"Hai, Win," sapaku pada Winda melalui sambungan telfon."Hmmm ... ada apa, Ras? Kenapa telfon subuh-subuh begini?" tanya Winda dengan suara serak, sepetinya dia baru saja bangun tidur.Aku memang langsung menelfon Winda begitu selesai ibadah Subuh. Aku tidak sabar mengetahui reaksi Winda begitu mengetahui bahwa aku telah pulang ke rumah."Aku cuma mau memintamu datang ke rumah setelah pulang kerja," jawabku."Rumah? Rumah siapa, Ras?"Aku cekikikan mendengar pertanyaan Winda. Dia pasti bingung dengan permintaanku. Dia pasti juga tidak menyangka kalau aku sudah pulang ke rumahku sekarang."Rumahku, Win. Aku kan sudah pulang ke rumah, Win," jelasku."Apa? Jangan bercanda, Ras. Nggak mungkin kamu sudah pulang ke rumah. Kemarin kita baru saja telfonan dan kamu masih di rumah bibiku kan, Ras?" tanya Winda lagi."Aku serius, mangkanya nanti pulang kerja mampir ke rumah, Win."Aku menahan tawa, terbayang wajah Winda yang pasti sangat lucu. Dengan wajah khas bangun tidurnya itu, dia pasti ter
"Kapan kamu mau kembali bekerja, Ras?" tanya Winda sedang sibuk mengunyah keripik pisang buatan ibu."Mungkin lusa, Win. Aku juga rindu suasana kantor. Apalagi sejak aku menikah dengan Mas Haris, aku belum pernah ke kantor lagi."Aku terdiam sejenak, kembali teringat bagaimana pertama kali aku bisa mengenal Mas Haris. Kami bertemu saat aku masih bekerja, Mas Haris sedang ada pekerjaan dengan perusahaan ayah.Saat pertemuan pertama kami, aku tidak begitu tertarik dengan Mas Haris. Aku hanya melihatnya sama seperti lelaki lainnya. Tapi seiring berjalannya waktu, dan karena orangtua kami, akhirnya aku mulai melihat Mas Haris dengan pandangan lain.Aku kagum dengan kelembutan sikap Mas Haris, dia selalu bisa membuatku nyaman. Akhirnya aku pun aku jatuh hati padanya. Kenangan-kenangan saat aku masih bersama Mas Haris kembali terlintas di benakku."Ras ... Ras ... Laras...."Aku tersentak, tersadar dari lamunanku. Aku langsung menoleh ke arah Winda yang masih duduk di sofa dengan toples di
"Bagaimana kabarmu, Ras?" "Baik, Ma. Walau kemarin aku sempat dapat masalah karena seseorang," jawabku sembari melirik Indra yang duduk di samping Risa. Dia nampak membuang muka saat aku meliriknya."Dasar pengecut," umpatku dalam hati.Kami sedang duduk di ruang tamu, dengan posisi mama di sampingku, ayah duduk di hadapanku, sedangkan Indra dan Risa duduk di sebelah kanan mama.Sementara Winda sedang di dapur membantu ibu membuatkan minum untuk kami. Dari tadi Winda uring-uringan setelah melihat Indra, bahkan sejak tadi Winda terus saja menyindir Indra terang-terangan.Aku pun langsung menyuruh Winda membantu ibu menyiapkan minuman dan makanan kecil. Aku merasa tidak enak hati pada mama, jika kelakuan Indra sampai ketahuan.Aku tidak pernah mengira Indra berani datang ke rumahku, bertatapan muka denganku. Aku pikir dia tidak akan berani menampakkan batang hidungnya di depanku, ketika aku kembali pulang.Walaupun dia tidak berani menatap mataku sama sekali, Indra cukup punya nyali un
