“Saya nggak bersalah!” teriak Lastri ketika dua orang polisi dengan sigap berlari ke arahnya dan memegangi pundak serta pergelangan tangan Lastri. Lastri meronta-ronta mencoba meloloskan diri akan tetapi kedua polisi itu malah memeganginya semakin kuat.“Apa salah saya? Kenapa saya ditangkap?!” pekik Lastri lagi tidak peduli jika penangkapan dirinya dijadikan tontonan oleh pengunjung lain.“Harap tenang!” bentak polisi yang lama-kelamaan kewalahan juga menahan pergerakan dna bobot tubuh Lastri.Lastri ciut mendengar suara teriakan yang menggelegar. Wanita itu pun menurut dan ikut keluar dari restoran dengan tenang. Namun, bukan Lastri namanya kalau menyerah begitu saja. Awalnya ia memang menurut saja saat digiring oleh petugas akan tetapi itu sebelum sebuah ide terlintas di otaknya.Dengan tiba-tiba Lastri menjatuhkan badannya ke belakang lalu kejang-kejang dengan lidah menjulur ke luar. Tubuh Lastri ambruk di tanah karena meski coba di tahan, bobotnya yang besar dan gerakannya yang t
“Ini saya, Lastri, Bu,” kata Lastri setelah akhirnya memutuskan untuk menghubungi Sandra.Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Lastri bahwa ia akan menghubungi Sandra seperti ini. Akan tetapi dirinya sudah putus asa. Terlebih sekarang dirinya penuh dengan kemarahan yang sudah tidak tertahankan.Tadi sewaktu berjalan kaki tanpa tujuan, beberapa anak kecil meledek pakaian dan bentuk tubuhnya. Ia juga terjatuh dan sandal yang ia gunakan talinya lepas. Tidak berhenti disitu, kesialan dirinya seakan berlanjut. Setelahnya ia hampir terserempet mobil dan sekarang ia sudah kelelahan dan tidak tahu harus beristirahat dimana.Uang lima ribu sisa pemberian petugas kebersihan sudah habis dibelikannya minuman. Kini Lastri tidak punya uang sepeserpun. Nanti malam sudah pasti dirinya akan kelaparan. Belum lagi ia juga harus tidur di emperan toko.Menjadi gelandangan ternyata lebih menyesakkan ketimbang menjadi buronan. Tidak tahu harus makan apa, tidak tahu harus tidur di mana. Lastri juga tidak
“Kenapa? Kamu pikir kamu sudah menang?” Sandra tertawa lagi. “Lastri, Lastri, kamu bukan cuma menghinakan diri kamu sendiri tapi kamu juga sebentar lagi akan membusuk di penjara!” kata Sandra sambil menyeringai ke arah Lastri yang terlihat sangat marah.Derap langkah berat dan cepat terdengar mendekati Sandra. Lalu seorang laki-laki langsung memegangi lengan Lastri dan langsung memasangkan borgol pada wanita itu. Seorang laki-laki lain membantu Sandra berdiri dan menanyakan keadaan Sandra.“Dasar perempuan gila!” Lastri berteriak dan meronta-ronta hingga polisi yang membantu Sandra bangun ikut memegangi Lastri, “Perempuan sinting! Nggak waras!” teriaknya lagi.Lastri terus mengumpat pada Sandra meski polisi yang menangkapnya berulang kali menyuruh Lastri diam. Sedangkan Sandra tidak membalas sama sekali dan hanya menyeringai pada Lastri untuk memprovokasi wanita itu.“Ibu perlu kami antar pulang?” tanya polisi yang lebih muda.“Nggak, Pak. Saya dijemput teman saya di sini,”“Baik kala
