Hujan masih saja turun meski tidak sederas sore tadi. Nesia hanya duduk diam di jok depan, samping Vino yang sedang mengemudi dengan gelisah dan wajah penuh rasa bersalah. Sejujurnya Vino merasa tak enak hati karena ucapan ibunya yang begitu pedas pada Nesia. Tapi Vino juga tak bisa menyalahkan ibunya yang memang selalu memasang targetnya dengan tinggi.
“Andai saja kamu tidak mengatakan bahwa kamu berasal dari panti asuhan, mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini, Nes,” ujar Vino dengan suara rendah.
Nesia terdiam. Sakit hati yang dirasakannya malah membuatnya tak bisa menangis. Hatinya kosong.
“Setidaknya aku ingin sebuah hubungan yang tidak dimulai dengan kebohongan, Bang.” Nesia menjawab dengan datar. Tatapan matanya kosong menatap jalanan yang basah dan menguapkan aroma anyir.
“Setidaknya kita bisa sedikit punya waktu untuk menjelaskan pelan-pelan sama ibu,” ujar Vino lagi, seolah menyalahkan kejujuran Nesia.
Nesia menghembuskan napas berat.
“Mungkin memang seharusnya seperti ini, Bang. Kita tidak seharusnya bersama,” ujar Nesia menoleh sekilas pada Vino yang sedang menyetir.
“Nes? Apa maksudmu?” tanya Vino panik.
Nesia menoleh, menatap Vino. Saat ini mobil Vino sudah berhenti di halaman depan kontrakan Nesia.
“Mungkin putus adalah jalan terbaik untuk kita tempuh, Bang,” ujar Nesia dengan suara lirih. Terdengar jelas getaran dalam nada suaranya.
“Nes? Semudah itu kamu bilang putus? Setelah sekian waktu kita bersama?” tanya Vino dengan suara tinggi.
“Tapi keluarga Abang tidak bisa menerima saya.” Nesia menjawab jelas.
“Dan kamu menyerah?” tanya Vino geram.
“Ini bukan soal menyerah atau tetap melangkah. Saya tahu diri untuk tidak terlalu tinggi menggantungkan mimpi, Bang. Saya juga tak mau keberadaan saya mempersulit kehidupan Abang,” ujar Nesia lebih lanjut.
“Tapi kita bisa menghadapi kesulitan ini bersama jika kita mau, Nes?” ujar Vino seakan tak ingin menerima keputusan Nesia.
“Abang pikir aku mau menyerah? Tidak, Bang. Aku juga ingin menjalin hubungan dengan orang yang aku sayangi. Tapi aku juga tak mau menjalin hubungan dengan kebohingan mengenai asal usulku.” Air mata Nesia mulai merebak tak bisa dicegah.
“Nes, Abang minta maaf jika kalimat ibu menyakiti hatimu. Tapi tolong mengertilah, ibu melakukan semua itu karena beliau menyayangi Abang. Beliau ingin yang terbaik buat Abang,” Vino mencoba menengahi ketidakcocokan antara Nesia dengan ibunya.
“Dan yang jelas saya bukan perempuan yang terbaik untuk Abang. Apakah benar seperti itu?” tanya Nesia meatap tajam mata Vino dengan air mata yang mulai mengalir.
Vino menggeleng tegas dan bingung bagaimana menjelaskannya pada Nesia bahwa bukan itu maksud kalimat yang diucapkannya.
“Bukan seperti itu, Nes. Please, jangan salah paham! Abang rasa setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Ibu bersikap seperti itu karena ibu belum mengenal kamu dengan baik, Nes. Kamu juga belum mengenal ibu dengan baik. Jadi Abang rasa ini hanya sebuah kesalahpahaman karena kalian belum saling mengenal dengan baik,” Vino mencoba menjelaskan dengan baik agar Nesia tidak salah paham. Bagaimanapiun, Vino terlanjur menyayangi Nesia karena dia tahu siapa dan bagaimana Nesia.
