Awan mendung semakin menggelap pertanda hujan akan segera turun, angin berhembus dengan kencang, cuaca semakin bertambah dingin, tapi tak juga membuatku beranjak dari area pemakaman. Sudah satu jam aku berdiam diri di sini, orang-orang pun sudah beranjak pergi dari tadi. Aku masih memandang hampa gundukan tanah di depanku, air mataku masih tetap luruh tanpa henti.Aku Larasati, biasa dipanggil Laras. Sedang makam di depanku adalah makam dari Mas Haris--suamiku yang masih beberapa hari lalu menghalalkanku. Mas Haris meninggal karena kecelakaan saat kami akan pergi berbulan madu.Aku masih mengingat jelas permintaanku kepada Mas Haris untuk berbulan madu di pulau Komodo, aku sangat ingin melihat pantai dengan pasir berwarna pink di sana. Impian yang akhirnya membuatku harus kehilangan orang yang sangat aku cintai.*** "Setelah kita menikah, kamu mau pergi berlibur kemana, Ras?" tanya Mas Haris padaku ketika kami sedang makan siang bersama.Kami baru saja pulang dari butik untuk meng
"Mbak, ayo kita pulang. Hujan sudah mulai turun, Mbak." Kurasakan Risa menyentuh pundakku.Aku masih bergeming menatap kosong gundukan tanah yang mulai basah karena tetesan air hujan, aku tidak menjawab ajakan Risa, aku masih ingin di sini berlama-lama berada di samping Mas Haris. Aku masih ingin menemani Mas Haris, aku tidak mau Mas Haris kesepian, jika bisa aku ingin ikut Mas Haris saja."Kenapa aku tidak kau ajak, Mas? Kenapa aku kau tinggalkan begitu saja?" batinku menjerit."Mbak ...." Risa kembali memanggilku. "Ayo kita pulang dulu, Mbak. Besok Mbak Laras bisa kemari lagi," bujuk Risa kepadaku.Aku masih terdiam, air mataku tak bisa lagi menetes, tetapi sesak di dadaku masih terasa. Hatiku hampa tanpa kehadiran Mas Haris di sisiku. Aku seolah kehilangan cahaya dalam gelapnya duniaku."Mbak, Mas Haris akan sedih jika nanti Mbak Laras sampai sakit. Ayo kita pulang, Mbak," bujuk Risa lagi.Aku mengangguk menanggapi Risa, aku tidak mau membuat Mas Haris sedih. Risa membantuku bangun
Tak terasa sudah hampir satu minggu aku lewati sejak kepergian Mas Haris, setiap hari aku selalu berdiam diri di kamar, bahkan untuk makan pun seolah aku sudah lupa waktu. Aku terlalu sibuk dengan dunia yang aku ciptakan sendiri, dunia yang hanya ada aku dan juga bayang Mas Haris.Kini aku telah berada di balkon kamarku dengan kondisi yang mengenaskan, wajahku pucat, rambutku acak-acakan serta lingkar hitam menghiasi mataku. Tubuhku semakin kurus tak terurus, wajahku pun terlihat semakin tirus.Aku sedang duduk memeluk lutut dan kedua tangan memegang erat potret Mas Haris. Netraku menatap kosong deretan bunga di taman belakang rumah Mas Haris. Dahulu saat aku sering datang ke rumah Mas Haris, kami sering berbincang-bincang di taman tersebut. Kami juga sering bermain dengan anak Risa di sana. Banyak sekali kenangan yang terukir di taman itu. Dulu kupikir taman itu sangat indah dengan bermacam-macam bunga yang tumbuh di sana, tapi sekarang bagiku semua terasa hampa. Tak ada keindahan l
