Aku lahir dan dibesarkan oleh seorang single mom karena menurut cerita mama, papa pergi meninggalkan mama waktu aku berusia 7 bulan dalam rahim mama. Hingga sekarang aku tak pernah tahu seperti apa rupa dan kabar papaku, apakah masih hidup ataukah sudah menyatu dengan tanah.Sedari aku kecil, aku tak pernah tahu yang namanya kasih sayang dan perhatian seorang ayah. Aku hanya dapat kasih sayang dari mama saja, itupun hanya sampai aku masuk TK. Selebihnya, sehari-hari aku diasuh oleh pembantu karena mama harus bekerja siang malam untuk menghidupiku.Seiring waktu berjalan, aku mulai terbiasa dengan hidupku. Mama hanya akan bertegur sapa denganku kala pagi saja sebelum aku pergi sekolah dan mama pergi bekerja. Mama kerap kali pulang larut malam hingga tak pernah bertemu denganku karena jika mama pulang tentu aku sudah terbuai di alam mimpi.Mama kerap kali keluar kota untuk urusan pekerjaannya, entahlah pekerjaan mama itu seperti apa aku tak mau ambil pusing soal itu. Mama melimpahiku de
Ujian usai dan kembali di pusingkan dengan tujuan kuliah. Mama sibuk menyiapkan dan mengaturku untuk masuk kuliah di universitas pilihannya. Sungguh aku bosan, aku tak ingin melanjutkan kuliah. Aku sudah merasa bahagia dengan hidupku tanpa harus pusing mikirin soal-soal dan pelajaran yang membuat otakku serasa mau meledak.Akhirnya aku putuskan untuk membohongi mama, aku mengatakan bahwa aku akan kuliah di kampus A dekat dengan tempat tinggal tante Arini. Mama menolak keras, jelas saja sebab kampus itu berada di pinggiran kota, gak keren sama sekali.Tapi dengan berbagai alasan akhirnya mama luluh juga dan mengijinkanku untuk kuliah disana. Bohong, sudah tentu sebab tujuanku hanyalah om Wahyu. Jika aku tinggal satu wilayah dengannya, maka intensitas hubungan kami semakin sering.Hari yang aku nantikan tiba, om Wahyu menjemputku seorang diri di terminal. Sengaja aku gak bawa motor karena aku akan tinggal untuk waktu yang lama di rumah tante Arini. Sebelum pulang kami menghabiskan waktu
"Alasan apa yang akan kau pakai untuk menyangkal, Salwa?" hardik Arini pelan namun tajam.Salwa bersimpuh di kakinya sembari terisak."Maafin Salwa, Tante! Salwa terlanjur mencintai om Wahyu. Relakan om Wahyu buat Salwa, Tante!""Tak tahu malu! Apa kau pikir suamiku akan memilihmu? Naif sekali kamu!""Tante! Aku tahu aku salah, tapi tolong! Aku gak bisa hidup tanpa om Wahyu!" ucapnya sembari terisak. Arini dan Erna yang ada di sana geleng-geleng kepala melihat Salwa."Apa yang kamu lihat dari suamiku? Hingga kau rela bergumul dengan iblis untuk menjerat suamiku. Uang? Kurasa kau tak butuh uang bukan? Kau bisa menjerat laki-laki yang lebih tampan dan kaya-raya jika hanya mau uang.""Tante, aku benar-benar mencintai om Wahyu tanpa embel-embel apapun. Aku tak butuh hartanya, aku hanya mau dia, Tante!""Cinta? Belajar dari mana kau apa itu cinta? Bahkan kau menyusut ingusmu sendiri saja masih belum bersih sudah bicara cinta, itu konyol Salwa!" Sambar Erna sembari terus mengarahkan ponsel
