"Kejutan!" sorak Erna sembari bangkit berdiri.
"Hai, Sal-wa!" ucapnya sengaja mengeja mana Salwa."Kok kalian bengong di situ! Kaget ya ada Erna?" tanyaku membuat suasana kian memanas.Mas Wahyu terlihat semakin gugup dan dengan cepat melangkah mendekat mendahului Salwa yang masih diam mematung ditempat."Astaghfirullah! Itu kenapa baju sama rok anak SD dipake, Wa? Udah lama gak beli baju ya? Atau mbak Murni lupa ukuran baju kamu?" cecar Erna dengan senyum sinisnya. Salwa semakin salah tingkah, wajahnya sudah memerah entah malu atau marah.Salwa bergeming, Erna justru melangkah mendekatinya."Duh masih wangi, habis perjalanan jauh masih wangi loh, apa sih parfum kamu, Wa? Aku mau ikutan beli dong, biar nanti wangi sepanjang hari." kekeh Erna. Salwa semakin kelimpungan sementara mas Wahyu hanya menunduk di sofa single sebelah kananku."Kamu sehat, kan, Wa? Lama loh kita gak ketemu, yuk duduk!" Erna merangkul Salwa dan membawanya duduk di sofa single sebelah kiri yang berhadapan langsung dengan mas Wahyu dan dipisahkan meja kecil di tengah."Ya, Ampun! Itu kok merah-merah kenapa, Wa? Pasti ini gatal kena gigitan nyamuk ya? Gimana sih, Bang! Udah tahu perjalanan kesini tu ngelewatin hutan dan kebun kopi, kaca tu harus di tutup, biar nyamuk gak masuk! Pasti gatel banget ya, Wa? Sampe merah-merah gitu!" cerocos Erna, sambil menyunggingkan senyum liciknya melihat area dada Salwa."Erna!" hardik mas Wahyu, namun Erna tak menggubrisnya."Mbak Arini, besok jahitin baju Salwa ya! Kasihan masa baju anak SD dipake!" sindir Erna pedas, sembari menjatuhkan bobotnya di sampingku. Salwa terlihat gelisah terbukti dengan ia menggerak-gerakkan kakinya. Aku cukup hafal gerak-gerik Salwa jika ia merasa tak nyaman dengan sesuatu, ia pasti menggerak-gerakkan kakinya."Mas, kok sampe jam segini baru sampai?" tanyaku mengalihkan perhatian. Mas Wahyu mendongak menatapku."Em, itu Bund, tadi bannya pecah di perempatan simpang, jadi harus nunggu montir dari dekat terminal cukup lama." kilahnya lancar namun bola matanya terus bergerak menghindari tatapan mataku. Dan itu artinya ia sedang berbohong. 14 tahun bersama aku sudah sangat hafal bagaimana sikap mas Wahyu."Oh, pecah ban! Kirain pecah kepala sampe otaknya bececer kemana-mana!" sambar Erna pedas.Siapa yang tak tahu Erna, adik iparku satu itu mulutnya pedas dan tajam, jika ia tak suka dengan sesuatu maka ia akan berubah jadi singa lapar yang siap menerkam apa saja dan siapa saja. Namun jika ia sudah sayang dengan sesuatu, ia akan menjaganya sekalipun nyawa taruhannya."Udah malem, istirahat yuk! Salwa pasti capek habis perjalanan jauh!" putusku sembari bangkit berdiri."Tante, Salwa di kamar biasa, kan?" tanyanya setelah sedari datang hanya bungkam."Iya, Wa! Di kamar biasanya, sama Erna!" jawabku lantas menggandeng lengan mas Wahyu menuju kamar kami. Wajah Salwa berubah pucat bagai tak mendapat aliran darah. Sedangkan pujaan hatinya tak dapat membantunya sama sekali.Sekilas aku melirik Erna yang juga berjalan menuju kamar, mau tak mau Salwa mengikuti dengan menyeret koper miliknya, dari pada tidur diluar, kan?Rumah ini terbilang luas dan besar, meski hanya satu lantai. Ada empat kamar yang tiga kamar berukuran 3x3 dan kamar utama yang aku tempati sedikit besar berukuran 4x4 dengan kamar mandi di dalam.Satu kamar madi berada di tengah antara kamar paling depan yang ditempati Erna juga Salwa dengan kamar yang di tempati anak-anakku