Jam empat sore Mas Fano datang dengan seorang kawannya yang berencana membeli rumah ini. Namanya Mas Irham, teman kantor Mas Fano sekarang. Mas Fano sudah menjelaskan secara singkat bagaimana keadaan rumah itu, makanya dia berniat melihatnya secara langsung.Aku dan Mas Fano berboncengan naik sepeda motor, sementara dia mengikuti kami dengan mobilnya. Setelah sampai rumah, Mas Fano yang kembali menjelaskan detailnya sembari melihat-lihat ruangan yang ada. |Nia, kata mama kamu mau jual rumah itu? Kenapa harus dijual segala? Rumah itu penuh kenangan kita. Apa kamu memang nggak bisa move on dariku saat tinggal di sana?|Pesan Mas Bian benar-benar membuatku shock. Makin hari makin aneh saja ulahnya. Biasanya juga dia tak pernah peduli apapun yang kulakukan. Entah kenapa sekarang dia mendadak perhatian pakai menyebutku gagal move on segala. Teori darimana itu, menjual rumah dianggap nggak bisa move on.Bukankah seharusnya dia senang jika aku bisa melupakan semua kenangan buruk saat hidup
"Yena mau bobok di tempat Oma, Ma," ucap Irena dengan wajah penuh harap, berharap aku mengizinkannya. "Boleh, Ma?" tanyanya lagi sembari mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Dia terlihat begitu memohon. Tak ingin membuatnya kecewa, aku pun menganggukkan kepala lalu tersenyum tipis. Sorak sorai pun terdengar. Gadis kecil itu bahkan menari-nari seperti baleria di depanku juga di depan mama dan papanya. "Nanti kalau Yena mau pulang, Oma telpon mama, ya? Atau Oma antar pulang ke rumah nenek?" Irena menoleh ke arah Oma di sampingnya. "Diantar Oma juga bisa. Sekalian Oma mau bertemu nenek. Boleh kan Oma kangen sama neneknya Rena?" balas mama dengan senyum lebar. "Boleh dong, Oma. Nenek pasti seneng banget ketemu sama Oma." Wajah cantik itu berbinar dengan senyum lebar.Irena kembali memeluk Omanya erat. Mama pun menciumi puncak kepala cucunya. Ada kebahagiaan sendiri di wajah mama saat aku mengizinkan Irena menginap di rumahnya beberapa waktu ke depan.Tak apalah. Aku percaya pada
Hati ini mulai berdebar tak karuan saat melihat Mas Reza dan Irena berbincang di sana. Pikiran burukku pun mulai berjalan. Berbagai dugaan mulai lalu lalang di depan mata. Entah mengapa aku terlalu trauma didustai lagi, makanya kalau ada semacam ini perasaanku sudah tak menentu. Aku benar-benar khawatir ada sesuatu di antara mereka. Aku takut kisahku sebelumnya dengan Mas Bian terulang kembali. Sejak kapan mereka saling mengenal? Mungkinkah semua rayuan Mas Reza beberapa bulan belakangan hanya persekongkolan mereka saja? Mataku mulai memanas melihat mereka sepertinya cukup akrab. Terlibat obrolan yang nggak biasa. Seperti pernah ngobrol sebelumnya. Apakah mereka bekerja sama? Lagi-lagi pertanyaan itu seolah berputar di benak. Mas Reza yang mencintaiku dan Irena yang mencintai Mas Bian ... mungkinkah sengaja bersekongkol memisahkan kami? Ya Allah ... aku benar-benar takut jika itu memang rencana mereka berdua. Kedatangan Irena ke kota ini kembali, perpisahannya dengan sang suami, cu
