Tidakkah semuanya terasa begitu menyakitkan;
saat rindu tak kunjung tersampaikan?Risau mendekap dengan selimut tebal;padahal di luar sana, badai kemarau mengamuk besar.Tidakkah kau mau mengurangi beban gelisah,yang kian merajalela di lubuk dada?***
SMA 1 Perwira,
Semarang.Pertengahan September, 2018."Oh, mati!" umpatnya agak keras sembari menepuk dahi.
Di tengah lapangan dengan terik mentari yang merajalela, Fira ditarik-tarik lalu dihentikan mendadak saat teman berwajah orientalnya mungkin mengingat sesuatu. Gadis berkucir tinggi itu menghela napas. "Kenapa lagi?"
April menoleh dengan wajah berkerut khawatir yang tampak kentara. "Gawat, aku belum balikin buku Kimia ke perpustakaan. Tenggatnya hari ini."
"Nggak bisa nanti pulang sekolah?"
April, si gadis yang matanya sudah sipit itu, makin sipit saja. Rambut pendek bergaya bob-nya beterbangan terkena angin yang berembus gerah. Memandang Fira dengan pandangan cemas yang cukup kentara. "Nggak bisa. Cuma buka sampai jam istirahat habis."
Fira menghela napas, menaikkan sebelah alisnya. "Ya udah, sana."
Entah harus bersyukur atau tidak, Fira juga tidak tahu. Bel istirahat baru berbunyi kian menit lalu, April menarik tangannya untuk menemani membeli bakpao isi ayam di salah satu stand kantin yang katanya unlimited. Untungnya, April ingat untuk mengembalikan buku. Fira tak harus menahan pengap berada di kantin.
Akan tetapi, sekarang temannya itu akan meninggalkannya. Seperti April memang suka begitu. Saat pulang sekolah beberapa hari lalu ia juga tak kelihatan batang hidungnya. Andai saja saat hujan itu April bersamanya, mungkin Fira takkan sendirian di halte. Atau harus menahan pengap akibat tawa orang asing yang seolah ingin melesak masuk dalam kehidupannya.
Ah, ngomong-ngomong soal Arya. Lelaki itu tak lagi dilihatnya beberapa hari terakhir. Tepatnya setelah hujan di halte itu. Tidak tahu apakah Fira yang tak melihatnya atau memang Arya yang sengaja tak memunculkan diri.
"Mau nemenin, nggak?"
April membuyarkan Fira. Cepat-cepat ia menoleh dengan pandangan bingung sekaligus menimbang.
Ke perpustakaan? Itu artinya ia akan bertemu Arya? Mungkin sebaiknya tidak saja. Fira tidak siap. Lebih tepatnya, akan selalu tidak siap menubrukkan manik mata dengan milik Arya yang semisterius danau.
"Oh, nggak usah, ya." April berucap cepat. "Aku sendiri aja. Tungguin aku. Di sini atau di kelas juga nggak pa-pa." Gadis berwajah oriental itu memutar tumit menuju kelas, tetapi tak lama wajahnya menoleh lagi pada Fira. "Inget, nanti kita beli bakpaonya. Pokoknya harus beli."
Kemudian, punggung April menjauh pergi. Sesekali Fira dapat melihat jika temannya itu menghentakkan sepatunya ke tanah dengan kesal. Wajar, April sudah membicarakan tentang bakpao itu sejak pagi. Bayangkan harus menahan untuk makan makanan lembut itu lebih lama lagi.
Diam-diam, gadis itu bernapas lega. April tak lagi menariknya. Setidaknya ke perpustakaan itu. Ia tak siap, atau mungkin takkan pernah siap.
Fira memutar tumit, hendak berjalan menuju taman. Semoga saja tidak sangat-sangat ramai mengingat sekarang adalah jam istirahat. Namun, ke mana lagi gadis itu akan pergi? Kelasnya pasti akan begitu sumpek, di tempatnya berdiri sekarang hawanya membakar. Jangan tanyakan kantin, Fira benci berdesakan. Apalagi hanya untuk duduk sendirian di sana seperti orang bodoh.
