Jantung Nesia seketika berdetak menggelepar oleh rasa takut karena ancaman yang dilontarkan oleh dua laki-laki tinggi besar serupa bodyguard itu.
‘Siapa dua orang ini? Mengapa dia mengancamku seperti ini? Apakah mafia-mafia yang di film itu benar-benar ada?Apa salahku sehingga harus berurusan dengan mereka?’ Nesia masih saja bertanya-tanya dalam hati. Jantungnya menggelepar, tangannya mendadak basah oleh keringat. Ketakutan semakin kuat melanda jiwanya.
“Apa? Membunuh saya? Memangnya salah saya apa?” tanya Nesia keras, berharap ada yang melihatnya.
Namun semua orang sepertinya sedang fokus di depan dan juga ruang karyawan sehingga tak ada yang melihat bahwa Nesia sedang dalam bahaya.
“Sebaiknya Anda tidak melawan!” tegas yang satunya lagi.
“Tapi, Pak?” protes Nesia. Gadis itu menggeleng tegas, menolak tekanan yang tak masuk akal ini.
Namun, protes Nesia seketika berhenti ketika salah seorang dari mereka mengeluarkan pistol yang terselip di pinggangnya dan menempelkannya pada pinggang Nesia. Nesia semakin gemetar dan keringat dingin mulai terasa muncul di tubuhnya.
“Ikut dengan saya!” perintah salah satu dari mereka yang berkulit sedikit gelap.
“Oke … oke! Tapi kemana, Pak?” tanya Nesia dengan takut.
“Sebaiknya Nona tidak banyak tanya,” jawab yang satunya yang berkulit sedikit bersih.
Meski sebenarnya Nesia ketakutan, namun dia tak bisa menolak. Gadis itu melangkah mengikuti kedua laki-laki misterius itu dengan langkah kaki yang sepertinya nyaris luruh karena saking takutnya. Nesia benar-benar tak menyangka bahwa hari ini sia akan mendapatkan kesialan seperti ini.
‘Mungkinkah ajalku akan tiba hari ini?’ tanya Nesia dalam hati. Air matanya mulai merebak. ‘Bang Vino, kalau aku mati hari ini, aku ingin kamu tahu bahwa bagaimanapun aku masih mencintaimu. Meski kita sudah memutuskan untuk berpisah, tapi aku masih mencintai kamu.’ Nesia masih saja merapal kalimat cintanya dalam hati. Berharap akan ada keajaiban yang bisa membuatnya hidup sedikit lebih lama.
“Saya akan dibawa kemana, sih, Pak? Apa salah saya?” tanya Nesia menoleh ke arah kedua orang misterius yang berjalan di sisi dan kanannya itu.
“Kami tidak berhak menjawabnya, Nona!” jawab salah seorang diantara mereka yang terus menghela Nesia menuju ke sebuah ruangan yang Nesia hafal betul bahwa itu ruang rias.
Dan benar saja, mereka berdua menghela Nesia memasukinya. Di sana, sudah menunggu seorang perias yang sepertinya profesional beserta asistennya, dan beberapa orang yang berpakaian sama dengan dua orang yang membawanya tadi.
Namun ada yang membuat Nesia semakin tak mengerti adalah ketika dia melihat calon pengantin laki-laki —yang wajahnya terpampang di depan gedung tadi— yang kini berada di ruangan yang sama dengannya saat ini.
‘Mengapa dia ada di sini? Bukannya dia seharusnya berada di hall utama? Lalu dimana mempelai perempuannya? Mengapa periasnya malah bengong? Dan pengantin laki-lakinya? Mengapa harus menatapku seperti itu? Apakah ada yang salah denganku?’ tanya Nesia dalam hati kemudian menunduk untuk mengamati dirinya sendiri.
Semua mata yang ada di ruangan itu menatap Nesia dengan sorot mata tajam. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka melihat dia orang itu membawa Nesia ke tempat ini. Lalu tanpa diduga, si pengantin laki-laki mengedikkan kepalanya, seolah memerintahkan agar asisten tukang rias itu membawa Nesia untuk ke kamar mandi.
