"Salwa!!Bikinin kopi dong!" terdengar suara Erna cukup jelas dari pintu penghubung yang berada di samping dapur.
Aku yang baru saja melangkah masuk kedalam rumah cukup terkejut mendapati pemandangan indah di depan sana.Salwa dengan daster lusuh panjang hingga bawah lutut tengah memegang alat pel dengan keringat yang mengucur membasahi dahinya. Rambut panjang yang biasa tergerai indah itupun kini ia ikat asal dan terlihat semrawut.Ia melangkah menuju dapur dengan raut wajah kesal. Ia berjalan mendekat dimana posisiku berada. Aku segera melangkah seolah baru saja masuk kedalam rumah. Saat Salwa bertemu denganku di dekat pintu masuk dapur, ia menatapku dengan mata berkaca-kaca seolah meminta pertolongan.Aku mengulum senyum tertahan melihat penampilannya, memperihatinkan."Tante," lirihnya dengan bendungan di kedua netranya yang siap meluncur."Kamu kenapa, Wa?" tanyaku pura-pura."Salwa capek, Tante! Mbak Erna nyuruh ini itu gak ada habisnya!" adunya dengan air mata mengalir.Dia pikir aku akan iba, oh tidak salwa! Kalau dulu kamu di rumah ini bagai tuan putri, sekarang tak ubahnya seorang babu. Itu karena ulahmu sendiri, Salwa."Emang disuruh apa sama Erna?""Bersih-bersih, nyuci piring, nyapu pel, eh masih disuruh bikin kopi! Salwa capek, Tante!" gerutunya."Wah, bagus itu, Wa! Anggap saja latihan buatmu, Wa. Kalau nanti kamu menikah pekerjaan ini gak seberapa, kan?" jawabku sambil bersedakap tangan. Salwa menatapku tak percaya.Biasanya aku tak memperbolehkannya memegang sapu, ataupun sekedar mencuci piring bekas makannya sendiri. Mungkin dia syock dengan jawabanku tadi."Tapi, Tan-""Tadi Erna minta kopi, kan? udah bikinin sana! Sekalian buat Tante ya, Wa!" aku gegas menghampiri Erna yang tengah sibuk dengan ponselnya di sofa. Mengabaikan raut wajah kesal Salwa yang masih diam mematung di tempatnya.Aku tersenyum samar dan segera menjatuhkan bobotku di samping Erna."Kios udah tutup, Mbak?""Udah, untuk tiga hari kedepan! Mbak pengen memghabiskan waktu sama kamu sama Ibuk!" jawabku sekenanya."Bukan kali, Mbak! Yang bener mbak Arini mau lihat aku sama Ibuk kasih pelajaran buat dua pengkhianat itu!" sambarnya di barengi gelak tawa. Akupun ikut tertawa bersamanya, karena memang benar apa yang diucapkannya."Tau aja kamu! Eh, Ibuk kemana?" tanyaku sembari mencari keberadaan ibu mertua."Ibuk lagi jemput kedua cucu sholehnya!""HAH?""Tenang, Ibuk kan punya sopir pribadi!""Jadi, naik mobil?""Ya, iyalah! Gak sedetikpun bang Wahyu punya kesempatan jauh dari Ibuk. Kebayang kan gimana keselnya tu ulat nangka? Mana hp bang Wahyu aku sita!" Erna tergelak sembari memperlihatkan ponsel mas Wahyu padaku.Sungguh, aku tak menyangka Erna bisa berpikir sampai sejauh itu. Bahkan mungkin dia dan ibuk sudah merencanakan sesuatu, entahlah. Yang jelas aku sangat berterimakasih pada keduanya."Aku tahu, mbak Arini gak akan tega sama bang Wahyu apalagi sama ular beludak itu. Jadi biar aku sama Ibuk yang kasih pelajaran!" ucapnya setelah sesaat kami terdiam."Semua bukti percakapan mereka sudah aku amankan, termasuk foto dan video asusila mereka. Tinggal tunggu waktu yang tepat untuk membongkar semua di hadapan mbak Murni. Mbak Arini persiapkan hati dan mental yang kuat, jika pun bang Wahyu lebih memilih ulet bulu itu nanti." Erna menatap dalam manik mataku yang berkabut seketika.Benar, aku harus terima semua keputusan mas Wahyu nanti. Kalaupun dia memilih Salwa aku akan berusaha ikhlas. Aku tersenyum getir membayangkan saat itu tiba. Tidak ada angin, tidak ada badai namun rumah tangga yang sudah berlayar kini berada di ujung tanduk. Tinggal menunggu detik-detik karamnya saja.Usapan lembut di bahuku kembali membuatku harus tersenyum meski luka itu kian menganga."Sebelum semua itu terjadi, akan kita beri mereka pelajaran supaya kejadian seperti ini tidak terulang kembali. Biar bagaimanapun, bang Wahyu tetaplah kakakku dan Salwa adalah keponakan mbak Arini sendiri. Luka yang mereka torehkan tentu akan dirasakan oleh seluruh