"Kamu yakin hari ini akan kembali bekerja, Ras?" tanya ibu sembari menuangkan teh di cangkirku."Iya, Bu." Aku mengangguk sembari terus mengunyah sarapan pagiku. Sementara ayah juga sibuk dengan sarapannya. Sejak kemarin ayah belum bicara padaku. Aku pun juga masih menunggu waktu untuk jujur pada ayah."Kamu berangkat dengan ayah saja, Ras. Ibu khawatir jika kamu naik mobil sendiri.""Nggak, Bu. Nanti Winda sekalian mampir menjemputku, aku berangkat dengan Winda saja."Ayah melirikku sekilas, aku belum bisa untuk bercerita pada ayah, jika kami berangkat bersama, tentu aku harus menceritakan yang sejujurnya padanya.Bukan aku tidak mau jujur dan menceritakan semua pada ayah, tetapi aku cuma tidak mau ayah mendatangi Indra dan murka padanya. Aku sangat tahu sekali ayah seperti apa, beliau tidak mau salah satu keluarganya diganggu hingga mendapat masalah.***"Wajahmu kenapa sih, Ras? Dari tadi ditekuk melulu," tanya Winda.Aku seketika menoleh ke arah Winda yang sedang berada di belakan
"Bu Laras ...." Suara Winda membuatku tersentak."Iya," sahutku salah tingkah, tidak biasanya aku tercengang sedemikian rupa bertemu dengan seseorang.Winda menatapku dengan pandangan penuh tanya, dia pasti heran dengan sikapku. Tapi aku tidak bisa mengontrol ekspresi wajahku yang terkejut dengan fakta bahwa Pandu adalah manager baru yang menggantikan Pak Hadi."Ah, maaf. Selamat bergabung Pak Pandu, semoga betah bekerja di tempat ini," ucapku mengulurkan tangan ke arah Pandu.Pandu hanya menggangguk tak membalas uluran tanganku dan malah menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, "Terima kasih, Bu. Saya akan berusaha semaksimal mungkin melakukan tugas saya dengan sangat baik."Aku langsung menarik tanganku mendapat respon seperti itu, "Baiklah, silahkan kembali ke ruangan anda Pak Pandu. Jika ada yang perlu ditanyakan silahkan menghubungi Ibu Winda.""Baik, Bu. Terima kasih banyak. Kalau begitu saya permisi." Pandu langsung membalikkan badan dan melangkah pergi dari ruang ke
Hari sudah menjelang malam, gerimis yang turun kecil, tapi kini mulai semakin turun dengan deras. Air hujan semakin turun membasahi bumi.Aku mendesah karena lupa tidak membawa payung, kini aku tidak bisa berjalan membelah hujan untuk sampai di mobilku yang terparkir di depan restoran.Aku bisa basah kuyup jika nekat membelah hujan. Padahal aku orang yang tidak bisa terkena air hujan, aku bisa langsung demam jika sampai hujan-hujan walau cuma hanya sebentar saja.Aku baru saja mampir ke sebuah restoran kecil, karena aku tiba-tiba ingin makan di restoran tersebut. Semenjak hamil, kadang-kadang membuatku tiba-tiba ingin memakan sesuatu. Bahkan keinginan itu terkadang menyusahkanku. Kata Winda, itu bawaan bayi yang ada di dalam kandunganku, dan sebagian besar ibu hamil selalu mengalaminya.Kata Winda hal itu disebut ngidam, dan aku harus mengikuti apa yang tiba-tiba aku inginkan itu, jika tidak kau anakku nanti ileran jika sudah lahir.Membayangkan anakku ileran membuatku takut, aku pun
"Baik-baik di rumah, Ras. Sebelum malam kami pasti akan sampai di rumah. Bila kamu kesepian, ajak Winda ke sini untuk menemanimu," ucap ibu sembari menenteng tas yang berisi makanan. Sementara ayah sedang memeriksa mobil, karena mereka akan menempuh perjalanan yang cukup jauh.Mereka akan pergi ke rumah saudara ayah satu-satunya, semalam ayah dapat kabar kalau Tante Mia tiba-tiba pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.Rencananya mereka ingin menjenguk Tante Mia, sudah lama juga ayah dan ibu tidak mengunjungi Tante Mia karena kesibukan ayah. Jika saja aku tidak dalam keadaan hamil, tentu saja aku akan ikut dengan mereka. Tapi aku tidak diperbolehkan ikut, ayah dan ibu khawatir jika aku akan kecapekan menempuh perjalanan yang cukup jauh. Dan akan berdampak buruk pada kesehatan janinku."Iya, Bu. Tidak usah khawatir padaku, aku akan menelfon Winda nanti," sahutku."Baiklah, sekarang ayah dan ibu berangkat dulu.""Iya, Bu." Aku meraih tangan ibu dan mencium punggung tangannya.Setelahnya,