bersama neneknya. Sementara satu kamar lagi berada di seberang kamarku yang sengaja aku jadikan gudang penyimpanan bahan makanan dan perabot yang jarang terpakai.Aku segera naik ke kasur, merebahkan tubuhku yang benar-benar lelah. Menarik selimut hingga sebatas dagu, mencoba memejamkan mata meski pikiran berjalan-jalan entah kemana."Kapan Erna datang, Bund?" tanya mas Wahyu memecah keheningan."Tadi sebelum azan Maghrib sampai!" jawabku sedatar mungkin."Bunda kok gak bilang kalau Erna mau datang!""Aku juga gak tahu, Mas! Erna gak kabarin dulu kalau mau datang!" bohongku."Naik apa dia?" "Diantar, Irwan soalnya sama Ibuk!""HAH! Sama Ibuk?" kagetnya dengan mata melebar."Iya, kenapa? Kayak gak seneng gitu Ibuk datang?" selidikku dengan mata memicing. Mas Wahyu terlihat gugup dengan pertanyaanku."Em, enggak, Bun! Cuma heran aja, gak biasanya mereka datang gak kabarin dulu!" jawabnya gugup."Ya, iyalah gak kabarin kamu, Mas! Kalau kabarin kamu namanya bukan surprise lagi buatmu sama gundikmu itu! Yang ada nanti kau sembunyikan pula tu jalang kecil!" batinku.Aku tak membalas ucapannya dan mencoba memejamkan mata kembali. kasur bergoyang, pertanda mas Wahyu menyusulku merebahkan dirinya. Wajahnya nampak lelah dengan mata menerawang menatap langit-langit kamar. Mungkin sedang berpikir bagaimana cara menyelamatkan gundiknya itu yang terancam dengan kehadiran Erna dan Ibuk."Matiin lampunya dulu, Mas!" perintahku tanpa membuka mata. Ia segera bangkit kembali dan mematikan lampu kamar. Hingga tinggal temaram dari lampu tidur yang menempel di dinding.Air mata kembali tumpah tanpa bisa di cegah. Aku mencoba memejamkan mata dengan air yang terus mengalir dari setiap sudutnya. Menyembunyikan luka dibalik selimut, hingga tangan kekarnya melingkar di perutku. Jika dulu aku sangat bahagia dengan perlakuannya sekarang justru jijik sebab tangan ini tak hanya merengkuh tubuhku namun juga telah merengkuh tubuh wanita lain.Dengkuran halus terdengar dari mulut mas Wahyu, ia sudah terlelap ke alam mimpinya sementara aku masih berkelana dengan luka yang semakin menganga. Aku bangkit dari tidurku, menyibak selimut dan melangkah menuju kamar mandi. Aku melihat jam dan waktu baru menunjukkan pukul satu dini hari. Kuputuskan menggelar sajadah dan menegakkan shalat malamku. Aku adukan segala lara pada Rabbku, dalam tangis tanpa suara. Sungguh aku hanyalah manusia biasa, hati ini bukanlah karang yang biasa diterpa ombak lautan."Ya Allah, ya Rabb! Jika Engkau berkenan memberiku ujian sebesar ini, maka aku yakin Engkau telah mempercayaiku untuk mampu melewatinya. Pintaku bukan untuk Kau akhiri ujian ini, namun kuatkan hati dan imanku untuk dapat menyelesaikan ujian ini dengan tetap bersandar padaMu!" kulangitkan doa tulus memohon kekuatan pada sang Maha Kasih dengan air mata mengalir deras. Cukup lama aku larut dalam sujud panjangku hingga hati ini merasa damai. Aku putuskan untuk mengakhiri dan melipat kembali sajadahku dan kembali merebahkan diriku. Perasaan tenang hingga mata terpejam dengan sendirinya."Mbak, Arini! Bangun, Mbak!" samar kudengar suara Erna memanggil dengan dibarengi gedoran pintu kamar yang cukup keras. Aku mengerjap, mengumpulkan serpihan kesadaran hingga menyatu.Mengucek mata sebentar dan melirik jam di atas meja. Pukul lima lewat dua puluh menit, astghfirullah aku kesiangan."Mbak! Bangun!" suara Erna kembali terdengar."Ya, Na!" jawabku sembari membuka pintu."Shalat subuh dulu, Mbak! Kami tungguin buat jamaah, gak keluar-keluar!" ucapnya mengingatkan. Aku hanya garuk-garuk kepala yang tak gatal.Gegas aku membangunkan mas Wahyu untuk melaksanakan shalat, namun ia tak merespon, mungkin ia sangat kelelahan hingga sulit sekali di bangunkan.