"Itu Tisha Benitez. Dia baru kembali dari Kuba. Aku pernah dengar ada yang membicarakan kedatangannya." Lauren bicara keras di dekat telingaku mengatasi suara hentakan musik.
Aku menoleh padanya. "Mereka kelihatannya saling kenal," sahutku.
Lauren tiba-tiba terlihat canggung. "Semua orang di sini juga mengenalnya, ayahnya orang penting di negara asalnya, seorang perdana menteri, kudengar."
"Kenapa kau tak bicara dulu pada Jason soal agensi, untuk itu kau mencarinya bukan? Aku akan pergi ke lounge bergabung dengan Richie dan yang lainnya, kalau sudah selesai kau bisa mencariku di sana."
Aku mengangguk.
Lauren tersenyum sambil menggenggam lenganku sekilas sebelum berbalik pergi meninggalkanku. Untuk alasan yang tidak kumengerti aku merasa dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu.Aku menghembuskan napas kemudian berpaling kembali pada Jason.
Kini cewek itu, Tisha Benitez, semakin merapatkan dirinya pada Jason seraya membisik“Dia akan melewatinya, sebentar lagi …” Aku mengerenyit pada sekelompok pria antusias, para agen interpol yang sedang rehat tugas, yang berkumpul di depan tv besar menyaksikan pertandingan final Super Bowl. Setiap pasang mata yang seolah melupakan apapun selain tontonan di depan mereka. Bahkan kehadiranku. Tiba-tiba mereka serempak bersorak dengan gemuruh suara yang bisa saja terdengar hingga ke blok sebelah. Apa yang terjadi pada protokol keamanan yang selalu mereka agung-agungkan? “Yes! Aku sudah menduganya!” Habel Trent mengepalkan tinjunya ke udara. Aku tidak tahan lagi. “Hei!” protesnya ketika aku meraih remote tv lalu mematikannya. Mereka semua tercengang menatap layar yang gelap. “Kita perlu bicara.” “Ini pertandingan final, bung!” Ia mendelik tak percaya. Aku tidak mengindahkannya. “Kau pergi menemui pacarku.” Itu bukan pertanyaan. Aku yakin Habel telah melakukannya. Bila tidak, bagaimana
“Anda tidak tahu siapa dia?” “Orang yang anda maksud memang terekam dalam cctv nona, namun namanya tidak tercatat dalam buku tamu karena ia datang bersama rombongan pekerja yang mengatur perlengkapan pesta.” “Tapi penampilannya tidak terlihat seperti pekerja kasar,” gumamku. “Jadi ini berarti anda tidak memiliki petunjuk apapun?” “Maafkan saya, hanya itu yang bisa saya temukan. Apakah orang ini menimbulkan masalah?” “Tidak,” sahutku cepat. “Seperti yang pernah kubilang sebelumnya, aku hanya merasa mengenalnya itu saja, tapi mungkin saja aku salah.” “Bagaimanapun terima kasih atas bantuan anda.” aku segera mengakhiri sambungan teleponnya, sebelum staff Rockford itu bertanya-tanya lebih lanjut tentang pria yang kucari. Aku tahu ini berisiko. Apalagi setelah pria itu memperingatkanku sebelumnya. Namun aku tak bisa tinggal diam bila ternyata pria itu benar-benar mengenal keluarga Jason. Aku merasa harus memastikan, ia tidak
Mataku melebar terkejut menatap Jason yang berdiri tak jauh dari tempat kami duduk. Di bawah sinar lampu berwarna keemasan siluetnya tampak seperti pangeran dalam dongeng. Garis wajah rupawan serta sorot mata teduh yang mampu menghipnotis siapapun yang melihatnya. Tapi bukan aku, dan tidak malam ini. Aku perlu menetapkan batas yang jelas di antara kami, dan Jason harus mengetahuinya.Aku tak boleh kalah lagi. "Apa yang dia lakukan di sini?" aku berbalik pada Karen. "SorryMia, aku khawatir kau bakal menolak ikut bersamaku, kalau kau tahu Jason akan datang." Aku menghembuskan napas kesal. "Kau sengaja memancingku." "Please, dengarkan saja dia dulu. Beri Jason kesempatan untuk menjelaskannya kepadamu, setelah itu kau bisa memutuskan ingin memercayainya atau tidak." Karen berkata penuh harap sambil menggenggam tanganku, sebelum ia beranjak dari bangku lalu berjalan pergi meninggalkan kami berdua. Aku tida