"Terkejut dengan kedatanganku, Mbak?" tanya Indra dengan senyum menyeringai.Aku secara tidak sadar memundurkan langkah, menatap ngeri ke arah Indra yang semakin melebarkan senyumnya yang mengerikan. Dengan cepat pula Indra menerobos masuk ke dalam rumahku saat aku belum sepenuhnya tersadar dari keterkejutanku."Apa yang kamu lakukan? Keluar dari rumahku! Aku tidak mengijinkanmu masuk ke rumahku!" seruku dengan suara yang meninggi."Jangan berteriak, Mbak. Aku hanya ingin bertamu, apa di rumah ini tamu tidak diperbolehkan masuk?" tanya Indra dengan senyumnya yang memuakkan.Aku melirik jam yang menggantung di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. "Kenapa ayah dan ibu belum juga pulang?" batinku.Padahal tadi ibu memberitahuku bahwa mereka akan pulang sebelum malam hari, tapi nyatanya jam segini ayah dan ibu belum tiba, padahal hari sudah beranjak malam."Tidak mau mempersilahkan aku duduk, Mbak? Atau Mbak Laras ingin berbicara sambil berdiri begini?" tanya Indra menaik
"Jadi kamu berangkat hari ini, Mas?" Aku sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan tanpa bantuan asisten rumah tangga.Aku lebih suka mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan tanganku sendiri. Dari dulu aku sudah berkomitmen untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa bantuan asisten rumah tangga. Dan sekarang aku telah mewujudkannya. Setelah melahirkan, aku fokus menjadi ibu rumah tangga, tidak lagi kembali bekerja."Jadi, Ras," jawabnya sembari menyesap secangkir kopi."Berapa hari kamu di sana?" tanyaku lagi."Ada apa? Kamu takut jauh-jauh dari aku ya?" tanyanya membuatku menghentikan aktifitasku dan menoleh ke arahnya."Mana mungkin. Putrimu itu yang akan selalu mencarimu. Dia pasti rewel mencari ayahnya," sanggahku."Ah, ternyata cuma Safira yang mencariku, bukan kamu. Istriku memang tidak pernah merindukanku, padahal aku pasti akan sangat merindukanmu," sahutnya sembari mencebikkan bibirnya.
Netraku terus menetes melihat Pandu mengadzani putri kecilku, hatiku terasa bagai disiram air dingin melihatnya. Aku terharu sekaligus sedih, terharu karena Pandu benar-benar menjadi sosok ayah untuk putriku. Tapi aku juga sedih karena seharusnya Mas Haris lah yang mengadzani putri kami. Dialah yang seharusnya berada di posisi itu.Takdir telah membuat putriku harus kehilangan ayah kandungnya untuk selama-lamanya. Air mataku menetes semakin deras, hingga tiba-tiba kurasakan pandangan mataku mulai mengabur. Perlahan aku pun kehilangan kesadaranku. *** Aku mengerjapkan mata pelan, hidungku mencium aroma bunga yang sangat harum. Perlahan aku mencoba kembali membuka mata.Cahaya terang menyilaukan mataku yang mulai terbuka, aku mengernyitkan kening melihat sekelilingku. Banyak bunga-bunga yang berwarna warni tumbuh dengan indahnya.Aku langsung bangun dari posisiku berbaring, aku bingung sedang ada di mana. Tempat ini terasa asing bagiku. Aku memegang kepalaku yang sedikit pening, aku m