๐๐๐"Kamu beneran, Wa, mau kuliah di universitas A itu?" tanyaku pada Salwa saat kami tengah sarapan."Iya, Tante!""Kenapa? Maksudku, kenapa justru milih di universitas itu? Padahal kamu cerdas dan uang Mama kamu juga gak akan berkurang dengan kamu kuliah di kota besar. Banyak loh anak-anak yang bermimpi kuliah di kota besar, ya setidaknya yang terakreditasi A gitu! Lah kamu, dari kota justru milih kuliah di kampus yang hanya terakreditasi B saja! Apa gak sayang?" ocehku panjang."Pergaulannya, Tante yang jadi pertimbangan! Lagian otakku gak sampai kalau kuliah di kampus favorit." jawabnya sembari mengoles selai pada roti."Jelas otak kamu gak sampai! Wong kamu udah gak punya otak!" sambar Erna santai yang membuat mas Wahyu tersedak, sementara Salwa mberengut kesal."Na!" tegurku pura-pura."Oy, ntar aku bagi otakku dikit sama kamu biar bisa mikir jernih!" lanjut Erna lagi, sembari beranjak meninggalkan meja makan. Beruntung anak-anakku sudah berangkat sekolah pagi-pagi sehingga tak perlu mendengar pembicaraan yang unfaedah ini.Mas Wahyu diam tak berkutik di hadapan Erna. Jelas dia takut sebab sudah hafal betul watak adik satu-satunya itu, jika ia melawan bisa patah rahangnya. "Oy Mbak, aku mau tidur dulu ya! Ngantuk nih semalam begadang! Ronda, takut ada maling!" ucapnya lagi sembari melangkah menuju kamar.Aku dan ibu saling bertatapan, ibuk tersenyum sekilas dan mengedipkan matanya sebagai kode aku tak boleh khawatir sebab ada ibuk yang akan mengacaukan rencana dua pengkhianat itu."Oh iya, Buk! Hari ini Arini masih buka kios, masih ada beberapa jahitan yang harus Arini selesaikan. Ibuk, Arini tinggal gak papa ya? Paling cuma sampai Zuhur!" ucapku menatap ibu dan beliau tersenyum. Sekilas aku melihat Salwa dan mas Wahyu tersenyum samar, mungkin mereka pikir bakal bisa enak-enak setelah aku berkutat dengan mesin jahit. Oh, tidak semudah itu markonah! Ada ibu mertua yang mantan anggota mata-mata polisi kompleks."Iya, gak papa, Nduk! Ibu juga ada yang mau dikerjakan." jawabnya, aku tahu apa yang akan ibu kerjakan, apalagi jika bukan mengerjai anak sulungnya beserta si gundik kecentilan itu.Aku mengangguk seraya tersenyum lebar, biarlah mas Wahyu mendapat pelajaran berharga dari ibu kandungnya sendiri lebih dulu, supaya lebih berkesan dan tak terlupakan. "Oh iya, Mas! Nanti tolong jemput anak-anak ya! Kalau hari Rabu si Adek pulangnya agak siang, jam satu baru keluar soalnya ikut kelas hafids tambahan.""Iya, Bund! Nanti biar Ayah yang jemput!" Jawabnya sembari tersenyum, rasanya pengen sekali tangan ini menampar mulutnya yang penuh dusta itu jika tak ingat akan kedua anak sholehku.Aku gegas menuju kios sebab karyawanku sudah datang. Namun saat, hendak membuka pintu penghubung netraku menangkap ibu memberikan baju daster untuk dipake Salwa."Nih, pake! Selama saya ada disini kamu harus berpakaian yang bener! Risih mata saya lihat bokongmu yang sudah ternoda itu!" Salwa menerima daster itu dengan raut wajah kesal."Jangan umbar tubuh murahanmu itu di depan kedua cucu sholehku! Dan kau Wahyu, masih jelalatan ku congkel sendiri matamu!" ancam ibuk, membuatku semakin semangat menjalani hari ini."Selamat menikmati enak-enaknya, Salwa!" batinku girang. Gegas menuju kios dengan hati riang gembira. Para pengkhianat sudah berada di tangan yang tepat.๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ"Salwa!!Bikinin kopi dong!" terdengar suara Erna cukup jelas dari pintu penghubung yang berada di samping dapur.Aku yang baru saja melangkah masuk kedalam rumah cukup terkejut mendapati pemandangan indah di depan sana.Salwa dengan daster lusuh panjang hingga bawah lutut tengah memegang alat pel dengan keringat yang mengucur membasahi dahinya. Rambut panjang yang biasa tergerai indah itupun kini ia ikat asal dan terlihat semrawut.Ia melangkah menuju dapur dengan raut wajah kesal. Ia berjalan mendekat dimana posisiku berada. Aku segera melangkah seolah baru saja masuk kedalam rumah. Saat Salwa bertemu denganku di dekat pintu masuk dapur, ia menatapku dengan mata berkaca-kaca seolah meminta pertolongan.Aku mengulum senyum tertahan melihat penampilannya, memperihatinkan."Tante," lirihnya dengan bendungan di kedua netranya yang siap meluncur."Kamu kenapa, Wa?" tanyaku pura-pura."Salwa capek, Tante! Mbak Erna nyuruh ini itu gak ada habisnya!" adunya dengan air mata mengalir.Dia piki
Setelah mobil berlalu meninggalkan halaman rumah, aku keluar menemui ibuk yang duduk di sofa depan tv. "Nduk, ibu mau tanya sedikit!" ucapnya setelah aku ikut duduk di sampingnya."Apa, Buk?""Semua aset yang kalian miliki atas nama siapa?" "Atas nama kami berdua, Buk! Ada apa?" "Nduk, Arini! Kamu ini polos apa bodoh sih! Sekarang amankan semua sertifikat dari aset-aset kalian, cepat bawa kesini!" Ibuk geleng-geleng kepala mendengar jawabanku bahwa memang semua aset yang kami miliki diatasnamakan kami berdua, karena sedari awal memang kami berangkat membangun rumah tangga ini benar-benar hanya dari pakaian yang melekat di badan saja.Hingga ditahun ke tiga kami berhasil membeli tanah yang akhirnya kami bangun runah ini, tahun berlalu kami mampu menambah sebidang tanah yang akhirnya kami buat untuk kiosku menjahit. Beberapa kendaraan termasuk tiga truk dan dua sepeda motor semua atas nama kami berdua. Hanya beberapa set perhiasan dan dua buku tabungan yang atas namaku sendiri.Ibu m
"Erna, jangan cari ribut terus dong! Kalau begini sikap kamu, Arini pasti curiga!" ucap Wahyu setelah tak lama mobil keluar dari gerbang perbatasan tempat tinggalnya.Erna yang sedari tadi fokus pada layar ponsel melirik sinis ke arah kakaknya itu."Kenapa? Takut kalau mbak Arini tahu kelakuan bejat kalian!" sinisnya."Makanya, punya otak di pake dong! Kalian pikir mbak Arini bodoh, hah! Mbak Arini diam bukan berarti dia bisa kalian dzalimi dan kalian injak-injak!" tegas Erna. Wahyu hanya diam dan terus fokus pada jalanan."Sudah berapa kali aku peringatkan kamu, Bang! Tapi sepertinya tak cukup hanya dengan bogemanku waktu itu, apa perlu aku congkel matamu sekalian? Atau aku potong pusakamu, Bang?" Erna menatap tajam Wahyu yang berubah pias, terlihat susah payah menelan saliva."Dan kau, lo*te! Pergilah sebelum kurobek selangkanganmu! Atau perlu kusebar foto telanjangmu di sosial media, hah! Biar Ibumu sendiri yang menghajarmu!" ucapnya mentap tajam Salwa yang sedari tadi hanya diam m