"Salwa sekarang tengah hamil anak Wahyu!"Arini dan Erna saling beradu pandang."Iya kan, kemarin Ibuk sudah bilang ke kita." potong Erna."Bukan itu yang Ibuk maksud,""Lantas?""Salwa hamil anak Wahyu, dan ini sudah pasti akan dia gunakan untuk menuntut pertanggung jawaban Wahyu. Tapi Ibuk rasa Salwa belum mengetahui soal kehamilannya dan kalau bisa, jangan sampai dia tahu soal kehamilannya."Erna dan Arini manggut-mangut tanda mengerti kemana arah pembicaraan ibunya."Dua bulan adalah waktu yang cukup panjang, jangan sampai Wahyu kembali masuk kedalam perangkap iblis betina itu.""Itulah sebabnya, Arini meminta mbak Murni sendiri yang mengambil tindakan untuk Salwa, Buk.""Baguslah, kapan Murni akan datang?""Ini sudah dalam perjalanan, jika tidak ada halangan sebelum subuh sudah sampai.""Baiklah, kalau begitu kamu istirahatlah dulu! Biar ibu yang berjaga, nanti kita gantian saja, Ibuk tak mau kita kecolongan lagi!" usul Hasnah.Arini dan Erna tak setuju dengan usulan ibunya. Akhi
"Asal kamu tahu, Salwa bukan anak kandung Mbak, Arini!"Semua yang berada di sana terperangah dengan kenyataan yang Murni ungkapkan."Mbak ini mandul, Arini. Itulah mengapa mas Damar pergi meninggalkan Mbak dan menikah lagi dengan wanita lain." Mata Murni terlihat mengembun mengakui kenyataan bahwa ia tidak sempurna sebagai seorang wanita."Ya Allah! Kenapa mbak Murni gak pernah cerita sama kami?" Arini mengusap punggung kakaknya itu untuk memberi kekuatan sesama wanita."Kala itu, Mbak terpuruk dengan keadaan. Mas Damar pergi tanpa kabar berita, dan setelah Mbak tahu rupanya dia telah menikahi wanita lain hanya karena Mbak gak bisa kasih anak untuknya. Mbak marah, kecewa dan sedih bersamaan. Mbak berencana pulang ke kampung, tapi rupanya Fita juga tengah bersedih sebab kehilangan suaminya. Fita memberitahu Mbak, jika dia akan kembali ke kampung dan akan tinggal disana bersama putranya.Mbak, tak ingin membuat kesedihan kalian bertambah dengan cerita hidup Mbak. Makanya, Mbak tak jadi
Sepeninggal Salwa dari rumah Arini, Murni tergugu dalam penyesalan yang teramat dalam. Ia menangis sesenggukan di pelukan Arini."Mbak pikir bisa merubah serigala menjadi domba, Arini! Tapi, rupanya serigala tetaplah serigala walau berbulu domba!" Arini mengusap lembut bahu sang kakak. Ia memilih diam karena tak tahu harus bagaimana menanggapinya."Terimakasih, Mbak!" ucap Arini setelah sekian menit terdiam."Untuk?" Murni mendongak menatap adiknya."Untuk semua pengorbanan yang mbak Murni berikan selama ini, bahkan kini Mbak rela memulangkan Salwa demi kami!" ungkap Arini tulus."Hey, itu sudah jadi kewajiban seorang kakak untuk adiknya! Kamu adik kandungku, darah yang memgalir di tubuhmu sama dengan darahku. Kalian adalah amanah dari Ayah dan Ibu untukku. Sedangkan Salwa, hanyalah orang lain yang kebetulan mendapatkan kasih sayangku." Murni kembali merengkuh Arini kedalam pelukannya. Sedari kecil mereka di ajarkan oleh orang tua mereka untuk saling menyayangi satu sama lain, meski
Hari ini adalah hari terpanjang dan tersial yang pernah hadir dalam hidupku. Untuk pertama kalinya hatiku merasa hancur berkeping-keping.Menyesal? Ada sedikit rasa itu dalam sudut lain hati ini. Mama, dengan segala luka dan lelehan air matanya terus menghantui pikiranku selama perjalanan menuju kampung Nenek di Kuala Tungkal.Bukan kali pertama Mama murka dengan kelakuanku, hanya saja hari ini adalah puncaknya. Aku tak pernah menyangka jika aku tak terlahir dari rahimnya.Air mata masih enggan berhenti mengalir sepanjang jalan yang terasa melelahkan dan membosankan. Terbayang setiap kenangan yang pernah aku lalui bersama Mama. Meski tak setiap waktu, namun cukup membekas dalam ingatanku.Mama bekerja siang malam demi mencukupi segala kebutuhan hidupku, demi sekolahku yang mahal, demi bisa melihatku berpenampilan sama seperti teman-temanku.Mama selalu memberiku apa saja yang aku minta, tak pernah sekalipun menolaknya meski harganya diluar kewajaran untuk usiaku. "Ma, Salwa mau gant