Akan tetapi, langkahnya terhenti mendadak. Fira hampir terhuyung ke belakang saking kagetnya. Seseorang yang lebih tinggi darinya tiba-tiba berada di sana, seperti hantu. Sayangnya, mungkin hantu tak ada yang serapi itu, apalagi senyumnya.
Ah! Fira merutuki yang terakhir itu.
Gadis itu menghela napas pelan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdentum hebat. Entah apa artinya, pun Fira tak tahu. Lantas, ia melayangkan tatapan jengah. "Untung aku nggak punya penyakit jantung. Kamu dateng kayak hantu."
Tawanya berderai. Fira bisa melihat jika Arya sampai menyipitkan mata. "Mana ada hantu seganteng gini. Semua hantu di Indonesia itu jelek, pakaiannya lusuh."
Sejujurnya, Fira tak dapat menampik jika ucapan itu benar adanya. Akan tetapi, apakah saat ini waktu yang tepat untuk memamerkan kepercayaan diri?
Gadis dengan rambut dikucir tinggi itu tersenyum tipis, hampir tak terlihat. Lantas berjalan melewati Arya yang senyumnya perlahan memudar bekas sisa tawa. Seperti keputusan awalnya, ia akan pergi ke taman. Jika tak ada bangku yang tersisa, duduk di bawah pohon pun tak apa. Rasanya, kemarau mengamuk hari ini, hendak membakar seluruh pelataran sekolah.
Lihatlah, mengapa lelaki itu datang di saat yang tak terduga? Sudah berapa kali Fira mengatakan di dalam hati kalau ia tak siap, tak siap, entah kapan siap untuk bertemu Arya? Namun ... argh! Skenario apa sebenarnya yang disisipkan semesta di antara mereka berdua?
Dari sudut matanya, ia bisa melihat bahwa Arya mengikutinya. Seperti pacar? Ah, tidak! Jangan berpikir absurd, hei!
Sebenarnya, Fira sedikit penasaran mengapa Arya hari ini menyembunyikan tangannya di balik punggung tegap itu. Biasanya, tangan lelaki itu selalu berada di dalam kantong celana abu-abunya. Apakah ada yang ia sembunyikan?
Sayangnya, gadis itu malah mengharapkan kalau-kalau Arya membawakannya sesuatu. Coklat, es krim, atau air mineral juga boleh. Eh, apa, sih?
Fira mengerutkan bibir sekaligus mengerjab lama. Siapa dia berharap dibawakan hadiah? Haduh.
Langkah-langkah itu tepat berdiri di tempat yang lebih berwarna. Lebih dominan hijau sebab, hampir seluruh lokasi ditumbuhi rumput jenis gajah, pohon ketapang, pohon mangga, juga pohon cemara laut. Tempat paling menakjubkan di SMA 1 Perwira. Itu bagi Fira.
"Oohh, jadi kamu emang rencanain bawa aku ke sini, ngomong berdua biar romantis gitu?" celetuk suara bariton di sebelahnya.
Fira yang baru saja menapaki langkah di bawah pohon cemara lantas menoleh heran. "Kapan aku bilang gitu?" Kedua insan itu lantas saling memutar tumit ke sisi lawannya. Mereka saling berhadapan.
Arya balas menatap heran. Alis tebalnya bertaut. "Enggak, ya? Terus kita ngapain ke sini?"
Gadis itu menghela napas. Tiba-tiba ia pening. Bukan karena April yang seharusnya menarik Fira saja ke perpustakaan, bukan juga sebab Fira tak memilih langsung saja membelah keramaian di kantin untuk langsung membelikan April bakpao, pun bukan pula karena Fira belum memakan bekalnya. Lelaki ini ... seolah bertingkah untuk dipuja, ditakuti, juga untuk dihindari kehadirannya sekaligus saat sekali tatap.
"Aku memang mau ke sini. Seharusnya aku yang nanya, kenapa kamu ngikutin?" Fira menaikkan dagunya sedikit.
Arya tersenyum gugup diiringi dengan kekehan lirih yang terdengar canggung. Manik gelapnya itu berlarian kesana-kemari. Seolah memang memandang langsung pada Fira adalah tanda bahaya. "Aku mau tau nama kamu."