keluarga besar."Aku mengangguk paham arah ucapan Erna. Aku tersenyum, sebagai bukti bahwa aku mampu melewati ini semua."Mbak Arini siap dengan pelajaran berikutnya?" Erna memainkan kedua alisnya yang membuatku tertawa geli."Salwa! Bisa bikin kopi gak sih? Lama banget!" teriak Erna memekakkan telinga."Salwa!"Salwa tergopoh-gopoh datang dengan nampan berisi dua cangkir kopi pesanan kami."Bikin kopi aja gak becus kamu!Eh, tapi kamu lebih cocok jadi babu loh, Wa, daripada jadi mahasiswa." Salwa merengut semakin kesal namun tak berani berucap sepatah katapunMemanglah untuk urusan nyiyir Erna jagonya. Erna meraih cangkir kopi dan menyeruputnya.Pyuuh,Erna menyemburkan kopi yang baru saja sampai mulutnya itu ke wajah Salwa yang tidak sempat menghindar. Salwa mematap tajam Erna yang tengah membersihkan mulutnya."Apaan nih? Kopi kok kek gini! Airnya kamu ambil dari mana sih, Wa? kopinya gak bisa larut gini!" sembur Erna memancing amarah Salwa lagi."Dari dispenser, Mbak!" Jawab Salwa menahan kesal sembari mengusap wajahnya yang terkena semburan kopi dari mulut Erna."Dasar b*go! Bikin kopi itu airnya direbus dulu, b*d*h!" omel Erna pedas.Aku meraih cangkir kopi milikku dan menyesapnya.Wuueeekk,"Kok gini rasanya, Wa?" aku memuntahkan kopi yang rasanya entahlah, manis enggak pahit dan ada asin-asinnya.Air mata buayanya meleleh begitu saja sambil mematapku. Dia pikir aku akan terenyuh, oh tidak tuan putri. Arini yang sekarang bukan lagi Arini yang sebulan lalu masih baik padamu."Kamu bisa bedain gula sama garam gak sih, Wa! Masa hal gini aja kamu gak tahu!" ucapku kesal dengan menaikkan volume suaraku.Aku menghempaskan cangkir kopi kelantai hingga membuatnya berjingkat kaget. Segera bangkit dari dudukku dan melangkah meninggalkan mereka berdua menuju kamar.Sebelum membuka pintu kamar sempat aku menoleh pada Erna yang sudah berkacak pinggang di hadapan Salwa yang menunduk. Salwa sudah persis seperti babu yang kena omel majikannya."Bikin kopi saja gak becus! Apa keahlianmu cuma bikin rumah tangga orang berantakan, HAH!" bentak Erna. Salwa mengangkat wajahnya, mungkin dia takut jika aku mendengarnya. Padahal memang aku mendengarnya meski di balik pintu kamar yang tak tertutup sempurna."Bersihkan!" teriak Erna lagi.Usai aku menenangkan diri sejenak. Aku kembali keluar kamar dan mendapati Salwa masih membersihkan beling bekas cangkir yang aku hempaskan tadi.Melewatinya begitu saja tanpa berniat menyapa, dengan sengaja aku injakkan kaki tepat di depan wajahnya yang tengah menunduk memunguti beling, berjalan menuju kamar yang ditempati Erna. Salwa menatapku tak percaya."Rasain!" Gumam Erna sembari mengintip di celah pintu yang sedikit terbuka.Aku ikut membungkukkan tubuhku di belakang tubuh Erna, melihat Salwa merogoh saku dan mengeluarkan ponsel sembari sesenggukan."Dia pasti mau ngadu sama bang Wahyu!" tebak Erna. Dan benar saja, ponsel bang Wahyu berkedip dalam genggaman Erna, karena memang dimode silent."Mau ngadu sama kekasihmu!" jawab Erna sembari berdiri di depan pintu dan satu tangannya nangkring di pinggang. Salwa gelagapan mendengar suara Erna di ponsel kekasihnya. Segera ia menatap Erna yang berdiri tak jauh darinya.Dengan wajah memerah menahan amarah, Salwa gegas menyelesaikan perintah Erna.Aku menjatuhkan bobot di kasur Erna. Erna kembali masuk kedalam kamar dan tertawa cekikikan."Jadi yang tidur di kasur siapa, Na?""Ya, akulah! Tuh ulet nangka tidur di bawah, gelar kasur lantai! Ya, kali aku tidur dempetan sama ulet bulu, ketularan gatel ntar! Ih, amit-amit deh!" jawabnya berdidig sedangkan aku hanya tertawa saja."Na, setiap lihat wajah mereka berdua kok tangan Mbak gatel ya, pengen gitu rasanya cakar-cakar tu muka mereka!" ujarku geram."Boleh banget itu, Mbak! Sekali-kali emang mbak Arini perlu pelampiasan! Hajar aja manusia modelan mereka itu! Tapi tunggu beberapa hari lagi, persiapkan tenaga buat hajar para pengkhianat itu!" balas Erna berapi-api."Emang boleh gitu, Na?""Ya, boleh