Semakin tinggi harap, akan semakin sakit ketika dijatuhkan. Itu sebabnya orang melarang untuk berasa pada yang tak pasti. Terutama pada cinta yang akan selalu berujung perih.
***
Asrama Putri, No. 11
Universitas Galang Udayana, Semarang Awal Oktober, 2021Angin membuat pepohonan saling menggesek dedaunan. Terdengar merdu ketika memasuki sebuah ruangan senyap ketika penghuninya sibuk menatap lembaran memo singkat di ujung jari. Aksaranya tak hanya membawa bermacam pertanyaan, tetapi juga ... sebuah harapan.
Apa ini dari Arya?
Jantungnya berdegup kencang, darah berdesir hebat. Fira merasa sesak, seperti kehabisan oksigen. Matanya hampir memanas. Hendak melesakkan air mata yang siap kembali turun.
Namun, ia lekas tersadarkan. Harapnya hanyalah sekedar asa. Semesta akan terlalu baik untuk mengabulkan semuanya.
Manik kecoklatannya mengerjab sebentar. Mencoba menahan dinding yang hendak roboh lagi itu. Tidak, jangan lagi. Jika begini, Fira akan kembali ditekan rasa bersalah terhadap ibunya.
Akan tetapi, sisi lain dari kepalanya mencoba untuk memberontak. Fira mendongak, menatap pintu bercat putih di depannya. Dia hanya memastikan. Berharap dalam diam jika mungkin seseorang itu berdiri di balik pintu ini dengan senyum yang menampakkan lengkungan dalam di pipi, gigi-gigi berjejer rapi, juga rentangan tangan untuk mendekap erat. Menumpahkan segala rindu yang tak pernah terucap atau terlukis secara jelas.
Tangannya sudah berada di handle pintu, detak jantung kian berdentum hebat. Gadis itu menghela napas panjang sebelum akhirnya menarik daun pintu untuk terbuka.
Harapnya runtuh. Sayang sekali menaruh harap pada angin, ia bahkan tak mau tahu jika kau beringin. Anganmu sekedar terbang, mengambang sebentar, lalu hilang.
Sebenarnya sakit yang dirasakan Fira tidak begitu menusuk. Ia sudah terbiasa dengan harap tinggi yang tiba-tiba dilesakkan ke dalam tanah agar tak kembali naik. Pun, di depan pintu itu, telah berdiri seorang gadis dengan tangan yang seperti hendak menggapai handle pintu. Dengan berbagai bungkusan memenuhi kedua tangan, ia memberikan cengiran lebar pada Fira.
"Woahh, Fira! Kamu kayak cenayang, deh, bisa tau kapan aku pulang!" seru gadis itu heboh, lalu menerobos masuk dengan sepatu hak setinggi tiga sentimeter.
April tidak tahu, padahal Fira bukan berniat membukakan pintu untuknya.
Fira melotot. "Heh, sepatu!" Entah apa saja yang alas kaki itu injak di luaran sana. Mengapa April dengan seenaknya menjejakkan sepatu itu di lantai yang biasanya tempat mereka makan bersama?
Gadis berbaju putih dan bercelana denim biru tua itu meletakkan kantong-kantong plastik putih di kaki ranjang dekat dengan meja belajar. Fira tidak tahu berapa banyak dan apa saja yang April beli. Akan tetapi, itu benar-benar mengganggu mata.
"Eh—" April melirik ke bawah, pada kaki sendiri, lalu tertawa cengengesan. Melepaskan dengan tergesa sepatu berhak setinggi tiga sentimeter berwarna kebiruan itu. Matanya tak lekas lepas dari Fira yang bersandar di daun pintu dengan raut mengintimidasi.
Sementara Fira menggeleng pelan lalu berjalan santai ke ranjang tingkat dua, April sendiri melesat masuk ke dalam kamar mandi dengan baju ganti dalam pelukannya. Fira sendiri menjatuhkan diri di ranjang bagian bawah, bersusah payah menggapai benda persegi yang tergeletak tanpa daya di atas meja belajar.
Ia akan mengisikan daya untuk ponselnya. Seharusnya, hal tersebut tak lagi penting. Mengingat, tangannya akan jahil mencoba menghubungi yang tak semestinya dan membuka memori lama yang menyayat raga. Hanya karena Fira masih membutuhkan informasi dari kampusnya. Tugas mendadak atau mungkin jadwal mata kuliah yang tiba-tiba saja dibatalkan.