Sungguh tak menyerah lelaki ini ternyata. Dari kemarin tidak habis-habis ingin tahu nama Fira. Gadis itu hanya mengulas senyum tipis sebelum akhirnya helai daun cemara laut di atas mereka berjatuhan. Seperti gumpalan rambut, tetapi lebih tebal.
"Aku masih orang asing, ya?" Bibirnya melengkung sedikit ke bawah. Fira hampir tergelak. Namun ia menahannya dan berakhir mengulas senyum.
Arya mengangguk beberapa kali. "Baiklah. Izinkan orang asing ini mendekatimu agar tak jadi orang asing lagi." Ia tersenyum, tulus. Tak tampak sama sekali gurat geli atau jenaka di wajahnya. "Mohon terima hadiah dari orang asing ini, Nona yang selalu tersenyum."
Dua bunga berwarna dominan merah jambu tersodor di antara keduanya. Bunga kamboja. Kemungkinan diambil dari pohonnya langsung yang berada di antara perpustakaan dan kelas X IPS-1. Hanya di sana satu-satu pohon kamboja di sekolah.
Fira penasaran, mengapa tanaman yang katanya angker itu ditanam di sana. Penasaran juga apakah Arya berasal kelas X IPS-1. Yang lebih penasaran, mengapa Arya malah menghadiahinya bunga kamboja di saat lelaki lain lebih memilih mawar.
Gadis dengan rambut berkucir tinggi itu bingung, tetapi tak urung juga mengulas senyum. Matanya menatap Arya, lalu beralih pada bunganya, begitu beberapa kali. "Kamboja? Apa aku keliatan kayak kuntilanak?"
Derai tawa mengisi ruang di antara mereka. Suasana di taman itu yang tak bisa dikatakan sepi membuat beberapa pasang mata menatap kebingungan. Akan tetapi, Fira masih tak paham apa maksudnya.
Arya membuat Fira menerima dua bunga yang hampir melayu. Gadis itu memandaginya lamat-lamat, sedangkan Arya mengulas senyum sedikit lebar.
"Iya, kamu mirip kuntilanak kalau rambutnya digerai acak-acakan, pake baju putih lusuh, terus melayang-layang," kelakarnya lalu tertawa lagi. Fira hanya memandangi saja sampai Arya selesai dengan tawanya.
"Kamu nggak pernah baca filosofi bunga kamboja, ya?" Arya tersenyum saat maniknya dengan Fira saling bertubrukan. "Atau mungkin kamu taunya cuma, pohon kamboja itu dihuni makhluk halus, contohnya kuntilanak?"
Fira menggeleng sembari mengulum senyum. Itu yang biasa ia dengar dari orang-orang sekitarnya. Gadis itu hanya menyampaikan opini mereka. Lagipula, sedikit aneh juga Fira kurang kerjaan mencari hal itu di internet.
Lelaki jangkung itu mengangguk, tetapi senyumnya malah menunjukkan kegelian. Mungkin tak habis pikir mengenai Fira. "Dalam budaya orang Cina, kamboja itu maknanya cinta. Biasanya mereka memberikan bunga ini untuk mengungkapkan ...."
Keduanya menatap lama, saling menyelami manik milik lawannya.
"... perasaan."
Jantung Fira mungkin berhenti berdetak selama dua detik, lalu memompa darah lebih cepat. Membuatnya agak pening dan sesak napas. Fira kehilangan asupan oksigen yang seharusnya bisa membuat ia berpikir lebih cepat. Membuang muka dari wajah yang sudah mematri senyum yang sialnya malah membuat Fira semakin terpaku.
Tolong ingatkan Fira, apakah masih terlalu cepat untuk jatuh cinta?
Arya melangkah mundur, masih dengan senyum yang tampaknya tak urung meluntur. Tak seberapa jauh, tumitnya lantas memutar, lalu meninggalkan Fira yang masih terpaku dengan tangan menengadah berisi dua bunga Kamboja merah jambu. Kelopaknya tertiup semilir angin, membawa kembali kesadaran Fira.