[Win, tolong jemput aku.] Kukirimkan pesan melalui Whatshap kepada Winda untuk menjemputku, hari ini aku memutuskan untuk pergi dari rumah Mas Haris. Sudah berlalu tiga hari sejak kedatangan ayah dan ibu, aku sudah menghubungi Winda untuk mencarikanku tempat tinggal yang baru. Aku ingin menepi sejenak dari suasana kota, aku ingin berpindah ke tempat lain untuk mencari ketenangan. [Baiklah, aku akan datang satu jam lagi.] Aku segera bersiap setelah membaca balasan pesan dari Winda. Aku tidak membawa barang banyak, hanya potret Mas Haris yang aku bawa dari kamarku, selebihnya aku meninggalkan semuanya di sini.Setelah selesai bersiap, aku kembali duduk di ranjang. Netraku memandang setiap sudut kamar yang menjadi saksi bisu betapa terpuruknya aku setelah kepergian Mas Haris.Netraku memandang bunga-bunga di dalam vas yang sudah mulai layu, tapi aku tidak berniat untuk membersihkan atau menggantinya dengan yang baru. Bahkan bunga yang sudah mengering pun tetap pada tempatnya.Aku menu
"Dan kamu juga tidak perlu khawatir, Sa. Kamu dan suamimu akan hidup tenang di sini tanpa kehadiranku, aku akan pergi dari rumah ini. Ambillah semua milik Mas Haris, aku tidak butuh," ucapku memandang tajam Risa dan juga suaminya.Risa dan suaminya hanya menunduk mendapat amarahku. Siapa mereka berani menilaiku dengan rendah seperti itu.Mama berdiri dari duduknya dan mendekat ke arahku. Tatapan matanya menyiratkan kesedihan. Mama adalah wanita yang sangat aku hormati selain ibu, beliau wanita lemah lembut yang membuatku merasa beruntung mempunyai mertua sepertinya.Sifat lemah lembut Mas Haris mungkin juga menurun dari mama. Didikan mama yang seorang diri membesarkannya membuat Mas Haris sangat menyayangi mama. Bahkan aku pun sangat berterima kasih pada mama yang sudah membuat Mas Haris mempunyai sifat yang lemah lembut sepertinya."Ras, kamu tidak perlu pergi dari rumah ini. Kamu sudah Mama anggap putri Mama sendiri. Mama benar-benar menyayangimu seperti Mama menyayangi Risa dan Har
"Aku pamit ya, Ras. Kamu baik-baik di sini. Jangan terus meratapi kepergian Mas Haris, Ras. Ikhlaskan Mas Haris agar dia tenang di sana," ucap Winda.Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Winda, kami telah sampai di tempat bibi Winda. Dan sekarang Winda pamit karena hari sudah hampir sore, dia pamit setelah membantuku bersih-bersih, maklum rumah bibi Winda sudah lama kosong semenjak bibi Winda diboyong ke rumah anaknya."Terima kasih sudah mau aku repotkan, Win," ucapku memeluk Winda."Sama-sama, Ras. Aku tidak mau melihatmu terpuruk, Ras. Tolong kembalilah seperti Laras yang dulu lagi," bisik Winda membalas pelukanku.Aku diam tak menjawab ucapan Winda hingga Winda melepaskan pelukanku darinya. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa pada Winda, karena aku sendiri tidak tahu apakah aku sanggup untuk kembali seperti dulu lagi."Aku pergi, Ras." Winda pun berlalu pergi masuk ke dalam mobil dan perlahan mobil yang membawa Winda pun mulai melaju meninggalkanku yang masih berdiri menatapnya s
"Kamu di mana, Ras?" tanya ayah melalui sambungan telfon yang baru tersambung.Aku menggenggam erat ponsel, aku yakin sekali ayah sudah tahu aku telah pergi dari rumah Mas Haris. Sejujurnya aku enggan menjawab panggilan telfon dari ayah, tapi aku tidak mau membuat ayah khawatir. Aku pun tidak bisa memberitahukan keberadaanku, ayah pasti akan menyusulku kemari.Aku belum bisa kembali ke rumah, hatiku masih belum bisa berdamai dengan keadaan walau sudah hampir satu bulan aku keluar dari rumah Mas Haris. Jika aku kembali ke rumah, aku hanya akan menyusahkan kedua orangtuaku saja dengan kesedihan yang aku rasakan."Tolong jawab ayah, Ras. Tolong beritahu ayah di mana kamu sekarang, Ras. Ayah terkejut sekali ketika datang ke rumah Haris, kamu sudah pergi dari sana hampir satu bulan. Kenapa kamu tidak memberitahu ayah atau ibumu jika ingin pergi, Ras?" Kembali ayah melemparkan pertanyaan yang membuatku sedih."Ma-af." Hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari bibirku, aku tidak mampu lagi m
