Mustahil… Mereka berdua adalah saudara? Kenapa aku tak pernah mendengar apapun tentang ini sebelumnya?
"Mengapa Jason sama sekali tak pernah menyinggung tentangmu?" sahutku heran.
"Apa dia menyembunyikan hal ini untuk menghindari gosip?"Karen menggelengkan kepalanya. "Tidak, Jason bukan orang seperti itu." Aku menangkap secercah rasa haru di dalam ucapannya.
"Dia melakukannya bukan untuk dirinya sendiri, tapi demi aku Mia," jelasnya. Aku mengernyit menatapnya. "Aku tidak mengerti."
Karen mengalihkan pandangan dariku, menatap pada hamparan puncak gedung-gedung bertingkat di hadapan kami, matanya terlihat menerawang.
"Ayah Jason bertemu dengan ibuku ketika Jason masih sangat kecil, mungkin umurnya baru tiga atau empat tahun saat itu."
Karen tertunduk." Ya, ayah Jason berselingkuh dengan ibuku. Jadi kami saudara tiri. "
Aku menatapnya dengan mata melebar. Kurasa aku mulai mengerti arah pembi
Jason sedang duduk di salah satu kursi tunggu di depan kamar rawat ayahnya saat kami kembali. Dia langsung berdiri saat melihatku dan Karen. "Apa kata dokter?" tanya Karen cemas. "Kondisi Dad menurun, mereka memberinya obat untuk mengurangi rasa sakit dan juga mengontrol tekanan darahnya agar kondisi ginjalnya tidak semakin parah, tapi dokter tak bisa menjamin berapa lama Dad bisa bertahan dengan obat-obatan sebelum ginjalnya benar-benar mengalami kerusakan permanen." "Ya Tuhan," bisik Karen. Jason melingkarkan tangannya memeluk bahu Karen untuk menenangkannya. "Tadi aku sudah melakukan tes, hasilnya tujuh puluh persen." Karen memandangnya dengan sorot mata penuh harap. "Itu cukup tinggi Jason." Dia mengangguk. "Ya, ini patut dicoba." "Terima kasih." Karen memeluk Jason erat-erat. "Dia juga ayahku, aku tak mungkin membiarkannya meninggal begitu saja." Jason tersenyum menenangkannya. Karen mengangguk sambil mengusa
“Bukannya aku tak mau menemuimu, Matthew. Tapi aku harus menyiapkan makan malam untuk Joe, lalu setelahnya, aku berencana kembali ke rumah sakit.” Joe yang mendengar namanya disebut mendongak dari layar tv dan menatapku penasaran. Ia memberengut kesal saat aku memberinya isyarat untuk segera naik ke kamarnya dan mengerjaan pe-er. “Baiklah… aku mengerti, Mia si perawat nomor satu,” kelakarnya. “Jadi ingat dulu, kau adalah sukarelawan yang paling rajin membesuk anak-anak yayasan, sampai orang-orang sering salah mengira kau sebagai perawat.” Aku tersenyum seraya melepas sepatu lalu menempatkannya di atas rak di dekat ruang tamu. “Soalnya aku sampai bisa membaca monitor segala, gara-gara terlalu sering melihat para suster jaga memeriksa anak-anak waktu itu`.” Matthew tertawa mendengarnya. Entah kenapa aku merasa sebenarnya ada hal yang ingin dikatakannya kepadaku. Aku mengenal Matthew cukup lama sehingga bisa tahu saat ada hal yang sedang menganggunya.
"Apa itu?" Jason bertanya saat melihatku masuk ke dalam kamarnya menenteng gitarku. "Memangnya kau tak bisa mengenali bentuknya?" ujarku sinis. Dia berdecak tak sabaran. "Aku tahu itu gitar, maksudku untuk apa kau membawanya kemari, Mia?" Aku menggantungkan ranselku di kaki ranjang kemudian menarik kursi berlengan yang ada di dekat meja ke samping tempat tidurnya. Aku duduk sambil mendekap gitar yang kutaruh di atas pangkuan. "Hari ini aku akan melatih lagu dari dramaku saja, daripada harus mendengarmu mengomel," ujarku sambil mulai menyetel gitarnya. Jason mengulum senyum. "Apa kau sudah lupa yang terjadi saat terakhir kali kau bernyanyi untukku?" Ia pasti mengacu pada kejadian di atas panggung sewaktu pesta ulang tahunnya. "Diam, Jason. Jangan merusak konsentrasiku, apalagi mood-ku, atau kau akan menyesal," ancamku. Dia tertawa. Aku mengabaikannya lalu memainkan kunci awal untuk mencoba-coba intronya. Sepertinya sudah sesuai.
