“Saya diceraikan karena sudah nggak cantik lagi Pak.” Ujar Lastri dengan mata menerawang.
Wanita itu sudah selesai mempersiapkan bahan untuk masak besok. Tapi Alan masih ingin mengobrol. Setelah obrolan basa-basi tentang kampung halamannya, percakapan mereka berdua jadi lebih serius.“Kamu masih cantik kok.”Alan hanya menjawab sesuai yang ia pikirkan. Namun jawaban itu membuat Lastri terkejut. Sudah lama tidak ada yang mengatakan bahwa dirinya cantik.Wanita itu hanya membalas dengan senyuman dan itu membuat Alan salah tingkah. Alan menyesali kata-katanya barusan, kata-kata seperti itu cukup berbahaya untuk diucapkan kepada seorang wanita.“Sekarang Sekar ikut sama bapaknya?” Alan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan tentang anak Lastri.“Tinggal sama bapak saya di kampung. Bapaknya sudah sibuk sama istri baru, mana ingat sama anak. Makanya saya kerja, karena Sekar butuh biaya untuk sekolah. Sedangkan bapak di kampung cuma buruh tani.”Mata Lastri berkaca-kaca saat membicarakan soal anaknya.“Saya juga berat ninggalin Sekar di kampung, tapi bagaimana lagi.”Alan menepuk bahu Lastri tanpa sadar karena bersimpati dengan kesusahan wanita itu. Baik Lastri juga Alan terkejut karena hal itu. Alan segera menarik tangannya.“Sudah larut malam, Pak.” Akhirnya Lastri berinisiatif mengakhiri obrolan ini.Sedangkan Alan sibuk merutuki dirinya yang tidak tahu batasan dan membuat suasana jadi canggung.“Iya sudah terlalu malam. Sebaiknya kamu istirahat.” Alan buru-buru bangkit lalu meninggalkan Lastri sendirian di dapur.*****“Cape Mas?” Sandra melirik nakal pada sang suami.Sandra duduk di tepi tempat tidur dengan baju terbuka sambil menyusui Rio. Matahari sudah tinggi, sepertinya Alan bangun cukup siang.“Iya.” Jawab Alan tidak terlu tertarik.Sandra hanya senyum-senyum saja, berpikir bahwa suaminya kesiangan karena melewati malam dengannya. Padahal alasan Alan kesiangan karena lelaki itu mengobrol terlalu lama dengan Lastri.“Lan, sarapan…”Tumben ibu mertuanya mengetuk pintu kamar Alan dan Sandra pagi-pagi.“Iya Bu.”“Lastri sudah masak enak di bawah, cepat turun.” Sambung ibunya.Sandra menghela napas panjang. Selama ini ia memang jarang membuat sarapan karena sibuk dan sedari kecil ia tidak terbiasa makan nasi dipagi hari.“Ini semua untuk sarapan?” Alan terkejut melihat beraneka ragam lauk untuk sarapan saat sudah sampai di meja makan.Setelah menikah, ia biasanya hanya mendapati roti atau telur di atas meja makan. Sudah bertahun-tahun rasanya, ia tidak makan makanan sungguhan untuk sarapan.“Makanya udah ibu bilang kan, ajari Sandra masak. Untung kemarin ibu suruh kamu jemput Lastri di kampung.” Bu Rohimah berbisik pada anaknya.“Iya Bu, iya…” Alan langsung mengambil posisi duduk.Lastri dengan sigap mengambil piring milik Alan dan menyendokkan dua sendok nasi ke atasnya.“Terimakasih.” Alan sedikit canggung pada Lastri. Apalagi setelah semalaman mengobrol dengan wanita itu.“Roti bakarku mana?” Sandra datang sambil menggendong Rio yang baru habis menyusu. Ia celingukan mencari roti yang biasa ada di meja.“Saya taruh di dapur, Bu.” Jawab Lastri yang entah mengapa selalu terlihat canggung di sekitar Sandra.“Saya nggak sarapan nasi.” Kata Sandra cuek. Lantas duduk di kursi sebelah Alan.“Baik Bu, sekarang saya buatkan roti bakarnya.”Bu Rohimah terlihat tidak senang dengan sikap menantunya. Sudah lama ia merasa tidak nyaman dengan Sandra, apalagi setelah tahu bahwa Sandra bersikap ‘terlalu modern’dan seakan lupa tugas juga kodratnya sebagai wanita, istri serta menantu.