu kamarku. Jantung ini rasanya mau copot saja, bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di luar sana. Bergegas aku beranjak dari tempat tidur, dan segera membukakan pintu untuknya. "Nay, Nak Rafi sedang menunggu di bawah itu. Katanya mau mengajak kamu dan Alta ke pantai." Sejenak aku berpikir. Masih pagi begini, Mas Rafi datang dan tiba-tiba mengajak pergi. Ada apa gerangan. "Ouh, Iya, Buk. Sebentar lagi, Nay turun." Aku menghela nafas. Baru ingat pesan whatsapp yang dikirimkan Mas Rafi malam tadi. Aku hanya sempat membaca, belum ada niatan untuk membalas dan mengiyakan ajakannya. "Memangnya kalian sudah janjian mau kepantai?" terlihat wajah Ibu sedikit cemas.Mungkin merasa khawatir kalau aku tidak sedang baik-baik saja untuk saat ini. Apalagi dia belum menanyakan mimpi apa yang menghantuiku malam tadi. "Nay sendiri lupa, Buk. Mungkin Mas Rafi mau bayar janjinya kemarin sama Alta," terangku yang hanya menduga-duga sa
Degh.... Jantungku serasa mau copot. Saat menyadari orang yang ada di sebelah mas Rafi ialah Viona. Mereka sedang mengawasi Diana_anaknya Viona_bermain. Darahku serasa mendidih. Kenapa Viona lagi-lagi hadir dalam hidupku. Setelah Mas Ilham, sekarang dia ingin merebut Mas Rafi juga dariku. Oh,tidak semudah itu Ferguso. Dengan berapi-api, aku langsung menghampiri mereka berdua. Entah kekuatan apa yang mendorong tubuhku untuk segera memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri itu. Apa Dia pikir Aku ini lemah, dan ingin mencuri apapun yang kumiliki. Oh, aku benar-benar marah dan tak bisa lagi mengendalikan diri. Emosiku kini telah menggunung hingga keubun-ubun. "Mas, sedang apa di sini? " Aku langsung menegur Mas Rafi. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku di sini. "Nay? Kamu kenapa di sini? Tadi kamu bilang Alta sudah tidur." Jawabnya gugup. "Jadi ini, alasan Mas Rafi membatalkan acara kita?" Aku langsung memotong pembicaraannya.Tak ingin mendengar alasan apapun yang ingin dia
"Sudah Nay, biarkan saja dulu. Mungkin Alta terlalu kecewa sampai merajuk seperti itu," Ibu mencoba menenangkanku. "Namanya juga Anak kecil. Paling nanti baik sendiri." Ibu menimpali ucapannya. Setengah jam kami menunggu, pintu tak kunjung terbuka. Akhirnya Bapak berinisiatif untuk mendobrak paksa dari luar. Walaupun sudah diusia lanjut, Namun Bapak masih memiliki tenaga yang cukup kuat jika hanya untuk mendobrak sebuah pintu. "Apa Bapak kuat mendobraknya sendiri Bu. Kalau tidak kuat, biar Nay minta tolong sama Dokter Indra saja biar ikut membantu." Aku meminta izin pada Ibu.Siapa lagi yang bisa kami mintai tolong selain Dokter Indra. Sebab, dialah satu-satunya tetangga di sekitar sini yang selalu siap menawari bantuan untuk kami. "Tidak usah nay, Bapak sudah ahli dan banyak tehnik nya juga. Iya kan, Pak?" Ibu memberi semangat kepada Bapak. Mungkin ibu juga segan jika terus menerus minta bantuan kepada Dokter Indra. "Iya, kalau cuma begini, ya kecil, Nay." Bapak terlihat yakin da
Malam ini, Mas Rafi berjanji akan menjemput kami dan membawa kami jalan-jalan keliling kota. Dia melakukan itu mengingat beberapa hari lagi, kami sekeluarga akan pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pesta di sana. Hari dan tanggal sudah kami tentukan. Beberapa surat undanganpun sudah disebar luaskan. Jadi, malam ini kami sekalian ingin mencari pernak-pernik ucapan terimakasih untuk para tamu undangan besok. "Om Rafi kok lama ya, Bunda." Alta terlihat gelisah dan bolak-balik bertanya. "Bukan Om Rafinya yang lama, Tapi Alta yang kecepatan berhiasnya, sayang." Aku menariknya ke dalam dekapan. Sedari tadi Alta sudah sibuk berhias. Dia tak mau kalah dari bundanya agar terlihat cantik di depan mata Mas Rafi. Dia juga memilihkan baju yang pas untuk kupakai. Baju yang senada dengan warna bajunya. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tanda-tanda Mas Rafi datang belum juga terlihat. Ada rasa cemas dan khawatir menghantui. Kenapa gawainya tidak bisa dihubung