Laki-laki yang pernah mengisi hatiku di masa lalu itu cukup kaget saat melihatku sudah mematung beberapa meter dari tempat duduknya. Kedua matanya membulat lalu perlahan senyum tipis terlukis di wajahnya. Wajah yang masih sama seperti dulu, hanya saja rambutnya sekarang sedikit lebih gondrong dibandingkan sebelumnya. Laki-laki itu menatapku beberapa saat lalu beralih ke Irena yang berdiri di depanku. "Mas Eza, turut berduka cita atas meninggalnya mama kamu, ya? Maaf tante baru tahu dari Sahnaz, kebetulan mamanya Sahnaz juga nggak bilang apa-apa soal itu. Sekali lagi tante minta maaf," ucap mama dengan senyum ramahnya. "Oh iya, tante. Nggak apa-apa, terima kasih atas perhatiannya," balas laki-laki itu lagi. Senyumnya kembali mengembang, tapi kutahu tatapan itu tetap menuju ke arahku. "Dia menantu tante. Namanya Dania." Tiba-tiba mama memperkenalkan namaku pada lelaki di sampingnya. Mungkin karena tatapan lelaki itu masih begitu lekat ke arahku jadi mama merasa ada kewajiban untuk m
|Iren, aku sudah sampai di tempat yang kamu minta. Taman kecil di samping TK Pertiwi. Tak jauh dari alun-alun kota. Kamu di mana? Aku benar-benar tak sabar menanti kedatanganmu. Cepatlah datang, aku sudah menunggumu| Pesan dari Mas Bian untuk perempuan itu terkirim lima menit yang lalu. Belum ada balasan di sana. Mungkin Irena memang sengaja tak membalas seperti biasanya. Hanya membaca, tapi tetap saja datang dengan senyum menawannya. Baru mengenalnya beberapa hari, tapi aku sudah mulai bisa menebak sikapnya saat menerima dan membalas pesan. Tak menunggu balasan Irena lebih dulu, Mas Bian kembali mengirimkan pesan selanjutnya. Mungkin rindunya terlalu dalam sampai tak sabar menanti kedatangan perempuan itu. Aku hanya bisa tersenyum miris. Aku tak tahu siapa yang salah. Mungkinkah aku tak sepantasnya hadir di antara mereka? Atau Irena yang seharusnya tak hadir di antara aku dan Mas Bian. Entah. |Irena, kamu di mana? Sekarang tinggal di daerah sinikah? Aku tahu dan datang ke tempat t
|Irena, gimana kabarmu? Masih ingat aku, kan? Maaf baru berkabar lagi sejak pertemuan pertama kita waktu itu. Ada sedikit masalah di rumah, jadi belum bisa silaturahmi lagi. Kalau kamu ada waktu, nanti sore aku datang ke rumahmu. Boleh?| Aku dan Irena memang sempat bertemu sekali di warung bakso batok kelapa waktu itu. Ngobrol dan curhat banyak hal hingga akhirnya dia memberikan kartu nama itu untukku. Awalnya aku janji akan segera menyusun pertemuan kedua dengannya, tapi ternyata ada banyak kegiatan yang tak bisa kutinggalkan terlebih saat aku tahu sikap Mas Bian pada perempuannya itu. Aku belum siap bertemu dengannya dan mendengarkan semua kisahnya kembali. Namun kini, aku sudah sangat yakin dengan hatiku sendiri. Tak akan lemah hanya karena cerita-cerita Irena tentang laki-laki yang masih begitu mencintainya. Aku sudah mati rasa. Cintaku yang terlalu dalam terkhianati, mungkin karena itu pula rasa benci dan kecewa ini cukup tinggi hingga membuatku semakin yakin tak ingin meraju