“Cobain dulu sarapan nasi. Kamu kan juga orang Indonesia, jangan sok ke barat-baratan lah.”Sandra memandang sang mertua dengan bingung, tidak biasanya Bu Rohimah bersikap ketus secara terang-terangan walau Sandra tahu bahwa Bu Rohimah memang tidak nyaman di sekitarnya.“Aku sakit perut kalau sarapan dengan nasi.”“Itu kan bisa-bisaanmu saja. Karena kamu buat-buat sendiri. Ibu dari kecil makan nasi bisa hidup sampai setua ini.”Sandra ingin membela diri, tapi tidak ingin berdebat dengan sang mertua. Selama ini baik Sandra dan sang mertua masih bisa berhubungan baik karena sama-sama menahan diri. Ia tidak ingin mencari keributan sekarang.Sandra memandangi Alan agar setidaknya lelaki itu bisa jadi penengah, namun sang suami terlalu sibuk menyantap sarapannya.“Enak Lan sarapannya?” Tanya Sandra karena melihat sang suami begitu lahap.“Iya San, cobain deh, kamu pasti suka.” Jawab Alan tanpa mempertimbangkan situasi.“Makanya dibiasakan makan nasi, biar ASI kamu bagus. Jangan makan roti yang entah kapan dan siapa yang bikin itu terus.”Sandra menghela napas, kesal karena tiba-tiba saja kebiasaan sarapannya menjadi masalah. Saat yang bersamaan Rio menangis hingga Sandra punya alasan untuk pergi dari meja makan.*****“Padahal kamu sudah buat sarapan seenak itu tapi tetap aja si Sandra masih minta yang aneh-aneh.”Sandra menghentikan langkah. Ia sebenarnya mau ke dapur untuk ambil minum. Namun, mendengar suara bisik-bisik sang mertua dan pembantu membuat wanita itu memilih untuk menguping. Selama ini ia tidak pernah mendengar mertuanya menjelekkan dirinya karena tidak punya teman ngomong. Ternyata setelah mendapat teman ngobrol, begini lah cara mertua memandang dirinya.“Mungkin Bu Sandra memang terbiasa makan roti, Bu.” Terdengar suara Lastri seakan mencoba menjadi pihak yang netral. Setidaknya, Lastri tidak seburuk yang Sandra pikir.“Dia juga orang Indonesia kok. Makan roti apanya. Dulu waktu masih kecil Sandra itu juga pernah susah, cuma sekarang aja dia gaya-gayaan setelah jadi orang kaya.”Sandra menghela napas, hatinya sakit mendengar mertuanya sendiri menjelek-jelekkan dirinya di depan seorang pembantu yang baru sehari bekerja. Padahal walau ia juga tidak nyaman dengan sang mertua, tak sekali pun Sandra pernah berbicara buruk tentang wanita itu.“Kasian Alan, setelah nikah sama Sandra jadi kurus begitu. Apa-apa harus ikutin maunya Sandra, maunya Sandra.”Sandra tidak tahan lagi. Ia bisa terima jika sang mertua menjelek-jelekkan dirinya, tapi ia tidak bisa tahan mendengar sang mertua mengomentari hubungannya dengan sang suami seperti itu.“Ehem.” Sandra berdehem saat hendak masuk dapur.Bu Rohimah dan Lastri tampak terkejut dengan kehadiran Sandra. Sang mertua bahkan sampai pucat.“Butuh apa San?” nada suaranya berubah, tidak seperti tadi saat menjelek-jelekkan Sandra di depan pembantu.“Aku haus Bu.” Jawab Sandra seperti tidak ada yang terjadi.“Oh.” Bu Rohimah tidak tahu menjawab seperti apa.Saat Sandra melangkah ke depan kulkas untuk mengambil air minum, wanita itu bisa melihat kalau Bu Rohimah menyikut Lastri, memberi kode.“Ibu mau saya buatkan makan siang apa?” Lastri bicara dengan kikuk.Sandra mengambil botol air dalam kulkas. Ia kemudian balik memandang Lastri dan sang mertua. Ingin rasanya ia marah pada dua wanita yang sedang berpura-pura itu. Namun, tidak jadi. Sandra malah pura-pura tersenyum.