“Tapi bagaimana saya bisa mengenal ibu dengan baik kalau beliau sudah begitu defensif sama saya, Bang?” tanya Nesia menatap Vino.
Vino diam.
“Apakah kamu tidak bisa bersabar menunggu waktu yang tepat, Nes?” tanya Vino dengan suara memohon.
“Ini bukan masalah kesabaran, Bang. Ini tentang sebuah penerimaan. Apalagi ibu sudah bilang, kan, sampai kapanpun tak akan menerima saya sebagai menantunya?” tanya Nesia dengan pasrah.
“Tapi kita masih tetap bisa berusaha, Nes. Abang sayang sama kamu. Abang nggak mau kehilangan kamu, Nes. Kita sudah menjalin hubungan lama. Apa kamu mau semuanya berakhir begitu saja tanpa perjuangan?” tanya Vino.
“Tapi perjuangan kita tidak mudah, Bang. Dan mungkin saya tak akan sanggup,” ujar Nesia.
“Kamu menyerah?” tanya Vino putus asa.
“Apakah saya punya pilihan lain selain mundur?” tanya Nesia.
Vino diam.
***
“Lho, Nes? Kok tumben berangkatnya pagi banget?” tanya Tita ketika pagi ini dia melihat Nesia sudah siap berangkat bekerja.
Nesia dan Tita memang tinggal di kontrakan yang sama bersama dengan para penghuni yang lain.
“Iya, Ta. Hari ini ada pernikahan di gedung Martha. Kami harus mempersiapkan lebih baik karena ini pernikahan orang kaya dengan seorang model kabarnya,” jawab Nesia.
Padahal Nesia jelas berbohong mengapa harus berangkat pagi. Meski tidak semuanya bohong karena hari ini memang ada pernikahan di gedung tempat Nesia bekerja. Dan Nesia sebagai karyawan tidak tetap gedung itu juga harus berperan aktif di dalam persiapannya.
“Berangkat sendiri? Biasanya dijemput Vino?” tanya Tita.
“Nggak, Ta. Aku buru-buru,” jawab Nesia yang langsung keluar dari tempat kostnya menuju ke jalan raya untuk mencari angkot yang akan membawanya menuju ke gedung Martha Hall.
Sampai di Martha Hall, suasana sudah sangat ramai, meski perhelatan dilakukan nanti siang. Berbagai macam bunga papan ucapan selamat terpajang di depan gedung dan sepanjang jalan menuju arah gedung. Bunga-bunga dan hiasan mewah lainnya sudah terpasang rapi sejak semalam. Kursi juga tersusun rapi sebagai antisipasi karena di dalam gedung sudah tersedia banyak kursi yang rapi.
“Remy dan Dona? Namanya bagus,” gumam Nesia begitu dia turun dari angkot dan berjalan menyusuri jalan ke arah Martha Hall.
Sekilas lalu Nesia juga melihat foto prewedding yang dipajang di beberapa tempat. Dalam hati Nesia mengagumi kecantikan si calon pengantin. Lalu matanya beralih menatap calon pengantin laki-lakinya. Dan Nesia tak heran melihat kalau pengantin perempuannya secantik itu, karena pengantin laki-lakinya juga sangat mempesona.
“Nes, ayo buruan. Nanti Bu Nita marah kalau kita tidak gesit bekerja,” ujar seseorang yang tiba-tiba menyeret tangan Nesia untuk segera memasuki sisi gedung untuk ikut mempersiapkan segala sesuatunya.
“Memangnya bu Nita sudah datang, Nur?” tanya Nesia pada Nurma, teman satu profesi dengannya.
“Sudah sejak subuh tadi beliau sampai di sini,” jawab Nurma.
“Sejak subuh?” tanya Nesia dengan langkah bergegas.