"Ilmu pelet!"Aku terhenyak dengan penuturan Erna, ya Allah sebegitu niatkah Salwa merusak rumah tanggaku hingga ia terjerembab dalam lembah hitam itu?Jika benar Salwa memakai ilmu hitam untuk menjerat suamiku, itu artinya perselingkuhan ini bukan murni kesalahan mas Wahyu. Alam sadarnya dikendalikan oleh hal ghaib.Itu artinya mas Wahyu terlalu jauh dari Allah. Aku terdiam cukup lama, mengingat-ingat kembali sikap mas Wahyu beberapa bulan kebelakang.Ya Allah, aku terlambat menyadari, mas Wahyu sudah lama sekali tak menegakkan shalat dhuha dan shalat malam. Shalat wajib saja ia seperti ogah-ogahan, pantaslah karena dirinya dikendalikan oleh ilmu hitam yang sangat Allah benci."Mbak!" tepukan Erna di bahuku kembali menarik perhatianku."Mbak baru menyadari sekarang, Na! Mas Wahyu sudah lama sekali tidak mengaji, shalat dhuha dan shalat malam. Shalat wajib saja ia seperti malas-malasan. Apakah karena ini hingga ia lengah dan di kendalikan ilmu hitam kiriman Salwa?" ungkapku pada Erna
"Om, aku gak bisa kayak gini terus! Mbak Erna menyiksaku dan Om diam aja gak bisa ngelakuin apapun buatku, kalau gini aku rasa percuma aku rela jauh-jauh datang kesini!" murka Salwa pada Wahyu."Kalau begitu pergilah dan jangan pernah kembali!" Wahyu berucap tak kalah lantang."Om! Mana janji Om yang bakalan bahagiain aku! Om janji bakal jagain aku!" "Sudahlah Salwa! Berapa kali aku bilang padamu, aku ingin hubungan gila ini berakhir. Sudah cukup aku menyakiti istri dan anak-anakku! Aku tak pernah ada rasa apapun terhadapmu! Arini satu-satunya wanita yang ada di hati dan pikiranku, dia istrisempurna untukku!"Plak,Satu tanparan keras ia layangkan di pipi kanan Wahyu hingga ia sedikit terhuyung kesamping."Cukup, Om! Kalau cuma ada tante Arini di hati Om, kenapa om meniduriku? Kenapa Om? Kita sudah sejauh ini dan Om bilang aku harus pergi? Dimana otak, Om!"Plak,Kini giliran Wahtu mendaratkan satu tamparan keras ke pipi Salwa. Untuk pertama kalinya Wahyu lepas kendali menghadapi seo
10."Ngapain kamu?" tanya Erna yang melihat Salwa diam mematung."Mbah siapa tadi?"Salwa semakin gelagapan, matanya bergerak-gerak mencari jawaban yang tepat."Mbah-, mbah itu Nenek akulah!" jawab Salwa ketus meski terdengar gugup.Erna terseyum sinis, sebenarnya ia mendengar semua percakapan Salwa dengan seseorang yang dipanggil Mbah itu sebelum sengaja membuka pintu dengan kasar.Ia segera membaringkan diri di kasur sembari menutup tubuhnya dengan selimut dan memejamkan mata bersiap untuk tidur."Jadi benar firasat Ibuk, jika kamu memakai ilmu hitam untuk menjerat bang Wahyu! Lihat apa yang akan aku lakukan besok padamu, jalang!" Erna membatin dan tetap menutup mata menahan geram.Sementara Salwa, juga merebahkan tubuhnya di kasur tipis yang digelar di lantai. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar, memikirkan bagaimana caranya meluluhkan Wahyu kembali.Berkali-kali ia mengirimkan pesan ke nomor Wahyu namun hanya ceklis satu. Ia geram dan memejamkan matanya dengan hati dong
"Jadi apa rencana kamu setelah ini, Na?" tanya Arini ketika mobil yang dikemudikan Erna pergi meninggalkan kantor notaris untuk membalik nama semua aset yang Arini miliki menjadi namanya sendiri."Kita ke kampus A, Mbak! Kita harus pastikan si Salwa benar kuliah di situ atau enggak. Selebihnya mbak Arini ikutin aja rencana yang aku sama Ibuk udah susun." ucap Erna sembari terus fokus di balik kemudi.Pagi tadi usai sarapan, Erna mengatar Arini untuk membalik nama aset milik mereka menggunakan mobil milik Iwan yang ditukar dengan truk milik Wahyu. Sementara Wahyu diminta Ibunya untuk mengantarkan beliau ke suatu tempat, hanya demi menghindari supaya Salwa tidak bertegur sapa dengannya..Dan untuk anak-anak sudah Arini pesankan jika sudah pulang sekolah untuk berada di rumah mbak Ika sampai ia datang menjemput mereka. Sejujurnya Arini sedikit khawatir meninggalkan Salwa di rumahnya sendiri, namun Erna meyakinkan bahwa ia ingin lihat apa yang akan dilakukan Salwa di rumah itu untuk menje
