Montrelle adalah jenis restoran megah bergaya renaissance, jadi kesan di dalamnya seperti berada di abad pertengahan meskipun peralatannya sangat modern.
Mereka memiliki spot VVIP tersendiri di sisi lain ruangan utama, lengkap dengan plafon cantik yang ada aksen tanaman bunga sulur-suluran di sekeliling pilar-pilarnya. Benar-benar keren. Mulutku nyaris ternganga melihat interiornya.
Seorang pelayan menyambut kami di pintu masuk. Jason mengatakan padanya agar memberi kami tempat duduk yang agak pribadi, sesuai reservasi, lalu ia mengarahkan kami ke tempat VVIP tadi. Aku langsung mencekal tangannya.
“Aku tak mampu membayarnya, kumohon jangan kesana,” ujarku memelas. Tak ada gunanya bersikap gengsi saat ini.
Jason menarikku mendekat lalu berbisik di telingaku. “Tapi aku sudah terlanjur memesannya, Mia, mereka akan mengenakan biaya dua kali lipat bila kita membatalkannya sekarang.” Lalu ia kembali menggandengku berjalan ke meja kami.
Bila ini buka
Kau bebas untuk pergi… Ini sangat aneh. Maksudku, aku dan Jason tidak secara harfiah pacaran, harusnya aku merasa senang karena dia akhirnya melepaskan kesepakatan kami. Melepaskan aku. Tapi kenapa aku malah merasa seperti baru saja dicampakkan? "Bukankah kau bilang semuanya akan baik-baik saja?" tanyaku parau. Semoga Jason tidak menyadari nada terguncang di dalam suaraku. Ia tersenyum getir. "Itu yang kita harapkan, tapi para ahli menyatakan lain. Tanda tangan pada kontraknya diidentifikasi otentik dengan milikku." "Jadi antara kami perlu bukti lain yang bisa mendukung pembelaan kami, atau kami harus menemukan Paul dan membuat dia mengakui kejahatannya." "Tapi itu akan sangat sulit," ujarku setengah berbisik, seolah sedang bicara pada diriku sendiri. Jason menganggukan kepalanya. "Benar. Karena itu kau tak perlu berada di sisiku, tak akan ada gunanya bagi kita berdua. Kasus ini berbeda dari skandal dengan wartawan tem
Aku tidak ingat berapa lama aku duduk di sana. Hanya memutar kembali kenangan bodoh yang terus saja bermunculan dan nyaris membuatku gila. Aku tak sanggup mengakui alasannya. Tak bisa. Karena bila aku melakukannya, tak akan ada jalan kembali untukku. Hari sudah petang ketika aku kembali dari kampus. Mobil ibuku telah terparkir di pintu masuk. Aku mempertimbangkan untuk memberitahunya tentang Hemingway’s dan jika aku, entah bagaimana, cukup beruntung, mungkin aku juga bisa memberitahunya soal kontrak dengan Blues Record. Ponselku berdering ketika aku hendak masuk ke dalam rumah. “Mia?” suara Matthew Lee terdengar berhati-hati, seolah ada sesuatu yang membuatnya cemas. “Matthew, hai,” sapaku. Kami tidak bicara berhari-hari sejak dia pergi ke daerah Atlanta untuk keperluan filmnya dan aku sedang dirawat di rumah sakit. “Aku sudah menerima bunganya, thanks,” “Sama-sama, maa
“Aku dipanggil ke kantor agensi.” Luigi, manajer baruku berbicara dari kursi penumpang di depan. “Aku akan mengantarmu dulu baru pergi ke sana, di mana aku harus menurunkanmu?” Aku membuka mata dan memandang keluar jendela, mobil yang kutumpangi telah melewati pusat kota. Kami baru saja menyelesaikan konferensi pers tentang gugatan Rite Enterprise yang telah masuk dalam agenda pengadilan. Sesuai skrip dari manajemen, aku menepis dugaan wartawan tentang wanprestasi. Memberitahu mereka bahwa ada kekeliruan dalam klausul kontraknya dan tim hukum manajemen sedang berusaha membereskan masalah ini. Aku mendeteksi keraguan para wartawan yang datang dalam acara itu. Namun tentu saja mereka tidak punya pilihan selain duduk dan menunggu perkembangan kasus ini. Begitu pula denganku. “Jason?” manajerku memanggil lagi. “Skylite,” jawabku tanpa berpikir. “Aeriel sedang mengadakan pesta di sana.” Aku bisa merasakan dia tengah mengerenyit