“Ya, makanya kita harus segera bergabung dengan mereka atau kita akan dipecat karena tidak bekerja dengan gesit. Tahu, kan? Bu Nita ingin semuanya berjalan sempurna?” ujar Nurma.
Dan benar saja, begitu mereka tiba di sana, ternyata sudah banyak karyawan Martha Hall yang sudah datang dan memulai pekerjaannya. Sebagai pemilik gedung sekaligus wedding organizer, bu Nita sudah memiliki reputasi bagus dalam melayani klien. Apalagi beberapa waktu lalu, saat briefing, beliau sudah bilang bahwa ini perhelatan istimewa. Makanya semua harus dipersiapkan dengan istimewa.
Setelah meletakkan tas tangannya di kapstok miliknya, Nesia segera bergabung dengan karywawan yang lain untuk mempersiapkan perhelatan hari ini.
“Mereka yang bahagia, tapi kita yang repot, ya, Nur,” bisik Nesia berbisik pada Nurma dengan senyum geli.
“Itu enaknya jadi orang kaya, Nes.” Nurma menjawab santai kemudian ikut bekerja.
“Kita kapan kaya, ya, Nur?” tanya Nesia iseng.
“Mari bermimpi, Nes,” jawab Nurma dengan senyum geli.
Kesibukan terus berlangsung hingga siang dan semuanya selesai. Tamu undangan sepertinya sudah mulai memadati ruangan. Sebelum acara besar dimulai, seluruh karyawan disuruh untuk makan siang dulu karena ketika acara dimulai maka semua akan semakin sibuk.
“Aku ke belakang sebentar, ya. Nur. Kamu makan saja dulu,” ujar Nesia pamit pada Nurma untuk ke belakang.
“Jangan lama-lama. Waktu makan siang kita terbatas,” pesan Nurma.
Nesia mengangguk dan bergegas ke belakang. Setelah usai, dia keluar hendak makan dengan yang lain. Namun, dua orang laki-laki dengan pakaian safari dan menggunakan masker yang menutupi wajah mereka tiba-tiba mencekal Nesia membuat gadis itu panik.
“Pak, apa-apaan ini?” protes Nesia.
“Sebaiknya Anda ikut dengan kami, atau kami akan membunuh Anda di sini?” ancam salah seorang diantara mereka.
Jantung Nesia bagai berhenti berdetak.
***
Jantung Nesia seketika berdetak menggelepar oleh rasa takut karena ancaman yang dilontarkan oleh dua laki-laki tinggi besar serupa bodyguard itu.‘Siapa dua orang ini? Mengapa dia mengancamku seperti ini? Apakah mafia-mafia yang di film itu benar-benar ada?Apa salahku sehingga harus berurusan dengan mereka?’ Nesia masih saja bertanya-tanya dalam hati. Jantungnya menggelepar, tangannya mendadak basah oleh keringat. Ketakutan semakin kuat melanda jiwanya.“Apa? Membunuh saya? Memangnya salah saya apa?” tanya Nesia keras, berharap ada yang melihatnya.Namun semua orang sepertinya sedang fokus di depan dan juga ruang karyawan sehingga tak ada yang melihat bahwa Nesia sedang dalam bahaya.“Sebaiknya Anda tidak melawan!” tegas yang satunya lagi.“Tapi, Pak?” protes Nesia. Gadis itu menggeleng tegas, menolak tekanan yang tak masuk akal ini.Namun, protes Nesia seketika berhenti ketika salah seorang dari mereka mengeluarkan pistol yang terselip di pinggangnya dan menempelkannya pada pinggang