Pov : Bian"Kenapa kamu meneror Dania, Iren?" tanyaku pada istri keduaku itu. Dia baru keluar dari kamar sembari menutup mulutnya saat menguap, sementara aku sudah menyiapkan nasi gorengku sendiri untuk sarapan. Seperti inilah tiap pagiku. Sibuk dengan menyiapkan sarapan karena Irena tak bisa diandalkan. Dia selalu bangun kesiangan bahkan shalat subuh pun kadang telat. Entah apa yang dilakukannya setiap hari di rumah karena gerak-geriknya seperti selalu kecapekan. Bahkan tak jarang mengeluh tiap malam. Nyaris lima bulan menikah dengannya, hanya beberapa kali saja dia menyiapkan sarapan. Itu pun saat awal-awal gajian, setelahnya dia mulai malas. Dia justru sering memintaku membuatkan sarapan untuknya sekalian. Lucu memang, tapi begitulah istri keduaku itu. Irena selalu bilang sudah kecapekan menemani Rizqi main seharian, sebab tak ada lagi asisten rumah tangga di sini. Aku tak tahu apakah secapek itu mengurus Rizki, padahal soal baju semua sudah di laundry. Beberes rumah pun seadany
Ponsel dan nomer baru. Aku memang sengaja ganti nomor untuk ketenangan hati dan kehidupan yang baru. Malas berhubungan dengan masa lalu yang hanya menyesakkan dada. Aku hanya menyimpan nomor-nomor penting dan nomor keluarga besarku saja. Tak ada nomor Mas Bian, jika dia ingin menjenguk Irena, biar mama saja yang menghubunginya. Bahkan Mas Reza juga tak tahu nomor baruku. Biar saja. Kalau memang dia nggak serius, aku yakin dia akan menyerah pada waktunya. Lagipula, aku juga capek menggunakan nomor lamaku karena perempuan itu tak berhenti mengganggu. Selalu saja ada hal yang sengaja dipamerkannya. Entah tentang Mas Bian yang perhatian, penuh cinta, penuh kejutan atau tentang Mas Bian yang begitu menyayangi anak lelakinya. Tak hanya itu saja, kata makian sering kali dia ucapkan. Dia bahkan menyebutku janda gatal dan sering kali menyindirku macam-macam sejak berpisah dengan Mas Bian dengan membawa harta miliknya. Padahal seharusnya dia juga tahu kalau harta itu akan dipakai oleh Irena,
|Dania, tadi pagi Bian minta nomor ponsel kamu. Seperti yang kamu bilang, mama nggak kasih nomer barumu ke dia. Cuma mama bilang kamu ke resto hari ini, mungkin Bian ke sana juga. Maaf ya, Nia. Mama keceplosan|Pesan mama muncul di whatsapp beberapa menit lalu. Aku pun mengiyakannya. Aku yakin mama bisa diajak kompromi, sebab dia juga tahu aku malas berurusan dengan Irena. Jika Mas Bian tahu nomerku, otomatis Irena pasti juga tahu. Terlalu banyak akalnya, sekalipun nomerku dirahasiakan akan ketemu juga. Awalnya aku memang ingin seharian di resto, tapi setelah melihat kehadiran Mas Bian yang tiba-tiba lengkap dengan outfit dariku beberapa bulan lalu, mendadak tak betah berlama-lama di sini. Lagipula, beberapa karyawan mulai saling bisik. Aku tak nyaman hingga memutuskan untuk pulang. Jangan sampai ada fitnah yang akan membuat nama baikku tercemar. |Aku jemput di resto gimana? Kita ke rumah papa sekarang. Motormu bisa dititipkan karyawan minta dimasukkan ke resto saja nanti malam. B
Laki-laki berkaca mata itu tengah duduk di sofa ruang tengah sembari menikmati acara bola di televisi saat aku dan Mas Reza datang. Dia menoleh ke pintu saat Mas Reza mengucap salam sembari melangkah perlahan ke arahnya. Om Herman menatapku beberapa saat, mungkin mencoba mengingat-ingat sebab sudah sangat lama aku tak berkunjung ke rumah ini. Lima tahun silam terakhir kalinya Mas Reza mengajakku ke sini. Laki-laki itu pun menatap anak lelakinya beberapa detik sembari mengangkat-angkat kedua alisnya. Kedua mata Mas Reza bergerak-gerak lalu anak dan papa itu pun tersenyum bersamaan."Dania?" tebak Om Herman dengan senyum lebar. Aku mengangguk pelan sembari menangkupkan kedua tangan ke dada sebagai salam dan perkenalan kembali. "Silakan duduk, Nia. Biar Bi Minah ambilkan minuman untukmu," ucap Om Herman lalu memanggil asisten rumah tangganya untuk membawakan minuman dan camilan. Dua laki-laki itu pun duduk berdampingan di ujung sofa, sedangkan aku duduk di ujung lain. Sofa ini berbe