"Ra," panggil April begitu ia keluar dari kamar mandi. Fira menoleh. "Tadi aku teleponin nggak aktif. Padahal mau nanya minta dibeliin apa."
Fira menghela napas panjang. "Habis baterai."
Langkah gadis berwajah oriental dan berkulit lebih putih dari Fira itu menuju bungkusan-bungkusan di dekat meja belajar. "Oohhh ...." Nadanya terdengar sedikit abai. "Nggak heran, sih." Lantas menyambung seakan sudah terbiasa dengan hal tersebut.
"Perginya siang, pulang malem. Kamu kayak kerja keras bagai kuda. Padahal ternyata ngabisin duit." Fira berdecak keras, mencibir teman sekamarnya yang mengeluarkan berbagai benda yang ia beli. Ternyata isinya lebih banyak makanan ringan dibanding alat-alat perkuliahan yang April bilang sebelum pergi siang tadi.
Gadis yang duduk di ranjang itu mengubah posisinya menjadi telungkup, menghadap pada April yang masih sok sibuk. "Kayaknya kamu ngeborong isi supermaket."
"Ya, iya," sahutnya semangat, tetapi seolah menyadari sesuatu lalu menoleh pada Fira. "Eh, enggak. Aku kan belinya satu-satu, jadi nggak bisa dibilang ngeborong."
Bentuk pembelaan yang baik sekaligus bodoh. Fira hanya menghela napas panjang lalu membalikkan tubuhnya. Menatap ranjang di atasnya yang beralaskan besi berwarna biru keabu-abuan. "Jadi kamu nggak beliin aku something karena telepon aku mati?"
"Beliin, kok!" Suara April terdengar bersemangat. "Kalau mau, kamu bisa makan jajanan ini. Aku letakinnya di sini aja." Terdengar lagi suara kasak-kusuk plastik yang bergesekan. "Tapi aku beliin juga kamu mie aceh. Kamu suka, kan?"
Fira mengulum bibirnya. Ia lumayan suka jenis makanan dari daerah Sabang itu. Hanya saja, sekarang sudah cukup larut untuk makan makanan berat. "Kamu beli di mana?" Anehnya, malah kalimat itu yang terlontar dari bibirnya.
"Itu ... di dekat SMA ..., aduh, apa ya, namanya?" Tanpa melihat pun, Fira tahu jika April pasti tengah menggaruk kepala di bagian dekat ikatan rambutnya. "Eh, bodoh! Itu, loh, SMA kita dulu. Pikun aku." Suaranya lantas terdengar merengek.
Ah, baiklah. Fira kehilangan selera untuk makan sekarang. Kedai mie itu terletak di depan sekolahnya dan April dulu. Tepat di depan halte. Baru buka saat mereka baru pertama kali bersekolah di sana.
"Nih, ambil. Mumpung masih anget mie-nya."
"Nggak usah. Aku nggak laper," sahutnya sembari berpaling. Memilih memutar diri untuk menyamankan bantal putih dan selimutnya—hendak beristirahat sebentar dari semesta yang kerap kali mempermainkan.
Padahal sebetulnya, ia yang terlalu berekspektasi tinggi.
"Loh?" April menyipitkan mata. Gadis dengan wajah oriental itu melongok ke ranjang. Di sana, Fira sudah terbaring dengan selimut berwarna putih yang sudah menutupi sekujur tubuh termasuk kepala. "Padahal biasanya suka mie aceh," gumamnya kemudian.
Gadis dengan piyama biru muda itu menatap lagi bungkusan mie di depannya. "Terus, yang mau makan siapa?" April mengernyit sebentar lalu bergidik acuh. "Ya, udah. Aku aja kalau gitu."
Di dalam selimut, Fira termenung. Berusaha mencegah kembali kepingan memori yang mencoba melesak masuk dalam ingatannya. Bersusah payah membuka pintu yang Fira tutup rapat-rapat. Namun sayangnya, pintu itu tak terkunci. Membuat kepingan itu dengan mudah masuk. Meluluhlantakkan pertahanan tak seberapa yang Fira miliki.
Ternyata gini, sakitnya rindu tak terobati. Tangis tanpa isak, juga memori yang tak ingin diingat malah masuk melesak.
***
SMA 1 Perwira
Semarang Pertengahan September, 2019Tiupan angin yang membekukan kulit lantas menggelitik begitu kakinya menapak di beton dalam naungan halte. Bibir tipis gadis itu meniup pelan saat matanya menangkap jarum-jarum halus turun menghantam bumi. Kian deras. Pun nabastala berisyarat jika beban yang turun akan bertahan lama. Membuat Fira berpikir sejenak, mungkin ia akan terjebak di sana dalam beberapa jam ke depan.