Tunggu, tadi lelaki itu bilang apa?
Mengungkapkan perasaan?
Anak-anak rambut Fira yang bebas terbang tertiup angin yang entah sejak kapan malah berubah sedikit sejuk. Mengembuskan aroma musim semi yang penuh warna ke dalam dadanya. Gadis itu menunduk, mengadu pandang pada kelopak merah jambu di tangannya. Kedua sudut bibirnya perlahan naik malu-malu.
Fira ingin menggantung harapnya tinggi-tinggi. Setinggi cemara tempat ia bernaung, atau lebih tinggi juga tak apa. Akan tetapi, ia masih takut. Kalau-kalau harapnya terhempas lalu melesak ke dalam tanah, terkubur, dan tak bisa keluar lagi, bagaimana?
Atau kalau-kalau harapnya memang sudah naik, bagaimana jika ternyata Arya hanya sekedar mengatakan filosofi aneh kepadanya?
***
Asrama Putri No. 11
Universitas Galang Udayana, SemarangAwal Oktober, 2021Matanya tiba-tiba membuka. Gadis itu terjaga dengan titik-titik keringat yang membasahi dahi. Padahal, telinganya sendiri mendengar dengan jelas jika angin di luar sana tengah mencoba mengguncang pepohonan hingga membuat dedaunan bergemerisik berisik.
Dari balik tirai putih itu, nabastala tampak gelap. Mungkin masih tengah malam. Sayangnya, Fira tak dapat lagi menutup mata akibat mimpi yang berasal dari masa lalu.
Sebenarnya itu bisa disebut mimpi. Sebab, semua itu adalah kejadian nyata di masa dulu. Fira menggigit bibir dalamnya, menatap ranjang di atasnya dengan pikiran mengawang. Mengapa mencoba melepaskan harus selalu diiringi dengan langkah dari masa lalu?
...
Aku terjaga sepanjang malamBenakku menerawang,ketika kau berada di dekatkuApa kau tahu,siapa yang begitu sangat merindukanmu? ...[1]...Ia beringsut, mendudukkan diri di ranjang dengan selimut krem yang masih menutup tubuh. Kakinya ia tekuk, bersamaan dengan itu, tangannya memeluk lutut.
Fira tidak tahu mengapa tiba-tiba rasa rindu menyakitkan itu menjangkitinya kembali. Seolah, rasa itu berubah menjadi selimut tebal dan memeluk Fira erat-erat-tak membiarkan gadis itu untuk melepas dengan mudah begitu saja.
Helaan napas panjang menguar. Tiba-tiba saja malam terasa begitu sepi. Padahal, jelas-jelas tadi Fira mendengar angin tiba-tiba mengamuk mengguncang pepohonan. Juga, sepertinya April sudah pulas. Ada dengkuran halus yang ia dengar dari ranjang atas.
Fira memeluk dirinya sendiri. Ternyata kamu pergi, nggak sekedar pergi. Kamu ninggalin semua ingatan itu untuk aku tanggung sendiri.
Mengapa ingatan-ingatan itu tak henti menggangunya? Fira seolah punya dosa masa lalu sehingga memori yang seharusnya hanya hantu di sudut pikiran, malah memutari seisi kepalanya. Membayangi lalu membungkusnya dengan selimut yang amat membekukan.
...
Tiap kali aku menutup mata, tiap kali kuhendak terlelap,pikiranku selalu berkelana tentangmuAku tak bisa beristirahat,sebab aku terasa seperti hilang dalam pikiranmu....[1]...Gadis itu bersandar pada dinding di belakangnya. Mencoba menutup mata perlahan-berharap bisa kembali terlelap. Sayangnya, hal itu sama sekali tak berguna.
Tiap kedipnya terasa sepertinya membawa kepingan puzzle wajah lelaki itu. Wajah yang tak urung pergi dari kepalanya sebab janji sepuluh ribu jam. Terkadang Fira berpikir, apakah pernah sekali saja Arya merindukannya? Atau setidaknya mengingat jikalau dulu mereka pernah sama-sama tersenyum dengan alasan tak masuk konyol?