Hening. Tak ada obrolan apapun sejak keluar dari rumah Mas Reza hingga detik ini. Mungkin sudah sepuluh menitan yang lalu. Aku masih membayangkan masa kelam itu, sementara Mas Reza hanya diam dan fokus menyetir dan menatap jalanan yang mulai padat merayap. "Mas, saat aku menikah apa kamu nggak ada keinginan membuka hati untuk perempuan lain?" tanyaku memecah keheningan. Mas Reza sedikit tersedak lalu meringis kecil menatapku sekilas. "Nggak. Aku malas. Selera mama selalu beda dengan seleraku. Malas membuat sakit hati anak orang lagi dan lagi," balasnya santai. Aku mengernyitkan dahi. Masih tak yakin dengan jawabannya. Melihat keraguanku, Mas Reza justru tertawa. "Mama berulang kali menjodohkanku dengan anak teman sosialitanya, Nia. Tapi aku nggak suka, gimana dong?" sambungnya lagi. "Aku sukanya cuma sama kamu." Laki-laki di sebelahku itu pun menghentikan mobilnya lalu menatapku lekat. Buru-buru kualihkan pandangan ke arah lain, menghindari tatapannya yang tajam. Detik ini aku
Pov : BIANLima kali bertemu dengan gadis itu, membuatku semakin yakin jika dia memang bidadari yang Allah kirimkan untuk melengkapi hidupku. Dia yang sederhana, tapi terlihat nyaris sempurna. Tak ingin seperti laki-laki lain yang mengajaknya pacaran demi embel-embel saling mengenal, aku lebih nyaman mengikuti pesan mama untuk langsung melamarnya. Selain umur tak pantas lagi mengobral cinta, status duda juga membuatku sadar diri bahwa aku tak muda lagi. Urusan ditolak atau diterima urusan nanti. Yang penting aku sudah berusaha mengutarakan isi hati. Setelah aku memberinya waktu untuk istikharah selama seminggu. Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Waktu di mana Maura akan mengatakan pilihannya untuk mengiyakan atau menolak niat baikku. Tak mengapa kalaupun dia menolak. Aku cukup sadar diri, terlalu banyak perbedaan antara kami. Lagipula, aku juga tak ingin dia menerima lamaran ini karena terpaksa. Aku tak ingin dia seperti Dania beberapa tahun silam yang terpaksa mengiyakan per
Pov : BIANSeperti itulah awal perjalan cintaku dengan Maura. Aku yang tak berani mengungkapkan cinta karena merasa bukan pria idamannya dan dia yang memilih diam menunggu pria baik melamarnya. Setidaknya seperti itulah yang dikatakan sang mama. Hingga aku memberanikan diri untuk melamarnya detik ini. Tak ingin kembali menyesal, andai ada laki-laki lain yang lebih dulu melamar bahkan ingin segera mengikatnya dalam kehalalan. Iya, aku tak ingin menyesal ke sekian kalinya. Disaksikan mama dan anak kesayanganku Rizqi, aku kembali ke rumah ini. Rumah dengan dua lantai berwarna hijau pupus. Ada seorang laki-laki lain yang memang sudah lebih dulu datang. Laki-laki tampan, sepertinya juga mapan dan berpendidikan. Dia terlihat begitu akrab dengan mama dan papa Maura. Sementara aku duduk dengan gelisah dan tak tenang. Rasanya ingin mengajak mama untuk pulang, tapi sayangnya mama masih cukup sibuk ngobrol dengan Tante Lydia. "Pa, jangan khawatir. Tante Maura pasti lebih memilih papa," bisik