Sangat aneh. Padahal saat pagi hingga menjelang siang tadi, langit tampak sangat terang. Saking bersihnya, bahkan mega seolah tak mau mengotori birunya nabastala. Pun, seharusnya di bulan ini kemarau yang merajalela.
Gadis berseragam putih abu-abu juga tas sandang berwarna peach itu menghela napas panjang-panjang. Sembari menatap angin yang mengarak gumpalan-gumpalan mega berwarna keabu-abuan, kedua tangannya saling menggosok—hendak memberikan hangat kala angin kencang tiba-tiba menerpanya membawa serta tempias rinai.
Keadaan halte di depan sekolah yang tadinya ramai kian berganti dengan sepi. Beberapa siswa telah dijemput, baik dengan sepeda motor maupun mobil. Sedangkan bus yang biasanya sudah melimpir di depan situ, tak juga kunjung kelihatan. Semakin lama, hanya tinggal dirinya yang berdiri di sana. Memeluk diri sendiri berharap angin yang mengembus tubuhnya terhenti, pun dengan hujan yang tampaknya tak reda dalam waktu dekat.
"Haaahhhh ...."
Lenguhan panjang dari seseorang bersuara sedikit berat memenuhi pendengaran gadis itu. Kepalanya tertarik menoleh dengan cepat pada kiri halte. Seorang lelaki dengan celana training hitam bergaris putih, sepatu olahraga berwarna putih, serta jaket hitam parasut, juga topi hitam tiba-tiba menjejakkan kaki di bawah naungan halte. Napasnya agak tersenggal, seperti baru saja berlari dari sekolah melewati hujan lalu memilih bernaung di halte.
Aneh sekali, padahal jika di sekolah, lelaki itu bisa masuk dalam kelas. Tidak terkena hujan dan lebih hangat. Berbeda dengan Fira yang memang sudah di sini sejak titik air pertama dari langit turun membasahi bumi.
Tampaknya lelaki itu belum menyadari keberadaan Fira di sana. Terlihat dari ia yang sibuk menepuki jaket parasutnya yang mungkin hampir basah. Barulah beberapa saat, ia melempar tatap pada Fira.
Gadis itu mengernyit heran. Pasalnya, topi yang digunakan lelaki itu hampir menutupi separuh wajah, jadi ia tak dapat mengenali dengan pasti.
"Eh, kamu!" panggilnya seolah sedikit terkejut, lalu berakhir pada derai tawa ringan.
Fira masih bertahan dengan kernyit bingung. Berkedip beberapa kali.
"Oohh ...." Ia tertawa lagi. Tawa yang sepertinya Fira kenal, tetapi tak yakin. Takut-takut jika salah. Seolah mengetahui raut wajah Fira, lelaki itu melepas topinya, lalu tersenyum hingga hampir menampakkan deretan giginya. "Masih inget, kan?"
Gadis yang masih memeluk diri sendiri itu tersenyum canggung lantas mengangguk singkat. Kepalanya kembali menghadap depan, pada tetesan hujan yang turun malah kian menderas jatuh berdebam di aspal hitam. Ya ... bagaimana Fira tak ingat. Tentu saja. Lelaki yang sama dengan yang memberinya buku mengenai Virus, juga lelaki yang sama dengan yang ia beri sebotol air minum beberapa hari lalu. Fira ingat. Mana mungkin lupa.
"Belum dijemput, ya?" Arya bersuara lagi. Fira merasa jika lelaki itu memangkas jarak di antara mereka. Ia merasakan jika bahunya sedikit tersenggol.
Gadis itu menurunkan tangannya. Melirik singkat pada insan di sebelah. "Enggak juga. Lebih tepatnya nunggu jemputan."
"Hmm?"
Fira yakin lelaki itu pasti sangat bingung dengan ucapannya. Gumam tanya dan mungkin alis lelaki itu juga saling bertautan. Akan tetapi, Fira tak perlu memastikan. Cukup membayangkan.
"Maksudnya nunggu bus."
"Oohhh ...." Arya menderaikan tawanya lagi. Namun, berakhir terdengar seperti canggung di telinga Fira.