Lantas, jikalau rindu suatu hari membludak, tak dapat tertampung, pada siapa harus disampaikan? Siapa yang harus dipersalahkan?
...
Kuberharap kau ada di sini,bersisian denganku walau itu terasa tak mungkin...[1]...Andai saja. Andai berharap semudah angin menjatuhkan dedaunan kering di atas rerumputan, andai berasa semudah membalik telapak tangan, maka akan Fira lakukan.
Ah, tidak! Bukan berharap yang sulit, menunggunya terkabul.
Entah kapan. Mungkin dua detik kemudian, besok, seminggu, sepuluh ribu jam, atau bahkan tak mungkin.
Sayangnya, Fira tak berhenti sampai di situ. Meskipun kepalanya bilang jangan lagi berharap, hatinya diam-diam berbisik pada bintang, menggantung harap di ujung bulan sabit, lagi-lagi bersemoga agar pintanya lekas terkabul.
***
[1] Terjemahan bebas untuk penggalan lirik milik Nanon Korapat - มองกี่ทีก็น่ารัก (Cute Cute), dengan gubahan sedikit olehku.
Asrama Putri No, 11,Universitas Galang Udayana, Semarang.Awal Oktober, 2021.Tumpukan buku di atas meja belajar tersinari oleh cahaya yang berasal dari jendela. Tirai putih itu bergelombang terkena angin ringan, sesekali menyentuh lembut tumpukan itu. Sebelum akhirnya, sepasang tangan berkulit kuning langsat hendak mengangkatnya.Akan tetapi, pemilik tangan itu mengurungkan niat. Manik kecoklatan milik Fira berlarian seolah memikirkan sesuatu. Ia lantas melirik benda persegi panjang yang masih terhubung dengan kabel berwarna putih.Haruskah?Rautnya tampak menimbang-nimbang. Masih cukup pagi dan Fira sudah dirundung kebimbangan. Dengan setelah celanacapripa
Orang bilang, lebih baik mencari yang baru daripada menunggu. Namun, apakah orang baru menjamin akan lebih baik dari yang ditunggu?***Awal Oktober, 2021."Iya, Bunda." Bibirnya melengkung tipis, lalu menguarkan tawa lirih.Kaki berbalut celana capri panjang kecoklatan itu melangkah pelan di atas bahu jalan dengan tangan sibuk menahan benda persegi ke telinganya. Trotoar itu memanjang, sedikit berkelok berwarna keabu-abuan. Setiap sepuluh langkah sekali, ada pohon mahoni berdaun lebat yang menaungi setiap langkahnya. Membuat siang yang agak terik itu berubah sedikit sejuk.Sesekali, dedaunan coklat keemasan menghambur jatuh ke arahnya. Menghias senyum tulus Fira yang mendengar seseorang di seberang sana berceloteh ria. "Fira juga rindu, Bunda. Apalagi
Sama sekali tak berharap ada yang mengantikan tempatmu.Sebanyak apa pun yang singgah;sebanyak apa pun yang menyatakan cinta,aku bisa apa? Yang kulakukan hanya menunggu kapalmu;kembali ke pelabuhanku.***Awal Oktober, 2021.Angin berembus lembut—menggoyang dedaunan hingga menimbulkan bunyi gemerisik menenangkan. Membuat siang yang semakin menua itu tak lagi begitu gerah. Selang beberapa lama, dedaunan berbentuk tak simetris berwarna coklat kemerahan jatuh dari rantingnya, menemui rerumputan. Seolah memberi pesan, bahwa sejauh apa pun jarak, jika memang tempatnya, sesuatu itu
Akhir September, 2018.Pelataran sekolah terbakar. Angkasa seolah ingin memayungi para insan dengan panas membara. Meskipun begitu, kepala sekolah tetap saja mengumpulkan para siswanya di lapangan. Beruntungnya, mereka diperbolehkan berteduh di bawah pohon yang tumbuh di pinggirannya.Bukan tanpa sebab, para siswa terpilih yang karyanya dipajang di mading sekolah kemarin akan mendapatkan hadiahnya langsung di hari itu. Walaupun terkesan tidak terlalu penting, tetap saja kepala sekolah memilih mengumpulkan para siswa SMA 1 Perwira sebagai bentuk kehormatan dan contoh agar ke depannya ada yang bisa berusaha memberikan karya terbaiknya lagi.Sepuluh murid—empat siswa dan enam siswi—dikumpulkan menghadap pada semua orang. Mereka diberi penghargaan dan juga hadiah yang telah dijanjikan. Siswa lainnya pikir, acaranya hanya sampai di sana. S
