Amy juga melihatku. Ia segera mempercepat langkahnya menghampiriku. “Kau pikir apa yang sedang kau lakukan?!” hardiknya.
"Kau tidak seharusnya ada di sini, lantai ini khusus para pekerja." Ia berkata tajam.
"Ikut aku!" sergahnya kasar sambil menarik pergelangan tanganku, menyeretku berjalan menjauhi lift.
Dia menggelandang lenganku menyusuri koridor, melewati deretan kantor-kantor lalu keluar lewat pintu samping yang mengarah ke tangga darurat. “Tunggu, Amy, aku harus bicara pada mereka tentang Jason—” aku mencoba membuatnya berhenti berjalan namun ia sama sekali tak menggubrisku.
Amy membawaku keluar pintu darurat lalu menghempaskanku ke pembatas balkonnya. Ia melipat tangannya di depan dada sambil menatapku dengan marah. “Kau tak akan bicara pada siapapun!” ujarnya sengit.
Aku memegangi pergelangan tanganku begitu dia melepaskannya. “Serius kau ingin mengulangi hal semacam ini lagi? Ini bukan di SMU, Amy! " aku berkata kesal seraya mengusap
"Kenapa kau tak jadi pemain band saja Dad?" tanyaku seraya mengamati ayahku yang tengah mengutak-atik mesin chevy tua-nya. "Karenaitu tak bisa membayar tagihan sayang." dia berkata sambil tersenyum padaku. "Tolong obeng standar-nya." ia mengulurkan tangan kirinya. Aku meraih obeng dari dalam kotak peralatan lalu menaruhnya ke dalam telapak tangan ayahku. "Lagipula ibumu tak akan pernah mau tinggal bersamaku kalau aku tidak punya pekerjaan sungguhan," gumamnya. "Kenapa tidak? Kau orang paling baik, dan ayah paling keren sedunia!" Dia tertawa pelan. Ayah mengulurkan sebelah tangannya merangkul bahuku seraya mengecup puncak kepalaku. "Itu benar! Pertahankan pemikiran itu Mia. Kau memang fans nomor satu-ku!" "Selalu," sahutku sambil nyengir. "Apapun yang terjadi kau harus ingat, bahwa ayah sangat menyayangimu dan itu tidak akan pernah berubah." ia menatapkudengan mimik serius sebelum berpaling kembali
“Bunganya indah sekali!” Aku memalingkan wajah pada suster jaga. Ia tersenyum sambil memindahkan rangkaian bunga mawar berwarna kuning cerah dari buket ke dalam pot kaca lalu meletakkannya di atas nakas di samping ranjangku. Tadi pagi saat aku kembali dari berjemur di halaman rumah sakit untuk mencari udara segar, kudapati sebuah buket mawar telah bertengger di atas nakas. Ada kartu ucapan di dalamnya, tertulis lekas sembuh, tapi tanpa nama pengirim. Suster itu menyodorkan segelas air minum kepadaku. “Melihat ukuran buket itu jumlahnya mungkin sekitar seratus tangkai. Pacarmu romantis sekali,” komentarnya. Aku hampir tersedak air. “… pastinya,” ujarku terbatuk. Andai dia tahu, kalau memang Jason yang mengirimkan bunga-bunga itu, pasti ia melakukannya cuma untuk pencitraan. “Bagaimana dengan pemeriksaan lanjutannya suster?” aku menahan nyeri saat berpindah posisi duduk. “Bukankah baru besok jadwalnya? Dokter bilang tulangmu tidak retak atau patah, seha
“Berhentilah menggigiti kuku, ada apa denganmu?” ibuku melirik sebal padaku dari sofa tempatnya duduk di sisi ranjang. Ia tengah menungguiku sambil mengupas sepiring apel. “Jason belum datang?” gumamku gelisah, lebih kepada diri sendiri. Sejak kepergian pria asing misterius itu aku tak bisa tenang sekejappun. Benakku terus saja memikirkan setiap ucapannya. Menganalisisnya. Pria itu tidak bilang dia polisi, namun juga tidak mengatakan sebaliknya. Dari omongannya sepertinya dia juga mengincar Paul tapi untuk alasan yang berbeda. ‘Sesuatu yang lebih besar’, dia bilang waktu itu. Dan menurutnya tindakanku mencari tahu tentang Paul tempo hari telah mengganggu usahanya tersebut. Tapi tunggu dulu, dari mana dia tahu aku menyelidiki Paul? Seingatku aku belum memberitahu siapa-siapa tentang kunjunganku ke café Jorge tempo hari, bahkan kepada Jason. Lantas bagaimana pria itu bisa tahu? Aku bergidik ngeri. Mungkinkah aku selama ini telah diawasi? Tapi ke