dong! Sesekali bersikap bar-bar itu gak papa, Mbak! Tunjukkan sama mereka kalau mbak Arini bukan wanita lemah yang bisa mereka injak-injak seenak jidat mereka.""Kalau gitu, Mbak harus latihan dulu nih!" kelakarku."Kalau perlu kirim mereka ke UGD, biar tahu rasa mereka!" kompornya.Aku dan Erna terbahak bersama. Rupanya benar adik iparku ini korsletnya udah parah.Tawa kami harus berakhir sebab terdengar deru mobil memasuki halaman. Siapa lagi jika bukan suami dan anak-anakku, berikut ibu mertuaku."Assalamualaikum. .""Walaaikumsalam!" jawab kami serentak sembari berjalan keluar dari kamar.Begitu keluar kamar sudah tak kudapati Salwa di tempat tadi. Anak-anak mencium tanganku takzim dan berlalu ke kamar untuk berganti pakaian. Namun tak kudapati ibuk dan mas Wahyu.Langkah kakiku terayun menuju teras. Rupanya benar, ibuk tak membiarkan mas Wahyu sendirian. Beliau terus memantau gerak-gerik anak sulungnya itu."Buk, kok gak masuk?" tanyaku basa-basi."Lagi nunggu anak durhaka itu, tu!" jawabnya asal sembari duduk di kursi teras.Aku mengikutinya duduk disebelah beliau, terlihat dari sini mas Wahyu seperti kelimpungan mencari sesuatu."Mas Wahyu nyari apa, Buk?""Gak tahu, sedari tadi gelisah terus. Mungkin kepikiran sama gundiknya itu!" jawab ibuk setengah berbisik."Heh, Wahyu! Mau sampai kapan kamu di dalam situ? Atau mau Ibuk kirim semua bajumu sekalian?" teriak ibu lantang, membuat mas Wahyu gegas turun dari mobil."Nyari apa sih, Mas?" tanyaku datar."Em, itu-, nyari dompet Ayah! Kok gak ada ya?" elaknya. Aku melengos dan segera masuk kedalam. Tak mau berlama-lama menatap wajahnya, yang ada nanti aku simpati lagi dengan raut palsunya itu."Gak usah banyak alasan hanya untuk menemui wanita jalang itu, atau ku bongkar semua di hadapan Arini!" ancam ibu yang masih terdengar di telingaku."Jangan, Buk! Aku janji akan mengkhiri semuanya dengan Salwa. Aku gak mau Arini tahu semuanya, Buk!" mohonnya pada Ibuk.Aku segera masuk kedalam dan menuju meja makan untuk menyiapkan makan siang.๐๐๐Usai makan siang, kedua anakku pamit untuk tidur siang. Sudah menjadi kebiasaan mereka selalu tidur siang setidaknya satu jam setiap harinya."Wahyu, sampai kapan kamu gak narik?" tanya ibu usai menyelesaikan makan siangnya."Mungkin dua hari, Buk! Kenapa?""Mulai sekarang kamu gak perlu narik lagi. Lebih baik buka usaha atau bantu Arini di kios!" Jawaban ibuk membuat mas wahyu tersedak."Dan kamu, Salwa. Kapan pergi dari rumah ini!" hardik ibuk tegas.Salwa dan mas Wahyu saling melempar pandangan. Mungkin Salwa berpikir mas Wahyu akan membujuk ibunya untuk mengijinkan dia tetap tinggal disini. Namun kenyataannya, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya."Rencananya Arini akan mencarikan kontrakan yang dekat dengan kampus Salwa, Buk. Sesuai dengan permintaan mbak Murni kemarin." ujarku mengurai ketegangan."Gak usahlah, Mbak! Lagian belum tentu juga itu Salwa beneran kuliah di situ!" Sambar Erna santai namun sukses membuat Salwa mendelik tajam ke arahnya."Bilang saja sama mbak Murni, suruh jemput kesini saja suruh bawa pulang!" lanjutnya."Mbak Erna ini kenapa sih? Ada masalah apa sama aku!" Entah keberanian dari mana hingga Salwa berani bersuara lantang.Mas Wahyu berubah pias, mungkin dia takut rahasianya terbongkar sekarang."Kenapa? Tersinggung? Kalau bener kuliah ya gak usah ngegas gitu kali!" balas Erna tak kalah sengit."Lagian nih ya, yang otaknya waras pasti mikir. Gak mungkin orang dari kota justru milih kuliah di kampus yang di pinggiran, kecuali ada maksud terselubung!""Erna!" sentak mas Wahyu."Kalian ini ada masalah apa sih sebenarnya?" sambarku menengahi perdebatan ini. Aku tatap tajam mata mas Wahyu yang salah tingkah.Hening untuk sesaat hingga akhirnya mas Wahyu bersuara."Nanti biar Ayah yang carikan kontrakan buat Salwa, Bund!" ujarnya pelan.Kami semua terdiam, sudah muak rasanya menghadapi sandiwara mereka.Waktu terus berlalu, usai makan siang ibuk melarangku membereskan meja makan. Aku menurut dan masuk kedalam kamar, merebahkan diri mengatur degub jantung yang kian berpacu. Tak lama mas Wahyu menyusulku ke kamar."Bund!" panggilnya seraya duduk si tepian ranjang persis di bawah kakiku. Aku enggan menanggapi dan memilih bermain ponsel."Bunda, marah?" Aku menghe nafas besar dan menatapnya tajam."Apa yang Ayah sembunyikan?" tembakku membuatnya gugup."Ti-tidak ada, Bund!""Lantas, kenapa Ayah terlihat tak suka ada Erna dan Ibuk di sini?