Sepertinya, bukan hanya dirinya yang ikut canggung jika saling dipertemukan lagi seperti ini. Masalahnya, Fira tak lagi bisa berlari seperti kemarin. Paling-paling hanya menyembunyikan wajah akibat mengatakan hal yang sangat bodoh.
Baru sebentar, Fira merasakan tubuhnya dituntun untuk mundur. Arya menyentuh kedua pundaknya lalu membuat gadis itu bergerak beberapa langkah ke belakang.
Melihat Fira yang beraut penuh tanya, Arya menjawab dengan senyum tipis. "Itu. Kalau terlalu ke depan, bakal kena tempias hujan. Terus, anginnya juga lebih kencang." Lalu, kalimat itu berakhir dengan ia yang menyentuh tengkuk sendiri. Lantas, hening kembali.
Lelaki itu bahkan tak butuh memberikan jaketnya untuk menjadi seorang gentleman. Cara lain untuk membuat seseorang tetap hangat adalah dengan bersikap hangat.
Awalnya, gadis itu tak mau memecah hening di antara mereka. Tak mau mengganggu suara butiran hujan yang turun merajalela menapaki bumi. Namun, ada satu pertanyaan mengganjal di kepalanya yang membuat Fira mau tak mau harus bertanya.
Fira menoleh ke kanan—pada Arya yang tampak menengadah menatap hujan dari loteng halte. "Dari mana kamu tau kalau kita itu sama-sama kelas sepuluh?"
"Hmm?" Arya menoleh, tampak berpikir sejenak. Lantas tak lama, ulasan senyum hangat muncul di bibirnya. Seolah bisa menghangatkan naungan halte yang dingin beberapa waktu terakhir. "Mudah aja. Aku pernah liat kamu pas MPLS." ...[1]
Fira mengernyit lalu mengangguk paham. Itu artinya mereka pernah berada di satu tempat yang sama. Lelaki itu melihat—atau mungkin juga memerhatikan—sayangnya Fira bahkan baru mengetahui Arya dua bulan sejak masa itu.
"Oh!" Fira hampir terperanjat akibat seruan lelaki di sampingnya. "Maaf, maaf," ucapnya lalu berakhir tawa. "Kamu belum ngasih tau nama kamu."
Sama seperti terakhir kali, Fira hanya memberikan senyum tipis lalu beralih menatap ke depan. Hujan tak kunjung reda, masih betah turun. Pun, bus kota juga tak kunjung kelihatan. Ada apa dengan semesta? Mengapa seolah berencana untuk menjebak dua insan itu di sana?
"Ey!" Arya menepuk bahu Fira. Membuat gadis yang sekarang kembali memeluk tubuhnya itu menoleh lagi. Berkedip beberapa kali. "Kalau ada orang yang nanya itu, dijawab atuh, Neng. Ibu saya bilang, tak sopan."
Tiba-tiba aksen bicara Arya berubah. Fira ingin tertawa, tapi ia menahannya sekuat tenaga. Pada akhirnya, ia hanya tersenyum sembari menghela napas.
"Bunda bilang, jangan kasih tau nama sama orang asing." Fira memberi jeda. "Terutama sama cowok." Ia menyentuh bahu Arya dengan telunjuknya sejenak. Lantas, gadis itu kembali menatap ke depan dengan senyum yang dikulum.
Jeda sebentar. Tidak. Ini terlalu lama. Akan tetapi, Fira tak berani menoleh. Takut jika nanti matanya bertubrukan dengan manik semisterius danau itu.
"Hoo ... baiklah." Arya menghela napas panjang. "Kalau aku panggil cewek senyum aja gimana? Soalnya kamu suka senyum-senyum kayak sekarang gini."
Senyum di bibir Fira berganti lekuk bingung. Alisnya bertaut sebentar lalu berkedip beberapa kali. Tak lama, ia menghela napas panjang lalu tersenyum tipis lagi. Cowok yang aneh.
"Atau ... mau dipanggil cewek kedip-kedip? Kamu kalau lagi bingung suka kedip-kedip soalnya." Tawa Arya berderai lagi.
Fira menoleh dengan cepat, bingung harus berekspresi bagaimana. Lelaki di sampingnya itu tertawa hingga matanya hilang. Sedikit lucu. Sudut bibir gadis itu naik lagi. Bentuk sebuah rasa kagum.
...