"Duduklah, Ras. Sepanjang acara kamu terus berdiri, kamu pasti lelah."Aku menoleh menatap Pandu yang sudah berdiri di sampingku tanpa aku menyadarinya. Dia membawa gelas yang berisi minuman. Lalu dia pun menyodorkan gelas tersebut kepadaku."Aku tidak apa-apa, jangan terlalu khawatir. Dokter malah menyarankan aku untuk banyak bergerak agar mempermudahku melahirkan kelak," sahutku sembari menerima gelas dari Pandu.Kami sedang berada di rumah Winda, dia baru saja melangsungkan akad nikah dengan Wira. Akhirnya Winda memutuskan untuk menerima Wira. Aku turut bahagia melihat Winda akhirnya menemukan tambatan hatinya.Waktu cepat sekali berlalu semenjak terbongkarnya kedok Indra. Aku dan Pandu sepakat untuk mencoba menjalani pernikahan kami. Tapi selama ini Pandu tidak pernah meminta haknya padaku, dia berjanji untuk memulai hubungan kami dengan pertemanan. Tentu aku tidak keberatan, tidak ada ruginya berteman dengan Pandu, sebelum akhirnya kami berpisah kelak."Winda terlihat cantik seka
Sepulang dari rumah Mama, aku berada di dalam mobil Pandu. Ayah memintaku pulang bersama Pandu. Aku langsung masuk ke dalam mobil Pandu tanpa penolakan.Pandanganku tentang Pandu sedikit barubah. Ternyata dia menghilang selama ini untuk mencari bukti, agar namaku bersih dari fitnah-fitnah yang menyebar tentangku.Aku sudah berburuk sangka padanya selama ini, aku pikir dia menghilang karena terluka oleh kata-kataku. Tapi ternyata dia malah membantuku, aku menyesal sekali telah berkata buruk padanya.Suasana di dalam mobil sangat hening, tidak ada yang berbicara di antara kami. Pandu nampak fokus menyetir, melihat lurus ke arah jalanan yang temaram. Tidak sekalipun dia melihat kepadaku, sedang aku sedari tadi mencuri-curi pandang ke arah Pandu.Aku ingin berbicara tapi aku urungkan, aku takut jika Pandu tidak menjawab pertanyaanku. Aku sadar sekali, kalau aku sudah berperilaku buruk padanya. Tapi aku sudah instropeksi diri. Aku ingin berdamai dengan Pandu. Biar nasib yang akan menentuka
"Masih tidak bisa menjelaskan juga?" Risa memandang tajam Indra."A-ku bisa jelaskan, Sayang. Semua yang ada di foto itu tidak benar, mereka mencoba menfitnahku." Indra nampak mencoba mengelak, tangan Indra mencoba meraih tangan Risa. Tapi Risa menepis tangan Indra kasar.Apa aku tidak salah dengar? Bukannya Indra yang mencoba menfitnahku? Apa dia lupa dengan apa yang telah dia lakukan padaku? Aku mengepalkan tangan mendengar ucapan Indra yang masih saja mau melempar fitnah. Aku membuang napas kasar, geram sekali dengan Indra yang pandai bersilat lidah.Ibu memegang tanganku dan mengusapnya lembut. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis, aku meyakinkan Ibu bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak terpengaruh oleh pertengkaran Indra dan Risa. Sementara Pandu dan Ayah diam saja dari tadi. Mereka hanya menyaksikan semua yang telah terjadi dalam diam."Jangan coba-coba membohongiku! Jika foto-foto itu tidak benar, pasti wanita di dalam foto itu mempunyai wajah yang sama. Tapi kau lihat sen
Tak terasa waktu cepat sekali berlalu, sudah dua minggu sejak pernikahanku dengan Pandu, tapi dia tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Setelah mendapat penolakan dariku, dia seperti ditelan bumi. Tidak pernah menemui atau mengirim pesan padaku.Ayah pun hanya diam, tidak membahas apapun tentang Pandu. Beliau kembali seperti biasanya, bahkan bertambah perhatian padaku yang sering mengalami kram perut sejak pernikahanku dengan Pandu.Bukannya aku ingin bertemu dengan Pandu, tapi aku heran saja dengan ketidakhadirannya selama dua minggu ini, tanpa mengatakan apapun. Apa mungkin dia merasa sakit hati karena penolakanku kemarin? Atau dia sudah menyerah untuk menjadi suamiku? Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku.Ah, biar saja. Aku tidak peduli akan kehadirannya di sini. Aku malah tidak mengharap dia kembali lagi ke sini. Mungkin dengan begini hubungan kami akan putus dengan sendirinya."Ras, hari ini kamu punya jadwal apa?" tanya Ayah tiba-tiba sudah ada di sampingku tanpa aku
