Aku tak pernah membayangkan akan terlibat dalam sesuatu yang besar seperti menjadi pengisi lagu soundtrack sebuah film. Ditambah lagi buatan sutradara sekaliber Riley Scott. Seolah kini satu persatu mimpiku mulai jadi kenyataan.
Frosty Fountain adalah film yang hampir diperankan oleh Jason tempo hari, meskipun akhirnya Thomas Parker yang menggantikannya. Dan sejak aku mengontak Blues Record kemarin mereka pun mengirimkan partitur lagunya supaya bisa kupelajari.
Mereka juga menyarankan aku mempelajari alur filmnya, atau minimal berdiskusi dengan para pemainnya, karena menurut mereka itu bisa membuatku menemukan penghayatan dengan gayaku sendiri terhadap lagu yang bakal kunyanyikan di dalam film itu.
Cara yang sangat jitu dan profesional menurutku. Sebab menyanyikan lagu soundtrack sebuah film tapi tidak tahu apa-apa tentang film itu kesannya absurd.
Rencananya aku akan bertanya pada Jason untuk mendengarkan pendapatnya soal ini. Omon
Montrelle adalah jenis restoran megah bergaya renaissance, jadi kesan di dalamnya seperti berada di abad pertengahan meskipun peralatannya sangat modern. Mereka memiliki spot VVIP tersendiri di sisi lain ruangan utama, lengkap dengan plafon cantik yang ada aksen tanaman bunga sulur-suluran di sekeliling pilar-pilarnya. Benar-benar keren. Mulutku nyaris ternganga melihat interiornya. Seorang pelayan menyambut kami di pintu masuk. Jason mengatakan padanya agar memberi kami tempat duduk yang agak pribadi, sesuai reservasi, lalu ia mengarahkan kami ke tempat VVIP tadi. Aku langsung mencekal tangannya. “Aku tak mampu membayarnya, kumohon jangan kesana,” ujarku memelas. Tak ada gunanya bersikap gengsi saat ini. Jason menarikku mendekat lalu berbisik di telingaku. “Tapi aku sudah terlanjur memesannya, Mia, mereka akan mengenakan biaya dua kali lipat bila kita membatalkannya sekarang.” Lalu ia kembali menggandengku berjalan ke meja kami. Bila ini buka
Kau bebas untuk pergi… Ini sangat aneh. Maksudku, aku dan Jason tidak secara harfiah pacaran, harusnya aku merasa senang karena dia akhirnya melepaskan kesepakatan kami. Melepaskan aku. Tapi kenapa aku malah merasa seperti baru saja dicampakkan? "Bukankah kau bilang semuanya akan baik-baik saja?" tanyaku parau. Semoga Jason tidak menyadari nada terguncang di dalam suaraku. Ia tersenyum getir. "Itu yang kita harapkan, tapi para ahli menyatakan lain. Tanda tangan pada kontraknya diidentifikasi otentik dengan milikku." "Jadi antara kami perlu bukti lain yang bisa mendukung pembelaan kami, atau kami harus menemukan Paul dan membuat dia mengakui kejahatannya." "Tapi itu akan sangat sulit," ujarku setengah berbisik, seolah sedang bicara pada diriku sendiri. Jason menganggukan kepalanya. "Benar. Karena itu kau tak perlu berada di sisiku, tak akan ada gunanya bagi kita berdua. Kasus ini berbeda dari skandal dengan wartawan tem
Aku tidak ingat berapa lama aku duduk di sana. Hanya memutar kembali kenangan bodoh yang terus saja bermunculan dan nyaris membuatku gila. Aku tak sanggup mengakui alasannya. Tak bisa. Karena bila aku melakukannya, tak akan ada jalan kembali untukku. Hari sudah petang ketika aku kembali dari kampus. Mobil ibuku telah terparkir di pintu masuk. Aku mempertimbangkan untuk memberitahunya tentang Hemingway’s dan jika aku, entah bagaimana, cukup beruntung, mungkin aku juga bisa memberitahunya soal kontrak dengan Blues Record. Ponselku berdering ketika aku hendak masuk ke dalam rumah. “Mia?” suara Matthew Lee terdengar berhati-hati, seolah ada sesuatu yang membuatnya cemas. “Matthew, hai,” sapaku. Kami tidak bicara berhari-hari sejak dia pergi ke daerah Atlanta untuk keperluan filmnya dan aku sedang dirawat di rumah sakit. “Aku sudah menerima bunganya, thanks,” “Sama-sama, maa