“Mari, Nona,” ajak perempuan yang sepertinya masih muda itu.
“Kemana, Mbak?” tanya Nesia dengan maksud menolak.
“Anda harus mandi, karena waktu sudah hampir habis,” ujar si asisten.
Nesia menoleh ke arah dia orang misterius tadi seolah bertanya apa yang akan mereka lakukan padanya itu. Kedua laki-laki itu mengangguk bersamaan, sehingga Nesia terpaksa menatap ke arah asisten perempuan tadi dan mengikuti langkahnya.
“Ini ada apa sebenarnya, Mbak?” tanya Nesia ketika mereka tiba di depan kamar mandi yang memang tersedia di dekat ruang rias itu.
“Nona sebaiknya segera mandi agar tukang make up bisa bekerja secepatnya. Waktunya sudah semakin singkat,” jawab si asisten.
“Tapi mengapa saya harus dirias?” tanya Nesia lagi kali ini dengan pekikan yang tertahan.
“Saya tidak tahu. Tugas saya hanya mendampingi boss saya yang akan merias anda. Selebihnya mereka yang akan memberitahunya pada Nona,” jawab si asisten.
“Sebaiknya Anda segera mandi, Nona. Agar tidak membuang waktu,” kata seorang lelaki misterius itu tiba-tiba mendatangi Nesia dan si asisten.
“Tapi, Pak. Mengapa saya harus diperlakukan seperti ini? Tidak bolehkan saya tahu apa yang akan terjadi dan kalian lakukan pada tubuh saya? Bahkan seandainya saya akan dibunuh, setidaknya saya tahu alasan mengapa saya harus mati, kan?” tanya nesia dengan kesal karena semua orang sepertinya sedang bermain teka teki.
Salah seorang diantara pengawal itu meraba pistol yang terselip di pinggangnya membuat nesia seketika menghentikan ocehannya dengan wajah pucat.
“Oke … oke! Saya akan mandi.” Nesia mencegah apapun yang akan dilakukan oleh laki-laki misterius itu. Kemudian dengan wajah pucat segera masuk ke dalam bilik mandi sambil menenangkan jantungnya yang berdetak.
Sejujurnya Nesia ingin berteriak minta tolong atau menangis sejadi-jadinya. Akan tetapi dia tak yakin akan ada yang menolongnya. Jikapun ada, mungkin mereka juga tak akan berani mengingat banyak penjaga aneh yang ada di ruangan ini. Matanya yang jelalatan seolah mencari celah untuk kabur melalui kamar mandi inipun berakhir sia-sia karena jelas tak ada ruang sedikitpun untuk kabur.
‘Tuhan, haruskan semua berakhir di sini?’ keluh Nesia.
“Nona! Saya harap Anda segera menyelesaikan mandi karena waktunya sudah hampir tiba,” suara si penjaga kembali terdengar dibarengi dengan suara gedoran di pintu kamar mandi.
“Iya, saya mandi!” jawab Nesia dengan kesal.
Tak ada hal lain yang bisa dilakukannya lagi selain mengikuti perintah orang-orang aneh itu. Kecuali dia sudah tak sayang dengan tubuhnya. Tak butuh lama, Nesia segera menyelesaikan mandinya kemudian keluar. Itupun sudah disambut tatapan mata penuh horor dari dua penjaga yang tadi ada di menggedor pintunya.
“Silahkan Nona mengikuti asisten perias itu tanpa banyak bertanya. Karena boss kami sangat tidak menyukai perempuan yang banyak bicara,” ujar salah satu penjaga itu.
Nesia menatap sengit padanya.
“Memangnya apa peduli saya dengan bos kalian yang suka atau tidak suka? Kalau boleh jujur, saya juga tidak suka dengan tindakan pemaksaan yang kalian lakukan ini!” ujar Nesia sedikit sengit.
