Share

6 - What are You Waiting For?

Asrama Putri No, 11,

Universitas Galang Udayana, Semarang.

Awal Oktober, 2021.

Tumpukan buku di atas meja belajar tersinari oleh cahaya yang berasal dari jendela. Tirai putih itu bergelombang terkena angin ringan, sesekali menyentuh lembut tumpukan itu. Sebelum akhirnya, sepasang tangan berkulit kuning langsat hendak mengangkatnya.

Akan tetapi, pemilik tangan itu mengurungkan niat. Manik kecoklatan milik Fira berlarian seolah memikirkan sesuatu. Ia lantas melirik benda persegi panjang yang masih terhubung dengan kabel berwarna putih.

Haruskah?

Rautnya tampak menimbang-nimbang. Masih cukup pagi dan Fira sudah dirundung kebimbangan. Dengan setelah celana capri panjang berwarna coklat dan atasan kemeja mocca, gadis itu tampak rapi. Rambutnya juga diikat lebih tinggi yang memberikan kesan agak formal.

Setelah berpikir cukup lama, tangannya kemudian menggapai ponsel pintar itu. Menekan tombol power di sisi kanan sebab kemarin malam ia belum sempat menghidupkan.

Fira mencari sebuah kontak di layar gawainya. Berpikir lagi cukup lama sebelum akhirnya menghela napas panjang dan menekan tombol 'panggil'. Ia mendekatkan ponsel itu ke telinga dengan dada yang bergemuruh. Gadis itu menggigit bibir bawahnya cemas. Meskipun seolah tahu jika jawaban yang ia dapat sama seperti kemarin-kemarin.

"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Mohon periksa kemb-"

Fira menarik ponsel dari telinganya dan mematikan sambungan begitu suara operator yang selalu didengarnya itu berbicara. Ia menghela napas lelah. Lantas terduduk begitu saja di kursi meja belajar dengan jemari mengurut pelan pangkal hidungnya.

Bodohnya. Fira tahu apa yang akan ia dapatkan dan tololnya lagi, ia malah terus mencoba hal yang sama. Seolah tahu di depannya ada lubang, ia melewati begitu saja. Tidak peduli jika masuk ke dalam sana. Barulah setelahnya, ia menyesal telah melakukan hal tersebut. Yang paling tidak masuk akal adalah, gadis itu mencoba kembali esok harinya. Seperti tidak belajar dari kemarin.

"Ekhm."

Dehaman itu membuat Fira kalang kabut. Buru-buru ia bangkit kembali hendak mengangkat buku-buku di atas meja untuk dibawa ke kampus. Akan tetapi, sebelum hal itu terjadi, seseorang lebih dulu menahan agar tumpukan buku itu tak dibawa.

"Mau ke mana?" Nadanya terdengar mengintimidasi, seperti seorang ibu yang bertanya pada anaknya.

Fira menggigit bibir bawahnya. "Ke ... kampus." Sudah terbata, terdengar tak yakin pula. Gadis itu tidak tahu apa yang akan dipikirkan April terhadapnya.

"Jam tujuh?" April yang masih mengenakan piyama tidur, rambut sedikit berantakan, pun wajah tak kalah sama, menatap gadis di depannya itu dengan pandangan tak percaya. "Kamu pikir aku nggak tau jadwal kamu hari ini? Jam pertama itu nanti jam sembilan."

"Dosennya majuin jadwal." Sekarang, Fira malah terdengar mencicit. Seolah, ia tak mau lebih lama bersama dengan April, setidaknya untuk saat ini.

Fira hanya takut ditanyai. Terutama soal panggilan yang baru saja ia lakukan.

"Kamu bahkan baru hidupin HP."

Gadis berkemeja mocca itu mulai tahu ke mana arah pembicaraan mereka. Dari sudut matanya, Fira bisa melihat jika April bersedekap.

"Kamu mau ketemu sama Arya?"

Tuhan, itu yang Fira harapkan.

"Andai semudah itu," lirih Fira dengan kepala tertunduk. Pandangannya kosong.

Maniknya jatuh pada tumpukan buku yang masih ia usahakan untuk diangkat. Lantas dibawa dari sana. Entah ke mana. Mungkin pergi ke tempat di mana tak seorang pun bisa melihat ia menumpahkan tangis entah untuk yang keberapa kalinya.

April menyuarakan helaan napas pelan. Sementara matanya menatap khawatir pada Fira, tangan gadis itu menarik temannya menuju ke tepi ranjang. Fira mengikut saja. Lantas keduanya duduk saling berhadapan.

