Asrama Putri No, 11,
Universitas Galang Udayana, Semarang.
Awal Oktober, 2021.
Tumpukan buku di atas meja belajar tersinari oleh cahaya yang berasal dari jendela. Tirai putih itu bergelombang terkena angin ringan, sesekali menyentuh lembut tumpukan itu. Sebelum akhirnya, sepasang tangan berkulit kuning langsat hendak mengangkatnya.
Akan tetapi, pemilik tangan itu mengurungkan niat. Manik kecoklatan milik Fira berlarian seolah memikirkan sesuatu. Ia lantas melirik benda persegi panjang yang masih terhubung dengan kabel berwarna putih.
Haruskah?
Rautnya tampak menimbang-nimbang. Masih cukup pagi dan Fira sudah dirundung kebimbangan. Dengan setelah celana capri panjang berwarna coklat dan atasan kemeja mocca, gadis itu tampak rapi. Rambutnya juga diikat lebih tinggi yang memberikan kesan agak formal.
Setelah berpikir cukup lama, tangannya kemudian menggapai ponsel pintar itu. Menekan tombol power di sisi kanan sebab kemarin malam ia belum sempat menghidupkan.
Fira mencari sebuah kontak di layar gawainya. Berpikir lagi cukup lama sebelum akhirnya menghela napas panjang dan menekan tombol 'panggil'. Ia mendekatkan ponsel itu ke telinga dengan dada yang bergemuruh. Gadis itu menggigit bibir bawahnya cemas. Meskipun seolah tahu jika jawaban yang ia dapat sama seperti kemarin-kemarin.
"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Mohon periksa kemb-"
Fira menarik ponsel dari telinganya dan mematikan sambungan begitu suara operator yang selalu didengarnya itu berbicara. Ia menghela napas lelah. Lantas terduduk begitu saja di kursi meja belajar dengan jemari mengurut pelan pangkal hidungnya.
Bodohnya. Fira tahu apa yang akan ia dapatkan dan tololnya lagi, ia malah terus mencoba hal yang sama. Seolah tahu di depannya ada lubang, ia melewati begitu saja. Tidak peduli jika masuk ke dalam sana. Barulah setelahnya, ia menyesal telah melakukan hal tersebut. Yang paling tidak masuk akal adalah, gadis itu mencoba kembali esok harinya. Seperti tidak belajar dari kemarin.
"Ekhm."
Dehaman itu membuat Fira kalang kabut. Buru-buru ia bangkit kembali hendak mengangkat buku-buku di atas meja untuk dibawa ke kampus. Akan tetapi, sebelum hal itu terjadi, seseorang lebih dulu menahan agar tumpukan buku itu tak dibawa.
"Mau ke mana?" Nadanya terdengar mengintimidasi, seperti seorang ibu yang bertanya pada anaknya.
Fira menggigit bibir bawahnya. "Ke ... kampus." Sudah terbata, terdengar tak yakin pula. Gadis itu tidak tahu apa yang akan dipikirkan April terhadapnya.
"Jam tujuh?" April yang masih mengenakan piyama tidur, rambut sedikit berantakan, pun wajah tak kalah sama, menatap gadis di depannya itu dengan pandangan tak percaya. "Kamu pikir aku nggak tau jadwal kamu hari ini? Jam pertama itu nanti jam sembilan."
"Dosennya majuin jadwal." Sekarang, Fira malah terdengar mencicit. Seolah, ia tak mau lebih lama bersama dengan April, setidaknya untuk saat ini.
Fira hanya takut ditanyai. Terutama soal panggilan yang baru saja ia lakukan.
"Kamu bahkan baru hidupin HP."
Gadis berkemeja mocca itu mulai tahu ke mana arah pembicaraan mereka. Dari sudut matanya, Fira bisa melihat jika April bersedekap.
"Kamu mau ketemu sama Arya?"
Tuhan, itu yang Fira harapkan.
"Andai semudah itu," lirih Fira dengan kepala tertunduk. Pandangannya kosong.
Maniknya jatuh pada tumpukan buku yang masih ia usahakan untuk diangkat. Lantas dibawa dari sana. Entah ke mana. Mungkin pergi ke tempat di mana tak seorang pun bisa melihat ia menumpahkan tangis entah untuk yang keberapa kalinya.