Aku dirawat di rumah sakit selama seminggu, hari ini adalah jadwal kepulanganku. Jason telah menghubungiku tadi pagi dan berkata akan menjemputku siang ini setelah dia kembali dari biro, jadi aku sedang menunggunya sambil menulis jurnalku untuk mengisi waktu. Banyak yang terjadi belakangan ini, dan sejak aku sibuk mencari Jason tempo hari aku belum sempat melakukannya lagi. Aku suka menulis jurnal, untuk mendokumentasikan hari-hariku. Semua perasaanku dan segala yang terjadi, sebagai pengingat. Seperti ketika orang-orang senang mengambil foto untuk mengabadikan setiap momen berharga yang penting bagi dirinya. Jurnal-ku juga seperti itu. Self healing, kalau tidak salah aku pernah membaca istilahnya di suatu tempat. Sejak kemunculannya hari itu pria misterius yang datang untuk—menurutnya— memperingatkanku, tidak pernah menampakkan dirinya lagi, begitupun dengan tanda-tanda keberadaannya. Aku mencoba mencari tahu identitasnya dari suster jaga yan
“Apa kau bilang?” Aku khawatir salah dengar sebab tak mungkin dia baru saja mengatakan bahwa aku akan menyanyikan original soundtrack-nya Frosty Fountain. Namun ekspresi Jason bergeming. No way … “The Blues Record, label yang menangani original soundtrack Frosty Fountain, ingin kau ikut menyanyikan salah satu lagu di dalam film itu, “ ia memulai. “Mereka melihat penampilanmu saat kau bernyanyi di pesta ulang tahunku tempo hari, dan menurut mereka warna suaramu cocok dengan karakter dalam lagu-nya.” “Lalu Scott bertanya padaku, apa aku bisa membuatmu setuju untuk ikut serta dalam proyek itu.” Pikiranku langsung kosong. Mulutku membuka lalu menutup lagi seperti ikan sekarat. “Kau sedang bercanda,” cetusku. Lelucon terhebat tahun ini, batinku. “Apa kau tidak mau? Sayang sekali, padahal banyak penyanyi mengantre demi bisa dipilih oleh Scott Riley, ya sudah apa boleh buat…” ia berkata enteng sambil mengambil ponsel dari dalam sakuny
Aku tak pernah membayangkan akan terlibat dalam sesuatu yang besar seperti menjadi pengisi lagusoundtracksebuah film. Ditambah lagi buatan sutradara sekaliber Riley Scott. Seolah kini satu persatu mimpiku mulai jadi kenyataan. Frosty Fountain adalah film yang hampir diperankan oleh Jason tempo hari, meskipun akhirnya Thomas Parker yang menggantikannya. Dan sejak aku mengontak Blues Record kemarin mereka pun mengirimkan partitur lagunya supaya bisa kupelajari. Mereka juga menyarankan aku mempelajari alur filmnya, atau minimal berdiskusi dengan para pemainnya, karena menurut mereka itu bisa membuatku menemukan penghayatan dengan gayaku sendiri terhadap lagu yang bakal kunyanyikan di dalam film itu. Cara yang sangat jitu dan profesional menurutku. Sebab menyanyikan lagu soundtrack sebuah film tapi tidak tahu apa-apa tentang film itu kesannya absurd. Rencananya aku akan bertanya pada Jason untuk mendengarkan pendapatnya soal ini. Omon
Montrelle adalah jenis restoran megah bergaya renaissance, jadi kesan di dalamnya seperti berada di abad pertengahan meskipun peralatannya sangat modern. Mereka memiliki spot VVIP tersendiri di sisi lain ruangan utama, lengkap dengan plafon cantik yang ada aksen tanaman bunga sulur-suluran di sekeliling pilar-pilarnya. Benar-benar keren. Mulutku nyaris ternganga melihat interiornya. Seorang pelayan menyambut kami di pintu masuk. Jason mengatakan padanya agar memberi kami tempat duduk yang agak pribadi, sesuai reservasi, lalu ia mengarahkan kami ke tempat VVIP tadi. Aku langsung mencekal tangannya. “Aku tak mampu membayarnya, kumohon jangan kesana,” ujarku memelas. Tak ada gunanya bersikap gengsi saat ini. Jason menarikku mendekat lalu berbisik di telingaku. “Tapi aku sudah terlanjur memesannya, Mia, mereka akan mengenakan biaya dua kali lipat bila kita membatalkannya sekarang.” Lalu ia kembali menggandengku berjalan ke meja kami. Bila ini buka
Kau bebas untuk pergi… Ini sangat aneh. Maksudku, aku dan Jason tidak secara harfiah pacaran, harusnya aku merasa senang karena dia akhirnya melepaskan kesepakatan kami. Melepaskan aku. Tapi kenapa aku malah merasa seperti baru saja dicampakkan? "Bukankah kau bilang semuanya akan baik-baik saja?" tanyaku parau. Semoga Jason tidak menyadari nada terguncang di dalam suaraku. Ia tersenyum getir. "Itu yang kita harapkan, tapi para ahli menyatakan lain. Tanda tangan pada kontraknya diidentifikasi otentik dengan milikku." "Jadi antara kami perlu bukti lain yang bisa mendukung pembelaan kami, atau kami harus menemukan Paul dan membuat dia mengakui kejahatannya." "Tapi itu akan sangat sulit," ujarku setengah berbisik, seolah sedang bicara pada diriku sendiri. Jason menganggukan kepalanya. "Benar. Karena itu kau tak perlu berada di sisiku, tak akan ada gunanya bagi kita berdua. Kasus ini berbeda dari skandal dengan wartawan tem