Bagai tersambar petir, Hasnah terkejut bukan kepalang mendengar kenyataan bahwa Salwa tengah hamil. Tapi apakah janin itu anak dari Wahyu, anaknya. Haji Nurman tak kalah terkejut dengan kenyataan ini. Beliau menatap Hasanah yang juga menatapnya di sudut lain."Apakah bayi dalam kandungan wanita itu benih dari anak muda ini?""Tentu! Karena anak gadis itu hanya mau anak muda ini, maka Sentini menutup peranakannya dari pria lain dan akan membukanya kembali setiap berhubungan dengan anak muda ini. Itulah mengapa kau tak bisa dengan mudah mengirimku kembali ataupun mengusirku Pak tua!""Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk mendapatkan nyawa anak itu?" Hasana tetiba bersuara lantang."Dua bulan saja, hingga anak itu lengkap!"Bagai buah simalakama yang Hasna hadapi. Ia terdiam sejenak dan rasanya sulit di percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dan ia lihat.Haji Nurman menangkap kegelisahan dari raut Hasnah, ia lantas mendekati Hasnah untuk berdiskusi."Bagaimana ini, Buk?""Menu
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. 6 bulan sudah Salwa dirawat di rumah Murni di Jakarta. Awalnya Salwa menolak dan memilih kembali ke Jambi. Namun, dengan alasan lebih dekat jika harus kembali ke rumah sakit untuk kontrol, akhirnya ia setuju dengan Bik Jani tetap ikut bersamanya. Ia tak mau lagi merepotkan Murni dan Tri juga ketiga saudara tirinya.Kondisi Salwa semakin memprihatinkan, kian hari kian kurus. Rambut indah itu gini tak lagi tersisa sedikitpun dan hanya menampakkan kulit kepalanya saja. Cekungan mata kian kentara bahkan kini untuk bicara saja sudah mulai kesusahan.Satu bulan lalu, kenyataan pahit kembali menghantam mental Salwa. Dokter menemukan adanya pertumbuhan sel kanker yang sudah menyebar di area kerongkongan akibat virus APV yang di sebut kanker orofaring. Sejak itu pula, Salwa kehilangan suaranya.Meski begitu lemah oleh keadaan, semangatnya masih membara dalam dirinya. Ia menjalani hari-harinya dengan ikhlas, tak ada lagi air mata yang keluar dari mat
Sesampainya di rumah sakit, Murni segera memaksa untuk bisa masuk ke dalam ruang ICU menemani Salwa. Setelah mendapat ijin dari dokter Rudi, akhirnya Murni diijinkan masuk dengan mengenakan APD khusus sebelumnya. Sedangkan Tri menemui dokter Rudi untuk meminta penjelasan lebih detailnya."Salwa!" Murni tergugu melihat Salwa terbaring dengan berbagai alat medis menempel pada tubuhnya. Wajahnya kuyu, pucat dan semakin kurus bahkan tulang pipinya nampak menonjol. Matanya menghitam dengan cekungan yang dalam.Murni membelai pipi tirus Salwa dengan air mata membanjiri kedua pipinya."Maafkan Mama, Nak!" lirihnya."Bangun, Nak! Ini Mama datang! Kamu gak sendiri lagi sekarang!" tangisnya kian menjadi kala Salwa tak merespon ucapannya.Sesak dalam dadanya kian menjadi, kala tak ia temukan rambut panjang yang tergerai indah dari kepala sang anak."Ya Allah, kemana rambut indahnya? Kemana senyum cerianya?" batinnya menangis pilu."Kemana Mama, hingga tak menemanimu berjuang melawan sakit, Nak?
