Aku tertawa mendengarnya. "Kalau begitu kenapa kau bicara padaku?" Thomas menggeleng. "Sejujurnya aku tak suka menyerah tanpa perlawanan."
"Kau pemberani," selorohku. “Melakukan segalanya demi melihat Jason terpancing." Ia mengangkat bahu. "Kadang pacarmu sangat menyebalkan,” tukasnya kesal.
Aku memikirkan kata-katanya, lalu berdehem sebelum berbicara. "Dengar, Thomas, aku sangat menghargai kau menghentikan laporanmu atas Jason, sungguh." aku memulai.
"Dan kuharap kau bisa … pelan-pelan melupakan masalah ini." kuamati ekspresinya. Kalau-kalau dia menunjukkan reaksi tak terima. "Aku janji, Jason tak akan pernah melakukannya lagi," ujarku sungguh-sungguh.
Thomas menghela napas sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kau tahu Mia, menurutku kalian berdua mirip salah satu judul buku Dan Brown yang terkenal itu." dia berkata sambil memiringkan kepala menatapku.
"Angel and Demon," ujar Thomas lalu menyeringai lebar. "Apa kau bilang?" terd
Paul sedang duduk berhadapan dengan dua orang pria asing berbadan tinggi besar. Aku menduga mereka adalah orang-orang dari agensi. Meskipun jujur saja penampilan mereka lebih mirip tukang pukul daripada pegawai kantor. Dari raut wajah mereka nampaknya percakapan itu cukup serius. Aku sedang berdebat dengan diriku, antara pergi menyapa Paul atau tidak, mengingat atmosfer di dalam sana sepertinya bakal sedikit canggung, sebelum ponselku tiba-tiba berbunyi. “Ya?" "Apa kau beli sepatunya di Kanada?! Cepat ke sini karena kami sudah menunggu selama dua puluh menit!" Aku memutar bola mata. "Iya, sedang dalam perjalanan. Aku segera—" "Bagus," potong Jason lalu menutup sambungan telepon. Aku mengerutkan kening dengan kesal menatap ponsel di tanganku seolah benda itu yang sudah menyinggungku. Dengan menggerutu aku berjalan kembali menuju restoran. Satu hal yang membenarkan pemikiranku tentang Forestier, saat menginjakkan kaki ke dalam, interior-nya sung
Dia menyukainya… Jason bahkan tidak berusaha menutupi perasaannya kepada Karen. Padahal selama aku mengenalnya dia orang yang tak pernah memperlihatkan ketertarikan terhadap apapun selain pekerjaannya di industri hiburan. Semua yang dilakukan Jason selama ini semata-mata demi eksistensinya sebagai seorang selebriti. Bahkan saat dia berpura-pura pacaran denganku di depan semua orang. Mungkinkah kali ini perasaannya sungguhan? Aku meraba bibirku tanpa sadar. Harusnya dia tidak menciumku ketika sudah ada seorang gadis yang dia sukai, bukan? Mengapa Karen juga menanggapi hal itu begitu santai? Mengapa mereka berdua sepertinya tidak peduli pada kejadian di pesta ulang tahun Jason waktu itu? Jangan-jangan Karen sudah tahu kalau hubungan Jason dan aku cuma rekayasa? Atau … apakah itu karena dia tidak punya perasaan yang sama terhadap Jason? Bagaimanapun Karen gadis yang sangat cantik. Dia ramah dan menyenangkan. Wajar seumpama ada lusinan pria mengan
Pagi ini cuaca kota New York cerah dan hangat. Aku baru saja selesai mengatur pot-pot azalea ibuku di halaman depan rumah, saat menyadari cuacanya terlalu bagus untuk dilewatkan. Tadinya aku berpikir untuk berjemur sebentar di halaman belakang rumah sambil minum sekaleng limun karena hari ini Jason sedang tidak ada jadwal. Namun mendadak dia menghubungiku beberapa saat yang lalu, dan mengatakan ingin pergi ke pelabuhan New York untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh kawannya sesama selebriti, Richard Johnson, di atas kapal pribadinya. Sejujurnya aku belum pernah menumpangi kapal apapun seumur hidupku. Jadi aku cukup bersemangat dengan perjalanan ini. Namun sepertinya tidak semua orang sependapat denganku. Aku melirik Jason yang duduk di kursi penumpang di sebelahku. Sejak kami meninggalkan rumahnya hingga sekarang yang ia lakukan cuma duduk termenung sambil memandang keluar jendela dengan wajah muram. Seolah jiwanya sedang ber
Mustahil… Mereka berdua adalah saudara? Kenapa aku tak pernah mendengar apapun tentang ini sebelumnya? "Mengapa Jason sama sekali tak pernah menyinggung tentangmu?" sahutku heran."Apa dia menyembunyikan hal ini untuk menghindari gosip?" Karen menggelengkan kepalanya. "Tidak, Jason bukan orang seperti itu." Aku menangkap secercah rasa haru di dalam ucapannya. "Dia melakukannya bukan untuk dirinya sendiri, tapi demi aku Mia," jelasnya. Aku mengernyit menatapnya. "Aku tidak mengerti." Karen mengalihkan pandangan dariku, menatap pada hamparan puncak gedung-gedung bertingkat di hadapan kami, matanya terlihat menerawang. "Ayah Jason bertemu dengan ibuku ketika Jason masih sangat kecil, mungkin umurnya baru tiga atau empat tahun saat itu." Karen tertunduk." Ya, ayah Jason berselingkuh dengan ibuku. Jadi kami saudara tiri. " Aku menatapnya dengan mata melebar. Kurasa aku mulai mengerti arah pembi
Jason sedang duduk di salah satu kursi tunggu di depan kamar rawat ayahnya saat kami kembali. Dia langsung berdiri saat melihatku dan Karen. "Apa kata dokter?" tanya Karen cemas. "Kondisi Dad menurun, mereka memberinya obat untuk mengurangi rasa sakit dan juga mengontrol tekanan darahnya agar kondisi ginjalnya tidak semakin parah, tapi dokter tak bisa menjamin berapa lama Dad bisa bertahan dengan obat-obatan sebelum ginjalnya benar-benar mengalami kerusakan permanen." "Ya Tuhan," bisik Karen. Jason melingkarkan tangannya memeluk bahu Karen untuk menenangkannya. "Tadi aku sudah melakukan tes, hasilnya tujuh puluh persen." Karen memandangnya dengan sorot mata penuh harap. "Itu cukup tinggi Jason." Dia mengangguk. "Ya, ini patut dicoba." "Terima kasih." Karen memeluk Jason erat-erat. "Dia juga ayahku, aku tak mungkin membiarkannya meninggal begitu saja." Jason tersenyum menenangkannya. Karen mengangguk sambil mengusa
“Bukannya aku tak mau menemuimu, Matthew. Tapi aku harus menyiapkan makan malam untuk Joe, lalu setelahnya, aku berencana kembali ke rumah sakit.” Joe yang mendengar namanya disebut mendongak dari layar tv dan menatapku penasaran. Ia memberengut kesal saat aku memberinya isyarat untuk segera naik ke kamarnya dan mengerjaan pe-er. “Baiklah… aku mengerti, Mia si perawat nomor satu,” kelakarnya. “Jadi ingat dulu, kau adalah sukarelawan yang paling rajin membesuk anak-anak yayasan, sampai orang-orang sering salah mengira kau sebagai perawat.” Aku tersenyum seraya melepas sepatu lalu menempatkannya di atas rak di dekat ruang tamu. “Soalnya aku sampai bisa membaca monitor segala, gara-gara terlalu sering melihat para suster jaga memeriksa anak-anak waktu itu`.” Matthew tertawa mendengarnya. Entah kenapa aku merasa sebenarnya ada hal yang ingin dikatakannya kepadaku. Aku mengenal Matthew cukup lama sehingga bisa tahu saat ada hal yang sedang menganggunya.
"Apa itu?" Jason bertanya saat melihatku masuk ke dalam kamarnya menenteng gitarku. "Memangnya kau tak bisa mengenali bentuknya?" ujarku sinis. Dia berdecak tak sabaran. "Aku tahu itu gitar, maksudku untuk apa kau membawanya kemari, Mia?" Aku menggantungkan ranselku di kaki ranjang kemudian menarik kursi berlengan yang ada di dekat meja ke samping tempat tidurnya. Aku duduk sambil mendekap gitar yang kutaruh di atas pangkuan. "Hari ini aku akan melatih lagu dari dramaku saja, daripada harus mendengarmu mengomel," ujarku sambil mulai menyetel gitarnya. Jason mengulum senyum. "Apa kau sudah lupa yang terjadi saat terakhir kali kau bernyanyi untukku?" Ia pasti mengacu pada kejadian di atas panggung sewaktu pesta ulang tahunnya. "Diam, Jason. Jangan merusak konsentrasiku, apalagi mood-ku, atau kau akan menyesal," ancamku. Dia tertawa. Aku mengabaikannya lalu memainkan kunci awal untuk mencoba-coba intronya. Sepertinya sudah sesuai.
Malam itu aku mengalami mimpi yang sangat aneh. Kukira sedang berada di sekolah lamaku. Aku mengingatnya, ini adalah gedung gimnasium. Aku dulu sering datang kesini diam-diam saat jam pelajaran sekolah usai, mengambil gitar akustik pemberian ayahku yang kusembunyikan di balik alat-alat kebersihan di dalam gudang, lalu memainkan beberapa lagu yang kusuka. Tidak perlu penonton. Cukup diriku sendiri dan musik sudah membuatku terhanyut.Hingga aku mendengar sesuatu, atau seseorang. Ketika aku menoleh ke arah datangnya suara, ia sepertinya terkejut karena aku menyadari kehadirannya, kemudian ia mundur perlahan, menyelinap ke balik bayang-bayang bangku tribun lalu menghilang keluar dari gedung. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi aku akan mengenali tatapan mata itu di manapun. Jason... Aku mengerang sambil membuka kedua mataku perlahan. Leherku sakit, dan punggungku remuk. Rasanya seperti aku habis melakukan akrobat atau seje
{Mia POV} Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru."Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya. Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar."Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem. Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobilchevy.Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip. "Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe. Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya. "Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub."Kukira dulu&n
Jason memejamkan matanya, terlihat gusar. Namun ketika ia membuka mata dan memandangku lagi, aku menangkap sorot geli di matanya, seolah ia mendapati diri sedang berada dalam situasi yang konyol dan tak terduga. “Tidak juga,” ujarnya. “Itu jawaban yang aneh,” gumamku bingung. “Lantas, untuk apa sebenarnya kunci yang ada di dalam kotak itu, aku tidak mengerti…” Ia merengkuh wajahku lalu menyandarkannya ke dadanya. “Jangan dipikirkan.” Ia menghembuskan napas panjang. “Ceritakan padaku tentang kontrak terbaru Blues, apa kau menerimanya?” Aku menggangguk pelan. “Dengan syarat-syarat seperti yang kau beritahukan kepadaku,” kataku teredam. “Siapa yang menyangka.” aku berkata lirih. Setelah pementasan teater Hemingway’s, lalu OST itu dan sekarang kontrak baru ini…” “Aku menyangkanya, kau yang terlalu memandang rendah dirimu sendiri.” Aku tersenyum di dadanya. “Bagaimana denganmu? Apa syutingnya berjalan lancar?” “Ya, sutradara
{Mia POV} “Kenapa aku tidak melihat ibuku dan Joe, atau Lauren malam ini?” aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling teater Delacorte selagi kami berjalan meninggalkan tribun. “Mereka pergi duluan.” Jason mengangguk kepada sopirnya yang menunggu, pria itu dengan cekatan segera membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk kami. “Aku ditunggu untuk makan malam bersama anggota yang lain,” kataku ketika Jason menggiringku masuk ke mobilnya. "Jean-Pierre mengadakan pesta untuk semua kru dan pemain di Forestier, aku wajib datang." aku mengingatkannya. "Kau tidak akan ke sana," sahut Jason ringan, ada jejak humor dalam suaranya. "Karena kau sedang diculik." *** Aku tertegun saat melihat di mana mobilnya berhenti. Jason tersenyum mengamati ekspresiku. "Kau menyukainya?" Dia membawa kami ke Montreal. Aku tertawa pelan lalu berpaling padanya. "Sepertinya kau
{Mia POV} Dua belas jam sebelum pertunjukan Delacorte “Kau ikut? Aku dan Joe ingin ke Forestier.” ibuku berhenti di ambang pintu kamar saat melihatku masih belum beranjak dari depan meja belajar. “Sebentar,” gumamku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Aku sedang menyelesaikan balasan email yang akan kukirimkan pada Blues Record. Setelah kontrak OST yang terakhir kali mereka mengajukan penawaran lain dan aku memerlukan beberapa detailnya sebelum memutuskan. Kemarin aku telah memberitahu Jason tetang prospek tersebut, dan dia mengusulkan beberapa hal dalam klausul kontraknya bila aku memang ingin kembali bekerja sama dengan label mereka. Jason sangat terperinci. Aku harus bersyukur atas pengalamannya berurusan dengan banyak agensi dan manajemen artis sejak kecil, kini itu membantuku. Sudah satu bulan sejak dia berangkat ke Prancis, dan alih-alih berbicara dan saling menan