Tak ingin melihat keterkejutan Nesia yang sangat tidak elegan itu, Remy —calon mempelai laki-laki hari ini— segera mencengkeram lengan atas Nesia dan memaksanya berjalan menuju ke aula utama Martha Hall untuk melakukan prosesi pernikahan, seperti yang dikatakan oleh laki-laki itu beberapa menit lalu.‘Pernikahan?’ tanya Nesia dalam hati dengan bingung. Dia segera mencubit lengannya sendiri hanya untuk meyakinkan dirinya bahwa dia tidak sedang berhalusinasi karena kegagalannya menjalin hubungan serius dengan Vino, tadi malam.Beberapa bridesmaid juga sudah berjajar rapi dengan pakaian seragamnya yang terlihat sangat elegan, juga beberapa laki-laki yang berseragam semuanya sudah berjajar rapi di sisi kiri dan kanan liring menuju ke aula utama.Sungguh, Nesia ingin melepaskan dirinya dari cengkeraman tangan lelaki itu. Namun, jelas itu tak mudah dilakukannya. Karena selain cengkeraman laki-laki itu begitu kuat di lengannya, juga karena adanya beberapa penjaga yang berjalan siaga di belak
Suasana terasa sangat hening ketika Nesia membuka matanya. Orientasinya masih belum pulih sepenuhnya karena rasa pening yang masih dirasakan di kepalanya. Gadis itu mengedarkan matanya dan mendapati suasana kamar yang serba hijau muda. Nesia mengumpulkan kesadaran dan ingatannya dengan susah payah dan menyadari bahwa ini bukan kamar kontrakannya yang minimalis dengan car putihnya yang mulai kelabu itu.Nesia kembali melihat-lihat. Sebuah tiang infus berikut botolnya kini menjadi fokusnya. Matanya terus menelusuri arah selang infusnya yang ternyata berujung di tangannya. Nesia terkejut.‘Selang infus? Apa yang terjadi?’ pikir Nesia masih bingung.Kemudian deheman terdengar di ruangan itu, membuat Nesia spontan mengalihkan tatapan matanya pada sumber suara. Dan di ujung ruangan ini, di sofa yang ada di sudut ruangan, Nesia melihat ada dua orang laki-laki dengan ketampanan yang sempurna saling duduk dalam jarak terukur, dan sama-sama terdiam.Nesia terkejut karena kedua laki-laki rupawan
Lukas tersenyum mendengar pertanyaan Nesia yang dibarengi dengan raut wajah penuh rasa ingin tahu yang tajam. Lukas diam sejenak, memilih kata yang paling tepat untuk menjelaskan apa yang telah mereka lakukan untuk Nesia, tanpa sepengetahuan perempuan ini.“Sebelumnya, atas nama Tuan Remy saya meminta maaf jika telah melakukan hal yang mungkin tidak Nona sukai.” Lukas memulai kalimatnya dengan hati-hati agar tidak ada kesalahpahaman.“Tuan Lukas, bisakah Anda sedikit singkat menjelaskannya?” tukas Nesia kesal.“Oke. Jadi memang tuan Remy sudah memerintahkan kepada kami, para staf beliau, untuk mengurus surat pengunduran diri Anda dari Martha Hall.” Lukas menjelaskan.“Apa?! Kalian benar-benar melakukan hal gila ini? Eh, Tuan Lukas. Apa yang sudah kalian lakukan hari ini dengan pernikahan pura-pura itu sudah merampas hak makan siang saya. Lalu kalian kembali merenggut saya dari pekerjaan saya? Anda tahu tidak, hidup saya bergantung sepenuhnya pada pekerjaan ini?” tanya Nesia dengan tan
