"Aku tidak tahu kenapa kau berubah pikiran tapi aku senang." Lauren merapikan riasan sambil melihat kaca di atas dashboard. “Kita membutuhkan selingan, kau terutama.” Ia mengecap-ngecapkan bibirnya untuk meratakan lipstik.
“Aku cuma ingin melihat seheboh apa pesta yang kau bangga-banggakan itu,” gumamku sambil mengalihkan pandangan menatap sekeliling gedung hotel Skylite.
Kendaraan-kendaraan mewah hilir mudik menurunkan penumpang mereka, anak-anak muda dengan dandanan glamor, di lobi.
Ini mengingatkanku pada malam ketika aku dan Lauren pergi merayakan keberhasilanku lolos audisi. Ketika itu kami juga pergi ke tempat ini.
Itulah awal mula semuanya…
Aku tertunduk menyadari pikiranku mulai mengembara lagi. Sulit sekali mengumpulkan pikiran setiap kali aku teringat pada kejadian itu.
Aku menggoyangkan kepala untuk mengusirnya. Tenang, aku memerintah diriku.
Tujuanmu kemari hanya untuk memberitahu Jason bahwa kau akan mengembalikan
Aku menggoyangkan kepala untuk menjernihkan pandangan dan meredakan telingaku yang berdenging. Sorakan riuh di sekelilingku menyulut amarahku. Jangan kira aku bakal diam saja kali ini! Aku membalasnya dengan tamparan telak yang membuat Amy sontak terhuyung.Namun dengan cepat ia menegakkan diri lalu menghampiriku dengan murka yang makin membara di wajahnya. “Kau akan menyesalinya.” Tiba-tiba Amy menerjangku hingga membuatku terjatuh kemudian serta merta ia melompat dan duduk di atas tubuhku.Satu tangannya menahan bahuku sedangkan satunya lagi menjambak rambutku. Aku berusaha menyentakkan tangannya, menggeliat untuk membebaskan diri dari himpitannya tapi ia melawanku sekuat tenaga. Dia benar-benar sudah gila! Aku melihat semua teman-teman Amy berdiri mengelilingi kami sambil menatap antusias sementara Amy yang berusaha menyerangku dengan membabi-buta. "Setelah ini kita lihat apa kau masih berani bersikap sombong padaku!" serunya
Aku baru saja mengatakannya. Sekarang, apa yang akan dia pikirkan?Saat ini aku tak bisa melihat wajahnya jadi aku tak dapat menebak reaksinya. Tapi kenapa dia begitu tenang? Dia bahkan tak membalas pelukanku…Jason hanya berdiri diam, mematung. Sementara aku, jantungku berdebar gila-gilaan. Bahkan aku masih agak gemetaran. Mungkin jika tiba-tiba harus berdiri di atas kakiku sekarang, aku bakal langsung teronggok di lantai. Aku mencengkeram bahunya dengan gugup. Please, katakan sesuatu, aku mengiba dalam hati. Sungguh menyiksa harus menunggu dalam keheningan begini. Rasanya seperti berabad-abad menanti Jason menjawab, namun ketika ia berbicara dia hanya mengatakan satu kata, "Kenapa?" tanyanya datar. Aku mengendurkan pelukan lalu perlahan menjauhkan diri dan mendongak untuk menatap wajahnya. Sekarang aku bisa melihat kilatan emosi dalam sorot matanya.Dia … marah? Dari semua reaksi, aku tidak pernah mem
"Mia!"Aku terlonjak kaget saat Lauren memberikan tepukan di bahuku.“Apa kau melamun?” ia mengangkat kedua alis menatapku tak percaya. "Astaga, dari tadi aku bicara sendiri," sungutnya. Lauren membunyikan klakson berkali-kali ketika kendaraan di depan kami tak kunjung melaju saat lampu berubah hijau. "Kau benar-benar aneh, tahu tidak?" Aku mendesah panjang. "Ada apa Lauren?" "Aku tadi sedang bicara tentang kejadian di pesta, mereka bilang Amy Phelps menyerangmu di depan umum, seharusnya waktu itu aku ada di sana, membantumu menendang bokongnya. Aku tak peduli dia keponakan Andy atau anak presiden sekalipun. Jalang kurang ajar." “Sudahlah, jangan membuang energimu. Dia tidak layak. Lagipula aku baik-baik saja,"Matanya menyipit memandangiku dengan tatapan curiga. “Benar juga.” "Kupikir malah lebih dari itu," gumam Lauren spekulatif. "Apa sih maksudmu?" "Kudengar Jason muncul, apa yang terjadi?" Wajahku otomatis
Dear diary,Mencintai seseorang itu seperti memiliki sebuah dunia baru. Dunia di mana kisah kami berdua dimulai, dan menjadi satu-satunya. Aku baru saja menemukannya. Duniaku. Bunyi penerima pesan pada ponselku mengalihkan perhatianku dari cermin meja rias. Aku menyambar benda itu dari atas tempat tidur. Pesan yang tertera pada layarnya membuat kedua sudut bibirku melengkung ke atas secara otomatis. Aku bergegas bangkit dari kursi lalu menyambar tasku yang tergeletak di atas nakas dan buru-buru berjalan keluar dari kamar. Aku melihat ibuku ketika berjalan melintasi dapur. Dia sedang mengatur piring di atas rak meja konter dapur. Aku berbalik menghampirinya. Sejak argumen kami yang menguras emosi semalam, aku belum bicara apa-apa lagi dengannya. Akan kucoba bicara padanya hari ini. Biasanya saat pagi hari segala sesuatu bisa saja berubah, hal yang sudah terjadi sebelumnya bisa terlihat berbeda setelah kau bangun tidur.Jadi barangkali pen
