Jason sedang duduk di salah satu kursi tunggu di depan kamar rawat ayahnya saat kami kembali. Dia langsung berdiri saat melihatku dan Karen.
"Apa kata dokter?" tanya Karen cemas. "Kondisi Dad menurun, mereka memberinya obat untuk mengurangi rasa sakit dan juga mengontrol tekanan darahnya agar kondisi ginjalnya tidak semakin parah, tapi dokter tak bisa menjamin berapa lama Dad bisa bertahan dengan obat-obatan sebelum ginjalnya benar-benar mengalami kerusakan permanen."
"Ya Tuhan," bisik Karen. Jason melingkarkan tangannya memeluk bahu Karen untuk menenangkannya. "Tadi aku sudah melakukan tes, hasilnya tujuh puluh persen."
Karen memandangnya dengan sorot mata penuh harap. "Itu cukup tinggi Jason." Dia mengangguk. "Ya, ini patut dicoba."
"Terima kasih." Karen memeluk Jason erat-erat. "Dia juga ayahku, aku tak mungkin membiarkannya meninggal begitu saja." Jason tersenyum menenangkannya.
Karen mengangguk sambil mengusa
“Bukannya aku tak mau menemuimu, Matthew. Tapi aku harus menyiapkan makan malam untuk Joe, lalu setelahnya, aku berencana kembali ke rumah sakit.” Joe yang mendengar namanya disebut mendongak dari layar tv dan menatapku penasaran. Ia memberengut kesal saat aku memberinya isyarat untuk segera naik ke kamarnya dan mengerjaan pe-er. “Baiklah… aku mengerti, Mia si perawat nomor satu,” kelakarnya. “Jadi ingat dulu, kau adalah sukarelawan yang paling rajin membesuk anak-anak yayasan, sampai orang-orang sering salah mengira kau sebagai perawat.” Aku tersenyum seraya melepas sepatu lalu menempatkannya di atas rak di dekat ruang tamu. “Soalnya aku sampai bisa membaca monitor segala, gara-gara terlalu sering melihat para suster jaga memeriksa anak-anak waktu itu`.” Matthew tertawa mendengarnya. Entah kenapa aku merasa sebenarnya ada hal yang ingin dikatakannya kepadaku. Aku mengenal Matthew cukup lama sehingga bisa tahu saat ada hal yang sedang menganggunya.
"Apa itu?" Jason bertanya saat melihatku masuk ke dalam kamarnya menenteng gitarku. "Memangnya kau tak bisa mengenali bentuknya?" ujarku sinis. Dia berdecak tak sabaran. "Aku tahu itu gitar, maksudku untuk apa kau membawanya kemari, Mia?" Aku menggantungkan ranselku di kaki ranjang kemudian menarik kursi berlengan yang ada di dekat meja ke samping tempat tidurnya. Aku duduk sambil mendekap gitar yang kutaruh di atas pangkuan. "Hari ini aku akan melatih lagu dari dramaku saja, daripada harus mendengarmu mengomel," ujarku sambil mulai menyetel gitarnya. Jason mengulum senyum. "Apa kau sudah lupa yang terjadi saat terakhir kali kau bernyanyi untukku?" Ia pasti mengacu pada kejadian di atas panggung sewaktu pesta ulang tahunnya. "Diam, Jason. Jangan merusak konsentrasiku, apalagi mood-ku, atau kau akan menyesal," ancamku. Dia tertawa. Aku mengabaikannya lalu memainkan kunci awal untuk mencoba-coba intronya. Sepertinya sudah sesuai.