Pov : BIAN "Maura maunya laki-laki yang lebih dewasa, lebih ngemong dan setia, yang pasti bisa bimbing dia ke jalanNya." "Maura nggak suka pacaran sebelum nikah. Dia ingin pacaran setelah halal karena semua jadi berpahala dan InsyaAllah berkah." "Maura memang masih ingin sendiri, tapi jika ada laki-laki baik melamarnya, kenapa enggak? Tak ada salahnya menikah muda asalkan sudah siap segala konsekwensinya." Cerita-cerita mama barusan membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah aku ada di salah satu pria idamannya? Bibirku kembali tersenyum saat membayangkan pertemuanku dengannya kemarin sore secara tak disengaja. Aku yang tengah memperhatikan Rizqi dan Rena di alun-alun tak jauh dari rumah mama, mendadak bertemu dengannya yang juga tengah mengantar keponakan-keponakannya bermain di sana.Tiap kali weekend, tempat itu memang ramai pengunjung. Pedagang kaki lima pun banyak berjejeran, menjajakan aneka kuliner murah meriah yang unik dan enak di lidah. Tak hanya golongan menengah ke bawah
Langit gelap. Mendung menggantung di sana. Sepertinya sebentar lagi hujan akan tiba. Angin berhembus menampar wajah yang gelisah. Beberapa minggu belakangan, jam tidurku mulai berantakan. Makan pun rasanya hambar. Berulang kali mama menyindirku soal jatuh cinta, tapi aku selalu menegelaknya. Di usia nyaris 35 tahun ini, mungkinkah aku merasakan jatuh cinta kembali? Aku yang sudah dua kali gagal berumah tangga, masihkah ada perempuan yang percaya jika aku tipe laki-laki setia?Entahlah. Namun kehadiran gadis itu beberapa waktu lalu di restoran ini benar-benar membuatku kesulitan tidur. Namanya Maura. Gadis manis dengan hijab dan gamis panjangnya itu adalah anak Tante Lydia yang tak lain teman arisan mama. Mama tak sengaja lewat di depan restoran yang kubangun dua tahun belakangan pasca resign dari kantor dulu, karena itulah sekalian mampir dan memperkenalkanku dengan perempuan itu. Tak banyak hal yang mama bicarakan. Hanya sekadar perkenalan biasa. Mama pun tak ada rencana menjodoh
Pov : BIAN Tahun berlalu. Kepergian Irena membuat perubahan besar dalam hidupku. Aku memang memilih berpisah dengannya, tapi tak menyangka jika perpisahanku itu tak hanya perpisahan dunia. Namun dia benar-benar pergi meninggalkan semua menuju alam keabadian yang nyata.Air mata tak terasa lolos begitu saja dari porosnya tiap kali mengingat bagaimana perjuanganku dulu untuk mendapatkannya. Hingga dia menghancurkan semua kepercayaan yang kupunya. Memilih laki-laki lain yang nyatanya tak pernah tulus mencintainya. Laki-laki yang kini disesaki perasaan bersalahnya dan pamit pergi bersama teman hidupnya yang baru. Dia yang memberikan sekepal tanggungjawab untukku dan dia yang puluhan kali minta maaf karena telah menusukku. Zaky."Gue mau minta maaf sama Lo, Bian. Selama ini gue udah hancurin keluarga Lo. Gue nikam Lo dari belakang. Semua salah gue. Gue ancam Iren hingga dia menuruti semua kemauan gue. Rizqi sebagai tamengnya sebab Iren tahu jika dia adalah darah daging gue. Iren selalu b
Pov : DANIAPapa dan Mas Reza tampak begitu khawatir saat kubilang ada bercak coklat di celana dalam. Mereka saling pandang lalu buru-buru mengajakku ke klinik yang tak jauh dari rumah. Klinik Medika.Setelah mengantri di urutan ke empat, akhirnya aku diizinkan untuk masuk ke dalam ruangan. Seorang dokter mempersilakanku duduk dan menceritakan keluhan yang terjadi. Dengan serius sang dokter mendengarkan ceritaku. Mas Reza bertanya ini itu, terlihat cukup khawatir dengan kesehatanku dan calon buah hatinya. Selama di mobil, papa memang menceritakan bagaimana aku sampai terjengkang dari kursi. Mas Reza beberapa mengucapkan istighfar saat papa menceritakan ulah menantu pertamanya. Papa juga menceritakan bagaimana wajah asli Mas Aris dan istrinya itu. Aku sendiri tak menyangka jika firasatku tentang ketidakberesan mereka ada benarnya. Beruntung papa sudah tahu sebelumnya. Aku hanya khawatir papa shock saat mendengar rekaman percakapan Mas Aris dan Mbak Shila yang rencananya akan kuberi