Why'd you have to be so cute?It's impossible to ignore you....[2]...Apakah terlalu cepat untuk jatuh sekarang? Seluruh dunia seolah mengabur. Dentuman hujan yang jatuh di atap halte dan menabrak aspal tak lagi didengarnya. Hanya tawa renyah milik lelaki di depan ini. Juga, tak ada bangku, tiang penyangga halte, atau tanaman menjulang hijau di belakang mereka. Semuanya mengabur. Berada pada satu titik fokus. Arya.
Suara klakson lantas menyadarkan Fira dengan cepat. Ia menoleh ke depan, sebuah bus berwarna putih berhenti. Gadis itu melirik lelaki di sampingnya. Dia tak lagi tertawa. Hanya memberikan senyum hingga membuat pipi kirinya berlubang.
"Aku pulang duluan, ya," pamit Fira kemudian beranjak menuju pintu bus. Sebelum itu, tak lupa ia memberikan sebuah senyum tipis.
"Daahh ... cewek senyum!" pekiknya begitu Fira baru saja menutup pintu bus.
Dari balik kaca, gadis bisa melihat jika tangan kanan Arya melambai padanya. Lagi-lagi, Fira hanya tersenyum menanggapi. Sepertinya, panggilan itu memang cocok untuknya. Fira selalu tersenyum kalau dekat dengan Arya.
Bus bergerak, dimulai dengan berjalan lambat lalu melaju. Dari tempat duduknya, dari balik kaca bening yang terlihat kehijauan, Fira masih bisa melihat Arya ikut menatapnya. Menampilkan senyum yang tak lantas memutar.
Bukan, bukan Fira yang memang suka tersenyum. Lelaki itu yang membuatnya melakukan itu.
***
[1] Untuk yang belum tau, MPLS itu punya kepanjangan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah. Sekarang lebih dikenal dengan MOS (Masa Orientasi Siswa).
[2] Penggalan lirik milik Ariana Grande - goodnight n go.Tidakkah semuanya terasa begitu menyakitkan;saat rindu tak kunjung tersampaikan?Risau mendekap dengan selimut tebal;padahal di luar sana, badai kemarau mengamuk besar.Tidakkah kau mau mengurangi beban gelisah,yang kian merajalela di lubuk dada?***SMA 1 Perwira,Semarang.Pertengahan September, 2018."Oh, mati!" umpatnya agak keras sembari menepuk dahi.Di tengah lapangan dengan terik mentari yang merajalela, Fira ditarik-tarik lalu dihentikan mendadak saat teman berwajah orientalnya mungkin menging
Asrama Putri No, 11,Universitas Galang Udayana, Semarang.Awal Oktober, 2021.Tumpukan buku di atas meja belajar tersinari oleh cahaya yang berasal dari jendela. Tirai putih itu bergelombang terkena angin ringan, sesekali menyentuh lembut tumpukan itu. Sebelum akhirnya, sepasang tangan berkulit kuning langsat hendak mengangkatnya.Akan tetapi, pemilik tangan itu mengurungkan niat. Manik kecoklatan milik Fira berlarian seolah memikirkan sesuatu. Ia lantas melirik benda persegi panjang yang masih terhubung dengan kabel berwarna putih.Haruskah?Rautnya tampak menimbang-nimbang. Masih cukup pagi dan Fira sudah dirundung kebimbangan. Dengan setelah celanacapripa
Orang bilang, lebih baik mencari yang baru daripada menunggu. Namun, apakah orang baru menjamin akan lebih baik dari yang ditunggu?***Awal Oktober, 2021."Iya, Bunda." Bibirnya melengkung tipis, lalu menguarkan tawa lirih.Kaki berbalut celana capri panjang kecoklatan itu melangkah pelan di atas bahu jalan dengan tangan sibuk menahan benda persegi ke telinganya. Trotoar itu memanjang, sedikit berkelok berwarna keabu-abuan. Setiap sepuluh langkah sekali, ada pohon mahoni berdaun lebat yang menaungi setiap langkahnya. Membuat siang yang agak terik itu berubah sedikit sejuk.Sesekali, dedaunan coklat keemasan menghambur jatuh ke arahnya. Menghias senyum tulus Fira yang mendengar seseorang di seberang sana berceloteh ria. "Fira juga rindu, Bunda. Apalagi