Bu Rohimah yang bangun terlebih dahulu karena Rio yang menangis terus mencari sang Ibu agak kaget dengan keadaan rumahnya. Hari masih subuh, akan tetapi dari arah dapur sudah tercium aroma masakan yang sangat disukainya. Siapa yang memasak? Tidak mungkin rasanya jika Sandra yang memasak sepagi ini. Apalagi setelah kekacauan yang ia buat semalam.“Sandra…” Bu Rohimah memanggil sang menantu sambil kaki tuanya berjalan menuju dapur. Rio masih menangis di dalam gendongannya, bayi lelaki itu sedih sekali.“Eh, Ibu? Sudah bangun?” tanya Sandra lalu segera mencuci tangan dengan air di wastafel dan mengelap tangannya yang basah dengan serbet sebelum mengambil Rio dari gendongan Bu Rohimah.“Kamu ngapain?” tanya Bu Rohimah heran. Tentu saja heran karena Sandra tiba-tiba berubah menjadi baik.“Nyiapin sarapan,” jawab Sandra sambil langsung menyusui Rio. Bayi yang malang, Rio terlihat sangat kehausan dan langsung tenang setelah disusui oleh Sandra.“Sarapan? Kamu bikin sarapan?”“Iya. Ibu tunggu
“Kenapa Mas?” Sandra terlihat malu.Ia segera melepaskan tangannya dari pinggang Alan. Sekali lagi sang suami menolaknya padahal ia sudah bersiap dengan pakaian ‘tempur’. Lingerie merah yang memang sengaja ia beli untuk malam ini.“Aku kebelet pipis.” Jawab Alan canggung. Ia geser posisi duduknya untuk membuat jarak dengan Sandra. Matanya yang dulu suka sekali menjelajahi setiap jengkal tubuh sang istri, kini lebih memilih melihat ke langit-langit kamar.Belum juga Sandra sempat berkomentar, Alan kemudian bangkit dari tempat tidur. Meninggalkan sang istri yang sudah lelah-lelah berdandan seksi hanya untuknya.Begitu lah hubungan pernikahan Sandra dan Alan. Sudah lebih dari enam bulan lamanya semenjak Sandra melahirkan, Alan tidak pernah menyentuhnya. Memang pada tiga bulan pertama Sandra lah yang menolak karena masa nifas dan rasanya masih takut saja berhubungan setelah melahirkan apalagi saat melahirkan Sandra mendapatkan banyak jahitan.Lagi
"Ibu mau ada pembantu di rumah ini.” Bu Rohimah tiba-tiba memberi usulan saat sedang ada di meja makan.Pagi itu Sandra, Alan dan Bu Rohimah hanya sarapan roti dan selai coklat seperti biasa. Wanita tua itu tampak tidak berselera seperti biasanya juga. Ia tidak biasa sarapan dengan roti, makan ya harus dengan nasi. Roti itu cuma camilan baginya.Tapi apa mau dikata. Bu Rohimah juga tidak kuat jika harus membuat sarapan setiap hari dan Sandra terlalu sibuk mengurusi Rio dan Alan ditambah bersiap untuk berangkat kerja. Sedangkan Alan, lelaki itu sama sekali tidak pernah melakukan pekerjaan rumah.Sandra mengangguk setuju. Sudah lama ia membicarakan perihal pembantu rumah tangga sekaligus pengasuh bayi pada Alan tapi lelaki itu tidak suka. Alan tidak suka orang asing ikut tinggal di dalam rumahnya karena untuk lelaki itu, rumah adalah privasi keluarga.“Bagaimana Lan? Ibu nggak mungkin terus-terusan jaga Rio setiap kamu dan Sandra kerja. Ibu sudah tua lho. Lagi pula mending ibu tinggal d
Sandra merasa terganggu. Ia tidak bisa fokus mengerjakan pekerjaannya. Riwayat pencarian di ponsel Alan yang sempat ia lupakan kini lagi-lagi mengganggu pikirannya. Apalagi sekarang ada Lastri, pembantu baru yang tadi siang dijemput Alan tanpa sepengetahuan Sandra.Wanita itu memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia tidak bisa bekerja dengan tenang.Sesampainya di depan rumah, terdengar suara tawa sang mertua. Suara yang jarang sekali Sandra dengar. Lalu disusul oleh suara tawa Alan yang entah mengapa membuat Sandra kesal, sudah lama sang suami tidak tertawa seperti itu saat ngobrol bersama dengan dirinya. Begitu masuk rumah, ia mendapati suami, mertua dan pembantu barunya sedang duduk di ruang tamu sambil minum teh dan makan kue. Sandra tidak ingat kapan ia dan sang mertua juga suami kumpul sambil mengobrol seperti yang ia lihat sekarang.“Eh San, tumben cepet pulang.” Alan bicara dengan wajah sumringah. “Ayo gabung.” Katanya.Sandra memperhatikan Lastri yang terlihat segan karena ked