Aku berjalan mondar mandir dengan perasaan gelisah. Ayah memintaku membawa Pandu ke kamarku untuk beristirahat setelah acara selesai. Aku pun tidak bisa menolaknya, mengingat Pandu sudah menjadi suamiku. Sementara Pandu sekarang sedang berada di dalam kamar mandi.Sejak masuk ke dalam kamar, pikiranku gelisah tak menentu. Tidak pernah ada lelaki lain yang masuk ke dalam kamarku selain Ayah dan juga Mas Haris. Tapi sekarang ada lelaki lain yang sedang berada di dalam kamarku, walaupun statusnya adalah suamiku tapi aku belum bisa menerimanya.Ceklek.Suara pintu terbuka, Pandu muncul dari balik pintu kamar mandi yang telah terbuka. Seketika aku menghentikan langkahku dan menolehkan kepala, melihat ke arahnya. Melihatku berdiri di samping ranjang, Pandu berjalan mendekatiku."Ambillah air wudhu terlebih dahulu, Ras. Ayo kita sholat sunnah bersama," ucap Pandu memintaku untuk berwudhu.Tanpa menjawab Pandu, aku segera melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Jujur aku m
"Kamu harus menikah dengan Pandu, Ras. Kamu tidak punya pilihan lain." Kembali Ayah menegaskan keputusan yang telah beliau ambil.Aku menghela nafas berat, jadi inilah akhir dari keputusan Ayah. Tentunya aku harus mengikutinya bukan? Aku tidak mau menjadi anak durhaka yang melawan perintah dari orangtuanya.Aku kembali terduduk dan menunduk sedih, air mataku rasanya sudah banyak yang keluar hari ini. Tidak pernah aku bayangkan datangnya hari di mana Ayah memaksaku menikah lagi, memaksaku menerima laki-laki lain untuk mengisi posisi Mas Haris."Maafkan aku, Mas. Bukan maksudku untuk mengkhianatimu, tapi aku tidak bisa melawan perintah Ayahku. Aku selalu mencintaimu, selamanya aku selalu mencintaimu. Walaupun Ayah menghadirkan pengganti untukmu, tapi di hatiku hanya kamulah yang paling aku cintai sampai kapanpun," batinku.Pelahan aku mengangkat wajahku, menatap satu persatu wajah orang-orang yang hadir di ruang tamu. Semua yang hadir nampak berwajah sendu kecuali Ayah, beliau masih mem
Aku duduk dengan hati gelisah, sejak melihat Pandu yang sudah duduk manis dengan seorang lelaki paruh baya yang mengenakan sorban di kepalanya. Dari penampilannya, sepertinya beliau adalah seorang ustadz. Dalam hati aku bertanya-tanya ada apa sebenarnya, hingga Pandu datang dengan seorang Ustadz. Tapi aku lebih memilih diam menunggu apa yang akan dibicarakan.Sedari tadi, aku meremas tangan Winda yang duduk di sampingku. Aku mencoba untuk tenang walaupun hatiku terasa tidak enak sejak mendengar berita kedatangan Pandu kemari."Baiklah, sekarang semua sudah berkumpul. Kita mulai saja acaranya," ucap Ayah membuka percakapan.Pandanganku beralih pada Ayah, beliau duduk di samping Ibu. Netraku beralih menatap Ibu, raut wajah Ibu nampak bertambah muram dari sebelumnya. Beliau hanya menundukkan kepala, sesekali tangannya terlihat mengusap air mata yang mengalir di pipinya.Aku mengernyitkan kening melihat Ibu seperti itu, aku juga tidak mengerti dengan acara yang Ayah maksud. "Acara apa, Ya