Dear diary,
Mencintai seseorang itu seperti memiliki sebuah dunia baru. Dunia di mana kisah kami berdua dimulai, dan menjadi satu-satunya.Aku baru saja menemukannya. Duniaku.
Bunyi penerima pesan pada ponselku mengalihkan perhatianku dari cermin meja rias. Aku menyambar benda itu dari atas tempat tidur. Pesan yang tertera pada layarnya membuat kedua sudut bibirku melengkung ke atas secara otomatis.
Aku bergegas bangkit dari kursi lalu menyambar tasku yang tergeletak di atas nakas dan buru-buru berjalan keluar dari kamar.
Aku melihat ibuku ketika berjalan melintasi dapur. Dia sedang mengatur piring di atas rak meja konter dapur. Aku berbalik menghampirinya. Sejak argumen kami yang menguras emosi semalam, aku belum bicara apa-apa lagi dengannya.
Akan kucoba bicara padanya hari ini. Biasanya saat pagi hari segala sesuatu bisa saja berubah, hal yang sudah terjadi sebelumnya bisa terlihat berbeda setelah kau bangun tidur.
Jadi barangkali pen"Kau sudah kembali dari Stand Arc?"Aku menjepit ponsel di antara pipi dan bahuku seraya membuka pintu lemari untuk mengambil celana jins. "Baru saja.Showcase-nya berlangsung lebih lama dari perkiraan." suara Jason terdengar letih. Sudah hampir seminggu sejak kencan kami di Long Island.Saat itu aku menghabiskan waktu seharian bersamanya mengelilingi Southampton, karena besoknya Jason mesti pergi ke California untuk menghadiri acara promosi film terbarunya The Magical Valley selama beberapa hari. Ternyata seminggu itu lama sekali, meskipun kami sering bicara di telepon. Itu berbeda. Usahaku berkonsentrasi pada Hemingway's juga tidak sepenuhnya berhasil.Aku merindukannya. Aku mencemaskannya. Kadang aku bertanya-tanyaapa dia memikirkanku juga? Bila kuingat lagi, Jason belum pernah sekalipun mengatakan tentang perasaannya padaku. Aku tahu tindakan yang terpenting, kata-kata hanyalah ungkapan.Tapi kadang cewek b
“Aku baru membaca pesanmu, apa yang terjadi?” Aku memindahkan ponsel ke telinga kiri, meraih tas dari bangku penumpang dengan tangan yang lain lalu keluar dari mobil. “Ibuku,” aku mendesah. “Ia marah besar karena aku tidak menuruti ucapannya soal menyanyi, tidak ada yang baru.” aku berkata getir. Aku bisa mendengar Jason bergumam kesal dari seberang telepon. “Kau harus membiarkanku bicara pada ibumu—” “Tidak.” “Mia, mungkin dia akan mengerti bila kujelaskan,” Aku memejamkan mata frustasi. Bukannya aku tidak memahami maksud baik Jason dalam hal ini. Dia pasti khawatir pertengkaranku dan Mom bakal semakin berlarut-larut bila dibiarkan, begitupula denganku. Tapi ibuku tidak akan pernah mau berkompromi tak peduli siapa yang bicara padanya, dan aku tidak tahu bagaimana mengatasi hal itu. “Jangan khawatirkan masalah ini, Jason. Aku akan mengurusnya,” kataku sok yakin. “Baiklah, nanti aku akan ke tempat kerjamu, kita b
Aku nyaris merosot ke lantai ketika Jason mengakhiri ciumannya. Seolah kedua kakiku mendadak terbuat dari jelly. Kedua tangannya yang kokoh tetap menahan tubuhku ke dinding, mencegahku pergi. Sebenarnya ia tak perlu khawatir aku bakal melarikan diri atau apa, kalau saja dia tahu yang baru saja dia lakukan telah membuat pikiranku kacau balau. Jason menyandarkan keningnya padaku dengan mata terpejam. Napasnya yang memburu menerpa wajahku. “Apapun yang kau dengar, itu hanya separuh kebenarannya.” ia membuka matanya perlahan. Sepasang mata biru sejernih langit menatapku intens, mengirimkan getaran ke sepanjang tulang belakangku. Aku menelan ludah dengan susah payah. “Seharusnya kita tidak bersama, itukah harga yang harus kubayar untuk kontrak itu?” Ekspresi wajahnya mengeras. “Tidak. Aku sudah pernah melakukan kesalahan dengan membiarkanmu pergi sekali dari hidupku." suaranya yang tenang berlawanan dengan degup jantungku. "Tidak ak
