"Ayo kita bernegosiasi, Mbak. Aku jamin kedekatanmu dengan lelaki itu tidak akan ada yang tahu. Aku akan menyembunyikannya untukmu.""Apa maumu?" tanyaku pada Indra, jujur aku sudah muak berhadapan dengan Indra. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Akan aku coba untuk mendengarkan apa yang dia inginkan.Indra melangkah mendekat padaku, tangannya terulur hendak menyentuh wajahku. Tapi buru-buru aku menepis tangannya dengan kasar, sebelum menyentuh wajahku. Aku tidak akan membiarkan tangan kotornya menyentuh wajahku."Jangan galak-galak, Mbak. Mbak Laras akan menyesal jika aku sudah marah," ucap Indra mengelus tangannya yang aku tepis.Aku bergeming, menatap nyalang ke arah Indra yang menatapku dengan tatapan yang menjijikkan. Andai aku tidak dalam keadaan hamil, tentu aku sudah berlari menghindar dari Indra. Aku tidak mungkin membahayakan janin yang ada dalam kandunganku.Aku harus bisa menghadapi Indra dengan tenang, sembari menunggu ayah dan ibu pulang ke rumah. Indra akan pergi sendir
"Katakan apa yang sebenarnya terjadi selama ini, Ras? Sudah cukup ayah menunggumu untuk jujur, situasi sudah tidak bisa kamu kendalikan sendiri, Ras," ucap ayah yang sedang duduk di sofa.Setelah kepergian Indra, ayah memintaku untuk berbicara dengan beliau. Kami bertiga pun akhirnya duduk bersama di ruang tamu. Suasana nampak tegang, aku sedari tadi hanya menunduk tidak berani menatap mata ayah, sedangkan ibu terus saja mengelus punggung ayah, seolah mencoba menenangkan ayah agar menahan diri dari amarahnya."Maaf, Yah. Aku hanya tidak mau membuat ayah kepikiran, bahkan sampai kesusahan karena aku. Aku hanya merasa menjadi beban ayah selama ini," lirihku."Jangan pernah bicara seperti itu, Ras. Kami orangtuamu, selamanya kami akan selalu memikirkanmu. Kamu putri kami satu-satunya, Ras. Sudah sepantasnya kami mengutamakan kebahagiaan dan ketenanganmu." Kini ibu yang bersuara, aku sungguh merasa menjadi putri yang beruntung sedunia, kedua orangtuaku sangat peduli padaku.Akhirnya aku p
"Kamu tidak usah ke kantor dulu, Ras. Istirahat saja di rumah hari ini," ucap ibu yang sedang sibuk menyiapkan sarapan."Aku harus pergi ke kantor, Bu. Hari ini aku akan ada rapat. Mau tidak mau aku harus ke kantor," sahutku sembari menyesap segelas susu ibu hamil yang telah ibu buatkan."Winda bisa menghandel semuanya, Ras. Kamu bisa menyerahkan rapat padanya." Ganti ayah yang membuka suara.Memang benar apa yang ayah ucapkan, Winda sangat mampu menghandel semua pekerjaanku. Apalagi semenjak aku menikah dengan Mas Haris, Winda mengerjakan semua pekerjaanku sendiri.Winda termasuk orang yang sangat gila kerja, dia mengalihkan rasa jenuhnya dengan bekerja. Tapi aku tidak mau selalu bergantung pada Winda, dia akan segera menikah jika Wira mendapat restu dari orangtua Winda. Tentu aku tidak mau membuat Winda kesusahan karena mengurus pekerjaanku."Aku tidak mau merepotkan Winda terus, Yah. Mungkin sebentar lagi dia akan menikah, aku tidak mau terlalu bergantung padanya," ucapku."Benarka