Namun jelas kedua penjaga itu tak peduli dengan apapun yang dikatakan Nesia, karena akhirnya mereka tetap mendorong Nesia agar duduk di kursi dan segera tukang rias itu menanganinya.
“Jadikan dia semirip mungkin dengan Dona, Ren!” Calon mempelai pria yang sejak tadi hanya mengawasi dalam diam itu kini bersuara.
Seketika Nesia menatap laki-laki itu, yang bahkan tak mau repot-repot untuk balik menatapnya. Dan itu sudah cukup menyebalkan. Sebenarnya Nesia sudah hendak mengkonfrontasi laki-laki itu, namun bisikan si perias senior membuat Nesia mengurungkan niatnya.
“Sebaiknya Nona tidak banyak melawan. Saya tahu siapa dan bagaimana beliau. Jika Nona masih sayang dengan nyawa Nona, sebaiknya Nona ikuti saja apa yang beliau katakan. Saya juga akan melakukan apa yang beliau perintahkan,” ujar si perias dengan suara rendah.
“Tapi saya tidak mengenalnya dan tidak mengerti mengapa saya harus dirias, bahkan dibuat mirip dengan Dona. Bukankah Dona adalah pengantin siang ini?” tanya Nesia dengan suara yang juga rendah.
Si perias tersenyum.
“Saya rasa mereka akan menjelaskannya nanti. Untuk saat ini, mari bekerja sama agar pekerjaan saya selesai tepat waktu,” pinta di perias.
Mau tak mau Nesia mengangguk.
Tak menunggu lama, perias itu sudah menyelesaikan pekerjaannya dengan hasil yang sempurna. Kegesitannya bekerja membuat semua kliennya puas dengan pekerjaan dan hasil kerjanya.
Setelahnya, si perias mengenakan pakaian pengantin untuk Nesia. Meski sedikit kepanjangan, namun itu tidak masalah karena tidak begitu kelihatan.
“Selesai, Tuan,” lapor si perias kepada mempelai laki-laki.
Laki-laki tinggi dan gagah itu bergerak mendekati Nesia yang sudah selesai dirias. Laki-laki itu manggut-manggut seakan puas dengan hasil yang diberikan si perias. Setelah dirasa pas, laki-laki itu mengulurkan tangannya pada Nesia.
Nesia tidak menyambutnya karena dia tak tahu apa maksud laki-laki itu mengulurkan tangan padanya.
“Apa maksud semua ini, Tuan?” tanya Nesia dengan berani.
Laki-laki tampan itu tersenyum sinis.
“Ikut denganku ke aula depan. Kita menikah!” Laki-laki itu menjawab tegas.
“APA?!”
***
Tak ingin melihat keterkejutan Nesia yang sangat tidak elegan itu, Remy —calon mempelai laki-laki hari ini— segera mencengkeram lengan atas Nesia dan memaksanya berjalan menuju ke aula utama Martha Hall untuk melakukan prosesi pernikahan, seperti yang dikatakan oleh laki-laki itu beberapa menit lalu.‘Pernikahan?’ tanya Nesia dalam hati dengan bingung. Dia segera mencubit lengannya sendiri hanya untuk meyakinkan dirinya bahwa dia tidak sedang berhalusinasi karena kegagalannya menjalin hubungan serius dengan Vino, tadi malam.Beberapa bridesmaid juga sudah berjajar rapi dengan pakaian seragamnya yang terlihat sangat elegan, juga beberapa laki-laki yang berseragam semuanya sudah berjajar rapi di sisi kiri dan kanan liring menuju ke aula utama.Sungguh, Nesia ingin melepaskan dirinya dari cengkeraman tangan lelaki itu. Namun, jelas itu tak mudah dilakukannya. Karena selain cengkeraman laki-laki itu begitu kuat di lengannya, juga karena adanya beberapa penjaga yang berjalan siaga di belak