“Kenapa kau bicara seperti itu?” Matthew hanya menjawab dengan senyuman tipis yang bahkan tidak menyentuh ujung matanya. “Pergilah atau kau akan terlambat.” Ia meletakkan telapak tangannya di bawah punggungku lalu menggiringku berjalan dengan cepat menuju ke pintu kemudian membukanya. “Lain kali jangan datang menemuiku untuk membicarakan lelaki lain.” dia berbicara di dekat telingaku. Kata-kata Matthew selanjutnya membuatku membeku. “Aku membencinya...” Gedung Rockford, tempat diadakannya anniversary perusahaan keluarga Marshall terletak di daerah paling padat di pusat kota New York. Untung saja aku berinisiatif berangkat lebih awal dan mengambil rute memutar untuk menghindari kemacetan. Aku sampai di tempat itu sepuluh menit sebelum acaranya dimulai. Para pelayan berseragam yang menyambut tamu undangan di area pintu masuk lobi gedung bertanya padaku mengenai meja undangan. Aku memberitahunya bahwa Jason memasukkanku ke dalam d
"Ini membosankan." Lauren berputar di depan cermin yang dipasang melapisi dinding ruang ganti butik sambil mengamati gaun yang dicobanya. Kami telah berada di salah satu butik Tory Burch, di pusat kota Manhattan sejak sejam yang lalu.Lauren menyeretku kemari untuk menemaninya berburu gaun keluaran terbaru karena dia tahu akhir pekan adalah waktu bebas bagiku, apalagi Jason sedang pergi ke New Jersey. “Kupikir koleksi musim panas mereka bakal lebih nyentrik lagi, aku ingat tahun lalu …” Kata-kata Lauren menghilang dari benakku, tergantikan oleh ingatan tentang momen di pesta keluarga Jason semalam. Rasa penasaran yang hebat membakarku ketika menyadari Jason tampak mengenali pria asing yang telah mengancamku di rumah sakit. Aku nyaris tak bisa menahan diri untuk menceritakan semua kepadanya. Nyaris. Tapi aku perlu memastikan apa kaitan Jason dengan pria itu, sebelum aku mengkonfrontasinya tentang segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh pria
"Itu Tisha Benitez. Dia baru kembali dari Kuba. Aku pernah dengar ada yang membicarakan kedatangannya." Lauren bicara keras di dekat telingaku mengatasi suara hentakan musik. Aku menoleh padanya. "Mereka kelihatannya saling kenal," sahutku. Lauren tiba-tiba terlihat canggung. "Semua orang di sini juga mengenalnya, ayahnya orang penting di negara asalnya, seorang perdana menteri, kudengar." "Kenapa kau tak bicara dulu pada Jason soal agensi, untuk itu kau mencarinya bukan? Aku akan pergi kelounge bergabung dengan Richie dan yang lainnya, kalau sudah selesai kau bisa mencariku di sana." Aku mengangguk.Lauren tersenyum sambil menggenggam lenganku sekilas sebelum berbalik pergi meninggalkanku. Untuk alasan yang tidak kumengerti aku merasa dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Aku menghembuskan napas kemudian berpaling kembali pada Jason.Kini cewek itu, Tisha Benitez, semakin merapatkan dirinya pada Jason seraya membisik
“Dia akan melewatinya, sebentar lagi …” Aku mengerenyit pada sekelompok pria antusias, para agen interpol yang sedang rehat tugas, yang berkumpul di depan tv besar menyaksikan pertandingan final Super Bowl. Setiap pasang mata yang seolah melupakan apapun selain tontonan di depan mereka. Bahkan kehadiranku. Tiba-tiba mereka serempak bersorak dengan gemuruh suara yang bisa saja terdengar hingga ke blok sebelah. Apa yang terjadi pada protokol keamanan yang selalu mereka agung-agungkan? “Yes! Aku sudah menduganya!” Habel Trent mengepalkan tinjunya ke udara. Aku tidak tahan lagi. “Hei!” protesnya ketika aku meraih remote tv lalu mematikannya. Mereka semua tercengang menatap layar yang gelap. “Kita perlu bicara.” “Ini pertandingan final, bung!” Ia mendelik tak percaya. Aku tidak mengindahkannya. “Kau pergi menemui pacarku.” Itu bukan pertanyaan. Aku yakin Habel telah melakukannya. Bila tidak, bagaimana
“Anda tidak tahu siapa dia?” “Orang yang anda maksud memang terekam dalam cctv nona, namun namanya tidak tercatat dalam buku tamu karena ia datang bersama rombongan pekerja yang mengatur perlengkapan pesta.” “Tapi penampilannya tidak terlihat seperti pekerja kasar,” gumamku. “Jadi ini berarti anda tidak memiliki petunjuk apapun?” “Maafkan saya, hanya itu yang bisa saya temukan. Apakah orang ini menimbulkan masalah?” “Tidak,” sahutku cepat. “Seperti yang pernah kubilang sebelumnya, aku hanya merasa mengenalnya itu saja, tapi mungkin saja aku salah.” “Bagaimanapun terima kasih atas bantuan anda.” aku segera mengakhiri sambungan teleponnya, sebelum staff Rockford itu bertanya-tanya lebih lanjut tentang pria yang kucari. Aku tahu ini berisiko. Apalagi setelah pria itu memperingatkanku sebelumnya. Namun aku tak bisa tinggal diam bila ternyata pria itu benar-benar mengenal keluarga Jason. Aku merasa harus memastikan, ia tidak