{Mia POV} Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru."Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya. Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar."Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem. Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobilchevy.Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip. "Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe. Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya. "Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub."Kukira dulu&n
Jason memejamkan matanya, terlihat gusar. Namun ketika ia membuka mata dan memandangku lagi, aku menangkap sorot geli di matanya, seolah ia mendapati diri sedang berada dalam situasi yang konyol dan tak terduga. “Tidak juga,” ujarnya. “Itu jawaban yang aneh,” gumamku bingung. “Lantas, untuk apa sebenarnya kunci yang ada di dalam kotak itu, aku tidak mengerti…” Ia merengkuh wajahku lalu menyandarkannya ke dadanya. “Jangan dipikirkan.” Ia menghembuskan napas panjang. “Ceritakan padaku tentang kontrak terbaru Blues, apa kau menerimanya?” Aku menggangguk pelan. “Dengan syarat-syarat seperti yang kau beritahukan kepadaku,” kataku teredam. “Siapa yang menyangka.” aku berkata lirih. Setelah pementasan teater Hemingway’s, lalu OST itu dan sekarang kontrak baru ini…” “Aku menyangkanya, kau yang terlalu memandang rendah dirimu sendiri.” Aku tersenyum di dadanya. “Bagaimana denganmu? Apa syutingnya berjalan lancar?” “Ya, sutradara
{Mia POV} “Kenapa aku tidak melihat ibuku dan Joe, atau Lauren malam ini?” aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling teater Delacorte selagi kami berjalan meninggalkan tribun. “Mereka pergi duluan.” Jason mengangguk kepada sopirnya yang menunggu, pria itu dengan cekatan segera membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk kami. “Aku ditunggu untuk makan malam bersama anggota yang lain,” kataku ketika Jason menggiringku masuk ke mobilnya. "Jean-Pierre mengadakan pesta untuk semua kru dan pemain di Forestier, aku wajib datang." aku mengingatkannya. "Kau tidak akan ke sana," sahut Jason ringan, ada jejak humor dalam suaranya. "Karena kau sedang diculik." *** Aku tertegun saat melihat di mana mobilnya berhenti. Jason tersenyum mengamati ekspresiku. "Kau menyukainya?" Dia membawa kami ke Montreal. Aku tertawa pelan lalu berpaling padanya. "Sepertinya kau
{Mia POV} Dua belas jam sebelum pertunjukan Delacorte “Kau ikut? Aku dan Joe ingin ke Forestier.” ibuku berhenti di ambang pintu kamar saat melihatku masih belum beranjak dari depan meja belajar. “Sebentar,” gumamku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Aku sedang menyelesaikan balasan email yang akan kukirimkan pada Blues Record. Setelah kontrak OST yang terakhir kali mereka mengajukan penawaran lain dan aku memerlukan beberapa detailnya sebelum memutuskan. Kemarin aku telah memberitahu Jason tetang prospek tersebut, dan dia mengusulkan beberapa hal dalam klausul kontraknya bila aku memang ingin kembali bekerja sama dengan label mereka. Jason sangat terperinci. Aku harus bersyukur atas pengalamannya berurusan dengan banyak agensi dan manajemen artis sejak kecil, kini itu membantuku. Sudah satu bulan sejak dia berangkat ke Prancis, dan alih-alih berbicara dan saling menan
{Mia POV} Aku memusatkan pikiran, berusaha menghapal dialog yang sudah kuulangi sekitar seratus kali di kepalaku. Mencoba meredam suara-suara di sekitarku dengan berpikir lebih keras meskipun itu tak terlalu berhasil. Aku masih bisa mendengar Jean-Pierre berseru dengan lantang pada para pemain lain serta kru agar bersiap untuk adegan selanjutnya.Adegan penutup yang menentukan. Ini adalah hari terakhir dari rangkaian pertunjukan teater Hemingway's, "The Winter Snow".Sudah empat hari ini mereka mengadakan pertunjukannya di Delacorte. Bahkan malam ini penonton yang datang semakin membludak. Melihat lagi ke belakang, kupikir ini seperti mukjizat. Sampai sebulan yang lalu, aku masih berada dalam perawatan. Dokter yang memeriksaku secara teratur mengatakan meskipun luka tembak yang kualami tidak mengenai bagian yang vital, tapi trauma lukanya membuat tubuhku sempat sulit merespon obat-obatan.Mereka harus melakukan