Malam itu aku mengalami mimpi yang sangat aneh. Kukira sedang berada di sekolah lamaku. Aku mengingatnya, ini adalah gedung gimnasium. Aku dulu sering datang kesini diam-diam saat jam pelajaran sekolah usai, mengambil gitar akustik pemberian ayahku yang kusembunyikan di balik alat-alat kebersihan di dalam gudang, lalu memainkan beberapa lagu yang kusuka. Tidak perlu penonton. Cukup diriku sendiri dan musik sudah membuatku terhanyut.Hingga aku mendengar sesuatu, atau seseorang. Ketika aku menoleh ke arah datangnya suara, ia sepertinya terkejut karena aku menyadari kehadirannya, kemudian ia mundur perlahan, menyelinap ke balik bayang-bayang bangku tribun lalu menghilang keluar dari gedung. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi aku akan mengenali tatapan mata itu di manapun. Jason... Aku mengerang sambil membuka kedua mataku perlahan. Leherku sakit, dan punggungku remuk. Rasanya seperti aku habis melakukan akrobat atau seje
Aku meminta tolong pada sang pemilik café, Jorge, seorang laki-laki paruh baya bergaya hippies yang ramah, untuk memperlihatkan rekaman cctv di hari aku melihat Paul ada di café-nya. Kubilang padanya kalau Paul adalah pamanku, dan bahwa dia sedang terlibat masalah. Aku menduga orang-orang yang bersamanya saat itu mungkin tahu sesuatu, jadi aku harus menemukan mereka. Mulanya Jorge melihatku ragu-ragu, kemudian seperti tersadar, matanya terbelalak memandangku. "Aku tahu kau!" serunya sambil menudingku. Huh? "Kau pacar baru-nya Jason Marshall 'kan?!" serunya takjub. “Pantas saja rasanya seperti pernah melihatmu.” Sebenarnya aku sedang tak punya waktu untuk bergosip, tapi untuk kali ini kuikuti saja alurnya. "Itu benar." aku memasang senyum sopan di wajahku. Dia menggelengkan kepala takjub. "Aku sungguh terkejut waktu kalian mengadakan konferensi pers. Ternyata selebriti seperti Jason bisa juga kepincut pada seorang gadis yang bukan dari kalangan artis."
Amy juga melihatku. Ia segera mempercepat langkahnya menghampiriku. “Kau pikir apa yang sedang kau lakukan?!” hardiknya. "Kau tidak seharusnya ada di sini, lantai ini khusus para pekerja." Ia berkata tajam. "Ikut aku!" sergahnya kasar sambil menarik pergelangan tanganku, menyeretku berjalan menjauhi lift. Dia menggelandang lenganku menyusuri koridor, melewati deretan kantor-kantor lalu keluar lewat pintu samping yang mengarah ke tangga darurat. “Tunggu, Amy, aku harus bicara pada mereka tentang Jason—” aku mencoba membuatnya berhenti berjalan namun ia sama sekali tak menggubrisku. Amy membawaku keluar pintu darurat lalu menghempaskanku ke pembatas balkonnya. Ia melipat tangannya di depan dada sambil menatapku dengan marah. “Kau tak akan bicara pada siapapun!” ujarnya sengit. Aku memegangi pergelangan tanganku begitu dia melepaskannya. “Serius kau ingin mengulangi hal semacam ini lagi? Ini bukan di SMU, Amy! " aku berkata kesal seraya mengusap
"Kenapa kau tak jadi pemain band saja Dad?" tanyaku seraya mengamati ayahku yang tengah mengutak-atik mesin chevy tua-nya. "Karenaitu tak bisa membayar tagihan sayang." dia berkata sambil tersenyum padaku. "Tolong obeng standar-nya." ia mengulurkan tangan kirinya. Aku meraih obeng dari dalam kotak peralatan lalu menaruhnya ke dalam telapak tangan ayahku. "Lagipula ibumu tak akan pernah mau tinggal bersamaku kalau aku tidak punya pekerjaan sungguhan," gumamnya. "Kenapa tidak? Kau orang paling baik, dan ayah paling keren sedunia!" Dia tertawa pelan. Ayah mengulurkan sebelah tangannya merangkul bahuku seraya mengecup puncak kepalaku. "Itu benar! Pertahankan pemikiran itu Mia. Kau memang fans nomor satu-ku!" "Selalu," sahutku sambil nyengir. "Apapun yang terjadi kau harus ingat, bahwa ayah sangat menyayangimu dan itu tidak akan pernah berubah." ia menatapkudengan mimik serius sebelum berpaling kembali