Sama sekali tak berharap ada yang mengantikan tempatmu.Sebanyak apa pun yang singgah;sebanyak apa pun yang menyatakan cinta,aku bisa apa? Yang kulakukan hanya menunggu kapalmu;kembali ke pelabuhanku.***Awal Oktober, 2021.Angin berembus lembut—menggoyang dedaunan hingga menimbulkan bunyi gemerisik menenangkan. Membuat siang yang semakin menua itu tak lagi begitu gerah. Selang beberapa lama, dedaunan berbentuk tak simetris berwarna coklat kemerahan jatuh dari rantingnya, menemui rerumputan. Seolah memberi pesan, bahwa sejauh apa pun jarak, jika memang tempatnya, sesuatu itu
Akhir September, 2018.Pelataran sekolah terbakar. Angkasa seolah ingin memayungi para insan dengan panas membara. Meskipun begitu, kepala sekolah tetap saja mengumpulkan para siswanya di lapangan. Beruntungnya, mereka diperbolehkan berteduh di bawah pohon yang tumbuh di pinggirannya.Bukan tanpa sebab, para siswa terpilih yang karyanya dipajang di mading sekolah kemarin akan mendapatkan hadiahnya langsung di hari itu. Walaupun terkesan tidak terlalu penting, tetap saja kepala sekolah memilih mengumpulkan para siswa SMA 1 Perwira sebagai bentuk kehormatan dan contoh agar ke depannya ada yang bisa berusaha memberikan karya terbaiknya lagi.Sepuluh murid—empat siswa dan enam siswi—dikumpulkan menghadap pada semua orang. Mereka diberi penghargaan dan juga hadiah yang telah dijanjikan. Siswa lainnya pikir, acaranya hanya sampai di sana. S
Awal Oktober, 2021.Di tengah gelapnya langit, bulan sabit menggantung cantik. Ia tak sendiri, ada ribuan bintang menemani. Sesekali angin bertiup; membuat dedaunan gemerisik sedikit, beberapa yang berwarna kemerahan lolos dari rantingnya dan jatuh menemui rerumputan. Hujan jatuh sebentar tadi sore, tetapi begitu bagaskara tenggelam, langit tampak cerah. Seolah tidak terjadi apa pun sebelumnya.Jendela di kamar itu belum juga ditutup. Tirai putihnya yang disingkap sedikit membuatnya berayun mengikuti irama angin yang tertiup. Sesekali menyapa lengan seorang gadis yang duduk di meja belajarnya; fokus pada selembar kertas dan pensil, sibuk mencorat-coret."Ra?" panggil gadis lain yang duduk di ranjang bagian bawah kamar itu. Di pangkuannya ada laptop yang menyala, sedangkan di atas tempat tidur sudah berserakan berbagai macam jenis buku. "Kamu begadang, nggak?"
Pertengahan Oktober, 2018."Ini udah malem, Arya. Kamu kesambet apa?"Udara dingin yang membekukan kulit masih terasa akibat hujan yang turun sepanjang hari. Di bawah naungan langit malam berhias bintang satu dua, mereka duduk di pinggir lapangan sepakbola beralaskan rerumputan lembap. Dengan penerangan yang berasal dari tiang lampu terdekat, sesekali dua remaja itu mendengar kumpulan jangkrik bersuara saling bersahutan; memecah heningnya malam yang dingin."Enggak pa-pa. Aku cuma rindu kamu aja." Seolah tak ada beban saat Arya melontarkan sahutannya.Lelaki itu menoleh sebentar pada Fira lalu kembali memaku tatap pada langit. Gadis itu melihat sekilas jika sudut bibir Arya naik sedikit. Bintang tak lagi muncul satu dua, awan
Sesuatu yang tidak kita suka terkadang malah mengantarkan pada suatu lain yang lebih tak terduga.Semesta memang atipikal, leluconnya selalu abnormal.***Awal Oktober, 2021.Siulan lirih angin menyapa telinga, sesekali menerbangkan lembaran-lembaran kertas di buku yang dibiarkan terbuka di atas rumput gajah mini. Sembari bersandar di pohon pinus menjulang dengan beberapa buahnya yang berguguran, Fira sibuk dengan tulisan-tulisan di kertas double folio. Suasana menenangkan ditambah pemandangan yang memanjakan membuat gadis itu tak lelah terus menerus berkutat pada tugas yang baru saja diberikan dosennya beberapa saat lalu.Langit betah memangku awan keabu-abuan terang. Membuat hari menjelang siang itu sedikit sejuk.