“Dikurangi dengan sejumlah aset yang kau miliki di luar negeri masih ada sekitar tujuh puluh juta dollar.” Pengacaraku, Joshua Hoffman menjelaskan selagi ia menekuri tumpukan dokumen di atas meja di hadapannya. “Tapi aku ragu mereka akan menyinggungnya di pengadilan, kita bisa membicarakan tuntutan penalti dengan pengacaranya sebelum persidangan.” Ia mengalihkan pandangan dari file itu lalu mengangkat wajahnya menatapku. “Kau ingin aku menghubungi kuasa hukum Rite dan mengatur jadwal temu dengan mereka?” tanyanya. Aku baru hendak menyahut saat bunyi notifikasi pesan ponselku tiba-tiba berbunyi. Aku mengerenyit membaca pesan berupa sederet barisan angka dan huruf yang diketikkan secara acak, tampak seperti sebuah sambungan kode URL. Ini bukan yang pertama kalinya. Pesan serupa pertama kali dikirim beberapa minggu yang lalu. Sebuah pola deretan huruf dan angka yang sama dengan ini namun kode sambungan yang tersemat berbeda. Didorong rasa
“Aku tidak mengerti apa yang anda bicarakan, ” elakku. Ia menatapku skeptis, lalu mendengus pelan. “Ini bukan pertama kalinya aku dibuntuti.” “Jangan salah paham, mereka memang berhati-hati, tapi seumur hidupku aku sudah terlalu akrab dengan pengintaian.” “Aku bisa tahu kapan seseorang membuntutiku.” Antonio menyandarkan punggungnya lalu menghembuskan napas panjang. “Aku bukan datang untuk membahasnya, ada sesuatu yang lebih mendesak.” “Aku perlu bicara padamu tentang Paul Burke.” “Dia telah mengontakmu bukan?” *** Berengsek, apa ini? Interogasi? Mengapa Phillip dan yang lain tidak pernah memperingatkanku soal ini sebelumnya? “Bagaimana anda mengenal Paul?” sahutku. “Katakan saja dia telah berurusan dengan orang yang salah, dan aku kemari untuk membereskannya.” Otakku berusaha mencerna informasi itu. Namun hanya ada satu kesimpulan yang terpikirkan olehku di dalam situasi ini. “Kudengar P
"Jason memintamu bertemu dengan ayahnya?!" "Sebenarnya itu sebuah undangan pesta." Aku memindahkan satu persatu buku dari dalam tas lalu menaruhnya ke dalam loker."Bukan berarti mereka secara khusus mengadakan acara makan malam demi menyambut kami berdua atau semacamnya," gumamku. "Tapi tetap saja, kau akan bertemu dengan Harry Marshall!" Lauren bersiul pelan."Setahuku Jason belum pernah membawa pacar-pacarnya bertemu dengan ayahnya secara pribadi.” “… well,mungkin itu karena sebelum ini hubungan mereka berdua kurang baik," sahutku. “Tidak penting.” Lauren mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Anyways, ini luar biasa Mia! Sama saja kau telah melakukan lompatan dalam satu millennium." ia meremas bahuku. "Astaga," desahku sambil mengunci loker lalu menyandarkan punggungku pada pintunya."Aku sudah cukup gugup memikirkan hal ini, jangan menambahinya." Dia terkekeh pelan. "Kau benar, ini momen langk
“Apa kita benar-benar harus melakukannya?” Phillip mengedikkan kepalanya ke arah ponsel burner yang tergeletak di atas meja. “Telepon dia.” Aku menatap tajam padanya. Ia jelas tidak terbuka untuk penawaran lain, namun setidaknya aku berniat menunjukkan sikap protes untuk yang terakhir kalinya. Mereka tidak memberiku pilihan dari awal, meskipun bisa dibilang memang tidak ada pilihan yang lebih baik dalam hal ini. “Dengar, kami telah memverifikasi peran ayahmu dalam masalah ini. Dan jelas ia tidak tahu Antonio Benitez terlibat dalam bisnis illegal dengan kartel hingga di luar wilayah Amerika Utara.” “Bila dia tidak memiliki sekutu di negara ini, Antonio tidak akan berani menginjakkan kakinya kemari, kita perlu tahu kartu apa yang dia punyai.” “Pertama-tama kita perlu memastikan di mana mereka menahan Paul.” “Telepon dia sekarang,” ulang Phillip.Habel dan yang lainnya memusatkan pandangan mereka padaku, menunggu. Rasa
"Bagaimana penampilanku?" Aku melirik cemas pada Jason yang berjalan di sampingku menapaki anak tangga di depan gedung. Kami akan menghadiri acara pra-pernikahan ayah Jason dengan ibunya Karen malam ini. Mereka mengatakan ini adalah acara sebelum upacara pernikahan, yang rencananya, akan diselenggarakan minggu depan secara sederhana di sebuah pulau terpencil yang dekat dengan Tahiti. Kabarnya seremoni pribadi itu hanya akan dihadiri oleh keluarga inti. Karen akan datang, meski ia tidak tetap tinggal setelah upacaranya selesai. Jason? Sudah jelas tidak. Oleh sebab itu Karen meneleponku dua hari yang lalu untuk menyampaikan, kalau ayah Jason serta ibunya, garis bawah, mengharuskan, kami berdua untuk datang ke acara pra-pernikahan ini. Jason bersedia datang demi formalitas. Aku? Memangnya aku bisa menolak permintaan pribadi ayahnya? Aku tahu ini tidak mudah bagi Jason, untuk berada dalam satu ruangan dengan Eva Gloss. Past