“Kalau saya bilang mau makan apa, memangnya kamu bisa buat? Kamu tahu makanannya kayak apa?” Sandra tersenyum, menyindir.“Maksudnya Bu?”“Kamu masak aja yang kamu bisa, jangan pedulikan selera saya.”Sandra kemudian keluar dari dapur. Namun berhenti tidak jauh dari sana untuk menguping reaksi sang mertua setelah disindir terang-terangan begitu.“Lihat kan Las gayanya, sudah berasa paling modern dia. Sombong sekali jadi perempuan.”*****“Mau kemana?” Sandra baru selesai memandikan Rio ketika melihat Alan juga baru selesai mandi. Bersiap entah kemana.Biasanya Alan tidak pernah keluar rumah di hari minggu. Alan adalah tipe suami rumahan, setelah menikah, ia tidak pernah lagi nongkrong dengan teman-temannya.“Disuruh ibu anter Lastri ke pasar.”“Sore-sore gini?” Sandra tampak tidak senang.Sudah seminggu lebih Lastri bekerja di rumahnya. Baik mertua juga suaminya sudah sangat akrab dengan pembantu itu karena memang mereka sudah saling mengenal di kampung. Hanya Sandra yang masih tidak nyaman.Rio juga sangat anteng jika sudah dipegang oleh Lastri, lebih anteng ketika Sandra yang menggendong bayi itu. Padahal Rio tipe bayi yang sensitif, tidak mau digendong oleh sembarang orang. Hal itu membuat Sandra lebih tidak nyaman lagi.Selain itu ia juga masih mendapati mertuanya menjelek-jelekkan dirinya di hadapan Lastri. Rasanya seakan Lastri lebih diterima oleh sang mertua ketimbang dirinya.“Memang nggak bisa sendiri? Bisa p
“Sandra mana Bu?” Tanya Alan pada ibunya begitu sampai rumah.“Di kamar kayaknya, dari tadi nggak keluar. Kenapa pulang malam sekali?” Tanya Bu Rohimah yang sedari tadi juga bertanya-tanya kenapa anaknya terlambat sampai rumah.“Mobilnya mogok, jadi Alan mampir ke restoran sekalian bungkusin makan malem.”Alan menyodorkan bungkus makanan tersebut pada sang Ibu lalu berjalan masuk ke kamar. Saat membuka pintu kamar, Alan langsung mendengar suara tangisan Rio sedangkan Sandra malah duduk di sudut ranjangnya memegang ponsel.“San, Rio nangis bukannya ditenangin malah main handphone.” Alan segera mengangkat Rio yang dibiarkan berbaring begitu saja di atas kasur. Setelah berada dalam gendongan Alan, bayi laki-laki tersebut berangsur tenang.“San? Kamu kenapa? Kerjaan kantor lagi? Segitu sibuknya sampai anakmu nangis pun nggak dilihat?” Tanya Alan beruntun karena mulai kesal sebab sang istri tidak juga menjawab.“Habis dari mana?” Tanya Sandra dingin. Wanita itu melemparkan ponselnya dengan
“Maksud kamu apa Lan?” Untungnya Rio sudah tidur saat Alan pulang dan masuk kamar. Sandra sengaja menitipkan Rio di kamar sang mertua agar bayi laki-laki itu tidak menangis seperti kemarin saat mendengar suaranya.“Maksud apa?” Alan terlihat malas dan lelah, ia menanggapi Sandra dengan tidak serius.“Ada apa sama Lastri sampai kamu berubah begini?”“Maksudnya?”“Kamu bahkan nggak minta pertimbangan aku waktu Lastri minta anaknya dibawa ke rumah ini. Apa itu pantas? Aku masih istrimu dan anggota keluarga ini!” Sandra menaikkan suaranya.Alan mengacak-acak rambutnya, tidak mungkin kan ia bilang kalau bukan Lastri yang minta Sekar dibawa ke rumah melainkan dirinya yang menawarkan.“Kemarin situasinya nggak enak, kamu juga sibuk dan langsung ke kantor. Kapan aku bisa bilang?” bela Alan.“Keputusan kayak gini bukan hal urgent yang harus diputuskan saat itu juga. Kamu harusnya bisa nunggu sampai omongin masalah ini ke aku, kan?” “Oke, terus kamu maunya gimana? Toh sudah terlanjur juga, ka