"Aku tidak tahu kenapa kau berubah pikiran tapi aku senang." Lauren merapikan riasan sambil melihat kaca di atas dashboard. “Kita membutuhkan selingan, kau terutama.” Ia mengecap-ngecapkan bibirnya untuk meratakan lipstik. “Aku cuma ingin melihat seheboh apa pesta yang kau bangga-banggakan itu,” gumamku sambil mengalihkan pandangan menatap sekeliling gedung hotel Skylite. Kendaraan-kendaraan mewah hilir mudik menurunkan penumpang mereka, anak-anak muda dengan dandanan glamor, di lobi. Ini mengingatkanku pada malam ketika aku dan Lauren pergi merayakan keberhasilanku lolos audisi. Ketika itu kami juga pergi ke tempat ini. Itulah awal mula semuanya… Aku tertunduk menyadari pikiranku mulai mengembara lagi. Sulit sekali mengumpulkan pikiran setiap kali aku teringat pada kejadian itu. Aku menggoyangkan kepala untuk mengusirnya. Tenang, aku memerintah diriku. Tujuanmu kemari hanya untuk memberitahu Jason bahwa kau akan mengembalikan
Aku menggoyangkan kepala untuk menjernihkan pandangan dan meredakan telingaku yang berdenging. Sorakan riuh di sekelilingku menyulut amarahku. Jangan kira aku bakal diam saja kali ini! Aku membalasnya dengan tamparan telak yang membuat Amy sontak terhuyung.Namun dengan cepat ia menegakkan diri lalu menghampiriku dengan murka yang makin membara di wajahnya. “Kau akan menyesalinya.” Tiba-tiba Amy menerjangku hingga membuatku terjatuh kemudian serta merta ia melompat dan duduk di atas tubuhku.Satu tangannya menahan bahuku sedangkan satunya lagi menjambak rambutku. Aku berusaha menyentakkan tangannya, menggeliat untuk membebaskan diri dari himpitannya tapi ia melawanku sekuat tenaga. Dia benar-benar sudah gila! Aku melihat semua teman-teman Amy berdiri mengelilingi kami sambil menatap antusias sementara Amy yang berusaha menyerangku dengan membabi-buta. "Setelah ini kita lihat apa kau masih berani bersikap sombong padaku!" serunya
Aku baru saja mengatakannya. Sekarang, apa yang akan dia pikirkan?Saat ini aku tak bisa melihat wajahnya jadi aku tak dapat menebak reaksinya. Tapi kenapa dia begitu tenang? Dia bahkan tak membalas pelukanku…Jason hanya berdiri diam, mematung. Sementara aku, jantungku berdebar gila-gilaan. Bahkan aku masih agak gemetaran. Mungkin jika tiba-tiba harus berdiri di atas kakiku sekarang, aku bakal langsung teronggok di lantai. Aku mencengkeram bahunya dengan gugup. Please, katakan sesuatu, aku mengiba dalam hati. Sungguh menyiksa harus menunggu dalam keheningan begini. Rasanya seperti berabad-abad menanti Jason menjawab, namun ketika ia berbicara dia hanya mengatakan satu kata, "Kenapa?" tanyanya datar. Aku mengendurkan pelukan lalu perlahan menjauhkan diri dan mendongak untuk menatap wajahnya. Sekarang aku bisa melihat kilatan emosi dalam sorot matanya.Dia … marah? Dari semua reaksi, aku tidak pernah mem
"Mia!"Aku terlonjak kaget saat Lauren memberikan tepukan di bahuku.“Apa kau melamun?” ia mengangkat kedua alis menatapku tak percaya. "Astaga, dari tadi aku bicara sendiri," sungutnya. Lauren membunyikan klakson berkali-kali ketika kendaraan di depan kami tak kunjung melaju saat lampu berubah hijau. "Kau benar-benar aneh, tahu tidak?" Aku mendesah panjang. "Ada apa Lauren?" "Aku tadi sedang bicara tentang kejadian di pesta, mereka bilang Amy Phelps menyerangmu di depan umum, seharusnya waktu itu aku ada di sana, membantumu menendang bokongnya. Aku tak peduli dia keponakan Andy atau anak presiden sekalipun. Jalang kurang ajar." “Sudahlah, jangan membuang energimu. Dia tidak layak. Lagipula aku baik-baik saja,"Matanya menyipit memandangiku dengan tatapan curiga. “Benar juga.” "Kupikir malah lebih dari itu," gumam Lauren spekulatif. "Apa sih maksudmu?" "Kudengar Jason muncul, apa yang terjadi?" Wajahku otomatis
Dear diary,Mencintai seseorang itu seperti memiliki sebuah dunia baru. Dunia di mana kisah kami berdua dimulai, dan menjadi satu-satunya. Aku baru saja menemukannya. Duniaku. Bunyi penerima pesan pada ponselku mengalihkan perhatianku dari cermin meja rias. Aku menyambar benda itu dari atas tempat tidur. Pesan yang tertera pada layarnya membuat kedua sudut bibirku melengkung ke atas secara otomatis. Aku bergegas bangkit dari kursi lalu menyambar tasku yang tergeletak di atas nakas dan buru-buru berjalan keluar dari kamar. Aku melihat ibuku ketika berjalan melintasi dapur. Dia sedang mengatur piring di atas rak meja konter dapur. Aku berbalik menghampirinya. Sejak argumen kami yang menguras emosi semalam, aku belum bicara apa-apa lagi dengannya. Akan kucoba bicara padanya hari ini. Biasanya saat pagi hari segala sesuatu bisa saja berubah, hal yang sudah terjadi sebelumnya bisa terlihat berbeda setelah kau bangun tidur.Jadi barangkali pen