"Kau sudah kembali dari Stand Arc?"Aku menjepit ponsel di antara pipi dan bahuku seraya membuka pintu lemari untuk mengambil celana jins. "Baru saja.Showcase-nya berlangsung lebih lama dari perkiraan." suara Jason terdengar letih. Sudah hampir seminggu sejak kencan kami di Long Island.Saat itu aku menghabiskan waktu seharian bersamanya mengelilingi Southampton, karena besoknya Jason mesti pergi ke California untuk menghadiri acara promosi film terbarunya The Magical Valley selama beberapa hari. Ternyata seminggu itu lama sekali, meskipun kami sering bicara di telepon. Itu berbeda. Usahaku berkonsentrasi pada Hemingway's juga tidak sepenuhnya berhasil.Aku merindukannya. Aku mencemaskannya. Kadang aku bertanya-tanyaapa dia memikirkanku juga? Bila kuingat lagi, Jason belum pernah sekalipun mengatakan tentang perasaannya padaku. Aku tahu tindakan yang terpenting, kata-kata hanyalah ungkapan.Tapi kadang cewek b
“Aku baru membaca pesanmu, apa yang terjadi?” Aku memindahkan ponsel ke telinga kiri, meraih tas dari bangku penumpang dengan tangan yang lain lalu keluar dari mobil. “Ibuku,” aku mendesah. “Ia marah besar karena aku tidak menuruti ucapannya soal menyanyi, tidak ada yang baru.” aku berkata getir. Aku bisa mendengar Jason bergumam kesal dari seberang telepon. “Kau harus membiarkanku bicara pada ibumu—” “Tidak.” “Mia, mungkin dia akan mengerti bila kujelaskan,” Aku memejamkan mata frustasi. Bukannya aku tidak memahami maksud baik Jason dalam hal ini. Dia pasti khawatir pertengkaranku dan Mom bakal semakin berlarut-larut bila dibiarkan, begitupula denganku. Tapi ibuku tidak akan pernah mau berkompromi tak peduli siapa yang bicara padanya, dan aku tidak tahu bagaimana mengatasi hal itu. “Jangan khawatirkan masalah ini, Jason. Aku akan mengurusnya,” kataku sok yakin. “Baiklah, nanti aku akan ke tempat kerjamu, kita b
Aku nyaris merosot ke lantai ketika Jason mengakhiri ciumannya. Seolah kedua kakiku mendadak terbuat dari jelly. Kedua tangannya yang kokoh tetap menahan tubuhku ke dinding, mencegahku pergi. Sebenarnya ia tak perlu khawatir aku bakal melarikan diri atau apa, kalau saja dia tahu yang baru saja dia lakukan telah membuat pikiranku kacau balau. Jason menyandarkan keningnya padaku dengan mata terpejam. Napasnya yang memburu menerpa wajahku. “Apapun yang kau dengar, itu hanya separuh kebenarannya.” ia membuka matanya perlahan. Sepasang mata biru sejernih langit menatapku intens, mengirimkan getaran ke sepanjang tulang belakangku. Aku menelan ludah dengan susah payah. “Seharusnya kita tidak bersama, itukah harga yang harus kubayar untuk kontrak itu?” Ekspresi wajahnya mengeras. “Tidak. Aku sudah pernah melakukan kesalahan dengan membiarkanmu pergi sekali dari hidupku." suaranya yang tenang berlawanan dengan degup jantungku. "Tidak ak
“Kenapa kau bicara seperti itu?” Matthew hanya menjawab dengan senyuman tipis yang bahkan tidak menyentuh ujung matanya. “Pergilah atau kau akan terlambat.” Ia meletakkan telapak tangannya di bawah punggungku lalu menggiringku berjalan dengan cepat menuju ke pintu kemudian membukanya. “Lain kali jangan datang menemuiku untuk membicarakan lelaki lain.” dia berbicara di dekat telingaku. Kata-kata Matthew selanjutnya membuatku membeku. “Aku membencinya...” Gedung Rockford, tempat diadakannya anniversary perusahaan keluarga Marshall terletak di daerah paling padat di pusat kota New York. Untung saja aku berinisiatif berangkat lebih awal dan mengambil rute memutar untuk menghindari kemacetan. Aku sampai di tempat itu sepuluh menit sebelum acaranya dimulai. Para pelayan berseragam yang menyambut tamu undangan di area pintu masuk lobi gedung bertanya padaku mengenai meja undangan. Aku memberitahunya bahwa Jason memasukkanku ke dalam d