"Apa? Apa maksud pesanmu ini, Ras?" Winda langsung menyodorkan ponselnya begitu aku membuka pintu untuknya.Aku hanya mengernyitkan kening melihat kehadiran Winda yang tiba-tiba. Padahal hari masih pagi, tapi Winda sudah berada di sini."Apa sih, Win? Kenapa pagi-pagi sudah sampai di sini?" Aku memutar bola mata jengah."Jawab saja pertanyaanku, Ras. Katakan apa maksud dari pesanmu dini hari tadi," desak Winda.Aku melangkah masuk ke dalam kamar tanpa menjawab pertanyaan Winda, sementara Winda menyusulku setelah menutup pintu. Setelah tiba di kamar, aku kembali merebahkan tubuhku yang masih terasa lemas."Larasati ... jawab pertanyaanku!" ucap Winda dengan nada sedikit tinggi.Aku melirik Winda yang terlihat sedang kesal, aku tahu jika dia sudah memanggil namaku dengan seperti itu, dia sedang teramat kesal. Tapi aku pun juga tak tahu kondisi tubuhku sekarang."Aku terlambat datang bulan, Win," ucapku akhirnya."Haduh, Ras. Kenapa kamu sampai tidak sadar jika terlambat datang bulan. Be
"Jadi kamu berangkat hari ini, Mas?" Aku sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan tanpa bantuan asisten rumah tangga.Aku lebih suka mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan tanganku sendiri. Dari dulu aku sudah berkomitmen untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa bantuan asisten rumah tangga. Dan sekarang aku telah mewujudkannya. Setelah melahirkan, aku fokus menjadi ibu rumah tangga, tidak lagi kembali bekerja."Jadi, Ras," jawabnya sembari menyesap secangkir kopi."Berapa hari kamu di sana?" tanyaku lagi."Ada apa? Kamu takut jauh-jauh dari aku ya?" tanyanya membuatku menghentikan aktifitasku dan menoleh ke arahnya."Mana mungkin. Putrimu itu yang akan selalu mencarimu. Dia pasti rewel mencari ayahnya," sanggahku."Ah, ternyata cuma Safira yang mencariku, bukan kamu. Istriku memang tidak pernah merindukanku, padahal aku pasti akan sangat merindukanmu," sahutnya sembari mencebikkan bibirnya.
Netraku terus menetes melihat Pandu mengadzani putri kecilku, hatiku terasa bagai disiram air dingin melihatnya. Aku terharu sekaligus sedih, terharu karena Pandu benar-benar menjadi sosok ayah untuk putriku. Tapi aku juga sedih karena seharusnya Mas Haris lah yang mengadzani putri kami. Dialah yang seharusnya berada di posisi itu.Takdir telah membuat putriku harus kehilangan ayah kandungnya untuk selama-lamanya. Air mataku menetes semakin deras, hingga tiba-tiba kurasakan pandangan mataku mulai mengabur. Perlahan aku pun kehilangan kesadaranku. *** Aku mengerjapkan mata pelan, hidungku mencium aroma bunga yang sangat harum. Perlahan aku mencoba kembali membuka mata.Cahaya terang menyilaukan mataku yang mulai terbuka, aku mengernyitkan kening melihat sekelilingku. Banyak bunga-bunga yang berwarna warni tumbuh dengan indahnya.Aku langsung bangun dari posisiku berbaring, aku bingung sedang ada di mana. Tempat ini terasa asing bagiku. Aku memegang kepalaku yang sedikit pening, aku m