Hari menjelang sore kala urusan tentang Mursan dan Wati berakhir. Meski belum mendapat titik terang untuk menyelesaikan masalah Mursan setidaknya untuk sementara ada keputusannya, yaitu dengan memasung Mursan supaya tidak berkeliaran dan membahayakan para gadis di kampung ini.Arini mengusulkan supaya nanti Mursan di bawa kerumah saat adanya pengajian, siapa tahu haji Nurman bisa membantu menyembuhkan Mursan. Aku setuju, sebab aku juga berpikir hal yang sama dengan Arini.Aku dan Arini memutuskan pulang lebih dulu, sementara di rumah pak RT masih terlihat banyak sekali para warga yang penasaran dengan keadaan Mursan.Bisik-bisik masih terdengar sepanjang aku dan Arini melangkah meninggalkan halaman rumah pak RT. Sejujurnya aku bergidik ngeri, aku pernah menyentuh Salwa yang nyatanya telah mengumbar tubuhnya untuk banyak pria. Aku merasa jijik dengan tubuhku sendiri, setelah ini aku berencana memeriksakan diri ke rumah sakit. Biar bagaimanapun aku harus memastikan aku tak membawa pen
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. 6 bulan sudah Salwa dirawat di rumah Murni di Jakarta. Awalnya Salwa menolak dan memilih kembali ke Jambi. Namun, dengan alasan lebih dekat jika harus kembali ke rumah sakit untuk kontrol, akhirnya ia setuju dengan Bik Jani tetap ikut bersamanya. Ia tak mau lagi merepotkan Murni dan Tri juga ketiga saudara tirinya.Kondisi Salwa semakin memprihatinkan, kian hari kian kurus. Rambut indah itu gini tak lagi tersisa sedikitpun dan hanya menampakkan kulit kepalanya saja. Cekungan mata kian kentara bahkan kini untuk bicara saja sudah mulai kesusahan.Satu bulan lalu, kenyataan pahit kembali menghantam mental Salwa. Dokter menemukan adanya pertumbuhan sel kanker yang sudah menyebar di area kerongkongan akibat virus APV yang di sebut kanker orofaring. Sejak itu pula, Salwa kehilangan suaranya.Meski begitu lemah oleh keadaan, semangatnya masih membara dalam dirinya. Ia menjalani hari-harinya dengan ikhlas, tak ada lagi air mata yang keluar dari mat
Sesampainya di rumah sakit, Murni segera memaksa untuk bisa masuk ke dalam ruang ICU menemani Salwa. Setelah mendapat ijin dari dokter Rudi, akhirnya Murni diijinkan masuk dengan mengenakan APD khusus sebelumnya. Sedangkan Tri menemui dokter Rudi untuk meminta penjelasan lebih detailnya."Salwa!" Murni tergugu melihat Salwa terbaring dengan berbagai alat medis menempel pada tubuhnya. Wajahnya kuyu, pucat dan semakin kurus bahkan tulang pipinya nampak menonjol. Matanya menghitam dengan cekungan yang dalam.Murni membelai pipi tirus Salwa dengan air mata membanjiri kedua pipinya."Maafkan Mama, Nak!" lirihnya."Bangun, Nak! Ini Mama datang! Kamu gak sendiri lagi sekarang!" tangisnya kian menjadi kala Salwa tak merespon ucapannya.Sesak dalam dadanya kian menjadi, kala tak ia temukan rambut panjang yang tergerai indah dari kepala sang anak."Ya Allah, kemana rambut indahnya? Kemana senyum cerianya?" batinnya menangis pilu."Kemana Mama, hingga tak menemanimu berjuang melawan sakit, Nak?