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari wajahnya."Bukan begitu, Bund. Hanya, Erna salah paham saja. Dia menyangka Ayah ada hubungan dengan Salwa." ceplosnya.Aku akui mas Wahyu memang pandai merangkai kata namun sayangnya matanya tak pandai berbohong."Memangnya apa yang sudah kalian lakukan hingga Erna bisa salah paham?" skakmat! Mas Wahyu gelagapan dengan pertanyaanku. Matanya terus bergerak menghindari tatapanku.Tanpa aku bersusah payah, dia membongkarnya sendiri."Em, itu. Ayah hanya bilang kalau akan mencarikan Salwa kontrakan gitu. Iya, itu saja kok!""Oke, anggaplah aku percaya padamu.""Kok gitu?""Pergilah, carikan kotrakannya segera!"Tanpa kata mas Wahyu melangkah kembali keluar dari kamar. Dia pikir aku akan memberinya kesempatan pergi berdua dengan gundiknya itu, ah tidak suamiku.Aku mengintip dari jendela kamar yang menghadap langsung ke halaman depan. Terlihat mas Wahyu tengah tersenyum menuju mobil dengan Salwa yang bersiap membuka pintu depan samping kemudi. Namun tiba-tiba Erna masuk dan segera duduk di samping kemudi setelah Salwa membuka pintunya."Oh, terimakasih Salwa!" ujar Erna membuat Salwa merengut seketika. Menutup pintu dengan keras dan beralih ke bangku belakang dengan raut wajah kesal.Ya, ada Erna yang akan menguntit mereka kemanapun mereka pergi. Aku tersenyum senang. Lagi, rencana mereka untuk berduaan gagal sudah.๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บ๐บSetelah mobil berlalu meninggalkan halaman rumah, aku keluar menemui ibuk yang duduk di sofa depan tv. "Nduk, ibu mau tanya sedikit!" ucapnya setelah aku ikut duduk di sampingnya."Apa, Buk?""Semua aset yang kalian miliki atas nama siapa?" "Atas nama kami berdua, Buk! Ada apa?" "Nduk, Arini! Kamu ini polos apa bodoh sih! Sekarang amankan semua sertifikat dari aset-aset kalian, cepat bawa kesini!" Ibuk geleng-geleng kepala mendengar jawabanku bahwa memang semua aset yang kami miliki diatasnamakan kami berdua, karena sedari awal memang kami berangkat membangun rumah tangga ini benar-benar hanya dari pakaian yang melekat di badan saja.Hingga ditahun ke tiga kami berhasil membeli tanah yang akhirnya kami bangun runah ini, tahun berlalu kami mampu menambah sebidang tanah yang akhirnya kami buat untuk kiosku menjahit. Beberapa kendaraan termasuk tiga truk dan dua sepeda motor semua atas nama kami berdua. Hanya beberapa set perhiasan dan dua buku tabungan yang atas namaku sendiri.Ibu m
"Erna, jangan cari ribut terus dong! Kalau begini sikap kamu, Arini pasti curiga!" ucap Wahyu setelah tak lama mobil keluar dari gerbang perbatasan tempat tinggalnya.Erna yang sedari tadi fokus pada layar ponsel melirik sinis ke arah kakaknya itu."Kenapa? Takut kalau mbak Arini tahu kelakuan bejat kalian!" sinisnya."Makanya, punya otak di pake dong! Kalian pikir mbak Arini bodoh, hah! Mbak Arini diam bukan berarti dia bisa kalian dzalimi dan kalian injak-injak!" tegas Erna. Wahyu hanya diam dan terus fokus pada jalanan."Sudah berapa kali aku peringatkan kamu, Bang! Tapi sepertinya tak cukup hanya dengan bogemanku waktu itu, apa perlu aku congkel matamu sekalian? Atau aku potong pusakamu, Bang?" Erna menatap tajam Wahyu yang berubah pias, terlihat susah payah menelan saliva."Dan kau, lo*te! Pergilah sebelum kurobek selangkanganmu! Atau perlu kusebar foto telanjangmu di sosial media, hah! Biar Ibumu sendiri yang menghajarmu!" ucapnya mentap tajam Salwa yang sedari tadi hanya diam m