"Lepaskan tanganku!" sentak Risa sembari mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman Winda.Aku masih terpaku di tempatku, rasa panas masih terasa di pipiku. Perlahan tanganku meraba pipiku yang ditampar oleh Risa. Aku mendesis merasakan perih, pipiku terasa perih ketika tanganku menyentuhnya."Aku tidak akan melepaskan tanganmu sebelum kamu meminta maaf pada Laras!" bentak Winda nampak tidak mau kalah dari Risa."Aku tidak sudi! Aku tidak sudi meminta maaf pada janda gatal macam dia!" teriak Risa membuatku melebarkan mataku.Deg.Ucapan Risa bagai belati yang menusuk hatiku. Aku tidak pernah menyangka jika Risa bisa mengucapkan kata-kata yang tidak pantas seperti itu padaku."Jaga bicaramu! Laras adalah kakak iparmu, tidak pantas kamu berbicara seperti itu tentangnya." Winda nampak tidak terima dengan tindakan kurang ajar Risa. Dapat kulihat jika Winda sedang berusaha menahan amarahnya dari kepalan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya masih mencengkram lengan Risa."Kakak ipar
"Kamu mau apa lagi, Sa? Masih kurang mempermalukanku di kantor?" tanyaku begitu melihat Risa sudah berdiri di depan pintu rumahku.Aku baru saja pulang dari kantor dan belum sempat masuk ke dalam rumah. Tapi Risa sudah berdiri di depan rumahku, sepertinya dia menungguku pulang.Mau apa lagi dia datang ke rumahku? Bukankah tadi dia sudah mempermalukan aku habis-habisan, apa masih kurang lagi?"Aku belum selesai membuat perhitungan denganmu, Mbak. Bukannya tadi kamu bersembunyi di balik temanmu itu? Sekarang tidak akan ada yang bisa menghalangiku untuk berurusan denganmu, Mbak," ucap Risa tajam.Aku bergeming, aku melipat tangan di depan dada, menatap datar Risa. Jika tadi aku tidak bisa membalas ucapan Risa, sekarang aku sudah cukup siap untuk membalasnya.Tadi aku masih dalam keadaan terkejut dan takut jika sampai mempermalukan ayahku, tapi sekarang aku sudah sangat siap untuk menghadapi Risa.Dari dulu Risa sangat keras kepala, dia pun terlalu mencintai Indra. Aku yakin, apapun yang
"Kamu tidak perlu ke kantor dulu, Ras."Aku tercengang mendengar suara Ayah yang bernada tegas. Aku menatap Ayah yang sedang menyesap secangkir kopi di tangannya."Apa maksud Ayah?" tanyaku mencoba mencari jawaban dari sorot mata tua Ayah.Ayah meletakkan cangkir kopi ke atas meja, beliau memandangku dengan pandangan yang aneh. Aku tidak mau menebak-nebak apa yang ada di dalam pikiran Ayah. Tapi aku sangat yakin kalau Ayah memintaku untuk tetap di rumah karena kejadian kemarin.Ayah pasti sudah mendengar kabar tentang keributan di kantor kemarin. Beliau pasti dengan sangat mudah mendengar berita tersebut dari para karyawan."Kamu tidak perlu ke kantor terlebih dahulu, Ras. Untuk sementara waktu biar Winda yang menghandel semua pekerjaanmu," ucap Ayah membuatku membulatkan mata."Kenapa, Yah?" tanyaku dengan suara sendu.Ayah menghela nafas panjang, beliau nampak ragu menjawab pertanyaanku, "Kamu fokus saja pada kehamilanmu, Ras. Kamu tidak perlu memikirkan urusan kantor lagi.""Aku ma
"Aku ke kantor sebentar, Bu." Aku sudah bersiap untuk pergi ke kantor. Aku ke kantor bukan untuk bekerja, aku hanya mengambil barang-barangku yang ada di sana saja.Mungkin, aku tidak akan datang lagi ke kantor, mengingat aku harus mempersiapkan kelahiran anakku kelak. Sehingga aku akan jarang memiliki waktu senggang. Apalagi Ayah juga melarangku untuk pergi ke kantor lagi."Ras." Ibu buru-buru menghampiriku setelah aku mengutarakan niatku untuk pergi ke kantor."Ada apa, Bu?" tanyaku mengernyitkan kening melihat Ibu buru-buru menghampiriku."Kamu tidak mendengar perintah Ayahmu, Ras?" tanya Ibu nampak ragu.Ah, aku tahu maksud dari pertanyaan Ibu. Beliau pasti mengira kalau aku ke kantor untuk bekerja, padahal malah sebaliknya. Aku sudah memutuskan untuk mengikuti perintah Ayah, aku tidak akan membuat Ayah dan Ibuku lebih malu lagi karena aku. Aku akan berdiam diri di rumah seperti yang Ayah inginkan."Aku hanya mengambil barang-barangku di kantor, Bu. Setelah itu aku akan segera pul