{Mia POV} Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru."Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya. Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar."Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem. Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobilchevy.Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip. "Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe. Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya. "Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub."Kukira dulu&n
Jason memejamkan matanya, terlihat gusar. Namun ketika ia membuka mata dan memandangku lagi, aku menangkap sorot geli di matanya, seolah ia mendapati diri sedang berada dalam situasi yang konyol dan tak terduga. “Tidak juga,” ujarnya. “Itu jawaban yang aneh,” gumamku bingung. “Lantas, untuk apa sebenarnya kunci yang ada di dalam kotak itu, aku tidak mengerti…” Ia merengkuh wajahku lalu menyandarkannya ke dadanya. “Jangan dipikirkan.” Ia menghembuskan napas panjang. “Ceritakan padaku tentang kontrak terbaru Blues, apa kau menerimanya?” Aku menggangguk pelan. “Dengan syarat-syarat seperti yang kau beritahukan kepadaku,” kataku teredam. “Siapa yang menyangka.” aku berkata lirih. Setelah pementasan teater Hemingway’s, lalu OST itu dan sekarang kontrak baru ini…” “Aku menyangkanya, kau yang terlalu memandang rendah dirimu sendiri.” Aku tersenyum di dadanya. “Bagaimana denganmu? Apa syutingnya berjalan lancar?” “Ya, sutradara
{Mia POV} “Kenapa aku tidak melihat ibuku dan Joe, atau Lauren malam ini?” aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling teater Delacorte selagi kami berjalan meninggalkan tribun. “Mereka pergi duluan.” Jason mengangguk kepada sopirnya yang menunggu, pria itu dengan cekatan segera membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk kami. “Aku ditunggu untuk makan malam bersama anggota yang lain,” kataku ketika Jason menggiringku masuk ke mobilnya. "Jean-Pierre mengadakan pesta untuk semua kru dan pemain di Forestier, aku wajib datang." aku mengingatkannya. "Kau tidak akan ke sana," sahut Jason ringan, ada jejak humor dalam suaranya. "Karena kau sedang diculik." *** Aku tertegun saat melihat di mana mobilnya berhenti. Jason tersenyum mengamati ekspresiku. "Kau menyukainya?" Dia membawa kami ke Montreal. Aku tertawa pelan lalu berpaling padanya. "Sepertinya kau
{Mia POV} Dua belas jam sebelum pertunjukan Delacorte “Kau ikut? Aku dan Joe ingin ke Forestier.” ibuku berhenti di ambang pintu kamar saat melihatku masih belum beranjak dari depan meja belajar. “Sebentar,” gumamku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Aku sedang menyelesaikan balasan email yang akan kukirimkan pada Blues Record. Setelah kontrak OST yang terakhir kali mereka mengajukan penawaran lain dan aku memerlukan beberapa detailnya sebelum memutuskan. Kemarin aku telah memberitahu Jason tetang prospek tersebut, dan dia mengusulkan beberapa hal dalam klausul kontraknya bila aku memang ingin kembali bekerja sama dengan label mereka. Jason sangat terperinci. Aku harus bersyukur atas pengalamannya berurusan dengan banyak agensi dan manajemen artis sejak kecil, kini itu membantuku. Sudah satu bulan sejak dia berangkat ke Prancis, dan alih-alih berbicara dan saling menan
{Mia POV} Aku memusatkan pikiran, berusaha menghapal dialog yang sudah kuulangi sekitar seratus kali di kepalaku. Mencoba meredam suara-suara di sekitarku dengan berpikir lebih keras meskipun itu tak terlalu berhasil. Aku masih bisa mendengar Jean-Pierre berseru dengan lantang pada para pemain lain serta kru agar bersiap untuk adegan selanjutnya.Adegan penutup yang menentukan. Ini adalah hari terakhir dari rangkaian pertunjukan teater Hemingway's, "The Winter Snow".Sudah empat hari ini mereka mengadakan pertunjukannya di Delacorte. Bahkan malam ini penonton yang datang semakin membludak. Melihat lagi ke belakang, kupikir ini seperti mukjizat. Sampai sebulan yang lalu, aku masih berada dalam perawatan. Dokter yang memeriksaku secara teratur mengatakan meskipun luka tembak yang kualami tidak mengenai bagian yang vital, tapi trauma lukanya membuat tubuhku sempat sulit merespon obat-obatan.Mereka harus melakukan