"Ilmu pelet!"Aku terhenyak dengan penuturan Erna, ya Allah sebegitu niatkah Salwa merusak rumah tanggaku hingga ia terjerembab dalam lembah hitam itu?Jika benar Salwa memakai ilmu hitam untuk menjerat suamiku, itu artinya perselingkuhan ini bukan murni kesalahan mas Wahyu. Alam sadarnya dikendalikan oleh hal ghaib.Itu artinya mas Wahyu terlalu jauh dari Allah. Aku terdiam cukup lama, mengingat-ingat kembali sikap mas Wahyu beberapa bulan kebelakang.Ya Allah, aku terlambat menyadari, mas Wahyu sudah lama sekali tak menegakkan shalat dhuha dan shalat malam. Shalat wajib saja ia seperti ogah-ogahan, pantaslah karena dirinya dikendalikan oleh ilmu hitam yang sangat Allah benci."Mbak!" tepukan Erna di bahuku kembali menarik perhatianku."Mbak baru menyadari sekarang, Na! Mas Wahyu sudah lama sekali tidak mengaji, shalat dhuha dan shalat malam. Shalat wajib saja ia seperti malas-malasan. Apakah karena ini hingga ia lengah dan di kendalikan ilmu hitam kiriman Salwa?" ungkapku pada Erna
"Om, aku gak bisa kayak gini terus! Mbak Erna menyiksaku dan Om diam aja gak bisa ngelakuin apapun buatku, kalau gini aku rasa percuma aku rela jauh-jauh datang kesini!" murka Salwa pada Wahyu."Kalau begitu pergilah dan jangan pernah kembali!" Wahyu berucap tak kalah lantang."Om! Mana janji Om yang bakalan bahagiain aku! Om janji bakal jagain aku!" "Sudahlah Salwa! Berapa kali aku bilang padamu, aku ingin hubungan gila ini berakhir. Sudah cukup aku menyakiti istri dan anak-anakku! Aku tak pernah ada rasa apapun terhadapmu! Arini satu-satunya wanita yang ada di hati dan pikiranku, dia istrisempurna untukku!"Plak,Satu tanparan keras ia layangkan di pipi kanan Wahyu hingga ia sedikit terhuyung kesamping."Cukup, Om! Kalau cuma ada tante Arini di hati Om, kenapa om meniduriku? Kenapa Om? Kita sudah sejauh ini dan Om bilang aku harus pergi? Dimana otak, Om!"Plak,Kini giliran Wahtu mendaratkan satu tamparan keras ke pipi Salwa. Untuk pertama kalinya Wahyu lepas kendali menghadapi seo
10."Ngapain kamu?" tanya Erna yang melihat Salwa diam mematung."Mbah siapa tadi?"Salwa semakin gelagapan, matanya bergerak-gerak mencari jawaban yang tepat."Mbah-, mbah itu Nenek akulah!" jawab Salwa ketus meski terdengar gugup.Erna terseyum sinis, sebenarnya ia mendengar semua percakapan Salwa dengan seseorang yang dipanggil Mbah itu sebelum sengaja membuka pintu dengan kasar.Ia segera membaringkan diri di kasur sembari menutup tubuhnya dengan selimut dan memejamkan mata bersiap untuk tidur."Jadi benar firasat Ibuk, jika kamu memakai ilmu hitam untuk menjerat bang Wahyu! Lihat apa yang akan aku lakukan besok padamu, jalang!" Erna membatin dan tetap menutup mata menahan geram.Sementara Salwa, juga merebahkan tubuhnya di kasur tipis yang digelar di lantai. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar, memikirkan bagaimana caranya meluluhkan Wahyu kembali.Berkali-kali ia mengirimkan pesan ke nomor Wahyu namun hanya ceklis satu. Ia geram dan memejamkan matanya dengan hati dong
"Jadi apa rencana kamu setelah ini, Na?" tanya Arini ketika mobil yang dikemudikan Erna pergi meninggalkan kantor notaris untuk membalik nama semua aset yang Arini miliki menjadi namanya sendiri."Kita ke kampus A, Mbak! Kita harus pastikan si Salwa benar kuliah di situ atau enggak. Selebihnya mbak Arini ikutin aja rencana yang aku sama Ibuk udah susun." ucap Erna sembari terus fokus di balik kemudi.Pagi tadi usai sarapan, Erna mengatar Arini untuk membalik nama aset milik mereka menggunakan mobil milik Iwan yang ditukar dengan truk milik Wahyu. Sementara Wahyu diminta Ibunya untuk mengantarkan beliau ke suatu tempat, hanya demi menghindari supaya Salwa tidak bertegur sapa dengannya..Dan untuk anak-anak sudah Arini pesankan jika sudah pulang sekolah untuk berada di rumah mbak Ika sampai ia datang menjemput mereka. Sejujurnya Arini sedikit khawatir meninggalkan Salwa di rumahnya sendiri, namun Erna meyakinkan bahwa ia ingin lihat apa yang akan dilakukan Salwa di rumah itu untuk menje