Aku benar-benar angkat tangan. Tak ingin memperjuangkan kisah ini lagi. Rasanya percuma, sebab hanya aku yang berjuang mempertahankan sedangkan Mas Bian justru terkesan ingin meruntuhkan. Buat apa mengejar cintanya, yang dia sendiri justru memilih perempuan lain untuk mengisi hatinya? |Aku tahu kamu sudah bisa menebak siapa aku, Nia. Aku tak akan mengusik rumah tanggamu asalkan kamu dan dia bahagia. Namun jika tidak, jangan salahkan aku jika memperjuangkan cinta itu kembali.|Kedua mataku membulat. Dia benar-benar datang dengan membawa cintanya. Mungkinkah Mas Reza belum menikah? Ah, sudahlah. Aku tak ingin memperkeruh suasana. Ingin kuselesaikan masalahku dengan Mas Bian dulu. Tak ingin pusing dengan persoalan baru. Apakah Sahnaz yang memberikan nomorku ke Mas Reza? Padahal aku sudah bilang jangan memberikan nomorku ke sembarang orang. Atau laki-laki itu mengambilnya tanpa izin? |Jangan salahkan Sahnaz, Nia. Dia tak tahu aku mengambil nomormu dari handphonenya.|Mas Reza seperti b
Cahaya mentari masih begitu panas menyengat kulit, gegas kututup daun jendela dan mengunci pintu rapat. Irena pun sudah siap dengan gamis dan jaket kesayangannya. Gadis kecilku itu tampak begitu bahagia saat aku bilang akan berkunjung ke rumah Kak Rizqi. Pintarnya Irena masih mengingat nama itu meski baru sekali bertemu. Seperti janjiku dengan Irena, sore ini aku akan berkunjung ke rumahnya. Dia sudah mengirimkan lokasi rumahnya beberapa menit yang lalu untuk memudahkanku menemukan kediamannya. Beberapa box kue sudah kusiapkan, kado untuk Rizqi pun telah aku bungkus cukup rapi. Semua sudah siap di tas jinjing yang kuletakkan di motor. Perlahan, aku dan Irena menyusuri jalanan beraspal yang padat dengan kendaraan. Beruntung arah jalanku ke timur, jadi memunggungi mentari yang masih memancarkan sinarnya cukup kuat. Jika berjalan ke arah barat, pastilah makin menyengat serasa menembus pori-pori kulit saking panasnya. Meski aku dan Irena sama-sama sudah memakai gamis panjang dan berja
"Aku seperti remaja yang kembali dimabuk cinta, Nia. Aku tahu ini salah, sebab dia masih sah menjadi suami perempuan lain. Namun aku juga kasihan dengannya apalagi jika dalam rumah tangganya memang tak ada cinta. Lagipula, istrinya juga masih memendam rasa dengan cinta pertamanya.Aku tersedak mendengar cerita Irena. Betapa Mas Bian terlalu memutar balikkan fakta. Padahal jelas, sejak menikah aku tak pernah berhubungan lagi dengan Mas Reza kecuali hari ini dia tiba-tiba mengirimkan pesan, tapi aku tak membalasnya. "Lantas gimana, Iren? Kamu tetap ingin bersama cinta pertamamu itukah?" Aku masih menunggu jawabN darinya sebab Irena mendadak terdiam."Awalnya nggak. Namun perhatian dan cintanya akhir-akhir ini tak bisa kutolak. Aku memang masih sangat mencintainya, Nia. Dan jam tangan ini pun kado spesial darinya kemarin, tepat di tanggal kelahiranku." Hatiku kembali mencelos. Rasanya begitu sakit, saat aku tak pernah meminta apapun darinya bahkan jikalaupun meminta sesuatu tak pernah m
Irena tak membahas soal Rizqi dan kerinduannya pada sosok ayah. Entah, sepertinya Irena keceplosan bicara sebab setelah aku menanyakan lebih lanjut, dia berusaha mengalihkan pembicaraan. Seolah tak ingin aku tanya banyak hal tentangnya. Sebelum pulang dari rumah Irena, aku sengaja foto bersama. Kelak akan kubuat Mas Bian tak bisa berkutik dengan foto ini. Aku yakin saat ini dia masih berusaha mencari cara untuk bicara denganku tentang rencananya bersama Irena. Dia pasti sedang kebingungan, sebab memilih Irena akan membuatnya kehilangan tiga wanita sekaligus. Namun jika tak memilih perempuan itu, jelas dia seperti membuang kesempatan yang baru saja hadir di depan mata. Pulang dari rumah Irena, kulihat mobil Mas Bian sudah parkir di garasi, sementara mobil mama ada di depan rumah tepatnya di tepi jalan. Mama memang bilang sore ini akan mengurus sertifikat restoran itu untuk Irena, sebab aku sudah berulang kali mengirimkan foto-foto dan rekamanku bersama perempuan itu pada mama. Aku