Sejak pulang dari kantor aku hanya berdiam diri di dalam kamar. Bahkan aku melewatkan makan siang, Ibu sedari tadi mengetuk-ngetuk pintu kamarku, tapi aku tak berniat untuk membukanya.Hatiku masih terasa sakit, aku masih belum berselera untuk makan. Harusnya aku sudah makan sejak tadi demi janin yang ada di dalam kandunganku, tapi aku benar-benar sedang tidak berselera untuk makan saat ini.Berbagai masalah seolah sedang datang ke arahku, aku sudah mencoba untuk kuat menghadapinya. Tapi ternyata aku tidak sekuat itu, aku butuh sandaran, aku butuh Mas Haris untuk menenangkan hatiku.Tok ... tok ... tok.Kembali pintu kamarku diketuk. Aku hanya melirik ke arah pintu. Aku masih belum punya niat untuk membukanya. Aku tahu kalau Ibu pasti khawatir padaku, tapi aku masih ingin sendiri. Sekali saja aku ingin sendiri, setelah ini tidak akan memikirkan kesedihanku lagi. Aku janji akan fokus pada kehamilanku setelah ini, tidak lagi bersedih dengan keadaanku sekarang."Ras ... buka pintunya don
"Jadi kamu berangkat hari ini, Mas?" Aku sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan tanpa bantuan asisten rumah tangga.Aku lebih suka mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan tanganku sendiri. Dari dulu aku sudah berkomitmen untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa bantuan asisten rumah tangga. Dan sekarang aku telah mewujudkannya. Setelah melahirkan, aku fokus menjadi ibu rumah tangga, tidak lagi kembali bekerja."Jadi, Ras," jawabnya sembari menyesap secangkir kopi."Berapa hari kamu di sana?" tanyaku lagi."Ada apa? Kamu takut jauh-jauh dari aku ya?" tanyanya membuatku menghentikan aktifitasku dan menoleh ke arahnya."Mana mungkin. Putrimu itu yang akan selalu mencarimu. Dia pasti rewel mencari ayahnya," sanggahku."Ah, ternyata cuma Safira yang mencariku, bukan kamu. Istriku memang tidak pernah merindukanku, padahal aku pasti akan sangat merindukanmu," sahutnya sembari mencebikkan bibirnya.
Netraku terus menetes melihat Pandu mengadzani putri kecilku, hatiku terasa bagai disiram air dingin melihatnya. Aku terharu sekaligus sedih, terharu karena Pandu benar-benar menjadi sosok ayah untuk putriku. Tapi aku juga sedih karena seharusnya Mas Haris lah yang mengadzani putri kami. Dialah yang seharusnya berada di posisi itu.Takdir telah membuat putriku harus kehilangan ayah kandungnya untuk selama-lamanya. Air mataku menetes semakin deras, hingga tiba-tiba kurasakan pandangan mataku mulai mengabur. Perlahan aku pun kehilangan kesadaranku. *** Aku mengerjapkan mata pelan, hidungku mencium aroma bunga yang sangat harum. Perlahan aku mencoba kembali membuka mata.Cahaya terang menyilaukan mataku yang mulai terbuka, aku mengernyitkan kening melihat sekelilingku. Banyak bunga-bunga yang berwarna warni tumbuh dengan indahnya.Aku langsung bangun dari posisiku berbaring, aku bingung sedang ada di mana. Tempat ini terasa asing bagiku. Aku memegang kepalaku yang sedikit pening, aku m