“Saya diceraikan karena sudah nggak cantik lagi Pak.” Ujar Lastri dengan mata menerawang.Wanita itu sudah selesai mempersiapkan bahan untuk masak besok. Tapi Alan masih ingin mengobrol. Setelah obrolan basa-basi tentang kampung halamannya, percakapan mereka berdua jadi lebih serius.“Kamu masih cantik kok.”Alan hanya menjawab sesuai yang ia pikirkan. Namun jawaban itu membuat Lastri terkejut. Sudah lama tidak ada yang mengatakan bahwa dirinya cantik.Wanita itu hanya membalas dengan senyuman dan itu membuat Alan salah tingkah. Alan menyesali kata-katanya barusan, kata-kata seperti itu cukup berbahaya untuk diucapkan kepada seorang wanita.“Sekarang Sekar ikut sama bapaknya?” Alan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan tentang anak Lastri.“Tinggal sama bapak saya di kampung. Bapaknya sudah sibuk sama istri baru, mana ingat sama anak. Makanya saya kerja, karena Sekar butuh biaya untuk sekolah. Sedangkan bapak di kampung cuma buruh tani.”Mata Lastri berkaca-kaca saat membicarakan
Bu Rohimah yang bangun terlebih dahulu karena Rio yang menangis terus mencari sang Ibu agak kaget dengan keadaan rumahnya. Hari masih subuh, akan tetapi dari arah dapur sudah tercium aroma masakan yang sangat disukainya. Siapa yang memasak? Tidak mungkin rasanya jika Sandra yang memasak sepagi ini. Apalagi setelah kekacauan yang ia buat semalam.“Sandra…” Bu Rohimah memanggil sang menantu sambil kaki tuanya berjalan menuju dapur. Rio masih menangis di dalam gendongannya, bayi lelaki itu sedih sekali.“Eh, Ibu? Sudah bangun?” tanya Sandra lalu segera mencuci tangan dengan air di wastafel dan mengelap tangannya yang basah dengan serbet sebelum mengambil Rio dari gendongan Bu Rohimah.“Kamu ngapain?” tanya Bu Rohimah heran. Tentu saja heran karena Sandra tiba-tiba berubah menjadi baik.“Nyiapin sarapan,” jawab Sandra sambil langsung menyusui Rio. Bayi yang malang, Rio terlihat sangat kehausan dan langsung tenang setelah disusui oleh Sandra.“Sarapan? Kamu bikin sarapan?”“Iya. Ibu tunggu
“Kenapa? Kamu pikir kamu sudah menang?” Sandra tertawa lagi. “Lastri, Lastri, kamu bukan cuma menghinakan diri kamu sendiri tapi kamu juga sebentar lagi akan membusuk di penjara!” kata Sandra sambil menyeringai ke arah Lastri yang terlihat sangat marah.Derap langkah berat dan cepat terdengar mendekati Sandra. Lalu seorang laki-laki langsung memegangi lengan Lastri dan langsung memasangkan borgol pada wanita itu. Seorang laki-laki lain membantu Sandra berdiri dan menanyakan keadaan Sandra.“Dasar perempuan gila!” Lastri berteriak dan meronta-ronta hingga polisi yang membantu Sandra bangun ikut memegangi Lastri, “Perempuan sinting! Nggak waras!” teriaknya lagi.Lastri terus mengumpat pada Sandra meski polisi yang menangkapnya berulang kali menyuruh Lastri diam. Sedangkan Sandra tidak membalas sama sekali dan hanya menyeringai pada Lastri untuk memprovokasi wanita itu.“Ibu perlu kami antar pulang?” tanya polisi yang lebih muda.“Nggak, Pak. Saya dijemput teman saya di sini,”“Baik kala