April menyuarakan helaan napas pelan. Sementara matanya menatap khawatir pada Fira, tangan gadis itu menarik temannya menuju ke tepi ranjang. Fira mengikut saja. Lantas keduanya duduk saling berhadapan.
"Aku bukannya nggak suka kalau kamu sama Arya," ucapnya pelan sembari terus menatap Fira yang tertunduk. Sepertinya pijakan di bawah kaki mereka kian menarik. "Tapi kalau kamu nangis terus karena dia nggak bisa dihubungin gitu, sama aja dengan kamu nyiksa diri sendiri. Belum tentu juga kan dia ngelakuin hal yang sama."
"Dia pasti juga rindu, kok." Fira bersuara lagi, tetapi lebih terdengar seperti lirihan tak yakin. Rasa-rasanya, mata memanas, dadanya bergemuruh saat mengatakan hal itu. Bahkan, Fira saja tak yakin dengan ucapan sendiri.
"Tau dari mana?" April terdengar menantang. "Sejak terakhir kali kalian ketemu, dia pernah ngehubungin kamu? Atau setidaknya pernah ngirim pesan singkat?" Jeda sebentar, seolah April hendak melihat ekspresi Fira. Seperti dugaannya, Fira tak bisa menampik. "Nggak pernah."
"Udah berapa lama?"
Fira mendongak, balas menatap April dengan kernyitan bingung. Tak seberapa lama ia akhirnya mengerti, lalu lantas menjawab. "1536 jam. Kira-kira."
"Ra ...." Nada bicara April terdengar memperingatkan.
Gadis berkemeja mocca itu menghela napas panjang. "Dua bulan lebih."
Lelaki itu seperti angin. Kedatangannya tanpa sebuah tanda, tetapi kepergiannya malah menyisakan sesuatu yang sudah terporak-poranda. Hatinya. Berbagai cara telah dicobanya untuk menghubungi Arya. Akan tetapi, sama seperti keberadaannya, bahkan semua akun media sosial lelaki itu bahkan juga ikut lenyap. Seolah, telah membuat kesepakatan cukup lama jika hal tersebut akan terjadi.
April mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Fira. "Ra ... aku cuma mau ngasih tau, Arya mungkin nggak bisa kasih kamu kepastian."
Dadanya terasa dihantam batu besar. Fira meneguk ludah susah payah. Entah mengapa, perkataan itu seperti sebuah kenyataan pahit yang menyedihkan. "Ini masih dua bulan."
"Masih." April menyuarakan tawa hambar. "Terus kamu mau nunggu berapa lama lagi? Lima bulan, sembilan bulan? Atau sepuluh ribu jam kayak yang pernah kalian lalui?"
Fira masih membisu. Diam-diam terus membenarkan ucapan April. Tidak ada yang terdengar salah. Akan tetapi, semua ucapan-ucapan itu terus mengikis pertahanannya. Mulai menggoyah pendirian bahwa harus terus mempertahankan yang sudah ia mulai sejak bertahun lalu.
Sayangnya, hati itu masih terus memegang janji untuk bertahan.
April menghela napas lelah. Masih cukup pagi, ia bahkan belum menggosok gigi. Tapi lidahnya sudah gatal ingin meluapkan wejangan pada sang sahabat. Kurang apa lagi.
"Kamu paham nggak makna seseorang yang pergi, terus ngilang tanpa tau jejaknya?"
"Arya nggak ngilang. Dia bilang, dia di London. Kuliah di sana."
"Kamu bisa pastiin?"
Fira terdiam lagi. Sejujurnya, bahkan ia tak yakin jika Arya-nya benar-benar di sana. Akan tetapi, apakah Arya setega itu berbohong padanya?
"Seseorang menghilang, berarti dia nggak mau diganggu."
Tepat setelah kata itu meluncur, ribuan jarum terasa seperti menusuk dadanya. Disertai dengan tindihan batu besar. Fira merasa perih, sekaligus sesak. Matanya memanas, ingin menangis, tetapi rasanya bahkan tak sanggup.
Apa Arya merindukannya?