{Mia POV} Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru."Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya. Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar."Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem. Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobilchevy.Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip. "Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe. Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya. "Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub."Kukira dulu&n
Jason memejamkan matanya, terlihat gusar. Namun ketika ia membuka mata dan memandangku lagi, aku menangkap sorot geli di matanya, seolah ia mendapati diri sedang berada dalam situasi yang konyol dan tak terduga. “Tidak juga,” ujarnya. “Itu jawaban yang aneh,” gumamku bingung. “Lantas, untuk apa sebenarnya kunci yang ada di dalam kotak itu, aku tidak mengerti…” Ia merengkuh wajahku lalu menyandarkannya ke dadanya. “Jangan dipikirkan.” Ia menghembuskan napas panjang. “Ceritakan padaku tentang kontrak terbaru Blues, apa kau menerimanya?” Aku menggangguk pelan. “Dengan syarat-syarat seperti yang kau beritahukan kepadaku,” kataku teredam. “Siapa yang menyangka.” aku berkata lirih. Setelah pementasan teater Hemingway’s, lalu OST itu dan sekarang kontrak baru ini…” “Aku menyangkanya, kau yang terlalu memandang rendah dirimu sendiri.” Aku tersenyum di dadanya. “Bagaimana denganmu? Apa syutingnya berjalan lancar?” “Ya, sutradara
{Mia POV} “Kenapa aku tidak melihat ibuku dan Joe, atau Lauren malam ini?” aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling teater Delacorte selagi kami berjalan meninggalkan tribun. “Mereka pergi duluan.” Jason mengangguk kepada sopirnya yang menunggu, pria itu dengan cekatan segera membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk kami. “Aku ditunggu untuk makan malam bersama anggota yang lain,” kataku ketika Jason menggiringku masuk ke mobilnya. "Jean-Pierre mengadakan pesta untuk semua kru dan pemain di Forestier, aku wajib datang." aku mengingatkannya. "Kau tidak akan ke sana," sahut Jason ringan, ada jejak humor dalam suaranya. "Karena kau sedang diculik." *** Aku tertegun saat melihat di mana mobilnya berhenti. Jason tersenyum mengamati ekspresiku. "Kau menyukainya?" Dia membawa kami ke Montreal. Aku tertawa pelan lalu berpaling padanya. "Sepertinya kau
{Mia POV} Dua belas jam sebelum pertunjukan Delacorte “Kau ikut? Aku dan Joe ingin ke Forestier.” ibuku berhenti di ambang pintu kamar saat melihatku masih belum beranjak dari depan meja belajar. “Sebentar,” gumamku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Aku sedang menyelesaikan balasan email yang akan kukirimkan pada Blues Record. Setelah kontrak OST yang terakhir kali mereka mengajukan penawaran lain dan aku memerlukan beberapa detailnya sebelum memutuskan. Kemarin aku telah memberitahu Jason tetang prospek tersebut, dan dia mengusulkan beberapa hal dalam klausul kontraknya bila aku memang ingin kembali bekerja sama dengan label mereka. Jason sangat terperinci. Aku harus bersyukur atas pengalamannya berurusan dengan banyak agensi dan manajemen artis sejak kecil, kini itu membantuku. Sudah satu bulan sejak dia berangkat ke Prancis, dan alih-alih berbicara dan saling menan
{Mia POV} Aku memusatkan pikiran, berusaha menghapal dialog yang sudah kuulangi sekitar seratus kali di kepalaku. Mencoba meredam suara-suara di sekitarku dengan berpikir lebih keras meskipun itu tak terlalu berhasil. Aku masih bisa mendengar Jean-Pierre berseru dengan lantang pada para pemain lain serta kru agar bersiap untuk adegan selanjutnya.Adegan penutup yang menentukan. Ini adalah hari terakhir dari rangkaian pertunjukan teater Hemingway's, "The Winter Snow".Sudah empat hari ini mereka mengadakan pertunjukannya di Delacorte. Bahkan malam ini penonton yang datang semakin membludak. Melihat lagi ke belakang, kupikir ini seperti mukjizat. Sampai sebulan yang lalu, aku masih berada dalam perawatan. Dokter yang memeriksaku secara teratur mengatakan meskipun luka tembak yang kualami tidak mengenai bagian yang vital, tapi trauma lukanya membuat tubuhku sempat sulit merespon obat-obatan.Mereka harus melakukan