Bagai tersambar petir, Hasnah terkejut bukan kepalang mendengar kenyataan bahwa Salwa tengah hamil. Tapi apakah janin itu anak dari Wahyu, anaknya. Haji Nurman tak kalah terkejut dengan kenyataan ini. Beliau menatap Hasanah yang juga menatapnya di sudut lain."Apakah bayi dalam kandungan wanita itu benih dari anak muda ini?""Tentu! Karena anak gadis itu hanya mau anak muda ini, maka Sentini menutup peranakannya dari pria lain dan akan membukanya kembali setiap berhubungan dengan anak muda ini. Itulah mengapa kau tak bisa dengan mudah mengirimku kembali ataupun mengusirku Pak tua!""Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk mendapatkan nyawa anak itu?" Hasana tetiba bersuara lantang."Dua bulan saja, hingga anak itu lengkap!"Bagai buah simalakama yang Hasna hadapi. Ia terdiam sejenak dan rasanya sulit di percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dan ia lihat.Haji Nurman menangkap kegelisahan dari raut Hasnah, ia lantas mendekati Hasnah untuk berdiskusi."Bagaimana ini, Buk?""Menu
Aku lahir dan dibesarkan oleh seorang single mom karena menurut cerita mama, papa pergi meninggalkan mama waktu aku berusia 7 bulan dalam rahim mama. Hingga sekarang aku tak pernah tahu seperti apa rupa dan kabar papaku, apakah masih hidup ataukah sudah menyatu dengan tanah.Sedari aku kecil, aku tak pernah tahu yang namanya kasih sayang dan perhatian seorang ayah. Aku hanya dapat kasih sayang dari mama saja, itupun hanya sampai aku masuk TK. Selebihnya, sehari-hari aku diasuh oleh pembantu karena mama harus bekerja siang malam untuk menghidupiku.Seiring waktu berjalan, aku mulai terbiasa dengan hidupku. Mama hanya akan bertegur sapa denganku kala pagi saja sebelum aku pergi sekolah dan mama pergi bekerja. Mama kerap kali pulang larut malam hingga tak pernah bertemu denganku karena jika mama pulang tentu aku sudah terbuai di alam mimpi.Mama kerap kali keluar kota untuk urusan pekerjaannya, entahlah pekerjaan mama itu seperti apa aku tak mau ambil pusing soal itu. Mama melimpahiku de
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. 6 bulan sudah Salwa dirawat di rumah Murni di Jakarta. Awalnya Salwa menolak dan memilih kembali ke Jambi. Namun, dengan alasan lebih dekat jika harus kembali ke rumah sakit untuk kontrol, akhirnya ia setuju dengan Bik Jani tetap ikut bersamanya. Ia tak mau lagi merepotkan Murni dan Tri juga ketiga saudara tirinya.Kondisi Salwa semakin memprihatinkan, kian hari kian kurus. Rambut indah itu gini tak lagi tersisa sedikitpun dan hanya menampakkan kulit kepalanya saja. Cekungan mata kian kentara bahkan kini untuk bicara saja sudah mulai kesusahan.Satu bulan lalu, kenyataan pahit kembali menghantam mental Salwa. Dokter menemukan adanya pertumbuhan sel kanker yang sudah menyebar di area kerongkongan akibat virus APV yang di sebut kanker orofaring. Sejak itu pula, Salwa kehilangan suaranya.Meski begitu lemah oleh keadaan, semangatnya masih membara dalam dirinya. Ia menjalani hari-harinya dengan ikhlas, tak ada lagi air mata yang keluar dari mat
Sesampainya di rumah sakit, Murni segera memaksa untuk bisa masuk ke dalam ruang ICU menemani Salwa. Setelah mendapat ijin dari dokter Rudi, akhirnya Murni diijinkan masuk dengan mengenakan APD khusus sebelumnya. Sedangkan Tri menemui dokter Rudi untuk meminta penjelasan lebih detailnya."Salwa!" Murni tergugu melihat Salwa terbaring dengan berbagai alat medis menempel pada tubuhnya. Wajahnya kuyu, pucat dan semakin kurus bahkan tulang pipinya nampak menonjol. Matanya menghitam dengan cekungan yang dalam.Murni membelai pipi tirus Salwa dengan air mata membanjiri kedua pipinya."Maafkan Mama, Nak!" lirihnya."Bangun, Nak! Ini Mama datang! Kamu gak sendiri lagi sekarang!" tangisnya kian menjadi kala Salwa tak merespon ucapannya.Sesak dalam dadanya kian menjadi, kala tak ia temukan rambut panjang yang tergerai indah dari kepala sang anak."Ya Allah, kemana rambut indahnya? Kemana senyum cerianya?" batinnya menangis pilu."Kemana Mama, hingga tak menemanimu berjuang melawan sakit, Nak?