Sejenak Remy tersenyum mendengar pertanyaan dokter Ilham.“Mau tak mau, saya harus membawanya pulang ke rumah saya, Om. Untuk menjaga reputasi saya di mata relasi saya dan juga untuk membungkam mulut perempuan itu. Siapa tahu di balik penampilannya yang polos dan sok galak itu dia akan mengumbar berita bahwa dia hanya pengantin pengganti kemudian memerasku,” ujar Remy.Dokter Ilham tersenyum.“Kalau dilihat dari anaknya sepertinya dia tidak seperti itu,” ujar dokter Ilham.“Kita tidak bisa menyimpulkan dengan sembarangan, Om. Karena Dona yang kukenal selama ini juga ternyata tidak bisa ditebak isi hatinya, kan? Apalagi ini yang baru kutemui hari ini. Sepertinya aku tetap harus waspada dengan makhluk berjenis perempuan,” ujar Remy sedikit defensif.Dokter Ilham hanya tersenyum kemudian menepuk bahu Remy yang jauh lebih tinggi.“Baiklah. Aku percaya dengan langkah yang akan kamu ambil selanjutnya, Kamu itu persis seperti mendiang papamu, selalu mengambil langkah yang sistematis,” ujar d
Memasuki rumah ini dalam bimbingan Lukas membuat Nesia tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada kemewahan minimalis yang terpampang jelas di rumah ini. Matanya mendongak dan mengedar ke seluruh ruangan dengan rasa takjub yang luar biasa.“Mari ikut dengan saya, Nona,” ajak Lukas ketika dilihatnya Nesia masih saja terpukau melihat rumah mewah dan elegan milik Remy ini. Sementara si empunya rumah sepertinya sudah menghilang entah kemana. Mungkin sudah di kamarnya.“Eh, iya. Maaf,” jawab Nesia yang kemudian mengikuti langkah Lukas.Laki-laki itu membawanya ke sebuah kamar yang ada di lantai atas. Selama menaiki tangganya, mata Nesia mengamati beberapa potret yang terpampang di dinding sisi tangga. Sebagian Nesia mengenalinya sebagai Remy ketika masih muda sepertinya. Meskipun sekarang belum terlihat tua, namun suami bohongannya itu jelas terlihat sedikit dewasa.Di depan sebuah kamar, Lukas berhenti dan berbalik menatap Nesia.“Maaf, ini kamar Anda, Nona. Anda bisa mandi dan berganti p
Mendengar pertanyaan sarat rasa ingin tahu seperti itu membuat Remy spontan tersenyum meski jelas terlihat sinis. ‘Benar-benar perempuan yang kebanyakan mulut!’ batin Remy kesal.“Saya rasa kamu tidak sebodoh itu untuk memahami apa yang tertulis di dalamnya,” jawab Remy dengan penuh penghinaan. “Kamu bisa membaca, kan?”Nesia geram mendengar kalimat yang tidak ramah itu.“Ya, Tuan Remy. Mungkin saya yang bodoh sehingga tidak bisa memahami apa maksud dari tata bahasa orang-orang terhormat seperti Anda!” jawab Nesia dengan berani.“Dalam surat perjanjian itu, saya menawarkan sebuah hubungan pernikahan yang akan berakhir dalam jangka waktu tertentu. Tentu tidak cuma-cuma karena saya dan tim advokasi saya sudah mempertimbangkan segala sesuatunya. Saya akan memberikan kompensasi yang cukup selama kamu berperan sebagai istri saya,” jawab Remy kemudian.“Lalu Anda berpikir saya akan menerimanya dengan senang hati?” tanya Nesia begitu mengejutkan. Nada mengejeknya membuat Lukas heran, terlebi
Mendengar kesimpulan Nesia yang diucapkan dengan penuh emosi itu, Lukas tersenyum. Dalam hati dia benar-benar menilai bahwa Nesia bukan perempuan biasa karena begitu berani menilai Remy sebagai laki-laki yang arogan, bahkan di depan Remy langsung. Namun, sejujurnya Lukas juga mengakui bahwa memang seperti itulah Remy adanya. “Mengapa Anda tersenyum, Tuan Lukas? Anda mentertawakan saya? Bukankah yang saya katakan ini benar?” tanya Nesia masih dengan hati yang kesal. Mendapat semprotan seperti itu, Lukas segera memperbaiki ekspresi senyumnya yang sebenarnya tidak bertujuan mentertawakan atau mengejek gadis di depannya yang sedang emosi itu. Namun, Lukas tersenyum karena merasa bahwa Nesia benar-benar unik dengan keberaniannya. “Maaf, Nona. Saya tidak bermaksud mentertawakan Anda. Hanya saja, mungkin Anda belum mengenal dengan baik siapa dan bagaimana tuan Remy. Kalau Anda mengenalnya lebih jauh, mudah-mudahan penilaian Anda kepada beliau akan berubah,” kata Lukas memberikan sedikit g