“Aku dipanggil ke kantor agensi.” Luigi, manajer baruku berbicara dari kursi penumpang di depan. “Aku akan mengantarmu dulu baru pergi ke sana, di mana aku harus menurunkanmu?” Aku membuka mata dan memandang keluar jendela, mobil yang kutumpangi telah melewati pusat kota. Kami baru saja menyelesaikan konferensi pers tentang gugatan Rite Enterprise yang telah masuk dalam agenda pengadilan. Sesuai skrip dari manajemen, aku menepis dugaan wartawan tentang wanprestasi. Memberitahu mereka bahwa ada kekeliruan dalam klausul kontraknya dan tim hukum manajemen sedang berusaha membereskan masalah ini. Aku mendeteksi keraguan para wartawan yang datang dalam acara itu. Namun tentu saja mereka tidak punya pilihan selain duduk dan menunggu perkembangan kasus ini. Begitu pula denganku. “Jason?” manajerku memanggil lagi. “Skylite,” jawabku tanpa berpikir. “Aeriel sedang mengadakan pesta di sana.” Aku bisa merasakan dia tengah mengerenyit
"Aku tidak tahu kenapa kau berubah pikiran tapi aku senang." Lauren merapikan riasan sambil melihat kaca di atas dashboard. “Kita membutuhkan selingan, kau terutama.” Ia mengecap-ngecapkan bibirnya untuk meratakan lipstik. “Aku cuma ingin melihat seheboh apa pesta yang kau bangga-banggakan itu,” gumamku sambil mengalihkan pandangan menatap sekeliling gedung hotel Skylite. Kendaraan-kendaraan mewah hilir mudik menurunkan penumpang mereka, anak-anak muda dengan dandanan glamor, di lobi. Ini mengingatkanku pada malam ketika aku dan Lauren pergi merayakan keberhasilanku lolos audisi. Ketika itu kami juga pergi ke tempat ini. Itulah awal mula semuanya… Aku tertunduk menyadari pikiranku mulai mengembara lagi. Sulit sekali mengumpulkan pikiran setiap kali aku teringat pada kejadian itu. Aku menggoyangkan kepala untuk mengusirnya. Tenang, aku memerintah diriku. Tujuanmu kemari hanya untuk memberitahu Jason bahwa kau akan mengembalikan
Aku menggoyangkan kepala untuk menjernihkan pandangan dan meredakan telingaku yang berdenging. Sorakan riuh di sekelilingku menyulut amarahku. Jangan kira aku bakal diam saja kali ini! Aku membalasnya dengan tamparan telak yang membuat Amy sontak terhuyung.Namun dengan cepat ia menegakkan diri lalu menghampiriku dengan murka yang makin membara di wajahnya. “Kau akan menyesalinya.” Tiba-tiba Amy menerjangku hingga membuatku terjatuh kemudian serta merta ia melompat dan duduk di atas tubuhku.Satu tangannya menahan bahuku sedangkan satunya lagi menjambak rambutku. Aku berusaha menyentakkan tangannya, menggeliat untuk membebaskan diri dari himpitannya tapi ia melawanku sekuat tenaga. Dia benar-benar sudah gila! Aku melihat semua teman-teman Amy berdiri mengelilingi kami sambil menatap antusias sementara Amy yang berusaha menyerangku dengan membabi-buta. "Setelah ini kita lihat apa kau masih berani bersikap sombong padaku!" serunya
Aku baru saja mengatakannya. Sekarang, apa yang akan dia pikirkan?Saat ini aku tak bisa melihat wajahnya jadi aku tak dapat menebak reaksinya. Tapi kenapa dia begitu tenang? Dia bahkan tak membalas pelukanku…Jason hanya berdiri diam, mematung. Sementara aku, jantungku berdebar gila-gilaan. Bahkan aku masih agak gemetaran. Mungkin jika tiba-tiba harus berdiri di atas kakiku sekarang, aku bakal langsung teronggok di lantai. Aku mencengkeram bahunya dengan gugup. Please, katakan sesuatu, aku mengiba dalam hati. Sungguh menyiksa harus menunggu dalam keheningan begini. Rasanya seperti berabad-abad menanti Jason menjawab, namun ketika ia berbicara dia hanya mengatakan satu kata, "Kenapa?" tanyanya datar. Aku mengendurkan pelukan lalu perlahan menjauhkan diri dan mendongak untuk menatap wajahnya. Sekarang aku bisa melihat kilatan emosi dalam sorot matanya.Dia … marah? Dari semua reaksi, aku tidak pernah mem
"Mia!"Aku terlonjak kaget saat Lauren memberikan tepukan di bahuku.“Apa kau melamun?” ia mengangkat kedua alis menatapku tak percaya. "Astaga, dari tadi aku bicara sendiri," sungutnya. Lauren membunyikan klakson berkali-kali ketika kendaraan di depan kami tak kunjung melaju saat lampu berubah hijau. "Kau benar-benar aneh, tahu tidak?" Aku mendesah panjang. "Ada apa Lauren?" "Aku tadi sedang bicara tentang kejadian di pesta, mereka bilang Amy Phelps menyerangmu di depan umum, seharusnya waktu itu aku ada di sana, membantumu menendang bokongnya. Aku tak peduli dia keponakan Andy atau anak presiden sekalipun. Jalang kurang ajar." “Sudahlah, jangan membuang energimu. Dia tidak layak. Lagipula aku baik-baik saja,"Matanya menyipit memandangiku dengan tatapan curiga. “Benar juga.” "Kupikir malah lebih dari itu," gumam Lauren spekulatif. "Apa sih maksudmu?" "Kudengar Jason muncul, apa yang terjadi?" Wajahku otomatis