Dua tahun kemudian.Tok tok tok"Umi! Umi! Tolong!" teriak seorang wanita paruh baya sembari menggedor pintu rumah utama pondok pesantren Al-Khumairah.KrieetttTak lama pintu terbuka dan muncullah seorang wanita berkaca mata yang dipanggil Umi, oleh seluruh santri di pondok pesantren itu."Ada apa, Bi Jani?" tanyanya pada wanita bernama Jani itu."Mbak Salwa, pingsan lagi Umi!" jawabnya panik."Astaghfirullah! Yasudah, ayok kita kesana!" Kedua wanita itu lantas berjalan cepat menuju salah satu pondok yang selama ini di tempati Salwa dan Jani.Waktu menunjukkan pukul 2 pagi, dan ini bukan kali pertama Salwa jatuh pingsan."Ya Allah, Bik cepat telepon dokter Ana!" titah Umi Dewinta pada Jani setelah mendapati Salwa yang terbaring di atas kasur.Jani segera meraih ponsel dan menghubungi dokter Ana, dokter yang selama ini merawat Salwa.Dua bulan setelah Salwa masuk ke pesantren, dia dinyatakan mengidap penyakit kanker serviks stadium 3. Dimana penyakit itu sudah mulai menyebabkan usus
"Selamat ya, Pak, Bu, bayinya perempuan. Cantik sekali seperti ibunya." ungkap dokter wanita ber tag name dr. Intan Kusuma Sp.Og itu di luar ruang operasi kepada Wahyu dan juga Hasnah yang menunggui proses persalinan Arini secara secar."Alhamdulillah wa syukurilah!""Alhamdulillah ya Allah!" Pekik Wahyu dan Hasnah serempak. Tanpa terasa bulir bening membasahi kedua pipi Wahyu juga Hasnah.Proses persalinan tanpa boleh didampingi oleh siapapun itu, rupanya menjadi hadiah terindah dalam hidup Arini juga Wahyu, dengan kelahiran anak ke tiga berjenis kelamin perempuan.Proses yang sangat menegangkan, pasalnya usia Arini yang tak lagi muda dan riwayat darah tinggi yang tidak memungkinkan Arini untuk melahirkan secara normal. "Bayinya baru dibersihkan, nanti kalau sudah siap, suster akan memberitahu Bapak untuk mengazaninya." setelahnya dokter Intan kembali masuk ke dalam ruang operasi.Tak lama kemudian seorang suster keluar dan memanggil Wahyu untuk mengazankan putrinya. Wahyu tergugu
Perjalanan panjang yang melelahkan jiwa dan raga, namun ada hasil yang melegakan.Hidup kami mulai berjalan normal kembali. Tak ada rintihan kesakitan suamiku, tak ada lagi kejadian-kejadian di luar akal sehat manusiawiku.Hari ini, tepat satu minggu dari kejadian terakhir di kampung waktu itu. Aku mengadakan pengajian syukur untuk kesembuhan suamiku, sekaligus acara syukuran empat bulanan kehamilan ke tiga yang Allah percayakan padaku.Haru, bahagia, lega dan bersyukur akan nikmat Allah yang begitu luar biasa dalam kehidupanku. Aku mengundang 100 anak yatim piatu dari panti asuhan dan juga mengundang seluruh keluarga besarku dan suamiku.Alhamdulillah semuanya datang menghadiri acara syukuran ini, terkecuali Salwa. Ya, Mbak Murni sudah menceritakan semuanya pada kami.Sejatinya kami, terkhususnya aku sendiri tak ada dendam dalam hati untuknya. Karena memang semua yang terjadi diluar kehendaknya sendiri, tapi dia sudah membuat keputusan yang terbaik dalam hidupnya dan kami harus meng
"Kami selaku perwakilan pemerintahan kelurahan Senyerang, mengucapkan banyak terimakasih untuk Pak Kyai Ahmad dan rombongan. Yang sudah berkenan membebaskan salah satu kampung kami yang selama lima tahun terakhir ini hilang dari pandangan mata manusia kami.Insya Allah, dalam waktu dekat kami akan segera membangun kampung mati yang sejatinya bernama kampung Belah ini. Kami akan segera mengajukan untuk penyaluran aliran listrik dan juga pembangunan jalan penghubung, supaya kampung Belah ini tak lagi terisolir.Kami juga akan mencari data pemilik lahan di kampung ini, siapa tahu mereka berkenan kembali menghidupkan kampung Belah ini."Ujar Pak Kades panjang lebar di hadapan para warga dan perangkat desa lainnya.Kejadian malam tadi menarik perhatian orang nomor satu di kelurahan Senyerang ini, lantas mendatangi lokasi beserta para stafnya.Pak Kyai Ahmad menjelaskan secara detail mengenai apa yang terjadi di kampung mati atau kampung Belah ini.Kepala desa dan jajarannya dibuat terkejut