Wajah Remy dan Nesia seketika bersemu merah ketika mereka melihat siapa yang sudah membuka pintu dan menampakkan wajahnya. Tak lain dan tak bukan adalah dokter Ilham bersama seorang suster yang menjadi asisten dokter Ilham pagi ini. Apalagi ketika mereka melihat bahwa dokter dan suster itu tersenyum karena memergoki ulah Remy. “Ehem!” Remy berdehem menghadap ke arah dokter Ilham untuk menetralkan suasana yang mendadak canggung. Tak sedikit pun Remy merasa ingin memperbaiki keadaan. Dia bahkan tak menjauh dari Nesia. “Sebaiknya kamu mulai belajar menahan diri terhadap keinginan apapun pada istrimu, Remy. Kehamilannya masih sangat muda. Aku khawatir akan membahayakan kondisi janinnya.” Dokter Ilham memberikan nasehat seolah mengerti apa yang Remy rasakan. “Berapa lama, Dok?” tanya Remy yang tahu kemana arah pembicaraan dokter Ilham. Pertanyaan sigap yang diajukan Remy membuat dokter Ilham tertawa kecil. Sambil memeriksa tekanan darah Nesia, dokter Ilham tersenyum. Suster yang berada d
Suasana di sebuah ruang rawat di klinik ini terasa begitu heboh dan penuh kegugupan serta kekhawatiran yang berlebihan. Remy terlihat begitu sibuk mengemas semua barang yang kemarin terbawa ke klinik ini meskipun barang itu tak begitu diperlukan karena fasilitas di klinik sudah sangat memadai. Setelah semua barang terkemas rapi, terlihat Remy yang tersenyum lega seolah baru saja menyelesaikan sebuah proyek besar dan bernilai milyaran.Nesia yang sudah siap pulang, kini duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengawasi Remy yang sibuk sendirian. Namun, kali ini Nesia memilih diam tanpa banyak tanya karena sejauh ini dia masih belum yakin dengan sikap penerimaan yang dilakukan Remy atas kehadiran bayi di dalam perutnya itu.Awalnya, Nesia mengira bahwa Remy akan marah besar dan menceraikan dirinya kemudian mengusirnya dari rumah itu. Dan untuk semua praduga buruk itu, Nesia bahkan sudah menyiapkan banyak rencana jika memang dia harus terusir dari rumah Remy karena kehamilannya.Tapi siapa sa
Mendengar pertanyaan Lukas, Edo sedikit gelagapan. Namun bukan Edo namanya kalau dia tak bisa mengelak dari cercaan Lukas. “Hei, apakah aku mengatakan bahwa kehidupan seks Remy tidak normal?” tanya Edo merasa tak bersalah. Lukas yang sudah hafal dengan kelakuan Edo hanya tersenyum masam. “Tak perlu berpura-pura lupa dengan ucapanmu sendiri Edo. Jelas-jelas kamu mengatakan bahwa kehidupan seks Remy sekarang berjalan normal. Bukankah itu artinya dia tidak normal sebelumnya?” Edo tergelak. “Aku hanya menduga, Luke. Bagaimana mungkin Remy mengumbar kehidupan seksnya pada orang lain? Sudahlah, habiskan kopimu dan pulanglah. Rumahku tak cukup cocok dengan bujang sepertimu!” ujar Edo kemudian berdiri, mengambil jas kerjanya yang ada di sampiran kursi makan dan mengenakannya dengan santai. “Aku tak mau pulang hanya untuk melihat mereka kasmaran,” jawab Lukas dengan santai, mengabaikan pengusiran yang diucapkan Edo dengan terus terang tadi. Edo tersenyum miris melihat Lukas yang kelihatan s