“Bunganya indah sekali!” Aku memalingkan wajah pada suster jaga. Ia tersenyum sambil memindahkan rangkaian bunga mawar berwarna kuning cerah dari buket ke dalam pot kaca lalu meletakkannya di atas nakas di samping ranjangku. Tadi pagi saat aku kembali dari berjemur di halaman rumah sakit untuk mencari udara segar, kudapati sebuah buket mawar telah bertengger di atas nakas. Ada kartu ucapan di dalamnya, tertulis lekas sembuh, tapi tanpa nama pengirim. Suster itu menyodorkan segelas air minum kepadaku. “Melihat ukuran buket itu jumlahnya mungkin sekitar seratus tangkai. Pacarmu romantis sekali,” komentarnya. Aku hampir tersedak air. “… pastinya,” ujarku terbatuk. Andai dia tahu, kalau memang Jason yang mengirimkan bunga-bunga itu, pasti ia melakukannya cuma untuk pencitraan. “Bagaimana dengan pemeriksaan lanjutannya suster?” aku menahan nyeri saat berpindah posisi duduk. “Bukankah baru besok jadwalnya? Dokter bilang tulangmu tidak retak atau patah, seha
“Berhentilah menggigiti kuku, ada apa denganmu?” ibuku melirik sebal padaku dari sofa tempatnya duduk di sisi ranjang. Ia tengah menungguiku sambil mengupas sepiring apel. “Jason belum datang?” gumamku gelisah, lebih kepada diri sendiri. Sejak kepergian pria asing misterius itu aku tak bisa tenang sekejappun. Benakku terus saja memikirkan setiap ucapannya. Menganalisisnya. Pria itu tidak bilang dia polisi, namun juga tidak mengatakan sebaliknya. Dari omongannya sepertinya dia juga mengincar Paul tapi untuk alasan yang berbeda. ‘Sesuatu yang lebih besar’, dia bilang waktu itu. Dan menurutnya tindakanku mencari tahu tentang Paul tempo hari telah mengganggu usahanya tersebut. Tapi tunggu dulu, dari mana dia tahu aku menyelidiki Paul? Seingatku aku belum memberitahu siapa-siapa tentang kunjunganku ke café Jorge tempo hari, bahkan kepada Jason. Lantas bagaimana pria itu bisa tahu? Aku bergidik ngeri. Mungkinkah aku selama ini telah diawasi? Tapi ke
{Mia POV} Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru."Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya. Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar."Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem. Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobilchevy.Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip. "Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe. Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya. "Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub."Kukira dulu&n
Jason memejamkan matanya, terlihat gusar. Namun ketika ia membuka mata dan memandangku lagi, aku menangkap sorot geli di matanya, seolah ia mendapati diri sedang berada dalam situasi yang konyol dan tak terduga. “Tidak juga,” ujarnya. “Itu jawaban yang aneh,” gumamku bingung. “Lantas, untuk apa sebenarnya kunci yang ada di dalam kotak itu, aku tidak mengerti…” Ia merengkuh wajahku lalu menyandarkannya ke dadanya. “Jangan dipikirkan.” Ia menghembuskan napas panjang. “Ceritakan padaku tentang kontrak terbaru Blues, apa kau menerimanya?” Aku menggangguk pelan. “Dengan syarat-syarat seperti yang kau beritahukan kepadaku,” kataku teredam. “Siapa yang menyangka.” aku berkata lirih. Setelah pementasan teater Hemingway’s, lalu OST itu dan sekarang kontrak baru ini…” “Aku menyangkanya, kau yang terlalu memandang rendah dirimu sendiri.” Aku tersenyum di dadanya. “Bagaimana denganmu? Apa syutingnya berjalan lancar?” “Ya, sutradara