{Mia POV} Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru."Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya. Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar."Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem. Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobilchevy.Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip. "Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe. Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya. "Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub."Kukira dulu&n
Jason memejamkan matanya, terlihat gusar. Namun ketika ia membuka mata dan memandangku lagi, aku menangkap sorot geli di matanya, seolah ia mendapati diri sedang berada dalam situasi yang konyol dan tak terduga. “Tidak juga,” ujarnya. “Itu jawaban yang aneh,” gumamku bingung. “Lantas, untuk apa sebenarnya kunci yang ada di dalam kotak itu, aku tidak mengerti…” Ia merengkuh wajahku lalu menyandarkannya ke dadanya. “Jangan dipikirkan.” Ia menghembuskan napas panjang. “Ceritakan padaku tentang kontrak terbaru Blues, apa kau menerimanya?” Aku menggangguk pelan. “Dengan syarat-syarat seperti yang kau beritahukan kepadaku,” kataku teredam. “Siapa yang menyangka.” aku berkata lirih. Setelah pementasan teater Hemingway’s, lalu OST itu dan sekarang kontrak baru ini…” “Aku menyangkanya, kau yang terlalu memandang rendah dirimu sendiri.” Aku tersenyum di dadanya. “Bagaimana denganmu? Apa syutingnya berjalan lancar?” “Ya, sutradara
{Mia POV} “Kenapa aku tidak melihat ibuku dan Joe, atau Lauren malam ini?” aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling teater Delacorte selagi kami berjalan meninggalkan tribun. “Mereka pergi duluan.” Jason mengangguk kepada sopirnya yang menunggu, pria itu dengan cekatan segera membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk kami. “Aku ditunggu untuk makan malam bersama anggota yang lain,” kataku ketika Jason menggiringku masuk ke mobilnya. "Jean-Pierre mengadakan pesta untuk semua kru dan pemain di Forestier, aku wajib datang." aku mengingatkannya. "Kau tidak akan ke sana," sahut Jason ringan, ada jejak humor dalam suaranya. "Karena kau sedang diculik." *** Aku tertegun saat melihat di mana mobilnya berhenti. Jason tersenyum mengamati ekspresiku. "Kau menyukainya?" Dia membawa kami ke Montreal. Aku tertawa pelan lalu berpaling padanya. "Sepertinya kau
{Mia POV} Dua belas jam sebelum pertunjukan Delacorte “Kau ikut? Aku dan Joe ingin ke Forestier.” ibuku berhenti di ambang pintu kamar saat melihatku masih belum beranjak dari depan meja belajar. “Sebentar,” gumamku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Aku sedang menyelesaikan balasan email yang akan kukirimkan pada Blues Record. Setelah kontrak OST yang terakhir kali mereka mengajukan penawaran lain dan aku memerlukan beberapa detailnya sebelum memutuskan. Kemarin aku telah memberitahu Jason tetang prospek tersebut, dan dia mengusulkan beberapa hal dalam klausul kontraknya bila aku memang ingin kembali bekerja sama dengan label mereka. Jason sangat terperinci. Aku harus bersyukur atas pengalamannya berurusan dengan banyak agensi dan manajemen artis sejak kecil, kini itu membantuku. Sudah satu bulan sejak dia berangkat ke Prancis, dan alih-alih berbicara dan saling menan
{Mia POV} Aku memusatkan pikiran, berusaha menghapal dialog yang sudah kuulangi sekitar seratus kali di kepalaku. Mencoba meredam suara-suara di sekitarku dengan berpikir lebih keras meskipun itu tak terlalu berhasil. Aku masih bisa mendengar Jean-Pierre berseru dengan lantang pada para pemain lain serta kru agar bersiap untuk adegan selanjutnya.Adegan penutup yang menentukan. Ini adalah hari terakhir dari rangkaian pertunjukan teater Hemingway's, "The Winter Snow".Sudah empat hari ini mereka mengadakan pertunjukannya di Delacorte. Bahkan malam ini penonton yang datang semakin membludak. Melihat lagi ke belakang, kupikir ini seperti mukjizat. Sampai sebulan yang lalu, aku masih berada dalam perawatan. Dokter yang memeriksaku secara teratur mengatakan meskipun luka tembak yang kualami tidak mengenai bagian yang vital, tapi trauma lukanya membuat tubuhku sempat sulit merespon obat-obatan.Mereka harus melakukan