Suasana terasa sangat hening ketika Nesia membuka matanya. Orientasinya masih belum pulih sepenuhnya karena rasa pening yang masih dirasakan di kepalanya. Gadis itu mengedarkan matanya dan mendapati suasana kamar yang serba hijau muda. Nesia mengumpulkan kesadaran dan ingatannya dengan susah payah dan menyadari bahwa ini bukan kamar kontrakannya yang minimalis dengan car putihnya yang mulai kelabu itu.Nesia kembali melihat-lihat. Sebuah tiang infus berikut botolnya kini menjadi fokusnya. Matanya terus menelusuri arah selang infusnya yang ternyata berujung di tangannya. Nesia terkejut.‘Selang infus? Apa yang terjadi?’ pikir Nesia masih bingung.Kemudian deheman terdengar di ruangan itu, membuat Nesia spontan mengalihkan tatapan matanya pada sumber suara. Dan di ujung ruangan ini, di sofa yang ada di sudut ruangan, Nesia melihat ada dua orang laki-laki dengan ketampanan yang sempurna saling duduk dalam jarak terukur, dan sama-sama terdiam.Nesia terkejut karena kedua laki-laki rupawan
Lukas tersenyum mendengar pertanyaan Nesia yang dibarengi dengan raut wajah penuh rasa ingin tahu yang tajam. Lukas diam sejenak, memilih kata yang paling tepat untuk menjelaskan apa yang telah mereka lakukan untuk Nesia, tanpa sepengetahuan perempuan ini.“Sebelumnya, atas nama Tuan Remy saya meminta maaf jika telah melakukan hal yang mungkin tidak Nona sukai.” Lukas memulai kalimatnya dengan hati-hati agar tidak ada kesalahpahaman.“Tuan Lukas, bisakah Anda sedikit singkat menjelaskannya?” tukas Nesia kesal.“Oke. Jadi memang tuan Remy sudah memerintahkan kepada kami, para staf beliau, untuk mengurus surat pengunduran diri Anda dari Martha Hall.” Lukas menjelaskan.“Apa?! Kalian benar-benar melakukan hal gila ini? Eh, Tuan Lukas. Apa yang sudah kalian lakukan hari ini dengan pernikahan pura-pura itu sudah merampas hak makan siang saya. Lalu kalian kembali merenggut saya dari pekerjaan saya? Anda tahu tidak, hidup saya bergantung sepenuhnya pada pekerjaan ini?” tanya Nesia dengan tan
Sejenak Remy tersenyum mendengar pertanyaan dokter Ilham.“Mau tak mau, saya harus membawanya pulang ke rumah saya, Om. Untuk menjaga reputasi saya di mata relasi saya dan juga untuk membungkam mulut perempuan itu. Siapa tahu di balik penampilannya yang polos dan sok galak itu dia akan mengumbar berita bahwa dia hanya pengantin pengganti kemudian memerasku,” ujar Remy.Dokter Ilham tersenyum.“Kalau dilihat dari anaknya sepertinya dia tidak seperti itu,” ujar dokter Ilham.“Kita tidak bisa menyimpulkan dengan sembarangan, Om. Karena Dona yang kukenal selama ini juga ternyata tidak bisa ditebak isi hatinya, kan? Apalagi ini yang baru kutemui hari ini. Sepertinya aku tetap harus waspada dengan makhluk berjenis perempuan,” ujar Remy sedikit defensif.Dokter Ilham hanya tersenyum kemudian menepuk bahu Remy yang jauh lebih tinggi.“Baiklah. Aku percaya dengan langkah yang akan kamu ambil selanjutnya, Kamu itu persis seperti mendiang papamu, selalu mengambil langkah yang sistematis,” ujar d