Awal Oktober, 2021.Di tengah gelapnya langit, bulan sabit menggantung cantik. Ia tak sendiri, ada ribuan bintang menemani. Sesekali angin bertiup; membuat dedaunan gemerisik sedikit, beberapa yang berwarna kemerahan lolos dari rantingnya dan jatuh menemui rerumputan. Hujan jatuh sebentar tadi sore, tetapi begitu bagaskara tenggelam, langit tampak cerah. Seolah tidak terjadi apa pun sebelumnya.Jendela di kamar itu belum juga ditutup. Tirai putihnya yang disingkap sedikit membuatnya berayun mengikuti irama angin yang tertiup. Sesekali menyapa lengan seorang gadis yang duduk di meja belajarnya; fokus pada selembar kertas dan pensil, sibuk mencorat-coret."Ra?" panggil gadis lain yang duduk di ranjang bagian bawah kamar itu. Di pangkuannya ada laptop yang menyala, sedangkan di atas tempat tidur sudah berserakan berbagai macam jenis buku. "Kamu begadang, nggak?"
Pertengahan Oktober, 2018."Ini udah malem, Arya. Kamu kesambet apa?"Udara dingin yang membekukan kulit masih terasa akibat hujan yang turun sepanjang hari. Di bawah naungan langit malam berhias bintang satu dua, mereka duduk di pinggir lapangan sepakbola beralaskan rerumputan lembap. Dengan penerangan yang berasal dari tiang lampu terdekat, sesekali dua remaja itu mendengar kumpulan jangkrik bersuara saling bersahutan; memecah heningnya malam yang dingin."Enggak pa-pa. Aku cuma rindu kamu aja." Seolah tak ada beban saat Arya melontarkan sahutannya.Lelaki itu menoleh sebentar pada Fira lalu kembali memaku tatap pada langit. Gadis itu melihat sekilas jika sudut bibir Arya naik sedikit. Bintang tak lagi muncul satu dua, awan
Sesuatu yang tidak kita suka terkadang malah mengantarkan pada suatu lain yang lebih tak terduga.Semesta memang atipikal, leluconnya selalu abnormal.***Awal Oktober, 2021.Siulan lirih angin menyapa telinga, sesekali menerbangkan lembaran-lembaran kertas di buku yang dibiarkan terbuka di atas rumput gajah mini. Sembari bersandar di pohon pinus menjulang dengan beberapa buahnya yang berguguran, Fira sibuk dengan tulisan-tulisan di kertas double folio. Suasana menenangkan ditambah pemandangan yang memanjakan membuat gadis itu tak lelah terus menerus berkutat pada tugas yang baru saja diberikan dosennya beberapa saat lalu.Langit betah memangku awan keabu-abuan terang. Membuat hari menjelang siang itu sedikit sejuk.
Tak terlalu mencengangkan mengingat hujan teguh mengambil peran dalam tiap-tiap lembar cerita. Seolah semesta telah mengancang suasana yang tepat untuk insan bersuka duka.***Pertengahan Oktober, 2021."Aku ada kelas tambahan, Ra. Kayaknya bakal pulang sore banget." Suara di seberang telepon terdengar kecewa sekaligus lelah, tetapi pada akhirnya tetap juga berakhir pasrah.Fira memindahkan ponsel dari telinga kanannya ke telinga kiri; berdiri dengan tatapan kosong di teras keramik Fakultas Teknik. Lantai yang dekat dengan paving block persegi panjang tersusun miring-miring sesekali terkena cipratan air yang jatuh terlalu tergesa-gesa dari langit. Setelah awan bertahan bergulung-gulung seharian dan angin yang bersitahan bertiup dingin, di siang itu hujan menjat