Dua tahun kemudian.Tok tok tok"Umi! Umi! Tolong!" teriak seorang wanita paruh baya sembari menggedor pintu rumah utama pondok pesantren Al-Khumairah.KrieetttTak lama pintu terbuka dan muncullah seorang wanita berkaca mata yang dipanggil Umi, oleh seluruh santri di pondok pesantren itu."Ada apa, Bi Jani?" tanyanya pada wanita bernama Jani itu."Mbak Salwa, pingsan lagi Umi!" jawabnya panik."Astaghfirullah! Yasudah, ayok kita kesana!" Kedua wanita itu lantas berjalan cepat menuju salah satu pondok yang selama ini di tempati Salwa dan Jani.Waktu menunjukkan pukul 2 pagi, dan ini bukan kali pertama Salwa jatuh pingsan."Ya Allah, Bik cepat telepon dokter Ana!" titah Umi Dewinta pada Jani setelah mendapati Salwa yang terbaring di atas kasur.Jani segera meraih ponsel dan menghubungi dokter Ana, dokter yang selama ini merawat Salwa.Dua bulan setelah Salwa masuk ke pesantren, dia dinyatakan mengidap penyakit kanker serviks stadium 3. Dimana penyakit itu sudah mulai menyebabkan usus
"Selamat ya, Pak, Bu, bayinya perempuan. Cantik sekali seperti ibunya." ungkap dokter wanita ber tag name dr. Intan Kusuma Sp.Og itu di luar ruang operasi kepada Wahyu dan juga Hasnah yang menunggui proses persalinan Arini secara secar."Alhamdulillah wa syukurilah!""Alhamdulillah ya Allah!" Pekik Wahyu dan Hasnah serempak. Tanpa terasa bulir bening membasahi kedua pipi Wahyu juga Hasnah.Proses persalinan tanpa boleh didampingi oleh siapapun itu, rupanya menjadi hadiah terindah dalam hidup Arini juga Wahyu, dengan kelahiran anak ke tiga berjenis kelamin perempuan.Proses yang sangat menegangkan, pasalnya usia Arini yang tak lagi muda dan riwayat darah tinggi yang tidak memungkinkan Arini untuk melahirkan secara normal. "Bayinya baru dibersihkan, nanti kalau sudah siap, suster akan memberitahu Bapak untuk mengazaninya." setelahnya dokter Intan kembali masuk ke dalam ruang operasi.Tak lama kemudian seorang suster keluar dan memanggil Wahyu untuk mengazankan putrinya. Wahyu tergugu
Perjalanan panjang yang melelahkan jiwa dan raga, namun ada hasil yang melegakan.Hidup kami mulai berjalan normal kembali. Tak ada rintihan kesakitan suamiku, tak ada lagi kejadian-kejadian di luar akal sehat manusiawiku.Hari ini, tepat satu minggu dari kejadian terakhir di kampung waktu itu. Aku mengadakan pengajian syukur untuk kesembuhan suamiku, sekaligus acara syukuran empat bulanan kehamilan ke tiga yang Allah percayakan padaku.Haru, bahagia, lega dan bersyukur akan nikmat Allah yang begitu luar biasa dalam kehidupanku. Aku mengundang 100 anak yatim piatu dari panti asuhan dan juga mengundang seluruh keluarga besarku dan suamiku.Alhamdulillah semuanya datang menghadiri acara syukuran ini, terkecuali Salwa. Ya, Mbak Murni sudah menceritakan semuanya pada kami.Sejatinya kami, terkhususnya aku sendiri tak ada dendam dalam hati untuknya. Karena memang semua yang terjadi diluar kehendaknya sendiri, tapi dia sudah membuat keputusan yang terbaik dalam hidupnya dan kami harus meng
"Kami selaku perwakilan pemerintahan kelurahan Senyerang, mengucapkan banyak terimakasih untuk Pak Kyai Ahmad dan rombongan. Yang sudah berkenan membebaskan salah satu kampung kami yang selama lima tahun terakhir ini hilang dari pandangan mata manusia kami.Insya Allah, dalam waktu dekat kami akan segera membangun kampung mati yang sejatinya bernama kampung Belah ini. Kami akan segera mengajukan untuk penyaluran aliran listrik dan juga pembangunan jalan penghubung, supaya kampung Belah ini tak lagi terisolir.Kami juga akan mencari data pemilik lahan di kampung ini, siapa tahu mereka berkenan kembali menghidupkan kampung Belah ini."Ujar Pak Kades panjang lebar di hadapan para warga dan perangkat desa lainnya.Kejadian malam tadi menarik perhatian orang nomor satu di kelurahan Senyerang ini, lantas mendatangi lokasi beserta para stafnya.Pak Kyai Ahmad menjelaskan secara detail mengenai apa yang terjadi di kampung mati atau kampung Belah ini.Kepala desa dan jajarannya dibuat terkejut