Pov : DANIASyukuran empat bulan digelar hari ini. Banyak sekali tamu yang datang. Tak hanya keluarga papa, tetangga dan teman-teman Mas Reza, tapi juga beberapa karyawan Mas Reza. Tak ketinggalan mama dan Mas Bian. Laki-laki itu tengah ngobrol dengan Mas Reza dan Mas Fano. Entah membicarakan apa, tapi di sampingnya ada jagoan kecil yang begitu familiar. Rizqi. Laki-laki kecil yang tampan itu sekarang menjadi anak asuh Mas Bian. Meski tetap tinggal bersama kakek dan neneknya, tapi biaya hidup dan pendidikannya ditanggung Mas Bian. Begitu yang kudengar dari cerita Mas Reza beberapa menit lalu padaku. Aku sangat bersyukur akhirnya Mas Bian lebih ikhlas menerima segala takdirNya. Kulihat sekarang dia jauh lebih tenang, murah senyum dan tak lagi gemar melamun seperti dulu. Mungkin memang banyak belajar arti hidup yang sebenarnya, sebab akhir-akhir ini memang banyak sekali ujian yang menerpanya. Banyak perubahan yang kulihat darinya. Selain lebih tenang, Mas Bian juga terlihat lebih d
Kabar bahagia itu benar-benar datang. Aku positif hamil dan kini hampir empat bulan janin itu tumbuh di rahimku. Malaikat kecil yang begitu diimpikan Mas Reza dan papa karena memang mereka yang paling antusias saat mendengar kabar bahagia ini. Aku sendiri tak paham mengapa papa selalu bilang bahwa ini adalah cucu pertama yang begitu dinantikannya. Padahal Mas Aris juga sudah memiliki buah hati. Rista yang kini berusia tujuh tahun. Saat aku merasakan hari-hari yang membahagiakan, kabar duka pun datang. Mas Bian benar-benar berpisah dengan Irena. Tak hanya itu saja, bahkan kabar tak terduga itu pun datang. Kepergian Irena yang mendadak benar-benar membuatku shock seketika.Tak terasa bulir bening menetes dari kelopak mata. Mengingat dan sengaja membaca kembali pesan-pesan yang dia kirimkan beberapa hari sebelum kepergiannya.|Maaf jika sudah mengganggu hari-hari bahagiamu, Dania. Aku dapatkan nomor barumu dari mama, setelah berusaha meyakinkannya jika aku tak akan menyakitimu. Entahla
Pov : Dania "Semangat pagi, Sayang. Gimana, udah enakan badannya?" Mas Reza sudah duduk di samping pembaringan sembari tersenyum manis ke arahku. Aku yang ternyata bangun kesiangan. Bakda subuh, aku memang sengaja rebahan sebab kepala mendadak pusing sepertinya bumi bergoyang-goyang nggak jelas. Mas Reza pun membantuku ke kamar setelah menyiapkan secangkir kopi untuknya di meja makan. Dia begitu mengkhawatirkanku, sebab itulah memintaku untuk istirahat. Tak perlu menemaninya joging seperti biasanya. "Mas joging sendiri deh, Sayang. Rena juga belum bangun. Biarlah, mungkin dia kecapekan karena kemarin main seharian dengan papanya, kan?" Ucapan Mas Reza tadi pagi kembali terlintas dalam ingatan. Rena Bagaskara. Iya, nama anak perempuanku itu memang sudah diganti. Cukup singkat sekarang. Mas Bian yang meminta agar nama anak semata wayangnya itu tak ada hubungannya dengan masa lalu. Toh semua hanya karena dendam dan keegoisan semata, bukan karena memang menyukai namanya. "Mas, udah