"Aku bukannya nggak suka kalau kamu sama Arya," ucapnya pelan sembari terus menatap Fira yang tertunduk. Sepertinya pijakan di bawah kaki mereka kian menarik. "Tapi kalau kamu nangis terus karena dia nggak bisa dihubungin gitu, sama aja dengan kamu nyiksa diri sendiri. Belum tentu juga kan dia ngelakuin hal yang sama."

"Dia pasti juga rindu, kok." Fira bersuara lagi, tetapi lebih terdengar seperti lirihan tak yakin. Rasa-rasanya, mata memanas, dadanya bergemuruh saat mengatakan hal itu. Bahkan, Fira saja tak yakin dengan ucapan sendiri.

"Tau dari mana?" April terdengar menantang. "Sejak terakhir kali kalian ketemu, dia pernah ngehubungin kamu? Atau setidaknya pernah ngirim pesan singkat?" Jeda sebentar, seolah April hendak melihat ekspresi Fira. Seperti dugaannya, Fira tak bisa menampik. "Nggak pernah."

"Udah berapa lama?"

Fira mendongak, balas menatap April dengan kernyitan bingung. Tak seberapa lama ia akhirnya mengerti, lalu lantas menjawab. "1536 jam. Kira-kira."

"Ra ...." Nada bicara April terdengar memperingatkan.

Gadis berkemeja mocca itu menghela napas panjang. "Dua bulan lebih."

Lelaki itu seperti angin. Kedatangannya tanpa sebuah tanda, tetapi kepergiannya malah menyisakan sesuatu yang sudah terporak-poranda. Hatinya. Berbagai cara telah dicobanya untuk menghubungi Arya. Akan tetapi, sama seperti keberadaannya, bahkan semua akun media sosial lelaki itu bahkan juga ikut lenyap. Seolah, telah membuat kesepakatan cukup lama jika hal tersebut akan terjadi.

April mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Fira. "Ra ... aku cuma mau ngasih tau, Arya mungkin nggak bisa kasih kamu kepastian."

Dadanya terasa dihantam batu besar. Fira meneguk ludah susah payah. Entah mengapa, perkataan itu seperti sebuah kenyataan pahit yang menyedihkan. "Ini masih dua bulan."

"Masih." April menyuarakan tawa hambar. "Terus kamu mau nunggu berapa lama lagi? Lima bulan, sembilan bulan? Atau sepuluh ribu jam kayak yang pernah kalian lalui?"

Fira masih membisu. Diam-diam terus membenarkan ucapan April. Tidak ada yang terdengar salah. Akan tetapi, semua ucapan-ucapan itu terus mengikis pertahanannya. Mulai menggoyah pendirian bahwa harus terus mempertahankan yang sudah ia mulai sejak bertahun lalu.

Sayangnya, hati itu masih terus memegang janji untuk bertahan.

April menghela napas lelah. Masih cukup pagi, ia bahkan belum menggosok gigi. Tapi lidahnya sudah gatal ingin meluapkan wejangan pada sang sahabat. Kurang apa lagi.

"Kamu paham nggak makna seseorang yang pergi, terus ngilang tanpa tau jejaknya?"

"Arya nggak ngilang. Dia bilang, dia di London. Kuliah di sana."

"Kamu bisa pastiin?"

Fira terdiam lagi. Sejujurnya, bahkan ia tak yakin jika Arya-nya benar-benar di sana. Akan tetapi, apakah Arya setega itu berbohong padanya?

"Seseorang menghilang, berarti dia nggak mau diganggu."

Tepat setelah kata itu meluncur, ribuan jarum terasa seperti menusuk dadanya. Disertai dengan tindihan batu besar. Fira merasa perih, sekaligus sesak. Matanya memanas, ingin menangis, tetapi rasanya bahkan tak sanggup.

Apa Arya merindukannya?

Apa Arya pernah sekali saja berpikir tentangnya?

Apa Arya selama ini memang menganggap Fira seperti duri pada batang mawar?

Apa Arya ... mencintainya?

Genggaman di tangannya kian mengerat. April seolah memberikan suntikan semangat lebih banyak. Hal itu terbukti dengan raut April yang tidak segarang tadi-lebih hangat, dengan ulasan senyum tipis.

"Aku paham posisi kamu, Ra. Mungkin kamu bener. Nggak ada salahnya nunggu sampai sepuluh ribu jam itu dulu. Kalau dia juga nggak ada, langkah selanjutnya adalah merelakan. Percuma kalau terus digenggam, kamu yang tersakiti."

Pandangan tertunduk tadi kian mendongak, balas menatap April. Ya, dia akan menunggu. Sampai sebegitu lama. Yang jadi pertanyaan, akankah Fira sanggup?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status