Memasuki rumah ini dalam bimbingan Lukas membuat Nesia tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada kemewahan minimalis yang terpampang jelas di rumah ini. Matanya mendongak dan mengedar ke seluruh ruangan dengan rasa takjub yang luar biasa.“Mari ikut dengan saya, Nona,” ajak Lukas ketika dilihatnya Nesia masih saja terpukau melihat rumah mewah dan elegan milik Remy ini. Sementara si empunya rumah sepertinya sudah menghilang entah kemana. Mungkin sudah di kamarnya.“Eh, iya. Maaf,” jawab Nesia yang kemudian mengikuti langkah Lukas.Laki-laki itu membawanya ke sebuah kamar yang ada di lantai atas. Selama menaiki tangganya, mata Nesia mengamati beberapa potret yang terpampang di dinding sisi tangga. Sebagian Nesia mengenalinya sebagai Remy ketika masih muda sepertinya. Meskipun sekarang belum terlihat tua, namun suami bohongannya itu jelas terlihat sedikit dewasa.Di depan sebuah kamar, Lukas berhenti dan berbalik menatap Nesia.“Maaf, ini kamar Anda, Nona. Anda bisa mandi dan berganti p
Mendengar pertanyaan sarat rasa ingin tahu seperti itu membuat Remy spontan tersenyum meski jelas terlihat sinis. ‘Benar-benar perempuan yang kebanyakan mulut!’ batin Remy kesal.“Saya rasa kamu tidak sebodoh itu untuk memahami apa yang tertulis di dalamnya,” jawab Remy dengan penuh penghinaan. “Kamu bisa membaca, kan?”Nesia geram mendengar kalimat yang tidak ramah itu.“Ya, Tuan Remy. Mungkin saya yang bodoh sehingga tidak bisa memahami apa maksud dari tata bahasa orang-orang terhormat seperti Anda!” jawab Nesia dengan berani.“Dalam surat perjanjian itu, saya menawarkan sebuah hubungan pernikahan yang akan berakhir dalam jangka waktu tertentu. Tentu tidak cuma-cuma karena saya dan tim advokasi saya sudah mempertimbangkan segala sesuatunya. Saya akan memberikan kompensasi yang cukup selama kamu berperan sebagai istri saya,” jawab Remy kemudian.“Lalu Anda berpikir saya akan menerimanya dengan senang hati?” tanya Nesia begitu mengejutkan. Nada mengejeknya membuat Lukas heran, terlebi
Mendengar kesimpulan Nesia yang diucapkan dengan penuh emosi itu, Lukas tersenyum. Dalam hati dia benar-benar menilai bahwa Nesia bukan perempuan biasa karena begitu berani menilai Remy sebagai laki-laki yang arogan, bahkan di depan Remy langsung. Namun, sejujurnya Lukas juga mengakui bahwa memang seperti itulah Remy adanya. “Mengapa Anda tersenyum, Tuan Lukas? Anda mentertawakan saya? Bukankah yang saya katakan ini benar?” tanya Nesia masih dengan hati yang kesal. Mendapat semprotan seperti itu, Lukas segera memperbaiki ekspresi senyumnya yang sebenarnya tidak bertujuan mentertawakan atau mengejek gadis di depannya yang sedang emosi itu. Namun, Lukas tersenyum karena merasa bahwa Nesia benar-benar unik dengan keberaniannya. “Maaf, Nona. Saya tidak bermaksud mentertawakan Anda. Hanya saja, mungkin Anda belum mengenal dengan baik siapa dan bagaimana tuan Remy. Kalau Anda mengenalnya lebih jauh, mudah-mudahan penilaian Anda kepada beliau akan berubah,” kata Lukas memberikan sedikit g