Apa Arya pernah sekali saja berpikir tentangnya?
Apa Arya selama ini memang menganggap Fira seperti duri pada batang mawar?
Apa Arya ... mencintainya?
Genggaman di tangannya kian mengerat. April seolah memberikan suntikan semangat lebih banyak. Hal itu terbukti dengan raut April yang tidak segarang tadi-lebih hangat, dengan ulasan senyum tipis.
"Aku paham posisi kamu, Ra. Mungkin kamu bener. Nggak ada salahnya nunggu sampai sepuluh ribu jam itu dulu. Kalau dia juga nggak ada, langkah selanjutnya adalah merelakan. Percuma kalau terus digenggam, kamu yang tersakiti."
Pandangan tertunduk tadi kian mendongak, balas menatap April. Ya, dia akan menunggu. Sampai sebegitu lama. Yang jadi pertanyaan, akankah Fira sanggup?
***
Orang bilang, lebih baik mencari yang baru daripada menunggu. Namun, apakah orang baru menjamin akan lebih baik dari yang ditunggu?***Awal Oktober, 2021."Iya, Bunda." Bibirnya melengkung tipis, lalu menguarkan tawa lirih.Kaki berbalut celana capri panjang kecoklatan itu melangkah pelan di atas bahu jalan dengan tangan sibuk menahan benda persegi ke telinganya. Trotoar itu memanjang, sedikit berkelok berwarna keabu-abuan. Setiap sepuluh langkah sekali, ada pohon mahoni berdaun lebat yang menaungi setiap langkahnya. Membuat siang yang agak terik itu berubah sedikit sejuk.Sesekali, dedaunan coklat keemasan menghambur jatuh ke arahnya. Menghias senyum tulus Fira yang mendengar seseorang di seberang sana berceloteh ria. "Fira juga rindu, Bunda. Apalagi
Sama sekali tak berharap ada yang mengantikan tempatmu.Sebanyak apa pun yang singgah;sebanyak apa pun yang menyatakan cinta,aku bisa apa? Yang kulakukan hanya menunggu kapalmu;kembali ke pelabuhanku.***Awal Oktober, 2021.Angin berembus lembut—menggoyang dedaunan hingga menimbulkan bunyi gemerisik menenangkan. Membuat siang yang semakin menua itu tak lagi begitu gerah. Selang beberapa lama, dedaunan berbentuk tak simetris berwarna coklat kemerahan jatuh dari rantingnya, menemui rerumputan. Seolah memberi pesan, bahwa sejauh apa pun jarak, jika memang tempatnya, sesuatu itu
Akhir September, 2018.Pelataran sekolah terbakar. Angkasa seolah ingin memayungi para insan dengan panas membara. Meskipun begitu, kepala sekolah tetap saja mengumpulkan para siswanya di lapangan. Beruntungnya, mereka diperbolehkan berteduh di bawah pohon yang tumbuh di pinggirannya.Bukan tanpa sebab, para siswa terpilih yang karyanya dipajang di mading sekolah kemarin akan mendapatkan hadiahnya langsung di hari itu. Walaupun terkesan tidak terlalu penting, tetap saja kepala sekolah memilih mengumpulkan para siswa SMA 1 Perwira sebagai bentuk kehormatan dan contoh agar ke depannya ada yang bisa berusaha memberikan karya terbaiknya lagi.Sepuluh murid—empat siswa dan enam siswi—dikumpulkan menghadap pada semua orang. Mereka diberi penghargaan dan juga hadiah yang telah dijanjikan. Siswa lainnya pikir, acaranya hanya sampai di sana. S
Awal Oktober, 2021.Di tengah gelapnya langit, bulan sabit menggantung cantik. Ia tak sendiri, ada ribuan bintang menemani. Sesekali angin bertiup; membuat dedaunan gemerisik sedikit, beberapa yang berwarna kemerahan lolos dari rantingnya dan jatuh menemui rerumputan. Hujan jatuh sebentar tadi sore, tetapi begitu bagaskara tenggelam, langit tampak cerah. Seolah tidak terjadi apa pun sebelumnya.Jendela di kamar itu belum juga ditutup. Tirai putihnya yang disingkap sedikit membuatnya berayun mengikuti irama angin yang tertiup. Sesekali menyapa lengan seorang gadis yang duduk di meja belajarnya; fokus pada selembar kertas dan pensil, sibuk mencorat-coret."Ra?" panggil gadis lain yang duduk di ranjang bagian bawah kamar itu. Di pangkuannya ada laptop yang menyala, sedangkan di atas tempat tidur sudah berserakan berbagai macam jenis buku. "Kamu begadang, nggak?"