Juni, 2025.Di satu waktu, di lengang tempat yang dipenuhi orang-orang saling bercengkerama, seseorang pernah berkata kalau tidak ada akhir bahagia untuk siapa pun juga, semua tetap akan berakhir pada satu tempat, tanah.Dia berkata sembari tertawa ringan, tanpa beban. Padahal kita semua mengetahui bahwa tiap-tiap manusia pasti akan selalu mencari bahagia di sepanjang hidupnya. Jadi, kalau nanti memang sudah waktunya untuk pergi dari dunia, ada rasa tenang ketika tubuh memang benar-benar menyentuh tanah.Kesimpulannya semua memang tidak ada yang akan berakhir mengembirakan, tetapi pasti ada banyak persimpangan jalan yang menyediakan bahagia setelah menempuh terlalu banyak rintangan.Tiga tahun lalu, ketika Arya dan Fira saling berbagi peluk dan tangis haru sebab restu semesta berakhir menjadi temu, kedua insan itu tahu jika bahagia di situ bukanlah bahagia yang paling akhir yang b
Juni, 2022.Jemari di genggaman tangan itu terasa dingin dan bergetar. Lorong panjang yang kebanyakan terbuat dari kaca tebal, nyatanya malah membubuhkan terlampau banyak kegelisahan dan gugup di satu waktu yang singkat. Arya Alvaro tahu sendiri, tindakannya untuk kembali ke London terburu-buru bukanlah hal yang pasti akan berakhir baik. Namun, menunda waktu lebih banyak lagi bukan berarti akan menunda hal-hal buruk lainnya.Langkah seseorang di belakangnya berhenti mengayun, mau tak mau memaksa laki-laki itu juga menghentikan langkah. Mereka hanya tinggal sedikit lagi saja, terhalang sebuah pintu kaca, menjemput restu semesta katanya. Akan tetapi, begitu tumitnya berbalik menghadap gadis berkucir itu, Arya merasa kalau kalut sedang membaur bersama dinginnya gugup yang semakin tak keruan saja.Zhafira Freya berdiri memaku di tempat, bahunya merosot sedikit, sepasang mata bermanik kecokelatan itu j
April - Mei 2022.Langkah yang menjejak pelan mencumbui ubin kayu dengan ritme konstan. Hampir sampai, tetapi kakinya berhenti mengayun tepat di penghujung belokan. Dengan pandangan menunduk, laki-laki itu menatap segenggam kamboja di tangan sembari memangku wajah kelewat riang.Begitu banyak yang terjadi dalam berbulan terakhir. Sejujurnya, Arya tidak tahu bagaimana atau dari mana harus memperbaiki. Berjibun keping hati yang mesti dipasang kembali. Dan di sini Arya menapakkan kaki saat ini, berdiri di ujung lorong dengan asa untuk dapat mencoba mencuri hati lagi."Kamu ngapain di sini, Ya?"Segenggam kamboja buru-buru disembunyikan. Arya tidak punya pilihan lain selain saku celananya sendiri. Sore yang berangin hampir merangkak naik dan laki-laki itu sudah ketahuan meski belum mencuri.Arya Alvaro berdeham singk
April, 2022.Manusia adalah salah satu dari sekian banyak makhluk Tuhan yang aneh. Namun, menurut Arya, manusia tidak aneh. Sama seperti anasir pada umumnya, mereka hanya istimewa. Barangkali disebabkan punya macam-macam perasaan yang hampir sebagian besar berdasarkan pengendalian hati dan pikiran.Hari itu, cuaca berselimut panas menyengat. Bahkan angin yang bertiup saja malah menghantarkan gerah tak main-main. Di sana, di sebuah titik di mana Arya melihat suatu hal yang membuatnya kembali dilanda iri. Ketika langkah-langkah dijejak agak gegabah menuju meja bundar yang terbuat dari semen serta bangku yang terbuat dari kayu akasia, ia merasa sedang sesak napas. Bukan sebab rasa gembira yang terlukis di wajah Randi ketika menyapa teman satu jurusannya, tetapi sebab mimpi yang sedang berusaha dibangun di atas meja bundar itu.Instruktur bangunan dengan banyak lantai, barangkali sebuah perkantoran, a