Jika tadi Nesia yang bingung dengan maksud dari kata-kata selayaknya suami istri yang tercantum dalam perjanjian pernikahan itu, kini giliran Lukas dan Remy yang bingung dan bahkan saling berpandangan dengan muka sama-sama memerah karena malu sendiri dengan kalimat itu. ‘Bagaimana bisa ada gadis sepolos dan terus terang seperti ini? Tidakkah ini pertanyaan tabu bagi seorang gadis?’“Mengapa Anda berdua bingung? Adakah maksud lain yang Anda sembunyikan?” tanya Nesia menuntut karena dia mencurigai sesuatu.“Tenang, Nona Nesia. Ini tidak seperti yang Anda pikirkan,” Lukas buru-buru menetralkan ketegangan yang mendadak muncul.“Kalau ini tidak seperti yang saya pikirkan, tolong beri saya penjelasan, Tuan Lukas,” ujar Nesia tegas.“Sepertinya kamu berpikir terlalu jauh sehingga merasa ketakutan seperti itu, Nona Nesia. Kalau yang kamu pikirkan adalah tentang hubungan suami istri dalam artian seks, mungkin kamu bisa tenang karena ini bukan mengacu pada sebuah hubungan seks. Karena saya tida
Wajah Remy dan Nesia seketika bersemu merah ketika mereka melihat siapa yang sudah membuka pintu dan menampakkan wajahnya. Tak lain dan tak bukan adalah dokter Ilham bersama seorang suster yang menjadi asisten dokter Ilham pagi ini. Apalagi ketika mereka melihat bahwa dokter dan suster itu tersenyum karena memergoki ulah Remy. “Ehem!” Remy berdehem menghadap ke arah dokter Ilham untuk menetralkan suasana yang mendadak canggung. Tak sedikit pun Remy merasa ingin memperbaiki keadaan. Dia bahkan tak menjauh dari Nesia. “Sebaiknya kamu mulai belajar menahan diri terhadap keinginan apapun pada istrimu, Remy. Kehamilannya masih sangat muda. Aku khawatir akan membahayakan kondisi janinnya.” Dokter Ilham memberikan nasehat seolah mengerti apa yang Remy rasakan. “Berapa lama, Dok?” tanya Remy yang tahu kemana arah pembicaraan dokter Ilham. Pertanyaan sigap yang diajukan Remy membuat dokter Ilham tertawa kecil. Sambil memeriksa tekanan darah Nesia, dokter Ilham tersenyum. Suster yang berada d
Suasana di sebuah ruang rawat di klinik ini terasa begitu heboh dan penuh kegugupan serta kekhawatiran yang berlebihan. Remy terlihat begitu sibuk mengemas semua barang yang kemarin terbawa ke klinik ini meskipun barang itu tak begitu diperlukan karena fasilitas di klinik sudah sangat memadai. Setelah semua barang terkemas rapi, terlihat Remy yang tersenyum lega seolah baru saja menyelesaikan sebuah proyek besar dan bernilai milyaran.Nesia yang sudah siap pulang, kini duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengawasi Remy yang sibuk sendirian. Namun, kali ini Nesia memilih diam tanpa banyak tanya karena sejauh ini dia masih belum yakin dengan sikap penerimaan yang dilakukan Remy atas kehadiran bayi di dalam perutnya itu.Awalnya, Nesia mengira bahwa Remy akan marah besar dan menceraikan dirinya kemudian mengusirnya dari rumah itu. Dan untuk semua praduga buruk itu, Nesia bahkan sudah menyiapkan banyak rencana jika memang dia harus terusir dari rumah Remy karena kehamilannya.Tapi siapa sa
Mendengar pertanyaan Lukas, Edo sedikit gelagapan. Namun bukan Edo namanya kalau dia tak bisa mengelak dari cercaan Lukas. “Hei, apakah aku mengatakan bahwa kehidupan seks Remy tidak normal?” tanya Edo merasa tak bersalah. Lukas yang sudah hafal dengan kelakuan Edo hanya tersenyum masam. “Tak perlu berpura-pura lupa dengan ucapanmu sendiri Edo. Jelas-jelas kamu mengatakan bahwa kehidupan seks Remy sekarang berjalan normal. Bukankah itu artinya dia tidak normal sebelumnya?” Edo tergelak. “Aku hanya menduga, Luke. Bagaimana mungkin Remy mengumbar kehidupan seksnya pada orang lain? Sudahlah, habiskan kopimu dan pulanglah. Rumahku tak cukup cocok dengan bujang sepertimu!” ujar Edo kemudian berdiri, mengambil jas kerjanya yang ada di sampiran kursi makan dan mengenakannya dengan santai. “Aku tak mau pulang hanya untuk melihat mereka kasmaran,” jawab Lukas dengan santai, mengabaikan pengusiran yang diucapkan Edo dengan terus terang tadi. Edo tersenyum miris melihat Lukas yang kelihatan s