"Duduklah, Ras. Sepanjang acara kamu terus berdiri, kamu pasti lelah."Aku menoleh menatap Pandu yang sudah berdiri di sampingku tanpa aku menyadarinya. Dia membawa gelas yang berisi minuman. Lalu dia pun menyodorkan gelas tersebut kepadaku."Aku tidak apa-apa, jangan terlalu khawatir. Dokter malah menyarankan aku untuk banyak bergerak agar mempermudahku melahirkan kelak," sahutku sembari menerima gelas dari Pandu.Kami sedang berada di rumah Winda, dia baru saja melangsungkan akad nikah dengan Wira. Akhirnya Winda memutuskan untuk menerima Wira. Aku turut bahagia melihat Winda akhirnya menemukan tambatan hatinya.Waktu cepat sekali berlalu semenjak terbongkarnya kedok Indra. Aku dan Pandu sepakat untuk mencoba menjalani pernikahan kami. Tapi selama ini Pandu tidak pernah meminta haknya padaku, dia berjanji untuk memulai hubungan kami dengan pertemanan. Tentu aku tidak keberatan, tidak ada ruginya berteman dengan Pandu, sebelum akhirnya kami berpisah kelak."Winda terlihat cantik seka
Sepulang dari rumah Mama, aku berada di dalam mobil Pandu. Ayah memintaku pulang bersama Pandu. Aku langsung masuk ke dalam mobil Pandu tanpa penolakan.Pandanganku tentang Pandu sedikit barubah. Ternyata dia menghilang selama ini untuk mencari bukti, agar namaku bersih dari fitnah-fitnah yang menyebar tentangku.Aku sudah berburuk sangka padanya selama ini, aku pikir dia menghilang karena terluka oleh kata-kataku. Tapi ternyata dia malah membantuku, aku menyesal sekali telah berkata buruk padanya.Suasana di dalam mobil sangat hening, tidak ada yang berbicara di antara kami. Pandu nampak fokus menyetir, melihat lurus ke arah jalanan yang temaram. Tidak sekalipun dia melihat kepadaku, sedang aku sedari tadi mencuri-curi pandang ke arah Pandu.Aku ingin berbicara tapi aku urungkan, aku takut jika Pandu tidak menjawab pertanyaanku. Aku sadar sekali, kalau aku sudah berperilaku buruk padanya. Tapi aku sudah instropeksi diri. Aku ingin berdamai dengan Pandu. Biar nasib yang akan menentuka
"Masih tidak bisa menjelaskan juga?" Risa memandang tajam Indra."A-ku bisa jelaskan, Sayang. Semua yang ada di foto itu tidak benar, mereka mencoba menfitnahku." Indra nampak mencoba mengelak, tangan Indra mencoba meraih tangan Risa. Tapi Risa menepis tangan Indra kasar.Apa aku tidak salah dengar? Bukannya Indra yang mencoba menfitnahku? Apa dia lupa dengan apa yang telah dia lakukan padaku? Aku mengepalkan tangan mendengar ucapan Indra yang masih saja mau melempar fitnah. Aku membuang napas kasar, geram sekali dengan Indra yang pandai bersilat lidah.Ibu memegang tanganku dan mengusapnya lembut. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis, aku meyakinkan Ibu bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak terpengaruh oleh pertengkaran Indra dan Risa. Sementara Pandu dan Ayah diam saja dari tadi. Mereka hanya menyaksikan semua yang telah terjadi dalam diam."Jangan coba-coba membohongiku! Jika foto-foto itu tidak benar, pasti wanita di dalam foto itu mempunyai wajah yang sama. Tapi kau lihat sen
Tak terasa waktu cepat sekali berlalu, sudah dua minggu sejak pernikahanku dengan Pandu, tapi dia tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Setelah mendapat penolakan dariku, dia seperti ditelan bumi. Tidak pernah menemui atau mengirim pesan padaku.Ayah pun hanya diam, tidak membahas apapun tentang Pandu. Beliau kembali seperti biasanya, bahkan bertambah perhatian padaku yang sering mengalami kram perut sejak pernikahanku dengan Pandu.Bukannya aku ingin bertemu dengan Pandu, tapi aku heran saja dengan ketidakhadirannya selama dua minggu ini, tanpa mengatakan apapun. Apa mungkin dia merasa sakit hati karena penolakanku kemarin? Atau dia sudah menyerah untuk menjadi suamiku? Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku.Ah, biar saja. Aku tidak peduli akan kehadirannya di sini. Aku malah tidak mengharap dia kembali lagi ke sini. Mungkin dengan begini hubungan kami akan putus dengan sendirinya."Ras, hari ini kamu punya jadwal apa?" tanya Ayah tiba-tiba sudah ada di sampingku tanpa aku
Aku berjalan mondar mandir dengan perasaan gelisah. Ayah memintaku membawa Pandu ke kamarku untuk beristirahat setelah acara selesai. Aku pun tidak bisa menolaknya, mengingat Pandu sudah menjadi suamiku. Sementara Pandu sekarang sedang berada di dalam kamar mandi.Sejak masuk ke dalam kamar, pikiranku gelisah tak menentu. Tidak pernah ada lelaki lain yang masuk ke dalam kamarku selain Ayah dan juga Mas Haris. Tapi sekarang ada lelaki lain yang sedang berada di dalam kamarku, walaupun statusnya adalah suamiku tapi aku belum bisa menerimanya.Ceklek.Suara pintu terbuka, Pandu muncul dari balik pintu kamar mandi yang telah terbuka. Seketika aku menghentikan langkahku dan menolehkan kepala, melihat ke arahnya. Melihatku berdiri di samping ranjang, Pandu berjalan mendekatiku."Ambillah air wudhu terlebih dahulu, Ras. Ayo kita sholat sunnah bersama," ucap Pandu memintaku untuk berwudhu.Tanpa menjawab Pandu, aku segera melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Jujur aku m
"Kamu harus menikah dengan Pandu, Ras. Kamu tidak punya pilihan lain." Kembali Ayah menegaskan keputusan yang telah beliau ambil.Aku menghela nafas berat, jadi inilah akhir dari keputusan Ayah. Tentunya aku harus mengikutinya bukan? Aku tidak mau menjadi anak durhaka yang melawan perintah dari orangtuanya.Aku kembali terduduk dan menunduk sedih, air mataku rasanya sudah banyak yang keluar hari ini. Tidak pernah aku bayangkan datangnya hari di mana Ayah memaksaku menikah lagi, memaksaku menerima laki-laki lain untuk mengisi posisi Mas Haris."Maafkan aku, Mas. Bukan maksudku untuk mengkhianatimu, tapi aku tidak bisa melawan perintah Ayahku. Aku selalu mencintaimu, selamanya aku selalu mencintaimu. Walaupun Ayah menghadirkan pengganti untukmu, tapi di hatiku hanya kamulah yang paling aku cintai sampai kapanpun," batinku.Pelahan aku mengangkat wajahku, menatap satu persatu wajah orang-orang yang hadir di ruang tamu. Semua yang hadir nampak berwajah sendu kecuali Ayah, beliau masih mem
Aku duduk dengan hati gelisah, sejak melihat Pandu yang sudah duduk manis dengan seorang lelaki paruh baya yang mengenakan sorban di kepalanya. Dari penampilannya, sepertinya beliau adalah seorang ustadz. Dalam hati aku bertanya-tanya ada apa sebenarnya, hingga Pandu datang dengan seorang Ustadz. Tapi aku lebih memilih diam menunggu apa yang akan dibicarakan.Sedari tadi, aku meremas tangan Winda yang duduk di sampingku. Aku mencoba untuk tenang walaupun hatiku terasa tidak enak sejak mendengar berita kedatangan Pandu kemari."Baiklah, sekarang semua sudah berkumpul. Kita mulai saja acaranya," ucap Ayah membuka percakapan.Pandanganku beralih pada Ayah, beliau duduk di samping Ibu. Netraku beralih menatap Ibu, raut wajah Ibu nampak bertambah muram dari sebelumnya. Beliau hanya menundukkan kepala, sesekali tangannya terlihat mengusap air mata yang mengalir di pipinya.Aku mengernyitkan kening melihat Ibu seperti itu, aku juga tidak mengerti dengan acara yang Ayah maksud. "Acara apa, Ya