"Duduklah, Ras. Sepanjang acara kamu terus berdiri, kamu pasti lelah."Aku menoleh menatap Pandu yang sudah berdiri di sampingku tanpa aku menyadarinya. Dia membawa gelas yang berisi minuman. Lalu dia pun menyodorkan gelas tersebut kepadaku."Aku tidak apa-apa, jangan terlalu khawatir. Dokter malah menyarankan aku untuk banyak bergerak agar mempermudahku melahirkan kelak," sahutku sembari menerima gelas dari Pandu.Kami sedang berada di rumah Winda, dia baru saja melangsungkan akad nikah dengan Wira. Akhirnya Winda memutuskan untuk menerima Wira. Aku turut bahagia melihat Winda akhirnya menemukan tambatan hatinya.Waktu cepat sekali berlalu semenjak terbongkarnya kedok Indra. Aku dan Pandu sepakat untuk mencoba menjalani pernikahan kami. Tapi selama ini Pandu tidak pernah meminta haknya padaku, dia berjanji untuk memulai hubungan kami dengan pertemanan. Tentu aku tidak keberatan, tidak ada ruginya berteman dengan Pandu, sebelum akhirnya kami berpisah kelak."Winda terlihat cantik seka
Sepulang dari rumah Mama, aku berada di dalam mobil Pandu. Ayah memintaku pulang bersama Pandu. Aku langsung masuk ke dalam mobil Pandu tanpa penolakan.Pandanganku tentang Pandu sedikit barubah. Ternyata dia menghilang selama ini untuk mencari bukti, agar namaku bersih dari fitnah-fitnah yang menyebar tentangku.Aku sudah berburuk sangka padanya selama ini, aku pikir dia menghilang karena terluka oleh kata-kataku. Tapi ternyata dia malah membantuku, aku menyesal sekali telah berkata buruk padanya.Suasana di dalam mobil sangat hening, tidak ada yang berbicara di antara kami. Pandu nampak fokus menyetir, melihat lurus ke arah jalanan yang temaram. Tidak sekalipun dia melihat kepadaku, sedang aku sedari tadi mencuri-curi pandang ke arah Pandu.Aku ingin berbicara tapi aku urungkan, aku takut jika Pandu tidak menjawab pertanyaanku. Aku sadar sekali, kalau aku sudah berperilaku buruk padanya. Tapi aku sudah instropeksi diri. Aku ingin berdamai dengan Pandu. Biar nasib yang akan menentuka
"Masih tidak bisa menjelaskan juga?" Risa memandang tajam Indra."A-ku bisa jelaskan, Sayang. Semua yang ada di foto itu tidak benar, mereka mencoba menfitnahku." Indra nampak mencoba mengelak, tangan Indra mencoba meraih tangan Risa. Tapi Risa menepis tangan Indra kasar.Apa aku tidak salah dengar? Bukannya Indra yang mencoba menfitnahku? Apa dia lupa dengan apa yang telah dia lakukan padaku? Aku mengepalkan tangan mendengar ucapan Indra yang masih saja mau melempar fitnah. Aku membuang napas kasar, geram sekali dengan Indra yang pandai bersilat lidah.Ibu memegang tanganku dan mengusapnya lembut. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis, aku meyakinkan Ibu bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak terpengaruh oleh pertengkaran Indra dan Risa. Sementara Pandu dan Ayah diam saja dari tadi. Mereka hanya menyaksikan semua yang telah terjadi dalam diam."Jangan coba-coba membohongiku! Jika foto-foto itu tidak benar, pasti wanita di dalam foto itu mempunyai wajah yang sama. Tapi kau lihat sen
Tak terasa waktu cepat sekali berlalu, sudah dua minggu sejak pernikahanku dengan Pandu, tapi dia tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Setelah mendapat penolakan dariku, dia seperti ditelan bumi. Tidak pernah menemui atau mengirim pesan padaku.Ayah pun hanya diam, tidak membahas apapun tentang Pandu. Beliau kembali seperti biasanya, bahkan bertambah perhatian padaku yang sering mengalami kram perut sejak pernikahanku dengan Pandu.Bukannya aku ingin bertemu dengan Pandu, tapi aku heran saja dengan ketidakhadirannya selama dua minggu ini, tanpa mengatakan apapun. Apa mungkin dia merasa sakit hati karena penolakanku kemarin? Atau dia sudah menyerah untuk menjadi suamiku? Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku.Ah, biar saja. Aku tidak peduli akan kehadirannya di sini. Aku malah tidak mengharap dia kembali lagi ke sini. Mungkin dengan begini hubungan kami akan putus dengan sendirinya."Ras, hari ini kamu punya jadwal apa?" tanya Ayah tiba-tiba sudah ada di sampingku tanpa aku
