POV AuthorSeorang wanita cantik dan seorang pria tengah masuk ke dalam sebuah restoran tempat Amira bekerja.Ia lalu duduk tak jauh dari Amira yang sedang mengelap meja. Wanita itu pun memanggil Amira tanpa menoleh hanya melambaikan tangan."Mbak, sini!" penggil wanita itu pada Amira.Gegas Amira menghentikan aktivitasnya mengelap meja. Ia pun menoleh dan menghampiri pelanggan wanita yang baru saja datang tersebut."Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya Amira saat sudah dekat.Wanita itu kemudian menoleh pada Amira. Ia memperhatikan Amira beberapa saat sebelum ia membuka kacamata hitam yang dipakainya."Amira?" tanya wanita itu terkejut.Begitupun dengan Amira yang sama merasa terkejut dengan kedatangan wanita itu yang ternyata adalah Selly. Selly datang di restoran ini bersama seorang pria yang tak Amira kenal."Selly?"Selly tersenyum sinis menatap Amira. Ia menatap Amira dengan seksama, kemudian meremehkan pekerjaan Amira yang hanya sebagai pramusaji."Oh, masih gak berubah juga
"Ibu gak nyangka loh, Pak. Ternyata Amira tinggal di Surabaya. Dia juga kenal lagi sama calon mantu kita," ujar Bu Zaenab di suatu pagi. Ia sedang menyiapkan sarapan untuk keluarganya.Keluarga Pak Abdullah masih tinggal di Surabaya. Mereka tinggal di salah satu rumah milik keluarga Tuan Abimanyu yang tak jauh letaknya dari rumah utama.Keluarga Pak Abdullah berencana akan tinggal seminggu lagi. Mereka akan mendaftarkan kuliah Yuni di Surabaya."Ya mungkin kebetulan saja kali, Bu." Pak Abdullah terlihat acuh, ia tak tertarik bercerita tentang Amira."Tetap saja, Pak. Ibu itu khawatir, Ibu takut Yudha berubah pikiran. Bapak lihat sendiri, sepulang dari lamaran kemaren lusa, Yudha jadi pendiam." Bu Zaenab terlihat khawatir."Anak kita itu kan, memang sedikit pendiam, Bu. Cuma perasaan Ibu saja, yang penting kan sekarang, anak kita resmi bertunangan dengan Syahla." Pak Abdullah mencoba berpikir positif.Yudha keluar dari kamarnya, ia kemudian menarik kursi di samping Pak Abdullah. Yudha
"Kamu bermasalah? gak mungkinlah, buktinya Gemilang jadi anak kamu sama Amira," ucap Bu Retno yang secara tidak sadar keceplosan."Maksud Ibu?" tanya Radit seketika yang terkejut dengan ucapan Ibunya tadi.Bu Retno dengan serta merta menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia baru saja sadar, jika ucapannya tersebut malah akan memancing kecurigaan Radit kembali."Ah gak, Ibu cuma asal bicara," ucap Bu Retno gugup, ia mengalihkan pandangannya dari tatapan Radit."Tapi, dari ucapan Ibu, menyiratkan jika Gemilang itu anak kandungku, benar?" Radit mencoba mencari jawaban dengan terus bertanya pada Ibunya."Kamu salah denger kali, Dit. Ibu hanya pengen cucu saja dari kamu dan Selly. Udah ya, Ibu mau lanjut jemur baju dulu." Bu Retno gegas pergi meninggalkan Radit, ia mencoba menghindar dari pertanyaan yang kemungkinan akan ditanyakan oleh Radit.Radit membiarkan Ibunya melanjutkan pekerjaannya karena tiba-tiba ponselnya berbunyi. Meskipun dalam hati ia bertanya-tanya tentang ucapan dari Ibun
Syahla menarik tuas pintu rumah, dan ternyata tidak dikunci. Pintu rumah pun terbuka, ia dan Amira bergegas masuk untuk menemui Nek Warsih.Syahla dan Amira terkejut, saat dilihatnya Nek Warsih yang tengah tergeletak di lantai rumahnya dengan posisi terlentang. Syahla seketika berteriak panik."Ya Allah, Nek. Apa yang terjadi?" Syahla kemudian memeriksa Nek Warsih. Ia mengecek denyut nadi Nek Warsih, masih berdenyut. Badannya pun masih hangat, tetapi kepala bagian belakangnya ada darah yang mengalir. Sepertinya Nek Warsih terjatuh dan pingsan. Ada tumpahan minyak yang tercecer di lantai, yang membuat Syahla berasumsi jika Nek Warsih jatuh terpeleset."Bagaimana, La? Nek Warsih kenapa?" tanya Amira, ia pun tak kalah panik melihat kondisi Nek Warsih."Gak tahu, Mir. Sepertinya terpeleset, kamu lihat kan ada minyak yang tercecer di lantai?""Iya, terus bagaimana kondisinya?""Nadinya masih berdenyut, badannya juga masih hangat. Cuma ini ada luka di kepalanya, lebih baik kita cepat bawa