“Kamu terlalu sempurna, jadi aku merasa nggak dibutuhkan sebagai seorang suami.”Kalimat yang diucapkan Alan semalam masih membayangi Sandra. Sandra tidak mengerti maksudnya. Bagaimana mungkin kesempurnaan bisa menjadi kekurangan seseorang?Sebenarnya, istri seperti apa yang dibutuhkan oleh Alan? Atau memang hanya alasan Alan karena sudah tidak menginginkan dirinya? Apa suaminya punya wanita idaman lain? Apa wanita seperti Lastri?Tadi malam percakapan mereka terhenti begitu saja karena Rio menangis ingin disusui. Sandra tidak sempat menanyakan apa maksud lelaki itu. Begitu selesai mengurus Rio, Alan sudah tidur. Pagi hari pun mereka tidak sempat bicara apapun karena sibuk bersiap berangkat kerja.“Aku harus apa Sil?”Sandra menemui Sisil, sahabatnya, setelah pulang bekerja. Wanita itu tidak bisa menemukan jawaban atas arti ucapan Alan semalam. Lantas ia menceritakan semuanya pada Sisil.“Apa salah k
“Ibu nggak paham sama jalan pikiran kamu Sandra.”Bu Rohimah sudah bersiap akan tidur ketika mendengar Sandra berteriak. Rambutnya kusut, terurai begitu saja karena ia cepat-cepat keluar setelah mendengar Sandra berteriak.“Kamu kan pintar, tapi kenapa jalan pikiranmu nggak masuk akal? Bisa-bisanya kamu menuduh suamimu sendiri kayak begini.” Bu Rohimah memijat-mijat keningnya.“Nggak masuk akal bagaimana, Bu? Jelas-jelas aku liat Mas Alan sedang berduaan sama Lastri di dapur.” Sandra menjelaskan.Sandra menatap Alan yang tampak salah tingkah dan Lastri yang dari tadi hanya menunduk. Dari gaya mereka sekarang saja, sudah kelihatan kalau keduanya bersalah.“Alan, ibu pusing. Kamu jelaskan sendiri sama istrimu.” Bu Rohimah memijat keningnya yang sebenarnya tidak sakit.“Aku cuma ambil minum dan kebetulan Lastri masuk untuk nyiepin bahan sarapan besok. Tahu-tahu Sandra masuk dan menuduh macam-macam.
“Baru pulang?” Tanya Bu Rohimah dengan nada sinis.Sang mertua sedang nonton sinetron dengan Lastri di ruang keluarga ketika Sandra baru masuk rumah.“Iya, Bu. Ada lemburan.” Jawab Sandra dengan senyum yang dipaksakan.Sandra menatap Lastri yang langsung menunduk begitu Sandra datang. Dasar perempuan menyebalkan! Sandra benar-benar tidak suka melihat Lastri duduk di samping mertuanya, sudah seperti dia yang menjadi menantu di rumah ini. Apalagi jelas sekali kalau Lastri hanya merasa tidak nyaman pada dirinya.“Kenapa?” Tanya Bu Rohimah karena Sandra bukannya masuk kamar malah berdiri mematung. “Kamu mau ikut nonton sinetron?”“Nggak Bu. Cuma kangen aja pengen liat muka Ibu.” Jawab Sandra cuek kemudian naik ke kamar.Bu Rohimah hanya geleng-geleng melihat kelakuan menantunya yang semakin hari semakin ajaib itu.“Hai suamiku yang paling ganteng sedunia.” Sapa Sandra be
"Lan, ibu mau bicara.” Bu Rohimah berjalan mendekati Alan yang sedang minum teh sore di teras.“Iya Bu, mau ngomong apa?” Tanya Alan.“Itu si Sandra ada masalah apa sih sama Lastri? Kok kayaknya istrimu itu nggak suka banget sama Lastri.” “Maksudnya bagaimana? Kayaknya Sandra biasa saja deh Bu. Kemarin juga dia sampe mau ikut nemenin Sekar daftar sekolah. Sandra juga nggak protes waktu Alan bilang mau beliin Sekar sepeda.” Alan menatap bingung pada ibunya.“Menurut kamu begitu?” Tanya Bu Rohimah.Curhatan Lastri semalam soal Sandra yang sengaja membuat Lastri malu sebenarnya sedikit mengganggu wanita itu. Ia juga merasakan kalau Sandra tidak menyukai Lastri, jadi ia ingin mengkonfirmasi sendiri sebenarnya apa yang terjadi antara menantu juga pembantunya.“Memangnya ada alasan kenapa Sandra harus nggak suka sama Lastri?”“Nggak tahu ya Lan, tapi menurut ibu sih Sandra kayaknya cemburu s
Sialan.Lastri menyapu kesembarang arah, ia sedang tidak dalam suasana hati untuk membersihkan rumah. Nanti ketika ia bisa menguasai Alan, merebut lelaki itu dari Sandra, ia berjanji tidak akan pernah memegang sapu sialan ini lagi. Ia akan hidup seperti ratu, tidak lagi mengerjakan pekerjaan rumah.Boleh saja Sandra bersikap sombong seperti tadi pagi karena merasa Alan masih miliknya, nanti kalau sang suami sudah berhasil Lastri rebut, tentu Sandra tidak lagi bisa sombong seperti tadi. Akan Lastri pastikan untuk membalas kata-kata Sandra, agar wanita itu tahu bagaimana sakitnya.Enak saja dia macam-macam denganku. Batin LastriSebenarnya pada mulanya Lastri sama sekali tidak memiliki niat untuk mendekati Alan. Ia cukup tahu diri bahwa lelaki seperti Alan apalagi memiliki istri seperti Sandra tidak mungkin akan meliriknya. Mau dipikir seperti apapun, rasanya tidak mungkin. Mana ada lelaki yang mau menukar berlian dengan bat
Bu Rohimah yang bangun terlebih dahulu karena Rio yang menangis terus mencari sang Ibu agak kaget dengan keadaan rumahnya. Hari masih subuh, akan tetapi dari arah dapur sudah tercium aroma masakan yang sangat disukainya. Siapa yang memasak? Tidak mungkin rasanya jika Sandra yang memasak sepagi ini. Apalagi setelah kekacauan yang ia buat semalam.“Sandra…” Bu Rohimah memanggil sang menantu sambil kaki tuanya berjalan menuju dapur. Rio masih menangis di dalam gendongannya, bayi lelaki itu sedih sekali.“Eh, Ibu? Sudah bangun?” tanya Sandra lalu segera mencuci tangan dengan air di wastafel dan mengelap tangannya yang basah dengan serbet sebelum mengambil Rio dari gendongan Bu Rohimah.“Kamu ngapain?” tanya Bu Rohimah heran. Tentu saja heran karena Sandra tiba-tiba berubah menjadi baik.“Nyiapin sarapan,” jawab Sandra sambil langsung menyusui Rio. Bayi yang malang, Rio terlihat sangat kehausan dan langsung tenang setelah disusui oleh Sandra.“Sarapan? Kamu bikin sarapan?”“Iya. Ibu tunggu
“Kenapa? Kamu pikir kamu sudah menang?” Sandra tertawa lagi. “Lastri, Lastri, kamu bukan cuma menghinakan diri kamu sendiri tapi kamu juga sebentar lagi akan membusuk di penjara!” kata Sandra sambil menyeringai ke arah Lastri yang terlihat sangat marah.Derap langkah berat dan cepat terdengar mendekati Sandra. Lalu seorang laki-laki langsung memegangi lengan Lastri dan langsung memasangkan borgol pada wanita itu. Seorang laki-laki lain membantu Sandra berdiri dan menanyakan keadaan Sandra.“Dasar perempuan gila!” Lastri berteriak dan meronta-ronta hingga polisi yang membantu Sandra bangun ikut memegangi Lastri, “Perempuan sinting! Nggak waras!” teriaknya lagi.Lastri terus mengumpat pada Sandra meski polisi yang menangkapnya berulang kali menyuruh Lastri diam. Sedangkan Sandra tidak membalas sama sekali dan hanya menyeringai pada Lastri untuk memprovokasi wanita itu.“Ibu perlu kami antar pulang?” tanya polisi yang lebih muda.“Nggak, Pak. Saya dijemput teman saya di sini,”“Baik kala
“Ini saya, Lastri, Bu,” kata Lastri setelah akhirnya memutuskan untuk menghubungi Sandra.Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Lastri bahwa ia akan menghubungi Sandra seperti ini. Akan tetapi dirinya sudah putus asa. Terlebih sekarang dirinya penuh dengan kemarahan yang sudah tidak tertahankan.Tadi sewaktu berjalan kaki tanpa tujuan, beberapa anak kecil meledek pakaian dan bentuk tubuhnya. Ia juga terjatuh dan sandal yang ia gunakan talinya lepas. Tidak berhenti disitu, kesialan dirinya seakan berlanjut. Setelahnya ia hampir terserempet mobil dan sekarang ia sudah kelelahan dan tidak tahu harus beristirahat dimana.Uang lima ribu sisa pemberian petugas kebersihan sudah habis dibelikannya minuman. Kini Lastri tidak punya uang sepeserpun. Nanti malam sudah pasti dirinya akan kelaparan. Belum lagi ia juga harus tidur di emperan toko.Menjadi gelandangan ternyata lebih menyesakkan ketimbang menjadi buronan. Tidak tahu harus makan apa, tidak tahu harus tidur di mana. Lastri juga tidak
“Saya nggak bersalah!” teriak Lastri ketika dua orang polisi dengan sigap berlari ke arahnya dan memegangi pundak serta pergelangan tangan Lastri. Lastri meronta-ronta mencoba meloloskan diri akan tetapi kedua polisi itu malah memeganginya semakin kuat.“Apa salah saya? Kenapa saya ditangkap?!” pekik Lastri lagi tidak peduli jika penangkapan dirinya dijadikan tontonan oleh pengunjung lain.“Harap tenang!” bentak polisi yang lama-kelamaan kewalahan juga menahan pergerakan dna bobot tubuh Lastri.Lastri ciut mendengar suara teriakan yang menggelegar. Wanita itu pun menurut dan ikut keluar dari restoran dengan tenang. Namun, bukan Lastri namanya kalau menyerah begitu saja. Awalnya ia memang menurut saja saat digiring oleh petugas akan tetapi itu sebelum sebuah ide terlintas di otaknya.Dengan tiba-tiba Lastri menjatuhkan badannya ke belakang lalu kejang-kejang dengan lidah menjulur ke luar. Tubuh Lastri ambruk di tanah karena meski coba di tahan, bobotnya yang besar dan gerakannya yang t
Sekali lagi Lastri merasa berada di atas awan. Bagaimana tidak, Alan mengajaknya untuk makan siang setelah lelaki itu berjanji untuk mencabut laporan ke polisi. Lastri yakin sekali bahwa Alan menyukainya. Kalau tidak suka, tidak mungkin Alan mengajaknya makan siang, kan?“Maafin saya ya, Las. Tadi saya kebawa emosi, saya panik juga karena kamu ancam-ancam makanya saya ngomong keras begitu,” kata Alan tanpa memandang wajah Lastri. Lelaki itu fokus mengendarai mobilnya.“Iya, Pak. Nggak apa-apa,” kata Lastri. Seolah ia memang pantas untuk menjawab begitu.Lastri tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Setelah beberapa hari bersembunyi dalam ketakutan, siang ini Lastri merasa hidup kembali.Tidak butuh waktu lama, keduanya sampai ke sebuah restoran yang terkenal dengan masakan cinanya. Alan hanya asal pilih saja, karena sebenarnya lelaki itu sama sekali tidak memiliki selera makan.Saat tiba, beberapa orang langsung menjadikan Alan dan Lastri sebagai objek perhatian. Wajah tampan dan badan
Alan langsung menekan tombol panggil guna menelpon nomor yang baru saja mengirim video pada dirinya. Akan tetapi malah pemberitahuan bahwa nomor tersebut tidak aktif yang ia terima. Lelaki itu tidak menyerah dan mencoba beberapa kali lagi akan tetapi tetap saja ia mendapatkan pemberitahuan yang sama dari operator. Bahwa nomor yang ia hubungi sedang tidak aktif.Serasa disambar petir di siang bolong, dunia Alan serasa runtuh. Jika video yang dikirimkan padanya dilihat oleh Sandra, tentu rumah tangganya yang sekarang sedang diujung tanduk akan langsung jatuh dan hancur berkeping-keping. Sandra bukan tipe wanita yang akan menerima lelaki yang selingkuh dari dirinya. Alan tahu hal tersebut dan bodohnya masih saja melakukannya.Alan terduduk lemas, lelaki itu meremas rambutnya, menampar wajahnya sendiri. Apa yang bisa ia lakukan sekarang untuk menebus dosanya? Ah, yang lebih penting adalah apa yang bisa ia lakukan untuk menyembunyikan dosanya dari Sandra? Biarlah Tuhan tahu dosanya, asal j
Polisi datang keesokan harinya untuk memeriksa kamar Bu Rohimah yang merupakan TKP kasus pencurian. Selain itu Sandra juga diminta untuk bersaksi dan menyerahkan rekaman CCTV yang menjadi bukti utama kejahatan Lastri. Alan melaporkan Lastri untuk dua tuduhan sekaligus. Pertama kasus kecelakaan sang Ibu yang didalangi oleh Lastri dan yang kedua pencurian barang berharga.“Di sini kejadiannya,” kata Alan pada dua orang polisi yang juga memeriksa tempat Bu Rohimah terjatuh. “Dimana letak CCTVnya?” tanya polisi yang lebih muda.“Di sana. Memang saya sengaja pasang agak tersembunyi karena saya nggak percaya sama pembantu saya,” kata Sandra menjelaskan. “CCTVnya cuma dipasang di sini saja?” tanya polisi yang heran dengan letak CCTV yang terpasang. Tentu saja heran karena biasanya CCTV terpasang di tempat-tempat yang resiko kemalingannya besar. Akan tetapi di rumah ini CCTV malah terpasang di belakang rumah dimana tidak ada barang berharga tersimpan.“Sebenarnya ada di tiga titik tapi dua
“Lan cepat turun ke bawah! Jangan sampai Lastri kabur sambil membawa Rio!” Alan segera berlari turun ke bawah tanpa bertanya apapun. Seketika Sandra langsung merasakan lututnya lemas kemudian terduduk di lantai. Air matanya merangsek keluar tanpa bisa ditahan. Ia berteriak-teriak memanggil Rio yang entah ada di mana sekarang.“Ada apa, San?” tanya Sisil yang masih bingung dengan situasi yang terjadi. Wanita itu memegangi pundak Sandra yang bergetar naik turun. “Rio kemana?” tanya Sisil. Jelas-jelas tadi Rio sedang tidur nyenyak ketika Sisil memutuskan untuk turun menemui Sandra.Sisil tidak mengerti situasi macam apa yang sedang berlangsung. Rio tahu-tahu tidak ada di kamarnya dan Sandra yang menjadi histeris.“Aku nggak mau sampai Rio kenapa-kenapa,” Sandra memeluk sahabatnya itu lalu menangis lebih keras lagi.Entah apa yang sedang terjadi, Sisil membalas pelukan Sandra sambil berkali-kali mengsap punggung wanita itu. Sisil mau tidak mau jadi merasa bersalah. Kalau saja wanita itu
Alan ternganga melihat video bukti dari kejahatan Lastri. Ia sama sekali tidak menyangka kalau pembantu yang selama ini ia anggap sebagai wanita baik-baik malah menusuk keluarganya dari belakang. Padahal selama ini Alan sudah memberikan kepercayaannya secara penuh. Marah dan kecewa sekaligus.“Sialan…” desis Alan. Lalu ketika lelaki itu mengangkat kepala hendak melihat sang pelaku kejahatan, Lastri sudah melemparkan plastik yang harusnya menjadi sarapan mereka pagi ini dan berlari pergi.Alan hendak mengejar Lastri akan tetapi ditahan oleh Bu Rohimah. Wajah wanita itu terlihat pucat dan badannya gemetaran. Ia memeluk Alan untuk melegakan perasaan khawatir yang sedari tadi ia rasakan.“Untung kamu nggak kenapa-kenapa, Lan. Ibu khawatir semalaman karena kamu pergi sama penjahat itu,” kata Bu Rohimah masih memeluk sang anak.Alan mengusap-usap punggung sang ibu dan merasakan tubuh tua sang ibu yang gemetar. Hatinya kemudian diliputi rasa bersalah karena meninggalkan ibunya semalaman dan