{Mia POV} “Kenapa aku tidak melihat ibuku dan Joe, atau Lauren malam ini?” aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling teater Delacorte selagi kami berjalan meninggalkan tribun. “Mereka pergi duluan.” Jason mengangguk kepada sopirnya yang menunggu, pria itu dengan cekatan segera membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk kami. “Aku ditunggu untuk makan malam bersama anggota yang lain,” kataku ketika Jason menggiringku masuk ke mobilnya. "Jean-Pierre mengadakan pesta untuk semua kru dan pemain di Forestier, aku wajib datang." aku mengingatkannya. "Kau tidak akan ke sana," sahut Jason ringan, ada jejak humor dalam suaranya. "Karena kau sedang diculik." *** Aku tertegun saat melihat di mana mobilnya berhenti. Jason tersenyum mengamati ekspresiku. "Kau menyukainya?" Dia membawa kami ke Montreal. Aku tertawa pelan lalu berpaling padanya. "Sepertinya kau
{Mia POV} Dua belas jam sebelum pertunjukan Delacorte “Kau ikut? Aku dan Joe ingin ke Forestier.” ibuku berhenti di ambang pintu kamar saat melihatku masih belum beranjak dari depan meja belajar. “Sebentar,” gumamku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Aku sedang menyelesaikan balasan email yang akan kukirimkan pada Blues Record. Setelah kontrak OST yang terakhir kali mereka mengajukan penawaran lain dan aku memerlukan beberapa detailnya sebelum memutuskan. Kemarin aku telah memberitahu Jason tetang prospek tersebut, dan dia mengusulkan beberapa hal dalam klausul kontraknya bila aku memang ingin kembali bekerja sama dengan label mereka. Jason sangat terperinci. Aku harus bersyukur atas pengalamannya berurusan dengan banyak agensi dan manajemen artis sejak kecil, kini itu membantuku. Sudah satu bulan sejak dia berangkat ke Prancis, dan alih-alih berbicara dan saling menan
{Mia POV} Aku memusatkan pikiran, berusaha menghapal dialog yang sudah kuulangi sekitar seratus kali di kepalaku. Mencoba meredam suara-suara di sekitarku dengan berpikir lebih keras meskipun itu tak terlalu berhasil. Aku masih bisa mendengar Jean-Pierre berseru dengan lantang pada para pemain lain serta kru agar bersiap untuk adegan selanjutnya.Adegan penutup yang menentukan. Ini adalah hari terakhir dari rangkaian pertunjukan teater Hemingway's, "The Winter Snow".Sudah empat hari ini mereka mengadakan pertunjukannya di Delacorte. Bahkan malam ini penonton yang datang semakin membludak. Melihat lagi ke belakang, kupikir ini seperti mukjizat. Sampai sebulan yang lalu, aku masih berada dalam perawatan. Dokter yang memeriksaku secara teratur mengatakan meskipun luka tembak yang kualami tidak mengenai bagian yang vital, tapi trauma lukanya membuat tubuhku sempat sulit merespon obat-obatan.Mereka harus melakukan