Syahla menarik napas dalam, ia terlihat gugup saat ingin mengucapkannya. Bibirnya terasa kelu, berat baginya untuk mengungkapkan semuanya. Egonya tak ingin mengatakan yang sebenarnya, tetapi nalurinya menginginkan yang lain. Ia harus mengalahkan egonya sendiri, agar rasa bersalah tak terus menerus menghantuinya."A-aku, bu-bukan anak kandung, M-Mama," ucap Syahla terbata.Bu Syahnaz menatap Syahla bingung. Ia masih belum tahu maksud dari perkataan Syahla."Kamu ngomong apa, La? Bukan anak Mama?" tanya Bu Syahnaz.Syahla mengangguk, kemudian menarik napas dalam, perasaan sesak memenuhi hatinya saat akan berbicara yang sebenarnya pada Ibunya."Iya, Ma. Syahla bukan anak kandung Mama," ucap Syahla."Maafkan saya, Nyonya. Maafkan saya, semua salah saya, Nyonya." Nek Warsih berucap lirih, hal itu membuat Bu Syahnaz menoleh padanya."Ada apa ini sebenarnya? Tolong jelaskan, jangan buat saya bingung." Nek Warsih kembali menangis, sulit rasanya untuk berbicara yang sebenarnya. Namun, dia har
Amira dan Bu Syahnaz tiba di panti asuhan. Mereka lalu turun dari dalam mobil yang sudah terparkir di halaman dan bergegas menuju ke dalam panti.Kedatangan Bu Syahnaz disambut ramah oleh Bu Salma. Kemudian Bu Salma mempersilahkan Bu Syahnaz masuk dan duduk di sofa ruang tamu.Amira segera menggendong Gemilang, yang sedang diasuh Bu Salma. Mereka kemudian duduk bersama di sofa untuk membahas tentang tujuannya Bu Syahnaz datang ke panti."Begini, Bu Salma. Perkenalkan nama saya Syahnaz, Ibu dari Syahla. Saya datang ke sini karena ingin mengetahui biodata lengkap dari Amira, yang menurut keterangan mantan pembantu saya, dia ditukar dengan Syahla dua puluh lima tahun yang lalu." Bu Syahnaz langsung menjelaskan tujuannya datang ke panti. Ia ingin membuktikan sendiri ucapan dari Nek Warsih. Bu Syahnaz masih tak percaya, karena ia sudah menyayangi Syahnaz dengan sepenuh hati."Ya, Bu. Dulu ada wanita paruh baya yang menitipkan Amira pada saya. Dia mengaku sebagai nenek dari Amira, dan berja
Tuan Abimanyu dan Bu Syahnaz memutuskan untuk tetap melakukan tes DNA pada Amira dan Syahla agar lebih meyakinkan jika Amira adalah putri tunggal mereka yang telah ditukar. Mereka pun melakukan tes DNA di rumah sakit tempat Nek Warsih dirawat.Mereka juga mengunjungi Nek Warsih yang masih dirawat di rumah sakit itu. Tuan Abimanyu ingin menanyakan langsung pada Nek Warsih.Sesampainya di ruang rawat Nek Warsih, terlihat Syahla yang masih setia menemani Nek Warsih yang masih berbaring di atas bed. Syahla terkejut dengan kedatangan kedua orangtuanya, ia langsung menyapa mereka."Papa, Mama," sapa Syahla.Tuan Abimanyu hanya melirik sekilas pada Syahla, sementara Bu Syahnaz menunduk tak menanggapi sapaan Syahla.Tuan Abimanyu mendekati Nek Warsih, tatapannya tajam. Hal itu membuat nyali Nek Warsih ciut, seketika ia menjadi gugup dan salah tingkah."T-tuan." Nek Warsih segera mencoba untuk duduk."Apa benar kau telah menukar putriku, Warsih?" tanya Tuan Abimanyu."Anu, Tuan. S-saya ...."
Amira kini tinggal di rumah keluarga kandungnya.Rumah berlantai dua itu memiliki empat kamar utama dan satu kamar pembantu. Dua kamar di lantai atas, dan dua kamar di lantai bawah sementara kamar pembantu terletak di dekat dapur.Kamar di lantai atas merupakan kamar Syahla, dan satu kamar lagi kosong. Sementara kamar di lantai bawah, merupakan kamar Tuan Abimanyu dan kamar tamu jika ada yang menginap.Amira meminta kepada Tuan Abimanyu, untuk menempati kamar tamu saja karena letaknya di lantai bawah. Hal itu karena akan ia tempati bersama Gemilang yang sedang aktif-aktifnya sebagai seorang batita. Kedua orangtua Amira pun memenuhi permintaan putrinya.Rasa haru dan bahagia terus menyelimuti hati Amira. Ia kini tengah menidurkan Gemilang di kamar. Hari sudah menjelang sore, Amira memilih merebahkan tubuhnya di samping Gemilang. Ia masih bingung hendak melakukan apa di rumah itu. Amira langsung diboyong oleh orangtuanya saat itu juga, sehingga hal ini terlalu mendadak untuk Amira.Amira