{Mia POV} “Aku belum memutuskan apapun.” Jason berkata tenang. Ia mengusap punggung tanganku yang digenggamnya dengan ibu jari. “Aku ingin memberitahumu lebih dulu.” Aku menelan ludah dengan sudah payah. ”Itu tidak ada bedanya, kau tetap harus pergi.” Jason mengalihkan pandangannya diriku, tatapannya menekuri jalinan tangan kami di atas selimut. “Sebenarnya aku memiliki beberapa prioritas.” ia berkata lalu menatapku penuh arti. “… dan kekasih yang memerlukan kehadiranku ada di daftar teratas.” Dia ragu karena aku. Untuk sesaat hatiku diliputi kebahagiaan. Sampai perkataannya tersebut membuatku berpikir ulang tentang banyak kemungkinan, dan apa jadinya bila dia mengabaikan kesempatan dalam hidupnya demi aku. Jason telah melakukan banyak hal untukku, bukan saja mendukung namun dia juga menciptakan kesempatan-kesempatan hingga impianku menjadi penyanyi terwujud. Kesal dan frustasi karena sadar tidak mungkin m
{Mia POV} Aku mengerenyit membayangkan wajah Jason yang muram dilanda kecemasan tatkala menungguiku tidak sadarkan diri berkali-kali. Apa yang dia rasakan saat itu ketika mengira aku mungkin tidak akan selamat. Dan betapa kelamnya perasaan Jason saat itu. "Kupikir aku tak bisa membantahnya," gumamku pelan sambil memeluknya lebih erat."Dalam hal itu kita memiliki pikiran yang sama, Jason." Aku merasakan ia mengangguk di puncak kepalaku. "Bagus, kalau begitu kau tahu, kau tidak akan tampil dalam pertunjukan itu." ia berkata singkat. Aku melepaskan diri lalu mendongak melihatnya. "Apa? Tidak. Ibuku akhirnya tidak lagi menentangku dan dokter bilang aku punya peluang, kau tak bisa mencegahku." “Lagipula aku hanya … hanya bernyanyi, dan melakukan sedikit tarian di atas panggung, itu saja!” Jason memejamkan mata dan mendesah. “Ya Tuhan, “katanya letih. “Sebaiknya kita bicarakan masalah ini lagi nanti
{Jason POV} Malam itu kondisi Mia kembali menurun. Obat-obatan yang diberikan kepadanya tidak bekerja dan luka di punggungnya mengalami pembengkakan. Dia tidak sadarkan diri dan demam tinggi membuatnya mengigau nyaris sepanjang malam. Saat sedang cemas menunggui di luar kamar rawat Mia sementara para dokter menanganinya dalam ruangan isolasi untuk mencegah infeksi yang lebih parah, Emma Summers, ibu Mia menghampiri dan duduk di sampingku. “Transfusi darah baru saja selesai, mereka ingin mengetes Joe juga tapi kukatakan itu tidak perlu, mereka bisa mengambil jumlah darah yang mereka butuhkan diriku.” Aku mengangguk muram. Dia menghela napas panjang. “Saat para polisi menjemputku di bandara dan mengatakan apa yang telah terjadi pada putriku, aku tak bisa memercayainya.” Emma berkata tanpa menatapku. “Waktu itu kupikir mereka pasti salah orang. Bagaimana mungkin Mia, putri kecilku—” kata-katanya tersekat. Wajahnya e
{Jason POV} “Pergilah beristirahat, aku akan menjaga Mia.” aku mendengar Karen berbicara di belakangku, mencoba membujukku untuk yang kesekian kalinya sejak semalam agar mau beranjak dari sisi ranjang Mia. Karen datang setelah Grams dan kakekku pergi. Ia membawakan baju serta beberapa barang yang kuminta padanya, dan berkata dengan nada khawatir bila aku pasti juga butuh ditemani. Aku hanya membutuhkan satu hal. Aku menggenggam jemari Mia dengan kedua tangan dan menyurukkannya ke bawah dagu, mengamati matanya yang terpejam. “Apa yang terjadi setelah berita kecelakaanku di Meksiko waktu itu?” “Menurutmu?” sahut Karen heran. “Mia menunggumu pulang, Jason. Dia berharap kau akan datang, dan memberinya pelukan hangat di hari ulang tahunnya.” “Tapi kau memberinya bom, menghancurkannya berkeping-keping karena berita kematianmu,” ujarnya murung. Aku mengulurkan tangan untuk menyapu sejumput r