Dua tahun kemudian.Tok tok tok"Umi! Umi! Tolong!" teriak seorang wanita paruh baya sembari menggedor pintu rumah utama pondok pesantren Al-Khumairah.KrieetttTak lama pintu terbuka dan muncullah seorang wanita berkaca mata yang dipanggil Umi, oleh seluruh santri di pondok pesantren itu."Ada apa, Bi Jani?" tanyanya pada wanita bernama Jani itu."Mbak Salwa, pingsan lagi Umi!" jawabnya panik."Astaghfirullah! Yasudah, ayok kita kesana!" Kedua wanita itu lantas berjalan cepat menuju salah satu pondok yang selama ini di tempati Salwa dan Jani.Waktu menunjukkan pukul 2 pagi, dan ini bukan kali pertama Salwa jatuh pingsan."Ya Allah, Bik cepat telepon dokter Ana!" titah Umi Dewinta pada Jani setelah mendapati Salwa yang terbaring di atas kasur.Jani segera meraih ponsel dan menghubungi dokter Ana, dokter yang selama ini merawat Salwa.Dua bulan setelah Salwa masuk ke pesantren, dia dinyatakan mengidap penyakit kanker serviks stadium 3. Dimana penyakit itu sudah mulai menyebabkan usus
"Selamat ya, Pak, Bu, bayinya perempuan. Cantik sekali seperti ibunya." ungkap dokter wanita ber tag name dr. Intan Kusuma Sp.Og itu di luar ruang operasi kepada Wahyu dan juga Hasnah yang menunggui proses persalinan Arini secara secar."Alhamdulillah wa syukurilah!""Alhamdulillah ya Allah!" Pekik Wahyu dan Hasnah serempak. Tanpa terasa bulir bening membasahi kedua pipi Wahyu juga Hasnah.Proses persalinan tanpa boleh didampingi oleh siapapun itu, rupanya menjadi hadiah terindah dalam hidup Arini juga Wahyu, dengan kelahiran anak ke tiga berjenis kelamin perempuan.Proses yang sangat menegangkan, pasalnya usia Arini yang tak lagi muda dan riwayat darah tinggi yang tidak memungkinkan Arini untuk melahirkan secara normal. "Bayinya baru dibersihkan, nanti kalau sudah siap, suster akan memberitahu Bapak untuk mengazaninya." setelahnya dokter Intan kembali masuk ke dalam ruang operasi.Tak lama kemudian seorang suster keluar dan memanggil Wahyu untuk mengazankan putrinya. Wahyu tergugu
Perjalanan panjang yang melelahkan jiwa dan raga, namun ada hasil yang melegakan.Hidup kami mulai berjalan normal kembali. Tak ada rintihan kesakitan suamiku, tak ada lagi kejadian-kejadian di luar akal sehat manusiawiku.Hari ini, tepat satu minggu dari kejadian terakhir di kampung waktu itu. Aku mengadakan pengajian syukur untuk kesembuhan suamiku, sekaligus acara syukuran empat bulanan kehamilan ke tiga yang Allah percayakan padaku.Haru, bahagia, lega dan bersyukur akan nikmat Allah yang begitu luar biasa dalam kehidupanku. Aku mengundang 100 anak yatim piatu dari panti asuhan dan juga mengundang seluruh keluarga besarku dan suamiku.Alhamdulillah semuanya datang menghadiri acara syukuran ini, terkecuali Salwa. Ya, Mbak Murni sudah menceritakan semuanya pada kami.Sejatinya kami, terkhususnya aku sendiri tak ada dendam dalam hati untuknya. Karena memang semua yang terjadi diluar kehendaknya sendiri, tapi dia sudah membuat keputusan yang terbaik dalam hidupnya dan kami harus meng
"Kami selaku perwakilan pemerintahan kelurahan Senyerang, mengucapkan banyak terimakasih untuk Pak Kyai Ahmad dan rombongan. Yang sudah berkenan membebaskan salah satu kampung kami yang selama lima tahun terakhir ini hilang dari pandangan mata manusia kami.Insya Allah, dalam waktu dekat kami akan segera membangun kampung mati yang sejatinya bernama kampung Belah ini. Kami akan segera mengajukan untuk penyaluran aliran listrik dan juga pembangunan jalan penghubung, supaya kampung Belah ini tak lagi terisolir.Kami juga akan mencari data pemilik lahan di kampung ini, siapa tahu mereka berkenan kembali menghidupkan kampung Belah ini."Ujar Pak Kades panjang lebar di hadapan para warga dan perangkat desa lainnya.Kejadian malam tadi menarik perhatian orang nomor satu di kelurahan Senyerang ini, lantas mendatangi lokasi beserta para stafnya.Pak Kyai Ahmad menjelaskan secara detail mengenai apa yang terjadi di kampung mati atau kampung Belah ini.Kepala desa dan jajarannya dibuat terkejut