Sudah dua hari ini Lukas menginap di rumah Edo. Selain sebagai sesama pegawai di perusahaan yang ditangani Remy dengan tangan dinginnya, Lukas, Remy dan Edo adalah juga teman dekat. Nyaris tak ada rahasia di antara mereka, kecuali Remy yang memang sangat tertutup terutama soal perempuan.Remy sangat berbanding terbalik dengan Edo. Kalau Remy memilih tertutup mengenai perempuan, termasuk hubungannya dengan Nesia yang tak mudah ditebak, maka Edo memilih jalan vulgar untuk menunjukkan eksistensinya sebagai lelaki tampan dan mapan.“Kamu tak kerja lagi pagi ini, Luke?” tanya Edo ketika pagi ini dia masih melihat Lukas yang malas-malasan menikmati secangkir kopi yang dibuatnya sendiri tadi. Tentu saja Lukas harus membuatnya sendiri karena Edo seorang lajang yang tak memiliki seorang pembantu.Lukas hanya tersenyum kecil dan hambar, membuat Edo semakin penasaran dengan kelakuan Lukas yang tiba-tiba saja minggat ke rumahnya itu.“Memangnya kamu tak takut Remy akan menendangmu dari pekerjaan
Pemeriksaan pagi oleh Dokter Ilham sudah selesai. Seorang suster mengambil sampel urine Nesia dan hanya dalam beberapa menit saja sudah bisa dipastikan bahwa Nesia memang hamil. Setelah Dokter Ilham dan suster keluar, semua terdiam. Bu Maryam, Nesia, dan juga Remy. Tak ingin ikut larut dalam suasana canggung, Bu Maryam mengambil inisiatif untuk pulang dengan alasan sudah ada Remy sekalian membawa pulang tas yang semalam dibawa Remy.Remy yang gamang, tak tahu harus bagaimana, hanya mengangguk sehingga Bu Maryam kemudian segera keluar. Meski dalam hati was-was dengan apa yang akan terjadi pada Nesia ketika Remy tahu akhirnya Nesia hamil, tetapi dalam hati Bu Mar bersyukur bahwa akhirnya Nesia hamil. Pembantu itu hanya bisa berharap bahwa keberadaan anak mereka akan membuat pernikahan ini berjalan sebagaimana seharusnya.Bu Mar sudah menutup pintu, dan Nesia hanya menatap selimut yang menutupi tubuhnya. Keduanya masih sama-sama terdiam, tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Bahkan,
Pagi menunjukkan pukul enam ketika Nesia menggeliat dan membuka matanya. Namun, ada yang membuatnya tak nyaman di bagian tangan. Nesia lalu melihat tangannya dan terkejut mendapati jarum infus terpasang di sana. Dia mencari-cari ke sekeliling untuk mencari tahu apa yang terjadi ketika matanya melihat Remy yang duduk dengan mata terpejam di sisi ranjangnya. Bu Maryam tak terlihat di ruangan itu karena beberapa saat tadi dia pamit untuk mencari kopi di kantin bawah.Nesia mengerutkan keningnya. “Remy?” Tanpa bisa dicegah, Nesia menyebut nama lelaki itu.Merasa ada yang memanggilnya meskipun pelan, Remy segera membuka matanya dan mendapati Nesia sudah terbangun.“Hei, Nes? Kamu sudah bangun?” tanya Remy yang bergegas mendekat pada Nesia, menyambut uluran tangan perempuan itu, dan menciumnya dengan lembut. Entahlah, dia lupa dengan kalimatnya bahwa dia tidak mencintai Nesia, bahwa dia hanya butuh perempuan itu tetap sehat agar bisa bercinta kapanpun dia mau. Tapi nyatanya? Nyawa Remy sepe