{Mia POV} “Aku belum memutuskan apapun.” Jason berkata tenang. Ia mengusap punggung tanganku yang digenggamnya dengan ibu jari. “Aku ingin memberitahumu lebih dulu.” Aku menelan ludah dengan sudah payah. ”Itu tidak ada bedanya, kau tetap harus pergi.” Jason mengalihkan pandangannya diriku, tatapannya menekuri jalinan tangan kami di atas selimut. “Sebenarnya aku memiliki beberapa prioritas.” ia berkata lalu menatapku penuh arti. “… dan kekasih yang memerlukan kehadiranku ada di daftar teratas.” Dia ragu karena aku. Untuk sesaat hatiku diliputi kebahagiaan. Sampai perkataannya tersebut membuatku berpikir ulang tentang banyak kemungkinan, dan apa jadinya bila dia mengabaikan kesempatan dalam hidupnya demi aku. Jason telah melakukan banyak hal untukku, bukan saja mendukung namun dia juga menciptakan kesempatan-kesempatan hingga impianku menjadi penyanyi terwujud. Kesal dan frustasi karena sadar tidak mungkin m
{Mia POV} Aku mengerenyit membayangkan wajah Jason yang muram dilanda kecemasan tatkala menungguiku tidak sadarkan diri berkali-kali. Apa yang dia rasakan saat itu ketika mengira aku mungkin tidak akan selamat. Dan betapa kelamnya perasaan Jason saat itu. "Kupikir aku tak bisa membantahnya," gumamku pelan sambil memeluknya lebih erat."Dalam hal itu kita memiliki pikiran yang sama, Jason." Aku merasakan ia mengangguk di puncak kepalaku. "Bagus, kalau begitu kau tahu, kau tidak akan tampil dalam pertunjukan itu." ia berkata singkat. Aku melepaskan diri lalu mendongak melihatnya. "Apa? Tidak. Ibuku akhirnya tidak lagi menentangku dan dokter bilang aku punya peluang, kau tak bisa mencegahku." “Lagipula aku hanya … hanya bernyanyi, dan melakukan sedikit tarian di atas panggung, itu saja!” Jason memejamkan mata dan mendesah. “Ya Tuhan, “katanya letih. “Sebaiknya kita bicarakan masalah ini lagi nanti
{Jason POV} Malam itu kondisi Mia kembali menurun. Obat-obatan yang diberikan kepadanya tidak bekerja dan luka di punggungnya mengalami pembengkakan. Dia tidak sadarkan diri dan demam tinggi membuatnya mengigau nyaris sepanjang malam. Saat sedang cemas menunggui di luar kamar rawat Mia sementara para dokter menanganinya dalam ruangan isolasi untuk mencegah infeksi yang lebih parah, Emma Summers, ibu Mia menghampiri dan duduk di sampingku. “Transfusi darah baru saja selesai, mereka ingin mengetes Joe juga tapi kukatakan itu tidak perlu, mereka bisa mengambil jumlah darah yang mereka butuhkan diriku.” Aku mengangguk muram. Dia menghela napas panjang. “Saat para polisi menjemputku di bandara dan mengatakan apa yang telah terjadi pada putriku, aku tak bisa memercayainya.” Emma berkata tanpa menatapku. “Waktu itu kupikir mereka pasti salah orang. Bagaimana mungkin Mia, putri kecilku—” kata-katanya tersekat. Wajahnya e
{Jason POV} “Pergilah beristirahat, aku akan menjaga Mia.” aku mendengar Karen berbicara di belakangku, mencoba membujukku untuk yang kesekian kalinya sejak semalam agar mau beranjak dari sisi ranjang Mia. Karen datang setelah Grams dan kakekku pergi. Ia membawakan baju serta beberapa barang yang kuminta padanya, dan berkata dengan nada khawatir bila aku pasti juga butuh ditemani. Aku hanya membutuhkan satu hal. Aku menggenggam jemari Mia dengan kedua tangan dan menyurukkannya ke bawah dagu, mengamati matanya yang terpejam. “Apa yang terjadi setelah berita kecelakaanku di Meksiko waktu itu?” “Menurutmu?” sahut Karen heran. “Mia menunggumu pulang, Jason. Dia berharap kau akan datang, dan memberinya pelukan hangat di hari ulang tahunnya.” “Tapi kau memberinya bom, menghancurkannya berkeping-keping karena berita kematianmu,” ujarnya murung. Aku mengulurkan tangan untuk menyapu sejumput r