Sudah dua hari ini Lukas menginap di rumah Edo. Selain sebagai sesama pegawai di perusahaan yang ditangani Remy dengan tangan dinginnya, Lukas, Remy dan Edo adalah juga teman dekat. Nyaris tak ada rahasia di antara mereka, kecuali Remy yang memang sangat tertutup terutama soal perempuan.Remy sangat berbanding terbalik dengan Edo. Kalau Remy memilih tertutup mengenai perempuan, termasuk hubungannya dengan Nesia yang tak mudah ditebak, maka Edo memilih jalan vulgar untuk menunjukkan eksistensinya sebagai lelaki tampan dan mapan.“Kamu tak kerja lagi pagi ini, Luke?” tanya Edo ketika pagi ini dia masih melihat Lukas yang malas-malasan menikmati secangkir kopi yang dibuatnya sendiri tadi. Tentu saja Lukas harus membuatnya sendiri karena Edo seorang lajang yang tak memiliki seorang pembantu.Lukas hanya tersenyum kecil dan hambar, membuat Edo semakin penasaran dengan kelakuan Lukas yang tiba-tiba saja minggat ke rumahnya itu.“Memangnya kamu tak takut Remy akan menendangmu dari pekerjaan
Pemeriksaan pagi oleh Dokter Ilham sudah selesai. Seorang suster mengambil sampel urine Nesia dan hanya dalam beberapa menit saja sudah bisa dipastikan bahwa Nesia memang hamil. Setelah Dokter Ilham dan suster keluar, semua terdiam. Bu Maryam, Nesia, dan juga Remy. Tak ingin ikut larut dalam suasana canggung, Bu Maryam mengambil inisiatif untuk pulang dengan alasan sudah ada Remy sekalian membawa pulang tas yang semalam dibawa Remy.Remy yang gamang, tak tahu harus bagaimana, hanya mengangguk sehingga Bu Maryam kemudian segera keluar. Meski dalam hati was-was dengan apa yang akan terjadi pada Nesia ketika Remy tahu akhirnya Nesia hamil, tetapi dalam hati Bu Mar bersyukur bahwa akhirnya Nesia hamil. Pembantu itu hanya bisa berharap bahwa keberadaan anak mereka akan membuat pernikahan ini berjalan sebagaimana seharusnya.Bu Mar sudah menutup pintu, dan Nesia hanya menatap selimut yang menutupi tubuhnya. Keduanya masih sama-sama terdiam, tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Bahkan,
Pagi menunjukkan pukul enam ketika Nesia menggeliat dan membuka matanya. Namun, ada yang membuatnya tak nyaman di bagian tangan. Nesia lalu melihat tangannya dan terkejut mendapati jarum infus terpasang di sana. Dia mencari-cari ke sekeliling untuk mencari tahu apa yang terjadi ketika matanya melihat Remy yang duduk dengan mata terpejam di sisi ranjangnya. Bu Maryam tak terlihat di ruangan itu karena beberapa saat tadi dia pamit untuk mencari kopi di kantin bawah.Nesia mengerutkan keningnya. “Remy?” Tanpa bisa dicegah, Nesia menyebut nama lelaki itu.Merasa ada yang memanggilnya meskipun pelan, Remy segera membuka matanya dan mendapati Nesia sudah terbangun.“Hei, Nes? Kamu sudah bangun?” tanya Remy yang bergegas mendekat pada Nesia, menyambut uluran tangan perempuan itu, dan menciumnya dengan lembut. Entahlah, dia lupa dengan kalimatnya bahwa dia tidak mencintai Nesia, bahwa dia hanya butuh perempuan itu tetap sehat agar bisa bercinta kapanpun dia mau. Tapi nyatanya? Nyawa Remy sepe