Aku berjalan mondar mandir dengan perasaan gelisah. Ayah memintaku membawa Pandu ke kamarku untuk beristirahat setelah acara selesai. Aku pun tidak bisa menolaknya, mengingat Pandu sudah menjadi suamiku. Sementara Pandu sekarang sedang berada di dalam kamar mandi.Sejak masuk ke dalam kamar, pikiranku gelisah tak menentu. Tidak pernah ada lelaki lain yang masuk ke dalam kamarku selain Ayah dan juga Mas Haris. Tapi sekarang ada lelaki lain yang sedang berada di dalam kamarku, walaupun statusnya adalah suamiku tapi aku belum bisa menerimanya.Ceklek.Suara pintu terbuka, Pandu muncul dari balik pintu kamar mandi yang telah terbuka. Seketika aku menghentikan langkahku dan menolehkan kepala, melihat ke arahnya. Melihatku berdiri di samping ranjang, Pandu berjalan mendekatiku."Ambillah air wudhu terlebih dahulu, Ras. Ayo kita sholat sunnah bersama," ucap Pandu memintaku untuk berwudhu.Tanpa menjawab Pandu, aku segera melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Jujur aku m
"Kamu harus menikah dengan Pandu, Ras. Kamu tidak punya pilihan lain." Kembali Ayah menegaskan keputusan yang telah beliau ambil.Aku menghela nafas berat, jadi inilah akhir dari keputusan Ayah. Tentunya aku harus mengikutinya bukan? Aku tidak mau menjadi anak durhaka yang melawan perintah dari orangtuanya.Aku kembali terduduk dan menunduk sedih, air mataku rasanya sudah banyak yang keluar hari ini. Tidak pernah aku bayangkan datangnya hari di mana Ayah memaksaku menikah lagi, memaksaku menerima laki-laki lain untuk mengisi posisi Mas Haris."Maafkan aku, Mas. Bukan maksudku untuk mengkhianatimu, tapi aku tidak bisa melawan perintah Ayahku. Aku selalu mencintaimu, selamanya aku selalu mencintaimu. Walaupun Ayah menghadirkan pengganti untukmu, tapi di hatiku hanya kamulah yang paling aku cintai sampai kapanpun," batinku.Pelahan aku mengangkat wajahku, menatap satu persatu wajah orang-orang yang hadir di ruang tamu. Semua yang hadir nampak berwajah sendu kecuali Ayah, beliau masih mem
Aku duduk dengan hati gelisah, sejak melihat Pandu yang sudah duduk manis dengan seorang lelaki paruh baya yang mengenakan sorban di kepalanya. Dari penampilannya, sepertinya beliau adalah seorang ustadz. Dalam hati aku bertanya-tanya ada apa sebenarnya, hingga Pandu datang dengan seorang Ustadz. Tapi aku lebih memilih diam menunggu apa yang akan dibicarakan.Sedari tadi, aku meremas tangan Winda yang duduk di sampingku. Aku mencoba untuk tenang walaupun hatiku terasa tidak enak sejak mendengar berita kedatangan Pandu kemari."Baiklah, sekarang semua sudah berkumpul. Kita mulai saja acaranya," ucap Ayah membuka percakapan.Pandanganku beralih pada Ayah, beliau duduk di samping Ibu. Netraku beralih menatap Ibu, raut wajah Ibu nampak bertambah muram dari sebelumnya. Beliau hanya menundukkan kepala, sesekali tangannya terlihat mengusap air mata yang mengalir di pipinya.Aku mengernyitkan kening melihat Ibu seperti itu, aku juga tidak mengerti dengan acara yang Ayah maksud. "Acara apa, Ya