Malam itu aku mengalami mimpi yang sangat aneh. Kukira sedang berada di sekolah lamaku. Aku mengingatnya, ini adalah gedung gimnasium. Aku dulu sering datang kesini diam-diam saat jam pelajaran sekolah usai, mengambil gitar akustik pemberian ayahku yang kusembunyikan di balik alat-alat kebersihan di dalam gudang, lalu memainkan beberapa lagu yang kusuka. Tidak perlu penonton. Cukup diriku sendiri dan musik sudah membuatku terhanyut.Hingga aku mendengar sesuatu, atau seseorang. Ketika aku menoleh ke arah datangnya suara, ia sepertinya terkejut karena aku menyadari kehadirannya, kemudian ia mundur perlahan, menyelinap ke balik bayang-bayang bangku tribun lalu menghilang keluar dari gedung. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi aku akan mengenali tatapan mata itu di manapun. Jason... Aku mengerang sambil membuka kedua mataku perlahan. Leherku sakit, dan punggungku remuk. Rasanya seperti aku habis melakukan akrobat atau seje
Aku meminta tolong pada sang pemilik café, Jorge, seorang laki-laki paruh baya bergaya hippies yang ramah, untuk memperlihatkan rekaman cctv di hari aku melihat Paul ada di café-nya. Kubilang padanya kalau Paul adalah pamanku, dan bahwa dia sedang terlibat masalah. Aku menduga orang-orang yang bersamanya saat itu mungkin tahu sesuatu, jadi aku harus menemukan mereka. Mulanya Jorge melihatku ragu-ragu, kemudian seperti tersadar, matanya terbelalak memandangku. "Aku tahu kau!" serunya sambil menudingku. Huh? "Kau pacar baru-nya Jason Marshall 'kan?!" serunya takjub. “Pantas saja rasanya seperti pernah melihatmu.” Sebenarnya aku sedang tak punya waktu untuk bergosip, tapi untuk kali ini kuikuti saja alurnya. "Itu benar." aku memasang senyum sopan di wajahku. Dia menggelengkan kepala takjub. "Aku sungguh terkejut waktu kalian mengadakan konferensi pers. Ternyata selebriti seperti Jason bisa juga kepincut pada seorang gadis yang bukan dari kalangan artis."
Amy juga melihatku. Ia segera mempercepat langkahnya menghampiriku. “Kau pikir apa yang sedang kau lakukan?!” hardiknya. "Kau tidak seharusnya ada di sini, lantai ini khusus para pekerja." Ia berkata tajam. "Ikut aku!" sergahnya kasar sambil menarik pergelangan tanganku, menyeretku berjalan menjauhi lift. Dia menggelandang lenganku menyusuri koridor, melewati deretan kantor-kantor lalu keluar lewat pintu samping yang mengarah ke tangga darurat. “Tunggu, Amy, aku harus bicara pada mereka tentang Jason—” aku mencoba membuatnya berhenti berjalan namun ia sama sekali tak menggubrisku. Amy membawaku keluar pintu darurat lalu menghempaskanku ke pembatas balkonnya. Ia melipat tangannya di depan dada sambil menatapku dengan marah. “Kau tak akan bicara pada siapapun!” ujarnya sengit. Aku memegangi pergelangan tanganku begitu dia melepaskannya. “Serius kau ingin mengulangi hal semacam ini lagi? Ini bukan di SMU, Amy! " aku berkata kesal seraya mengusap
"Kenapa kau tak jadi pemain band saja Dad?" tanyaku seraya mengamati ayahku yang tengah mengutak-atik mesin chevy tua-nya. "Karenaitu tak bisa membayar tagihan sayang." dia berkata sambil tersenyum padaku. "Tolong obeng standar-nya." ia mengulurkan tangan kirinya. Aku meraih obeng dari dalam kotak peralatan lalu menaruhnya ke dalam telapak tangan ayahku. "Lagipula ibumu tak akan pernah mau tinggal bersamaku kalau aku tidak punya pekerjaan sungguhan," gumamnya. "Kenapa tidak? Kau orang paling baik, dan ayah paling keren sedunia!" Dia tertawa pelan. Ayah mengulurkan sebelah tangannya merangkul bahuku seraya mengecup puncak kepalaku. "Itu benar! Pertahankan pemikiran itu Mia. Kau memang fans nomor satu-ku!" "Selalu," sahutku sambil nyengir. "Apapun yang terjadi kau harus ingat, bahwa ayah sangat menyayangimu dan itu tidak akan pernah berubah." ia menatapkudengan mimik serius sebelum berpaling kembali
“Bunganya indah sekali!” Aku memalingkan wajah pada suster jaga. Ia tersenyum sambil memindahkan rangkaian bunga mawar berwarna kuning cerah dari buket ke dalam pot kaca lalu meletakkannya di atas nakas di samping ranjangku. Tadi pagi saat aku kembali dari berjemur di halaman rumah sakit untuk mencari udara segar, kudapati sebuah buket mawar telah bertengger di atas nakas. Ada kartu ucapan di dalamnya, tertulis lekas sembuh, tapi tanpa nama pengirim. Suster itu menyodorkan segelas air minum kepadaku. “Melihat ukuran buket itu jumlahnya mungkin sekitar seratus tangkai. Pacarmu romantis sekali,” komentarnya. Aku hampir tersedak air. “… pastinya,” ujarku terbatuk. Andai dia tahu, kalau memang Jason yang mengirimkan bunga-bunga itu, pasti ia melakukannya cuma untuk pencitraan. “Bagaimana dengan pemeriksaan lanjutannya suster?” aku menahan nyeri saat berpindah posisi duduk. “Bukankah baru besok jadwalnya? Dokter bilang tulangmu tidak retak atau patah, seha