“Kalau Bu Maryam mengantuk, Bu Maryam bisa tidur di kasur itu. Biar saya yang berjaga.” Lukas yang menunggui Nesia di ruang rawat inap bersama Bu Mar menyuruh wanita itu tertidur. Lukas tahu kalau Bu Mar pasti lelah.“Lalu Tuan bagaimana?” Bu Mar menatap lesu lelaki itu. Memang dibandingkan dengan Remy, Lukas jauh lebih manusiawi dan lunak serta ramah. Meskipun sekarang Bu Mar mengakui bahwa Remy jauh lebih lunak dan manusiawi.“Saya bisa tidur di sofa.”Bu Maryam mengangguk kemudian menuju ke sebuah kasur kecil yang memang disediakan bagi keluarga pasien yang menjaga. Sebelum dia merebahkan diri, Bu Mar berpesan, “Nanti kalau Nyonya bangun, Tuan Lukas bangunkan saya saja.”Lukas mengangguk. Lelaki itu memilih duduk di sofa, menyelonjorkan kakinya yang panjang ke atas meja yang ada di depannya. Matanya menatap Nesia yang tertidur lelap di atas ranjang rumah sakit. Selang infus terlihat terpasang di tangan kanannya.Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tetapi Lukas tak juga bis
Di kamar hotel tempat Remy menginap, laki-laki itu geram bukan kepalang melihat keberadaan Dona di rumahnya. Rasa rindunya pada Nesia yang beberapa saat tadi sempat terobati, kini menguap begitu saja dan berganti dengan rasa marah dan kesal karena ternyata Dona datang ke rumahnya pada saat dia tidak ada di rumah.“Hallo, Remy? Apa kabar, Sayang?” Sapaan Dona benar-benar membuat Remy ingin muntah mendengarnya.Remy tersenyum sinis. “Mengapa kamu ada di rumahku?” tanya Remy dengan sadis dan tegas.“Hei? Mengapa kamu bertanya seperti itu? Bukankah aku sudah biasa datang dan bahkan menginap di sini?” Dona balik bertanya dengan suara keras seolah menegaskan dan memberitahu pada Nesia yang ada di ruangan itu mengenai bagaimana dia dulu begitu bebas ke sini.“Sial!” Entah mengapa Remy menyesali jawaban Dona yang pasti terdengar oleh Nesia.“Apa kamu tidak memberitahu istri kontrakmu ini bahwa aku dulu sering menginap di sini? Atau jangan-jangan kamu menyembunyikan hubungan kita dulu, seperti
Mengabaikan panggilan Remy, Lukas bergegas ke lantai atas. Di ruangan luas yang ada di depan kamar Remy, Lukas bertemu dengan Bu Maryam yang membawa nampan berisi minuman. Lukas mengerutkan keningnya kemudian mendekati Bu Maryam.“Minuman untuk siapa, Bu Mar?”“Untuk Nyonya Nesia, Tuan Lukas.”“Memangnya mengapa harus diantar ke kamarnya?”Bu Mar berhenti menghadap Lukas. Matanya celingukan seolah waspada akan ada orang lain yang melihat keberadaan mereka berdua. Lukas heran sekaligus curiga dengan gerak gerik Bu Mar.“Ada apa, Bu Mar? Apakah ada sesuatu yang gawat?”“Sssttt … Nyonya Nesia sedang tidak enak badan, Tuan. Tadi siang muntah-muntah, makanya saya suruh istirahat. Ini saya buatkan minuman agar nyonya sedikit lega.”“Astaga, Bu Mar? Mengapa tidak menghubungi saya kalau Nesia sakit? Kalau terjadi apa-apa kita yang akan kena salah sama Tuan Remy,” jawab Lukas dengan panik dan bergegas menuju ke pintu kamar Remy yang sekarang juga menjadi kamar Nesia.Bu Mar berjalan mengikuti