"Aku ingin bicara denganmu, Nia. Cukup serius dan mungkin harus berdua saja," ucapnya lagi. Aku kembali menghela napas. Yakin sekali jika Mas Bian akan membahas soal rencana pernikahannya dengan Irena. Meski aku sudah siap dengan segala resiko yang ada, tetap saja ada rasa sesak dalam dada. Mungkin karena aku masih sah istrinya, kalau tidak, pasti sudah beda cerita. "Bukankah ini sudah bicara berdua, Mas? Ngomong saja di sini. Nggak ada masalah, kan?" "Malam minggu saja di Cafe Bianglala. Lebih nyaman ngobrol berdua di luar, biar Irena sama mama," ucap Mas Bian kemudian lalu meninggalkanku sendirian di ruang keluarga. Laki-laki yang menikahiku empat tahun lalu itu melangkah menuju kamar dan menutup pintunya rapat. Aku tak tahu apa yang ada dalam benak Mas Bian saat ini. Kupejamkan mata perlahan sembari menyandarkan punggung ke sofa. Empat hari lagi mungkin Mas Bian akan menjatuhkan talaknya padaku, sebab dia pasti lebih memilih Irenanya. Mereka terlalu dimabuk cinta sampai tak ped
Pov : BIANLima kali bertemu dengan gadis itu, membuatku semakin yakin jika dia memang bidadari yang Allah kirimkan untuk melengkapi hidupku. Dia yang sederhana, tapi terlihat nyaris sempurna. Tak ingin seperti laki-laki lain yang mengajaknya pacaran demi embel-embel saling mengenal, aku lebih nyaman mengikuti pesan mama untuk langsung melamarnya. Selain umur tak pantas lagi mengobral cinta, status duda juga membuatku sadar diri bahwa aku tak muda lagi. Urusan ditolak atau diterima urusan nanti. Yang penting aku sudah berusaha mengutarakan isi hati. Setelah aku memberinya waktu untuk istikharah selama seminggu. Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Waktu di mana Maura akan mengatakan pilihannya untuk mengiyakan atau menolak niat baikku. Tak mengapa kalaupun dia menolak. Aku cukup sadar diri, terlalu banyak perbedaan antara kami. Lagipula, aku juga tak ingin dia menerima lamaran ini karena terpaksa. Aku tak ingin dia seperti Dania beberapa tahun silam yang terpaksa mengiyakan per
Pov : BIANSeperti itulah awal perjalan cintaku dengan Maura. Aku yang tak berani mengungkapkan cinta karena merasa bukan pria idamannya dan dia yang memilih diam menunggu pria baik melamarnya. Setidaknya seperti itulah yang dikatakan sang mama. Hingga aku memberanikan diri untuk melamarnya detik ini. Tak ingin kembali menyesal, andai ada laki-laki lain yang lebih dulu melamar bahkan ingin segera mengikatnya dalam kehalalan. Iya, aku tak ingin menyesal ke sekian kalinya. Disaksikan mama dan anak kesayanganku Rizqi, aku kembali ke rumah ini. Rumah dengan dua lantai berwarna hijau pupus. Ada seorang laki-laki lain yang memang sudah lebih dulu datang. Laki-laki tampan, sepertinya juga mapan dan berpendidikan. Dia terlihat begitu akrab dengan mama dan papa Maura. Sementara aku duduk dengan gelisah dan tak tenang. Rasanya ingin mengajak mama untuk pulang, tapi sayangnya mama masih cukup sibuk ngobrol dengan Tante Lydia. "Pa, jangan khawatir. Tante Maura pasti lebih memilih papa," bisik