Pertengahan Oktober, 2018."Ini udah malem, Arya. Kamu kesambet apa?"Udara dingin yang membekukan kulit masih terasa akibat hujan yang turun sepanjang hari. Di bawah naungan langit malam berhias bintang satu dua, mereka duduk di pinggir lapangan sepakbola beralaskan rerumputan lembap. Dengan penerangan yang berasal dari tiang lampu terdekat, sesekali dua remaja itu mendengar kumpulan jangkrik bersuara saling bersahutan; memecah heningnya malam yang dingin."Enggak pa-pa. Aku cuma rindu kamu aja." Seolah tak ada beban saat Arya melontarkan sahutannya.Lelaki itu menoleh sebentar pada Fira lalu kembali memaku tatap pada langit. Gadis itu melihat sekilas jika sudut bibir Arya naik sedikit. Bintang tak lagi muncul satu dua, awan
Sesuatu yang tidak kita suka terkadang malah mengantarkan pada suatu lain yang lebih tak terduga.Semesta memang atipikal, leluconnya selalu abnormal.***Awal Oktober, 2021.Siulan lirih angin menyapa telinga, sesekali menerbangkan lembaran-lembaran kertas di buku yang dibiarkan terbuka di atas rumput gajah mini. Sembari bersandar di pohon pinus menjulang dengan beberapa buahnya yang berguguran, Fira sibuk dengan tulisan-tulisan di kertas double folio. Suasana menenangkan ditambah pemandangan yang memanjakan membuat gadis itu tak lelah terus menerus berkutat pada tugas yang baru saja diberikan dosennya beberapa saat lalu.Langit betah memangku awan keabu-abuan terang. Membuat hari menjelang siang itu sedikit sejuk.
Tak terlalu mencengangkan mengingat hujan teguh mengambil peran dalam tiap-tiap lembar cerita. Seolah semesta telah mengancang suasana yang tepat untuk insan bersuka duka.***Pertengahan Oktober, 2021."Aku ada kelas tambahan, Ra. Kayaknya bakal pulang sore banget." Suara di seberang telepon terdengar kecewa sekaligus lelah, tetapi pada akhirnya tetap juga berakhir pasrah.Fira memindahkan ponsel dari telinga kanannya ke telinga kiri; berdiri dengan tatapan kosong di teras keramik Fakultas Teknik. Lantai yang dekat dengan paving block persegi panjang tersusun miring-miring sesekali terkena cipratan air yang jatuh terlalu tergesa-gesa dari langit. Setelah awan bertahan bergulung-gulung seharian dan angin yang bersitahan bertiup dingin, di siang itu hujan menjat
Pertengahan Oktober, 2021.Nyatanya membiarkan orang lain berbahagia tidak juga selalu membuat diri sendiri ikut bersuka.Hujan di atap fakultas tak lagi terdengar berdebam keras. Beberapa mahasiswa ada yang memutuskan menembus guyuran dengan terburu-buru, ada pula yang memilih menatap di samping pilar tinggi di depan gedung.Ketidaksengajaan itu melahirkan sesak yang berusaha ditahan dengan kepalan tangan kuat. Dua pasang mata dari depan pintu kaca fakultas menatap dengan manik berkilat kecewa. Pandangannya sayu begitu bersirobok dengan sepasang mahasiswa yang berusaha menembus hujan dengan sebuah payung.Ia hanya tidak mengerti, mengapa harus orang itu yang mendapatkannya? Ahh ... dia lupa, mungkin hanya kurang berusaha untuk mendapatkan sesuatu itu.Apakah begini rasanya punya rasa yang bahkan tak punya eksistensi untuk terlihat? Ia hanya ingin tahu jika