“Kalau Bu Maryam mengantuk, Bu Maryam bisa tidur di kasur itu. Biar saya yang berjaga.” Lukas yang menunggui Nesia di ruang rawat inap bersama Bu Mar menyuruh wanita itu tertidur. Lukas tahu kalau Bu Mar pasti lelah.“Lalu Tuan bagaimana?” Bu Mar menatap lesu lelaki itu. Memang dibandingkan dengan Remy, Lukas jauh lebih manusiawi dan lunak serta ramah. Meskipun sekarang Bu Mar mengakui bahwa Remy jauh lebih lunak dan manusiawi.“Saya bisa tidur di sofa.”Bu Maryam mengangguk kemudian menuju ke sebuah kasur kecil yang memang disediakan bagi keluarga pasien yang menjaga. Sebelum dia merebahkan diri, Bu Mar berpesan, “Nanti kalau Nyonya bangun, Tuan Lukas bangunkan saya saja.”Lukas mengangguk. Lelaki itu memilih duduk di sofa, menyelonjorkan kakinya yang panjang ke atas meja yang ada di depannya. Matanya menatap Nesia yang tertidur lelap di atas ranjang rumah sakit. Selang infus terlihat terpasang di tangan kanannya.Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tetapi Lukas tak juga bis
Di kamar hotel tempat Remy menginap, laki-laki itu geram bukan kepalang melihat keberadaan Dona di rumahnya. Rasa rindunya pada Nesia yang beberapa saat tadi sempat terobati, kini menguap begitu saja dan berganti dengan rasa marah dan kesal karena ternyata Dona datang ke rumahnya pada saat dia tidak ada di rumah.“Hallo, Remy? Apa kabar, Sayang?” Sapaan Dona benar-benar membuat Remy ingin muntah mendengarnya.Remy tersenyum sinis. “Mengapa kamu ada di rumahku?” tanya Remy dengan sadis dan tegas.“Hei? Mengapa kamu bertanya seperti itu? Bukankah aku sudah biasa datang dan bahkan menginap di sini?” Dona balik bertanya dengan suara keras seolah menegaskan dan memberitahu pada Nesia yang ada di ruangan itu mengenai bagaimana dia dulu begitu bebas ke sini.“Sial!” Entah mengapa Remy menyesali jawaban Dona yang pasti terdengar oleh Nesia.“Apa kamu tidak memberitahu istri kontrakmu ini bahwa aku dulu sering menginap di sini? Atau jangan-jangan kamu menyembunyikan hubungan kita dulu, seperti
Mengabaikan panggilan Remy, Lukas bergegas ke lantai atas. Di ruangan luas yang ada di depan kamar Remy, Lukas bertemu dengan Bu Maryam yang membawa nampan berisi minuman. Lukas mengerutkan keningnya kemudian mendekati Bu Maryam.“Minuman untuk siapa, Bu Mar?”“Untuk Nyonya Nesia, Tuan Lukas.”“Memangnya mengapa harus diantar ke kamarnya?”Bu Mar berhenti menghadap Lukas. Matanya celingukan seolah waspada akan ada orang lain yang melihat keberadaan mereka berdua. Lukas heran sekaligus curiga dengan gerak gerik Bu Mar.“Ada apa, Bu Mar? Apakah ada sesuatu yang gawat?”“Sssttt … Nyonya Nesia sedang tidak enak badan, Tuan. Tadi siang muntah-muntah, makanya saya suruh istirahat. Ini saya buatkan minuman agar nyonya sedikit lega.”“Astaga, Bu Mar? Mengapa tidak menghubungi saya kalau Nesia sakit? Kalau terjadi apa-apa kita yang akan kena salah sama Tuan Remy,” jawab Lukas dengan panik dan bergegas menuju ke pintu kamar Remy yang sekarang juga menjadi kamar Nesia.Bu Mar berjalan mengikuti