April, 2022.Ketika pertama kali bersemuka dengan gadis bernama Laura Cecilia--di hari ketika langit yang cerah terlampau cepat berubah mendung, serta momen saat kamboja yang rajin ia siangi dan sirami ternyata berakhir mati--Fira tidak membenci atau berpikir akan bersikap antipati kepadanya.Tidak pula di hari itu kala akhirnya ia menampakkan diri, melangkah terlampau anggun di atas rerumputan menuju satu-satunya pohon pinus yang umurnya sudah tua. Setelah sekian lama gosip tak mengenakkan tentang Fira menyebar, gadis setengah Eropa itu menggentaskan untuk duduk bersila bersama Arya dan Fira yang hampir perang dingin di depan kolam ikan yang ganggang hijaunya tak pernah dibersihkan.Mengingat apa saja yang telah Fira lewati, ia berhak untuk marah, benci, atau mengobarkan macam-macam emosi yang menggerogoti sebab janji yang berakhir teringkari. Kalau dipikir, Laura berhak menerima amarah Fira kare
but forgetting someonemay not be as simple as you'd imagine.to get you off my mindis not the same as just hitting delete.i need some timefor the wound to heal a bit.[1]***Maret - April 2022."Fira!" pekik seseorang dari kejauhan. Lantas kemudian, dengan cepat derap-derap langkah yang mencumbui paving block terdengar mendekat. "Fira ..., tunggu." Itu katanya ketika setelah berhenti berlari, memegangi pinggang, dan berusaha mengatur napas yang berantakan.Zhafira Freya mengembuskan napas terlalu panjang dan berat. Ia pusing sebab semalam mengerjakan tugas-tugas dengan tenggat mendadak dan belum cukup tidur. Ia pening dan laki-laki di depannya ini pasti akan berusaha mengacaukan hat
Awal April, 2022.Ada yang berbeda dengan langit hari ini, terlalu cerah. Kerlap-kerlip bintang yang bertabur dan bulan purnama yang menggantung malah membuat gadis itu resah. Ia ingin berharap saja kalau hari itu akan hujan sangat deras agar ulang tahun yang akan dirayakan di tepi kolam renang berakhir batal. Namun, mengingat di dalam rumah luas, April mendesah lemah. Hampir pasrah.Aprilia Faranisa sampai lupa, sudah berapa lama ia mengurung diri di dalam kamar bernuansa lila dan putih itu. Mendudukkan diri di ranjang king size dengan selimut yang bagian atasnya berbalut satin. Mendesah terus-menerus ketika ketukan dan suara ibunya yang memanggil turun berkali-kali berdengung.Seharusnya, momen bertambah usia adalah salah satu hal yang paling ditunggu hampir setiap orang. April akan menginjak sembilan belas beberapa jam lagi, tetapi tetap saja masalah perasaan gamang menjadi salah satu
Awal Maret, 2022.Nugroho, umurnya empatpuluh tiga ketika ia baru saja diberhentikan menjadi karyawan sebuah pabrik pembuatan mesin fotokopi. Alasannya karena penjualan sedang menurun dan mereka harus mengeluarkan beberapa pekerja, pria itu salah satunya.Ia sempat frustrasi untuk beberapa waktu. Hampir dua bulan pria itu duduk di rumah dan membiarkan sang istri yang bekerja di sebuah ekspedisi pengiriman barang. Rasanya, ada bagian dari dirinya yang merasa direndahkan. Kodratnya adalah laki-laki yang mencari nafkah, dan perempuan yang mengurus rumah. Bukan sebaliknya seperti ini.Jadi ketika temannya dari luar kota menelepon kalau ada perusahaan yang sedang mencari pekerja, Nugroho tanpa pikir panjang mengayunkan langkah dengan ringan begitu saja. Dengan bangga, dengan bahagia, dengan harap pula ketika nanti sekembalinya, ada kabar baik yang bisa diterima keluarga kecilnya. Fira, anak dan putri s
Awal Maret, 2022.Langkah-langkah diayun terlalu kuat, jejak-jejak di atas tanah mengudarakan debu lantas ikut dibawa pergi bersama angin yang bertiup riuh dan terlalu cepat. Ada apa dengan langitnya? Ke mana hilang cahaya mentarinya? Baik untuk wajah maupun nabastala, seharusnya tidak ada yang perlu menangis sekarang juga.Zhafira masih tidak mengerti. Ia tidak mendengar retakan di hati, tetapi nyeri terus-menerus menggerogoti. Kaki-kakinya ingin terus berlari, ke mana saja asal pergi jauh sekali. Ke mana saja, asal menghindar dari wajah yang dulu melanglang sekarang telah kembali. Fira hanya ... masih belum menyiapkan diri untuk ini.Gerumuhnya adalah pertanda tangis akan segera luruh, jatuh. Lantas ketika kilat di angkasa tampak mengakar menemui bentala, gerimis luntur, setitik air merosot pula dari mata. Fira berdiri di bawah sebuah pohon bintaro yang tumbuh di tepi trotoar. Kakinya lelah, tet