“Ini saya, Lastri, Bu,” kata Lastri setelah akhirnya memutuskan untuk menghubungi Sandra.Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Lastri bahwa ia akan menghubungi Sandra seperti ini. Akan tetapi dirinya sudah putus asa. Terlebih sekarang dirinya penuh dengan kemarahan yang sudah tidak tertahankan.Tadi sewaktu berjalan kaki tanpa tujuan, beberapa anak kecil meledek pakaian dan bentuk tubuhnya. Ia juga terjatuh dan sandal yang ia gunakan talinya lepas. Tidak berhenti disitu, kesialan dirinya seakan berlanjut. Setelahnya ia hampir terserempet mobil dan sekarang ia sudah kelelahan dan tidak tahu harus beristirahat dimana.Uang lima ribu sisa pemberian petugas kebersihan sudah habis dibelikannya minuman. Kini Lastri tidak punya uang sepeserpun. Nanti malam sudah pasti dirinya akan kelaparan. Belum lagi ia juga harus tidur di emperan toko.Menjadi gelandangan ternyata lebih menyesakkan ketimbang menjadi buronan. Tidak tahu harus makan apa, tidak tahu harus tidur di mana. Lastri juga tidak
“Saya nggak bersalah!” teriak Lastri ketika dua orang polisi dengan sigap berlari ke arahnya dan memegangi pundak serta pergelangan tangan Lastri. Lastri meronta-ronta mencoba meloloskan diri akan tetapi kedua polisi itu malah memeganginya semakin kuat.“Apa salah saya? Kenapa saya ditangkap?!” pekik Lastri lagi tidak peduli jika penangkapan dirinya dijadikan tontonan oleh pengunjung lain.“Harap tenang!” bentak polisi yang lama-kelamaan kewalahan juga menahan pergerakan dna bobot tubuh Lastri.Lastri ciut mendengar suara teriakan yang menggelegar. Wanita itu pun menurut dan ikut keluar dari restoran dengan tenang. Namun, bukan Lastri namanya kalau menyerah begitu saja. Awalnya ia memang menurut saja saat digiring oleh petugas akan tetapi itu sebelum sebuah ide terlintas di otaknya.Dengan tiba-tiba Lastri menjatuhkan badannya ke belakang lalu kejang-kejang dengan lidah menjulur ke luar. Tubuh Lastri ambruk di tanah karena meski coba di tahan, bobotnya yang besar dan gerakannya yang t
Sekali lagi Lastri merasa berada di atas awan. Bagaimana tidak, Alan mengajaknya untuk makan siang setelah lelaki itu berjanji untuk mencabut laporan ke polisi. Lastri yakin sekali bahwa Alan menyukainya. Kalau tidak suka, tidak mungkin Alan mengajaknya makan siang, kan?“Maafin saya ya, Las. Tadi saya kebawa emosi, saya panik juga karena kamu ancam-ancam makanya saya ngomong keras begitu,” kata Alan tanpa memandang wajah Lastri. Lelaki itu fokus mengendarai mobilnya.“Iya, Pak. Nggak apa-apa,” kata Lastri. Seolah ia memang pantas untuk menjawab begitu.Lastri tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Setelah beberapa hari bersembunyi dalam ketakutan, siang ini Lastri merasa hidup kembali.Tidak butuh waktu lama, keduanya sampai ke sebuah restoran yang terkenal dengan masakan cinanya. Alan hanya asal pilih saja, karena sebenarnya lelaki itu sama sekali tidak memiliki selera makan.Saat tiba, beberapa orang langsung menjadikan Alan dan Lastri sebagai objek perhatian. Wajah tampan dan badan
Alan langsung menekan tombol panggil guna menelpon nomor yang baru saja mengirim video pada dirinya. Akan tetapi malah pemberitahuan bahwa nomor tersebut tidak aktif yang ia terima. Lelaki itu tidak menyerah dan mencoba beberapa kali lagi akan tetapi tetap saja ia mendapatkan pemberitahuan yang sama dari operator. Bahwa nomor yang ia hubungi sedang tidak aktif.Serasa disambar petir di siang bolong, dunia Alan serasa runtuh. Jika video yang dikirimkan padanya dilihat oleh Sandra, tentu rumah tangganya yang sekarang sedang diujung tanduk akan langsung jatuh dan hancur berkeping-keping. Sandra bukan tipe wanita yang akan menerima lelaki yang selingkuh dari dirinya. Alan tahu hal tersebut dan bodohnya masih saja melakukannya.Alan terduduk lemas, lelaki itu meremas rambutnya, menampar wajahnya sendiri. Apa yang bisa ia lakukan sekarang untuk menebus dosanya? Ah, yang lebih penting adalah apa yang bisa ia lakukan untuk menyembunyikan dosanya dari Sandra? Biarlah Tuhan tahu dosanya, asal j