Pov : BIAN "Maura maunya laki-laki yang lebih dewasa, lebih ngemong dan setia, yang pasti bisa bimbing dia ke jalanNya." "Maura nggak suka pacaran sebelum nikah. Dia ingin pacaran setelah halal karena semua jadi berpahala dan InsyaAllah berkah." "Maura memang masih ingin sendiri, tapi jika ada laki-laki baik melamarnya, kenapa enggak? Tak ada salahnya menikah muda asalkan sudah siap segala konsekwensinya." Cerita-cerita mama barusan membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah aku ada di salah satu pria idamannya? Bibirku kembali tersenyum saat membayangkan pertemuanku dengannya kemarin sore secara tak disengaja. Aku yang tengah memperhatikan Rizqi dan Rena di alun-alun tak jauh dari rumah mama, mendadak bertemu dengannya yang juga tengah mengantar keponakan-keponakannya bermain di sana.Tiap kali weekend, tempat itu memang ramai pengunjung. Pedagang kaki lima pun banyak berjejeran, menjajakan aneka kuliner murah meriah yang unik dan enak di lidah. Tak hanya golongan menengah ke bawah
Langit gelap. Mendung menggantung di sana. Sepertinya sebentar lagi hujan akan tiba. Angin berhembus menampar wajah yang gelisah. Beberapa minggu belakangan, jam tidurku mulai berantakan. Makan pun rasanya hambar. Berulang kali mama menyindirku soal jatuh cinta, tapi aku selalu menegelaknya. Di usia nyaris 35 tahun ini, mungkinkah aku merasakan jatuh cinta kembali? Aku yang sudah dua kali gagal berumah tangga, masihkah ada perempuan yang percaya jika aku tipe laki-laki setia?Entahlah. Namun kehadiran gadis itu beberapa waktu lalu di restoran ini benar-benar membuatku kesulitan tidur. Namanya Maura. Gadis manis dengan hijab dan gamis panjangnya itu adalah anak Tante Lydia yang tak lain teman arisan mama. Mama tak sengaja lewat di depan restoran yang kubangun dua tahun belakangan pasca resign dari kantor dulu, karena itulah sekalian mampir dan memperkenalkanku dengan perempuan itu. Tak banyak hal yang mama bicarakan. Hanya sekadar perkenalan biasa. Mama pun tak ada rencana menjodoh
Pov : BIAN Tahun berlalu. Kepergian Irena membuat perubahan besar dalam hidupku. Aku memang memilih berpisah dengannya, tapi tak menyangka jika perpisahanku itu tak hanya perpisahan dunia. Namun dia benar-benar pergi meninggalkan semua menuju alam keabadian yang nyata.Air mata tak terasa lolos begitu saja dari porosnya tiap kali mengingat bagaimana perjuanganku dulu untuk mendapatkannya. Hingga dia menghancurkan semua kepercayaan yang kupunya. Memilih laki-laki lain yang nyatanya tak pernah tulus mencintainya. Laki-laki yang kini disesaki perasaan bersalahnya dan pamit pergi bersama teman hidupnya yang baru. Dia yang memberikan sekepal tanggungjawab untukku dan dia yang puluhan kali minta maaf karena telah menusukku. Zaky."Gue mau minta maaf sama Lo, Bian. Selama ini gue udah hancurin keluarga Lo. Gue nikam Lo dari belakang. Semua salah gue. Gue ancam Iren hingga dia menuruti semua kemauan gue. Rizqi sebagai tamengnya sebab Iren tahu jika dia adalah darah daging gue. Iren selalu b
Pov : DANIAPapa dan Mas Reza tampak begitu khawatir saat kubilang ada bercak coklat di celana dalam. Mereka saling pandang lalu buru-buru mengajakku ke klinik yang tak jauh dari rumah. Klinik Medika.Setelah mengantri di urutan ke empat, akhirnya aku diizinkan untuk masuk ke dalam ruangan. Seorang dokter mempersilakanku duduk dan menceritakan keluhan yang terjadi. