Lunar bangkit dari sana dengan yakin. "Aku sangat lelah hari ini. Sebaiknya kita bicara lagi besok. Apa kau akan tetap tidur di sofa?" Arkan ingin membantah, tetapi tidak bisa karena alasan itu mutlak. Mereka baru pulang dari perjalanan jauh dan memerlukan istirahat, apalagi selama di kamar hotel banyak tenaga yang mereka kerahkan untuk saling memuaskan satu sama lain. Dia menoleh ke arah lain dan memejamkan mata sebagai jawaban. Jika Lunar membutuhkan ketenangan, maka dia juga membutuhkannya. Bayangan Lunar dan Nico masih terus membuat pikirannya berlarian tanpa henti. Lebih baik jika mereka tidak berada dekat untuk membuatnya tenang. Lunar yang menyimpulkan sikap acuh sebagai penolakan pun tidak lagi berkata-kata. Dia langsung berbaring di ranjang, lalu membenamkan diri dalam selimut. Dia membelakangi Arkan yang berada jauh darinya. Lunar membayangkan kembali apa yang terjadi saat mengunjungi Sora. Tadi adalah pertengkaran emosional di antara sesama saudara. Sora berkata kalau se
Lunar hanya diam saja memperhatikan. Setelah itu, dia turun dari mobil dan lambat-lambat berjalan menghampiri. Sora tampaknya menyadari ada orang selain dirinya di sana sehingga mereka langsung bertemu tatap. Dia tersenyum, tetapi kakaknya langsung berpaling. "Mari kita bicarakan baik-baik mengenai masalah tadi malam," ucap Lunar. Sora mengembuskan napas panjang. "Baiklah. Mari kita bicarakan baik-baik." Lunar mengambil napas dalam-dalam, mengeluarkannya perlahan, dan berkata, "Kehidupanku tidak sebaik yang kau kira. Mungkin, kau berpikir kalau aku sangat senang dengan apa yang aku miliki sekarang. Suami yang muda, tampan, dan kaya raya. Aku bahkan diselingkuhi di hari pernikahanku." Nico yang dilirik tampaknya mendengar kalimat barusan, langsung mengalihkan pandangan seketika. Pria pengkhianat itu memberi jarak agar kakak beradik bisa berbicara dengan bebas. Lunar menatap kakaknya kembali dengan yakin setelah diam beberapa saat lamanya. "Ya, mungkin aku sedikit lebih baik darimu.
Mereka tiba di sebuah restoran yang berada jauh dari pusat kota. Lebih tepatnya, restoran ini berada di jalan persinggahan. Sengaja mereka memilih tempat itu agar jauh dari tatapan mata yang mungkin akan mengetahui siapa Lunar. "Aku benar-benar minta maaf padamu mengenai pernikahan kita." "Jangan membahasnya lagi." Lunar tidak ingin mendengarkan masalah yang telah membawa dirinya pada kerumitan hidup. Dia saat ini sedang ingin mengatasi kesedihannya tentang Arkan, bukan untuk menambah kesedihannya dengan kejadian lalu. "Aku baru tahu kalau di sini terdapat restoran bagus untuk beristirahat," ucap Lunar sembari terkesima memandangi sekeliling. "Terkadang aku mampir ke mari untuk beristirahat dari perjalanan bisnis." Lunar menganggukkan kepala sambil mengurai senyuman. Dia hampir saja lupa kalau pria yang akan menikahinya ini adalah seorang pria kaya juga. Namun, dia baru tahu kalau Nico tidak memiliki masalah jika berada di lingkungan sederhana begini. "Kau ingin berkeliling sebe
"Apa? Piknik?" Suara Arkan seolah sedang tidak habis pikir dengan apa yang diucapkan barusan. "Jadi, itu hal penting yang kau maksud?" Lunar menganggukkan kepala. "Aku ingin pergi ke tempat yang jauh bersamamu." "Bersamaku?" "Ya. Hanya kita berdua." Tidak mendengar jawaban membuat Lunar kembali berkata, "Apa ... tidak bisa? Kau memiliki jadwal pada saat itu? Atau, kau akan pergi bersama Raya?" "Tidak. Aku hanya berpikir kalau kita akan pergi berdua saja." "Kau tidak suka?" "Aku sangat suka. Tapi ke mana tempat jauh yang kau maksud?" *** Seperti rencana yang telah disusun oleh Lunar, mereka pergi piknik ke suatu daerah. Tempat piknik itu sangat tinggi dan melelahkan. Arkan saja rasanya tidak sanggup untuk melanjutkan perjalanan mereka. Lunar menolehkan kepala dan senyumannya kian mengembang. "Sebentar lagi kita akan sampai. Ayo, cepat!" "Orang-orang akan duduk di atas karpet dengan sajian makanan sambil menikmati keindahan alam. Tapi piknik ini jauh berbeda dari bayanganku,"
Tidak adanya respons membuat Rian menoleh. Dia sangat terkejut dengan pemandangan yang dilihat. Napasnya dihela singkat dengan mata yang tidak lagi mengarah pada tubuh Arkan, lambat-lambat dia memutarkan tubuh pula. Mandi bersama pria tidak seharusnya membuat dia khawatir. "Dia sangat jutek, bahkan setelah kami bertahun menikah. Untuk itu aku membawanya mendaki agar aku bisa mengungkapkan perasaan padanya. Aku rasa ... dia tidak cukup puas denganku." Rian menyambung perkataannya. Kini Arkan yang menghela napas singkat. Dia melirik ke bawah, menilai sesuatu yang bertumpu di sana. "Apa kau berpikir kalau istrimu tidak puas dengan ukuranmu? Hey, Bro! Itu sudah cukup besar. Mungkin ada hal lain yang membuat istrimu bersikap dingin. Coba bicarakan baik-baik padanya." "Benarkah?" Arkan meletakkan sabun di tepi bak mandi. "Lunar adalah wanita yang baik, tapi kadang kala membuatku kesal dengan sikapnya. Dia sangat cerewet untuk hal-hal tertentu. Kami akan bertengkar untuk sesuatu yang keci
"Ibu, Royal Grey adalah perusahaan besar. Sudah pasti jika Arkan sangat sibuk. Lagi pula, kita mengabari secara mendadak," ucap Sora. "Apa maksudmu kita harus membuat jadwal pertemuan terlebih dahulu baru bisa bertemu? Bagaimana bisa pada keluarga sendiri begitu?" "Sudahlah, Ibu. Ayo kita rayakan saja ulang tahunku." Mereka merayakan hari ulang tahun dengan gembira. Kebersamaan itu adalah apa yang dirindukan Lunar selama berada jauh dari keluarganya. Momen ini adalah penantian panjang yang sangat berharga. Usai pesta kecil-kecilan itu semua orang tertidur kecuali Lunar. Selain itu, Nico juga masih terbuka lebar matanya. Sekarang sudah sangat malam dan sebaiknya dia mengantarkan Nico keluar sebelum waktu semakin larut. "Aku ingin bercerita banyak denganmu, tapi waktu sepertinya tidak mengizinkan. Apa kita bisa bertemu lagi setelah ini?" Lunar menganggukkan kepala. "Jika waktu mengizinkan." Nico tersenyum tipis. "Selamat malam, Lunar. Aku berharap kau memimpikanku." Lunar tidak m
Mobil hitam baru saja parkir di depan gedung apartemen. Arkan mengunjungi tempat tinggalnya itu berharap bisa bertemu dengan Lunar. Biar bagaimana pun mereka perlu bicara sebelum benar-benar berpisah. Dia memanggil dan mencari-cari keberadaan Lunar. Semua barang tertata rapi seperti biasa. Dia tidak melihat kalau ada barang yang dibawa. Apa wanita itu tidak kembali setelah dia berbicara dengan orangtuanya Lunar? Arkan duduk di tangga, lalu mengeluarkan ponsel. Dia mencoba untuk menghubungi Lunar, akan tetapi tidak terhubung sama sekali. Bisa dikatakan kalau nomor yang dia hubungi tidak terdaftar. Sepertinya Lunar mengganti nomor. Tepat pada saat itu pintu apartemen terbuka. Harapannya untuk bertemu Lunar bangkit. Dia menghamburkan diri untuk segera bertemu dengan wajah yang ada di dalam ingatan. Benar saja kalau Lunar memang ada di hadapan. Dia tidak mimpi kalau mereka akan bertemu kembali. Tadi hampir saja dia kehilangan akal bagaimana cara agar mereka bisa saling berbicara. Dia t
Arkan tersenyum. "Ceritanya sangat panjang. Ayo, turun. Aku tidak punya banyak waktu." Keluar dari gunung, mereka yang biasanya berbeda arah, kali ini Rian berniat untuk menumpang. Arkan tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka berpisah saat Rian sampai di tujuan. Di sana terdapat sebuah pasar kecil yang menjual banyak barang dan bahan makanan. Orang-orang di sana menyebutnya sebagai pasar tradisional. Rian menutup pintu kabin, lalu dia berkata, "Istriku menginginkan sesuatu dari pasar ini. Jadi, aku akan pergi membelinya." "Hari-harimu sebagai ayah pasti sangat sulit." Rian tersenyum. "Sulit dan menyenangkan. Ah! Jika kau mendaki gunung, untuk selanjutnya mungkin kau tidak akan melihatku. Aku harus menemani istriku mengurus bayi kecil kami." Arkan menganggukkan kepala. "Apa kau yakin akan pulang sendiri dari sini? Aku bisa mengantarkanmu." "Terima kasih. Tapi tidak perlu. Aku akan lama di pasar," ucap Rian sambil terus melangkah mundur. Dia melambaikan tangan sebelum membalikkan b
Lunar berubah pikiran. Dia membalikkan badan, kemudian dia menjewer telinga Arkan dan menyeret suaminya itu pergi bersamanya. Berbeda dengan Raya yang tidak ingin melihat Sekretaris Ham. Dua wanita itu memilih untuk membiarkan mereka tidur terpisah dengan sang suami. Sebelum pergi ke penginapan, Lunar sempat memarahi para wanita yang tidak memulangkan putrinya, padahal sudah jelas mereka terpisah. Para wanita itu merasa bersalah, tetapi dia juga menyalahkan Lunar yang lalai mengawasi anak. Mereka berdebat panjang dan dilerai oleh penjaga pantai. Penjaga pantai berkata akan memberikan pengarahan pada para wanita itu agar ke depannya tidak terjadi hal yang sama. Dia juga memohon agar Lunar tetap memperhatikan anaknya selama di pantai. Kasus kehilangan Elya selesai sampai di sana. Sekarang beralih pada kasus kedua di mana Arkan dan Sekretaris Ham harus berusaha keras untuk membujuk istri mereka supaya tidak marah lagi. Namun, tidak mudah seperti yang dibayangkan. Dalam satu lorong, Ar
Sesampainya di pantai, sungguh di luar dugaan melihat Lunar memakai handuk di tengah hawa yang panas ini. Wanita itu sepertinya akan masak, ditambah keringat yang terlihat sangat banyak. "Lunar, kau tidak kepanasan?" tanya Raya. Dia saja harus beradu argumen dengan suaminya sebelum berangkat, lalu mendapatkan toleransi untuk mengenakan pakaian yang memperlihatkan perutnya. Lunar menurunkan kacamata hitamnya, lalu menemukan pasangan yang sudah menikah baru saja datang. Mereka memang berada di bawah payung lebar, tapi hawa panas masih jelas terasa di tepi pantai. "Tanyakan saja pada Arkan." Arkan tersenyum dengan bangga karena dia sudah berhasil melindungi sang istri dari mata para pria. Dia memang sensitif soal pakaian wanita, saat bersama Raya menoleransinya sebagai pekerjaan, meskipun mereka juga sempat berdebat sebelumnya. Ternyata ada yang lebih parah dari Sekretaris Ham. "Kami rasa tidak perlu menanyakannya lagi," ucap Raya, dibenarkan oleh Sekretaris Ham, karena mereka tentu
Sekretaris Ham membuka bagasi mobil, meletakkan koper. Tidak lama setelah itu, Raya muncul penuh semangat dengan topi pantainya dan gaun di bawah lutut yang tampak santai. Raya berputar, membuat gaunnya mengembang. Saat itu, Sekretaris Ham segera berlutut untuk menutupnya. Dia tidak ingin orang lain melihat aset berharganya. Tahu akan hal itu, Raya langsung berhenti, menatap Sekretaris Ham yang berlutut sambil memegangi gaunnya. "Kau ini sedang apa?" Sekretaris Ham mengembuskan napas, lalu berdiri. "Orang lain akan melihat celana dalammu jika kau berputar begitu." Raya berpikir sesaat, lalu berkata, "Kita akan ke pantai, Sayang. Hal seperti ini bukan rahasia umum lagi. Kau juga akan melihat para wanita mengenakan bikini dan berjalan saat kau berselonjor. Jangan berpikir seperti orang lama, karena zaman sudah berkembang. Ok?" Sekretaris Ham menggelengkan kepala. "Berapa kali pun aku memikirkannya, itu tetap tidak benar. Aku tidak ingin tubuh istriku dilihat oleh pria lain." Sekre
Sekretaris Ham begitu gugup, tidak pernah membayangkan kalau dia akan mencapai sesuatu yang bahkan rasanya mustahil. Dia akan menikah dengan wanita yang hanya disukainya secara diam-diam selama hitungan tahun. Selain itu, Raya bagaikan permata yang tidak semua orang dapat miliki. Dia beruntung. "Ternyata kau berkhianat di belakangku selama ini." Sekretaris Ham menolehkan kepala, menemukan Arkan datang bersama Lunar dengan perut besar dan juga seorang anak perempuan. Gadis mungil yang tersenyum cerah padanya adalah anak pertama bosnya, sedangkan Lunar sedang hamil anak kedua sekarang. "Kau diam-diam menyukai Raya di belakangku ketika kami masih menjalin hubungan. Kenapa aku tidak mengetahuinya sama sekali, ya? Dan sekarang kau mengambil kesempatan di saat aku sudah melepaskannya. Kata apa yang baik untuk menyebutkan tindakanmu? Pengkhianatan?" "Anda juga berkhianat di belakang nona Raya dan perlu saya tegaskan kalau saya tidak merebutnya, jadi saya tidak berkhianat pada bos sendiri.
Sekretaris Ham kesulitan membawa barang-barang dalam jumlah yang sangat banyak. Dia tidak mengeluh soal itu, karena semua demi wanita pujaan hati. Langka sekali melihat Raya bisa berekspresi dengan bebas seperti sekarang. Setelah menyatakan perasaan pada Raya, mereka jadi sering jalan bersama. Pastinya selesai Sekretaris Ham bekerja dan tidak jarang mencuri kesempatan untuk bertemu. Perusahaan seperti ditebarkan bunga-bunga setiap hari, karena baik Arkan mau pun Sekretaris Ham tidak berhenti memikirkan seorang wanita di benak masing-masing. Pekerjaan jadi lebih cepat prosesnya ketika mengharapkan waktu yang banyak untuk pertemuan dengan kekasih hati. "Sekretaris Ham, bagaimana menurutmu yang ini?" Sekretaris Ham memperhatikan bagaimana indahnya kaki Raya saat mengenakan high heels. Tentu bukan hanya sekali dia memperhatikan hal itu, siapa saja akan mengatakan kalau Raya sangat cantik dengan kulit bersih bersinarnya. "Cantik," ucap Sekretaris Ham. Namun, komentar itu tidak membuat
Suara gerakan di atas ranjang berpadu dengan desahan yang begitu panjang. Tubuh mereka sudah dipenuhi keringat yang banyak. Percintaan sudah dilakukan berulang kali, tetapi rasanya mereka tidak pernah puas untuk saling memiliki. "Pelan-pelan," ucap Lunar dengan suara lirih. Mau tidak mau, Arkan harus melambatkan gerakannya. Dia sudah terbakar oleh hasrat dan tanpa sadar berbuat lebih dalam kondisi kehamilan istrinya. Meskipun intensitasnya pelan, tetapi dia terus mengerang. "Aku terpikirkan seafood saat ini." Lunar berkata dengan wajah yang sudah merona merah dan jeritan tertahan. Seketika suara riuh di dalam kamar terhenti. Arkan beringsut ke samping hingga terlentang. Tadi dia merasakan semangat yang luar biasa akan percintaan mereka, tetapi perkataan Lunar membuat dirinya seolah diguyur air dingin pada malam itu. Arkan melirik jam dinding sambil menghela napas panjang. "Ini sudah lewat tengah malam. Di mana aku akan menemukan seafood?" Lunar mencebik. "Aku menginginkannya seka
"Ini laporan keuangan beberapa bulan terakhir, Sir Arkan." Arkan meraih map berwarna biru gelap itu, lalu membuka lembaran di dalamnya. Dia mengusap bibir sembari membaca isinya dengan saksama. Tidak lama kemudian, dia menyelesaikan urusan membaca, lalu dia meletakkannya di meja. "Kerja bagus." Lunar mengerutkan dahi, merasa aneh lantaran laporan yang dia berikan dibaca begitu cepat, padahal butuh waktu lama baginya menyelesaikan laporan tersebut. "Apa Anda benar-benar membacanya?" Arkan menghampiri istrinya. Dia bersandar di tepi meja dan merangkul pinggang Lunar dengan lembut. "Tidak perlu bersikap formal padaku saat kita sedang berdua saja. Semua orang tahu kalau kau adalah istriku." Dia menyandarkan kepala di dada sang istri. "Baiklah, Arkan. Sekarang lepaskan aku. Jam kerja masih belum usai." Arkan cemberut kesal. Dia menengadahkan kepala tanpa membuat mereka menjauh. "Aku harus menemui klien nanti. Kita tidak bisa makan siang bersama." Lunar mengusap kepala suaminya lamba
Sekretaris Ham baru sadar dengan apa yang dia lakukan, memegangi kedua bahu Raya dan menatap mata wanita itu begitu dekat. Dia terbawa suasana setelah tadi begitu emosional, lantas membuat dia menarik diri untuk duduk di kursinya kembali. “M—maaf. Saya tidak bermaksud melakukan hal itu pada Anda. Hanya saja, perkataan saya serius bahwa saya tidak ingin Anda pergi menemui Sir Arkan.” “Itu tidak akan terjadi hari ini. Kau tenang saja. Aku perlu melakukan pemotretan dan sekarang sudah hampir waktunya. Kau bisa melajukan mobilnya kembali.” Sekretaris Ham menuruti keinginan Raya. Dia mengantarkan wanita itu menuju studio. Mereka berpisah dalam keadaan yang buruk, karena masing-masing merasa bahwa tadi adalah sikap paling emosional yang pernah diperlihatkan oleh mereka. Sejauh ini, mereka selalu bersenang-senang dan sekarang rasanya cukup janggal. Raya melirik mobil yang dikendarai Sekretaris Ham pergi begitu saja. “Ada apa dengannya? Kenapa begitu emosional? Aku hanya ingin bertemu, lal
Sekretaris Ham menawarkan diri untuk mengantarkan Raya ke studio. Dia sangat senang, karena Raya tidak menolak tawarannya. Apa bisa dikatakan kalau hubungan mereka semakin dekat? Di berniat untuk memberitahukan soal perasaannya, nanti ketika waktunya sudah tepat. Untuk sekarang, dia akan fokus dengan jalinan hubungan yang seperti ini ketimbang terburu-buru mendapatkan Raya. "Anda akan melakukan pemotretan dengan konsep apa hari ini?" "Hmm, mereka menyiapkan konsep peri di hutan. Ini adalah tayangan untuk sebuah iklan shampo." "Oh, Anda mendapatkan tawaran iklan sekarang?" "Aku selalu mendapatkannya, tapi jadwal yang padat membuat manajerku harus menolak banyak tawaran. Semua itu tidak mudah, karena kami harus memilah pekerjaan mana yang rasanya bisa diambil." "Anda memang sangat hebat. Fakta bahwa wanita karier yang sukses di samping saya membuat perasaan saya menjadi bangga." Raya tersenyum, berpikir untuk beberapa lama, kemudian berkata, "Jarang ada yang bangga padaku, karena