"Sudah cukup main-mainnya, Garmo!"Pak Haji Nurman berdiri dengan gagahnya di ambang pintu. Mbah Garmo berdesis sembari memegangi dadanya."Jangan ikut campur kau, Nurman!" hardiknya sembari bangkit berdiri."Tentu! Aku tidak akan ikut campur jika kau juga tak mengusik keluargaku!" ucap Pak Haji tenang."Keluargamu? Yang benar saja!" Mbah Garmo tertawa sumbang.Sedangkan di luar rumah, Murni, Tri dan Pak Kyai, tengah membantu Harun yang terkapar tak sadarkan diri."Mahardika Mahendra itu keponakanku! Dan kau berani menyentuhnya!" ucap Pak Haji lagi.Salwa dan Rodiya kompak menoleh ke arah Dika yang masih tak sadarkan diri."Jangan salahkan aku, karena bocah ingusan itu yang masuk lebih dulu!" jawab Mbah Garmo."Apa yang kau cari Garmo?" ucap Pak Kyai yang muncul dari balik tubuh Pak Haji Nurman, diikuti Murni dan Tri yang memapah Harun.Rodiya segera berlari menyongsong tubuh suaminya dan segera membantu Tri membaringkan Harun di tepi lantai sebelah kanan, sedangkan Pak Haji dan Pak K
"Masih jauh lagi kah, Mbok? Sudah hampir maghrib loh ini?" tanya Murni semakin cemas."Masih lumayan, Bu. Kita lewat jalur barat jadi memang agak memutar, karena cuma di jalur itu mobil bisa sampai ke kampung. Itupun hanya sampai di kampung Bunga Jati, harus jalan kaki sekitar 15 menit lagi untuk sampai ke kampung Mak Saroh." jelas mbok Satiyem."Ya Allah, Mas tambah kecepatannya lagi!" perintah Murni pada Tri."Gak bisa, Dek. Lha wong jalannya begini, untung ini gak hujan kalau hujan malah kita gak mungkin bisa lewat." jelas Tri tanpa mengalihkan pandangannya pada jalanan yang ia rasa begitu sulit dilalui."Ya Allah, perasaanku gak enak ini." gumamnya sambil beberapa kali menghubungi nomor Harun namun tak dapat tersambung. Akhirnya ia putuskan untuk mengirim pesan saja.[Pak Harun, kami lewat jalur barat kata mbok Yem, ini belum sampai]Pesan ia kirimkan ke nomor Harun, dan masih belum terbaca oleh Harun."Duh, signal aja susahnya ampun, deh!" gerutunya sembari melihat layar ponsel.
"Salwa! Nak, bangun Salwa!"Randa membopong tubuh Salwa dan segera berjalan menuju pintu hendak keluar. Tapi, lagi mereka terpental ke belakang, tak bisa melewati pintu yang terbuka lebar itu."Arrrggghhhh!!Ber*ngs*k!" umpatnya frustasi. Ia terpaksa kembali merebahkan tubuh kecil Salwa pada meja sebelumnya, memastikan bahwa Salwa masih bernafas."Oh, syukurlah!" gumamnya setelah memastikan Salwa masih bernafas."Oh, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?" ucapnya dalam hati."Yah, sakit!" rintih Salwa setelah sadarkan diri."Kenapa, Nak? Mana yang sakit?" tanyanya panik.Salwa mengerang dengan memegang perutnya, ia meringis kesakitan sedangkan keringat dengan cepat membasahi wajahnya."Permisiii!! Assalamualaikum!!"Randa dan Salwa saling bersitatap keheranan. Sayup mereka mendengar suara orang di luar sana."Permisiiii!!!" "Ayah dengar suara itu?" tanya Salwa."Iya, Ayah dengar. Siapa itu ya?" gumam Randa. Lantas ia bergerak menuju jendela dan melongokkan kepalanya keluar, tapi tetap