{Mia POV} “Aku belum memutuskan apapun.” Jason berkata tenang. Ia mengusap punggung tanganku yang digenggamnya dengan ibu jari. “Aku ingin memberitahumu lebih dulu.” Aku menelan ludah dengan sudah payah. ”Itu tidak ada bedanya, kau tetap harus pergi.” Jason mengalihkan pandangannya diriku, tatapannya menekuri jalinan tangan kami di atas selimut. “Sebenarnya aku memiliki beberapa prioritas.” ia berkata lalu menatapku penuh arti. “… dan kekasih yang memerlukan kehadiranku ada di daftar teratas.” Dia ragu karena aku. Untuk sesaat hatiku diliputi kebahagiaan. Sampai perkataannya tersebut membuatku berpikir ulang tentang banyak kemungkinan, dan apa jadinya bila dia mengabaikan kesempatan dalam hidupnya demi aku. Jason telah melakukan banyak hal untukku, bukan saja mendukung namun dia juga menciptakan kesempatan-kesempatan hingga impianku menjadi penyanyi terwujud. Kesal dan frustasi karena sadar tidak mungkin m
{Mia POV} Aku mengerenyit membayangkan wajah Jason yang muram dilanda kecemasan tatkala menungguiku tidak sadarkan diri berkali-kali. Apa yang dia rasakan saat itu ketika mengira aku mungkin tidak akan selamat. Dan betapa kelamnya perasaan Jason saat itu. "Kupikir aku tak bisa membantahnya," gumamku pelan sambil memeluknya lebih erat."Dalam hal itu kita memiliki pikiran yang sama, Jason." Aku merasakan ia mengangguk di puncak kepalaku. "Bagus, kalau begitu kau tahu, kau tidak akan tampil dalam pertunjukan itu." ia berkata singkat. Aku melepaskan diri lalu mendongak melihatnya. "Apa? Tidak. Ibuku akhirnya tidak lagi menentangku dan dokter bilang aku punya peluang, kau tak bisa mencegahku." “Lagipula aku hanya … hanya bernyanyi, dan melakukan sedikit tarian di atas panggung, itu saja!” Jason memejamkan mata dan mendesah. “Ya Tuhan, “katanya letih. “Sebaiknya kita bicarakan masalah ini lagi nanti
{Jason POV} Malam itu kondisi Mia kembali menurun. Obat-obatan yang diberikan kepadanya tidak bekerja dan luka di punggungnya mengalami pembengkakan. Dia tidak sadarkan diri dan demam tinggi membuatnya mengigau nyaris sepanjang malam. Saat sedang cemas menunggui di luar kamar rawat Mia sementara para dokter menanganinya dalam ruangan isolasi untuk mencegah infeksi yang lebih parah, Emma Summers, ibu Mia menghampiri dan duduk di sampingku. “Transfusi darah baru saja selesai, mereka ingin mengetes Joe juga tapi kukatakan itu tidak perlu, mereka bisa mengambil jumlah darah yang mereka butuhkan diriku.” Aku mengangguk muram. Dia menghela napas panjang. “Saat para polisi menjemputku di bandara dan mengatakan apa yang telah terjadi pada putriku, aku tak bisa memercayainya.” Emma berkata tanpa menatapku. “Waktu itu kupikir mereka pasti salah orang. Bagaimana mungkin Mia, putri kecilku—” kata-katanya tersekat. Wajahnya e
{Jason POV} “Pergilah beristirahat, aku akan menjaga Mia.” aku mendengar Karen berbicara di belakangku, mencoba membujukku untuk yang kesekian kalinya sejak semalam agar mau beranjak dari sisi ranjang Mia. Karen datang setelah Grams dan kakekku pergi. Ia membawakan baju serta beberapa barang yang kuminta padanya, dan berkata dengan nada khawatir bila aku pasti juga butuh ditemani. Aku hanya membutuhkan satu hal. Aku menggenggam jemari Mia dengan kedua tangan dan menyurukkannya ke bawah dagu, mengamati matanya yang terpejam. “Apa yang terjadi setelah berita kecelakaanku di Meksiko waktu itu?” “Menurutmu?” sahut Karen heran. “Mia menunggumu pulang, Jason. Dia berharap kau akan datang, dan memberinya pelukan hangat di hari ulang tahunnya.” “Tapi kau memberinya bom, menghancurkannya berkeping-keping karena berita kematianmu,” ujarnya murung. Aku mengulurkan tangan untuk menyapu sejumput r