"Sudah cukup main-mainnya, Garmo!"Pak Haji Nurman berdiri dengan gagahnya di ambang pintu. Mbah Garmo berdesis sembari memegangi dadanya."Jangan ikut campur kau, Nurman!" hardiknya sembari bangkit berdiri."Tentu! Aku tidak akan ikut campur jika kau juga tak mengusik keluargaku!" ucap Pak Haji tenang."Keluargamu? Yang benar saja!" Mbah Garmo tertawa sumbang.Sedangkan di luar rumah, Murni, Tri dan Pak Kyai, tengah membantu Harun yang terkapar tak sadarkan diri."Mahardika Mahendra itu keponakanku! Dan kau berani menyentuhnya!" ucap Pak Haji lagi.Salwa dan Rodiya kompak menoleh ke arah Dika yang masih tak sadarkan diri."Jangan salahkan aku, karena bocah ingusan itu yang masuk lebih dulu!" jawab Mbah Garmo."Apa yang kau cari Garmo?" ucap Pak Kyai yang muncul dari balik tubuh Pak Haji Nurman, diikuti Murni dan Tri yang memapah Harun.Rodiya segera berlari menyongsong tubuh suaminya dan segera membantu Tri membaringkan Harun di tepi lantai sebelah kanan, sedangkan Pak Haji dan Pak K
"Masih jauh lagi kah, Mbok? Sudah hampir maghrib loh ini?" tanya Murni semakin cemas."Masih lumayan, Bu. Kita lewat jalur barat jadi memang agak memutar, karena cuma di jalur itu mobil bisa sampai ke kampung. Itupun hanya sampai di kampung Bunga Jati, harus jalan kaki sekitar 15 menit lagi untuk sampai ke kampung Mak Saroh." jelas mbok Satiyem."Ya Allah, Mas tambah kecepatannya lagi!" perintah Murni pada Tri."Gak bisa, Dek. Lha wong jalannya begini, untung ini gak hujan kalau hujan malah kita gak mungkin bisa lewat." jelas Tri tanpa mengalihkan pandangannya pada jalanan yang ia rasa begitu sulit dilalui."Ya Allah, perasaanku gak enak ini." gumamnya sambil beberapa kali menghubungi nomor Harun namun tak dapat tersambung. Akhirnya ia putuskan untuk mengirim pesan saja.[Pak Harun, kami lewat jalur barat kata mbok Yem, ini belum sampai]Pesan ia kirimkan ke nomor Harun, dan masih belum terbaca oleh Harun."Duh, signal aja susahnya ampun, deh!" gerutunya sembari melihat layar ponsel.
"Salwa! Nak, bangun Salwa!"Randa membopong tubuh Salwa dan segera berjalan menuju pintu hendak keluar. Tapi, lagi mereka terpental ke belakang, tak bisa melewati pintu yang terbuka lebar itu."Arrrggghhhh!!Ber*ngs*k!" umpatnya frustasi. Ia terpaksa kembali merebahkan tubuh kecil Salwa pada meja sebelumnya, memastikan bahwa Salwa masih bernafas."Oh, syukurlah!" gumamnya setelah memastikan Salwa masih bernafas."Oh, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?" ucapnya dalam hati."Yah, sakit!" rintih Salwa setelah sadarkan diri."Kenapa, Nak? Mana yang sakit?" tanyanya panik.Salwa mengerang dengan memegang perutnya, ia meringis kesakitan sedangkan keringat dengan cepat membasahi wajahnya."Permisiii!! Assalamualaikum!!"Randa dan Salwa saling bersitatap keheranan. Sayup mereka mendengar suara orang di luar sana."Permisiiii!!!" "Ayah dengar suara itu?" tanya Salwa."Iya, Ayah dengar. Siapa itu ya?" gumam Randa. Lantas ia bergerak menuju jendela dan melongokkan kepalanya keluar, tapi tetap