Polisi datang keesokan harinya untuk memeriksa kamar Bu Rohimah yang merupakan TKP kasus pencurian. Selain itu Sandra juga diminta untuk bersaksi dan menyerahkan rekaman CCTV yang menjadi bukti utama kejahatan Lastri. Alan melaporkan Lastri untuk dua tuduhan sekaligus. Pertama kasus kecelakaan sang Ibu yang didalangi oleh Lastri dan yang kedua pencurian barang berharga.“Di sini kejadiannya,” kata Alan pada dua orang polisi yang juga memeriksa tempat Bu Rohimah terjatuh. “Dimana letak CCTVnya?” tanya polisi yang lebih muda.“Di sana. Memang saya sengaja pasang agak tersembunyi karena saya nggak percaya sama pembantu saya,” kata Sandra menjelaskan. “CCTVnya cuma dipasang di sini saja?” tanya polisi yang heran dengan letak CCTV yang terpasang. Tentu saja heran karena biasanya CCTV terpasang di tempat-tempat yang resiko kemalingannya besar. Akan tetapi di rumah ini CCTV malah terpasang di belakang rumah dimana tidak ada barang berharga tersimpan.“Sebenarnya ada di tiga titik tapi dua
“Lan cepat turun ke bawah! Jangan sampai Lastri kabur sambil membawa Rio!” Alan segera berlari turun ke bawah tanpa bertanya apapun. Seketika Sandra langsung merasakan lututnya lemas kemudian terduduk di lantai. Air matanya merangsek keluar tanpa bisa ditahan. Ia berteriak-teriak memanggil Rio yang entah ada di mana sekarang.“Ada apa, San?” tanya Sisil yang masih bingung dengan situasi yang terjadi. Wanita itu memegangi pundak Sandra yang bergetar naik turun. “Rio kemana?” tanya Sisil. Jelas-jelas tadi Rio sedang tidur nyenyak ketika Sisil memutuskan untuk turun menemui Sandra.Sisil tidak mengerti situasi macam apa yang sedang berlangsung. Rio tahu-tahu tidak ada di kamarnya dan Sandra yang menjadi histeris.“Aku nggak mau sampai Rio kenapa-kenapa,” Sandra memeluk sahabatnya itu lalu menangis lebih keras lagi.Entah apa yang sedang terjadi, Sisil membalas pelukan Sandra sambil berkali-kali mengsap punggung wanita itu. Sisil mau tidak mau jadi merasa bersalah. Kalau saja wanita itu
Alan ternganga melihat video bukti dari kejahatan Lastri. Ia sama sekali tidak menyangka kalau pembantu yang selama ini ia anggap sebagai wanita baik-baik malah menusuk keluarganya dari belakang. Padahal selama ini Alan sudah memberikan kepercayaannya secara penuh. Marah dan kecewa sekaligus.“Sialan…” desis Alan. Lalu ketika lelaki itu mengangkat kepala hendak melihat sang pelaku kejahatan, Lastri sudah melemparkan plastik yang harusnya menjadi sarapan mereka pagi ini dan berlari pergi.Alan hendak mengejar Lastri akan tetapi ditahan oleh Bu Rohimah. Wajah wanita itu terlihat pucat dan badannya gemetaran. Ia memeluk Alan untuk melegakan perasaan khawatir yang sedari tadi ia rasakan.“Untung kamu nggak kenapa-kenapa, Lan. Ibu khawatir semalaman karena kamu pergi sama penjahat itu,” kata Bu Rohimah masih memeluk sang anak.Alan mengusap-usap punggung sang ibu dan merasakan tubuh tua sang ibu yang gemetar. Hatinya kemudian diliputi rasa bersalah karena meninggalkan ibunya semalaman dan