{Mia POV} “Aku belum memutuskan apapun.” Jason berkata tenang. Ia mengusap punggung tanganku yang digenggamnya dengan ibu jari. “Aku ingin memberitahumu lebih dulu.” Aku menelan ludah dengan sudah payah. ”Itu tidak ada bedanya, kau tetap harus pergi.” Jason mengalihkan pandangannya diriku, tatapannya menekuri jalinan tangan kami di atas selimut. “Sebenarnya aku memiliki beberapa prioritas.” ia berkata lalu menatapku penuh arti. “… dan kekasih yang memerlukan kehadiranku ada di daftar teratas.” Dia ragu karena aku. Untuk sesaat hatiku diliputi kebahagiaan. Sampai perkataannya tersebut membuatku berpikir ulang tentang banyak kemungkinan, dan apa jadinya bila dia mengabaikan kesempatan dalam hidupnya demi aku. Jason telah melakukan banyak hal untukku, bukan saja mendukung namun dia juga menciptakan kesempatan-kesempatan hingga impianku menjadi penyanyi terwujud. Kesal dan frustasi karena sadar tidak mungkin m
{Mia POV} Aku mengerenyit membayangkan wajah Jason yang muram dilanda kecemasan tatkala menungguiku tidak sadarkan diri berkali-kali. Apa yang dia rasakan saat itu ketika mengira aku mungkin tidak akan selamat. Dan betapa kelamnya perasaan Jason saat itu. "Kupikir aku tak bisa membantahnya," gumamku pelan sambil memeluknya lebih erat."Dalam hal itu kita memiliki pikiran yang sama, Jason." Aku merasakan ia mengangguk di puncak kepalaku. "Bagus, kalau begitu kau tahu, kau tidak akan tampil dalam pertunjukan itu." ia berkata singkat. Aku melepaskan diri lalu mendongak melihatnya. "Apa? Tidak. Ibuku akhirnya tidak lagi menentangku dan dokter bilang aku punya peluang, kau tak bisa mencegahku." “Lagipula aku hanya … hanya bernyanyi, dan melakukan sedikit tarian di atas panggung, itu saja!” Jason memejamkan mata dan mendesah. “Ya Tuhan, “katanya letih. “Sebaiknya kita bicarakan masalah ini lagi nanti
{Jason POV} Malam itu kondisi Mia kembali menurun. Obat-obatan yang diberikan kepadanya tidak bekerja dan luka di punggungnya mengalami pembengkakan. Dia tidak sadarkan diri dan demam tinggi membuatnya mengigau nyaris sepanjang malam. Saat sedang cemas menunggui di luar kamar rawat Mia sementara para dokter menanganinya dalam ruangan isolasi untuk mencegah infeksi yang lebih parah, Emma Summers, ibu Mia menghampiri dan duduk di sampingku. “Transfusi darah baru saja selesai, mereka ingin mengetes Joe juga tapi kukatakan itu tidak perlu, mereka bisa mengambil jumlah darah yang mereka butuhkan diriku.” Aku mengangguk muram. Dia menghela napas panjang. “Saat para polisi menjemputku di bandara dan mengatakan apa yang telah terjadi pada putriku, aku tak bisa memercayainya.” Emma berkata tanpa menatapku. “Waktu itu kupikir mereka pasti salah orang. Bagaimana mungkin Mia, putri kecilku—” kata-katanya tersekat. Wajahnya e
{Jason POV} “Pergilah beristirahat, aku akan menjaga Mia.” aku mendengar Karen berbicara di belakangku, mencoba membujukku untuk yang kesekian kalinya sejak semalam agar mau beranjak dari sisi ranjang Mia. Karen datang setelah Grams dan kakekku pergi. Ia membawakan baju serta beberapa barang yang kuminta padanya, dan berkata dengan nada khawatir bila aku pasti juga butuh ditemani. Aku hanya membutuhkan satu hal. Aku menggenggam jemari Mia dengan kedua tangan dan menyurukkannya ke bawah dagu, mengamati matanya yang terpejam. “Apa yang terjadi setelah berita kecelakaanku di Meksiko waktu itu?” “Menurutmu?” sahut Karen heran. “Mia menunggumu pulang, Jason. Dia berharap kau akan datang, dan memberinya pelukan hangat di hari ulang tahunnya.” “Tapi kau memberinya bom, menghancurkannya berkeping-keping karena berita kematianmu,” ujarnya murung. Aku mengulurkan tangan untuk menyapu sejumput r