{Mia POV} Aku memusatkan pikiran, berusaha menghapal dialog yang sudah kuulangi sekitar seratus kali di kepalaku. Mencoba meredam suara-suara di sekitarku dengan berpikir lebih keras meskipun itu tak terlalu berhasil. Aku masih bisa mendengar Jean-Pierre berseru dengan lantang pada para pemain lain serta kru agar bersiap untuk adegan selanjutnya.Adegan penutup yang menentukan. Ini adalah hari terakhir dari rangkaian pertunjukan teater Hemingway's, "The Winter Snow".Sudah empat hari ini mereka mengadakan pertunjukannya di Delacorte. Bahkan malam ini penonton yang datang semakin membludak. Melihat lagi ke belakang, kupikir ini seperti mukjizat. Sampai sebulan yang lalu, aku masih berada dalam perawatan. Dokter yang memeriksaku secara teratur mengatakan meskipun luka tembak yang kualami tidak mengenai bagian yang vital, tapi trauma lukanya membuat tubuhku sempat sulit merespon obat-obatan.Mereka harus melakukan
{Mia POV} “Aku belum memutuskan apapun.” Jason berkata tenang. Ia mengusap punggung tanganku yang digenggamnya dengan ibu jari. “Aku ingin memberitahumu lebih dulu.” Aku menelan ludah dengan sudah payah. ”Itu tidak ada bedanya, kau tetap harus pergi.” Jason mengalihkan pandangannya diriku, tatapannya menekuri jalinan tangan kami di atas selimut. “Sebenarnya aku memiliki beberapa prioritas.” ia berkata lalu menatapku penuh arti. “… dan kekasih yang memerlukan kehadiranku ada di daftar teratas.” Dia ragu karena aku. Untuk sesaat hatiku diliputi kebahagiaan. Sampai perkataannya tersebut membuatku berpikir ulang tentang banyak kemungkinan, dan apa jadinya bila dia mengabaikan kesempatan dalam hidupnya demi aku. Jason telah melakukan banyak hal untukku, bukan saja mendukung namun dia juga menciptakan kesempatan-kesempatan hingga impianku menjadi penyanyi terwujud. Kesal dan frustasi karena sadar tidak mungkin m
{Mia POV} Aku mengerenyit membayangkan wajah Jason yang muram dilanda kecemasan tatkala menungguiku tidak sadarkan diri berkali-kali. Apa yang dia rasakan saat itu ketika mengira aku mungkin tidak akan selamat. Dan betapa kelamnya perasaan Jason saat itu. "Kupikir aku tak bisa membantahnya," gumamku pelan sambil memeluknya lebih erat."Dalam hal itu kita memiliki pikiran yang sama, Jason." Aku merasakan ia mengangguk di puncak kepalaku. "Bagus, kalau begitu kau tahu, kau tidak akan tampil dalam pertunjukan itu." ia berkata singkat. Aku melepaskan diri lalu mendongak melihatnya. "Apa? Tidak. Ibuku akhirnya tidak lagi menentangku dan dokter bilang aku punya peluang, kau tak bisa mencegahku." “Lagipula aku hanya … hanya bernyanyi, dan melakukan sedikit tarian di atas panggung, itu saja!” Jason memejamkan mata dan mendesah. “Ya Tuhan, “katanya letih. “Sebaiknya kita bicarakan masalah ini lagi nanti
{Jason POV} Malam itu kondisi Mia kembali menurun. Obat-obatan yang diberikan kepadanya tidak bekerja dan luka di punggungnya mengalami pembengkakan. Dia tidak sadarkan diri dan demam tinggi membuatnya mengigau nyaris sepanjang malam. Saat sedang cemas menunggui di luar kamar rawat Mia sementara para dokter menanganinya dalam ruangan isolasi untuk mencegah infeksi yang lebih parah, Emma Summers, ibu Mia menghampiri dan duduk di sampingku. “Transfusi darah baru saja selesai, mereka ingin mengetes Joe juga tapi kukatakan itu tidak perlu, mereka bisa mengambil jumlah darah yang mereka butuhkan diriku.” Aku mengangguk muram. Dia menghela napas panjang. “Saat para polisi menjemputku di bandara dan mengatakan apa yang telah terjadi pada putriku, aku tak bisa memercayainya.” Emma berkata tanpa menatapku. “Waktu itu kupikir mereka pasti salah orang. Bagaimana mungkin Mia, putri kecilku—” kata-katanya tersekat. Wajahnya e
{Jason POV} “Pergilah beristirahat, aku akan menjaga Mia.” aku mendengar Karen berbicara di belakangku, mencoba membujukku untuk yang kesekian kalinya sejak semalam agar mau beranjak dari sisi ranjang Mia. Karen datang setelah Grams dan kakekku pergi. Ia membawakan baju serta beberapa barang yang kuminta padanya, dan berkata dengan nada khawatir bila aku pasti juga butuh ditemani. Aku hanya membutuhkan satu hal. Aku menggenggam jemari Mia dengan kedua tangan dan menyurukkannya ke bawah dagu, mengamati matanya yang terpejam. “Apa yang terjadi setelah berita kecelakaanku di Meksiko waktu itu?” “Menurutmu?” sahut Karen heran. “Mia menunggumu pulang, Jason. Dia berharap kau akan datang, dan memberinya pelukan hangat di hari ulang tahunnya.” “Tapi kau memberinya bom, menghancurkannya berkeping-keping karena berita kematianmu,” ujarnya murung. Aku mengulurkan tangan untuk menyapu sejumput r