"Sudah cukup main-mainnya, Garmo!"Pak Haji Nurman berdiri dengan gagahnya di ambang pintu. Mbah Garmo berdesis sembari memegangi dadanya."Jangan ikut campur kau, Nurman!" hardiknya sembari bangkit berdiri."Tentu! Aku tidak akan ikut campur jika kau juga tak mengusik keluargaku!" ucap Pak Haji tenang."Keluargamu? Yang benar saja!" Mbah Garmo tertawa sumbang.Sedangkan di luar rumah, Murni, Tri dan Pak Kyai, tengah membantu Harun yang terkapar tak sadarkan diri."Mahardika Mahendra itu keponakanku! Dan kau berani menyentuhnya!" ucap Pak Haji lagi.Salwa dan Rodiya kompak menoleh ke arah Dika yang masih tak sadarkan diri."Jangan salahkan aku, karena bocah ingusan itu yang masuk lebih dulu!" jawab Mbah Garmo."Apa yang kau cari Garmo?" ucap Pak Kyai yang muncul dari balik tubuh Pak Haji Nurman, diikuti Murni dan Tri yang memapah Harun.Rodiya segera berlari menyongsong tubuh suaminya dan segera membantu Tri membaringkan Harun di tepi lantai sebelah kanan, sedangkan Pak Haji dan Pak K
"Masih jauh lagi kah, Mbok? Sudah hampir maghrib loh ini?" tanya Murni semakin cemas."Masih lumayan, Bu. Kita lewat jalur barat jadi memang agak memutar, karena cuma di jalur itu mobil bisa sampai ke kampung. Itupun hanya sampai di kampung Bunga Jati, harus jalan kaki sekitar 15 menit lagi untuk sampai ke kampung Mak Saroh." jelas mbok Satiyem."Ya Allah, Mas tambah kecepatannya lagi!" perintah Murni pada Tri."Gak bisa, Dek. Lha wong jalannya begini, untung ini gak hujan kalau hujan malah kita gak mungkin bisa lewat." jelas Tri tanpa mengalihkan pandangannya pada jalanan yang ia rasa begitu sulit dilalui."Ya Allah, perasaanku gak enak ini." gumamnya sambil beberapa kali menghubungi nomor Harun namun tak dapat tersambung. Akhirnya ia putuskan untuk mengirim pesan saja.[Pak Harun, kami lewat jalur barat kata mbok Yem, ini belum sampai]Pesan ia kirimkan ke nomor Harun, dan masih belum terbaca oleh Harun."Duh, signal aja susahnya ampun, deh!" gerutunya sembari melihat layar ponsel.
"Salwa! Nak, bangun Salwa!"Randa membopong tubuh Salwa dan segera berjalan menuju pintu hendak keluar. Tapi, lagi mereka terpental ke belakang, tak bisa melewati pintu yang terbuka lebar itu."Arrrggghhhh!!Ber*ngs*k!" umpatnya frustasi. Ia terpaksa kembali merebahkan tubuh kecil Salwa pada meja sebelumnya, memastikan bahwa Salwa masih bernafas."Oh, syukurlah!" gumamnya setelah memastikan Salwa masih bernafas."Oh, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?" ucapnya dalam hati."Yah, sakit!" rintih Salwa setelah sadarkan diri."Kenapa, Nak? Mana yang sakit?" tanyanya panik.Salwa mengerang dengan memegang perutnya, ia meringis kesakitan sedangkan keringat dengan cepat membasahi wajahnya."Permisiii!! Assalamualaikum!!"Randa dan Salwa saling bersitatap keheranan. Sayup mereka mendengar suara orang di luar sana."Permisiiii!!!" "Ayah dengar suara itu?" tanya Salwa."Iya, Ayah dengar. Siapa itu ya?" gumam Randa. Lantas ia bergerak menuju jendela dan melongokkan kepalanya keluar, tapi tetap