{Mia POV} “Aku belum memutuskan apapun.” Jason berkata tenang. Ia mengusap punggung tanganku yang digenggamnya dengan ibu jari. “Aku ingin memberitahumu lebih dulu.” Aku menelan ludah dengan sudah payah. ”Itu tidak ada bedanya, kau tetap harus pergi.” Jason mengalihkan pandangannya diriku, tatapannya menekuri jalinan tangan kami di atas selimut. “Sebenarnya aku memiliki beberapa prioritas.” ia berkata lalu menatapku penuh arti. “… dan kekasih yang memerlukan kehadiranku ada di daftar teratas.” Dia ragu karena aku. Untuk sesaat hatiku diliputi kebahagiaan. Sampai perkataannya tersebut membuatku berpikir ulang tentang banyak kemungkinan, dan apa jadinya bila dia mengabaikan kesempatan dalam hidupnya demi aku. Jason telah melakukan banyak hal untukku, bukan saja mendukung namun dia juga menciptakan kesempatan-kesempatan hingga impianku menjadi penyanyi terwujud. Kesal dan frustasi karena sadar tidak mungkin m
{Mia POV} Aku mengerenyit membayangkan wajah Jason yang muram dilanda kecemasan tatkala menungguiku tidak sadarkan diri berkali-kali. Apa yang dia rasakan saat itu ketika mengira aku mungkin tidak akan selamat. Dan betapa kelamnya perasaan Jason saat itu. "Kupikir aku tak bisa membantahnya," gumamku pelan sambil memeluknya lebih erat."Dalam hal itu kita memiliki pikiran yang sama, Jason." Aku merasakan ia mengangguk di puncak kepalaku. "Bagus, kalau begitu kau tahu, kau tidak akan tampil dalam pertunjukan itu." ia berkata singkat. Aku melepaskan diri lalu mendongak melihatnya. "Apa? Tidak. Ibuku akhirnya tidak lagi menentangku dan dokter bilang aku punya peluang, kau tak bisa mencegahku." “Lagipula aku hanya … hanya bernyanyi, dan melakukan sedikit tarian di atas panggung, itu saja!” Jason memejamkan mata dan mendesah. “Ya Tuhan, “katanya letih. “Sebaiknya kita bicarakan masalah ini lagi nanti
{Jason POV} Malam itu kondisi Mia kembali menurun. Obat-obatan yang diberikan kepadanya tidak bekerja dan luka di punggungnya mengalami pembengkakan. Dia tidak sadarkan diri dan demam tinggi membuatnya mengigau nyaris sepanjang malam. Saat sedang cemas menunggui di luar kamar rawat Mia sementara para dokter menanganinya dalam ruangan isolasi untuk mencegah infeksi yang lebih parah, Emma Summers, ibu Mia menghampiri dan duduk di sampingku. “Transfusi darah baru saja selesai, mereka ingin mengetes Joe juga tapi kukatakan itu tidak perlu, mereka bisa mengambil jumlah darah yang mereka butuhkan diriku.” Aku mengangguk muram. Dia menghela napas panjang. “Saat para polisi menjemputku di bandara dan mengatakan apa yang telah terjadi pada putriku, aku tak bisa memercayainya.” Emma berkata tanpa menatapku. “Waktu itu kupikir mereka pasti salah orang. Bagaimana mungkin Mia, putri kecilku—” kata-katanya tersekat. Wajahnya e
{Jason POV} “Pergilah beristirahat, aku akan menjaga Mia.” aku mendengar Karen berbicara di belakangku, mencoba membujukku untuk yang kesekian kalinya sejak semalam agar mau beranjak dari sisi ranjang Mia. Karen datang setelah Grams dan kakekku pergi. Ia membawakan baju serta beberapa barang yang kuminta padanya, dan berkata dengan nada khawatir bila aku pasti juga butuh ditemani. Aku hanya membutuhkan satu hal. Aku menggenggam jemari Mia dengan kedua tangan dan menyurukkannya ke bawah dagu, mengamati matanya yang terpejam. “Apa yang terjadi setelah berita kecelakaanku di Meksiko waktu itu?” “Menurutmu?” sahut Karen heran. “Mia menunggumu pulang, Jason. Dia berharap kau akan datang, dan memberinya pelukan hangat di hari ulang tahunnya.” “Tapi kau memberinya bom, menghancurkannya berkeping-keping karena berita kematianmu,” ujarnya murung. Aku mengulurkan tangan untuk menyapu sejumput r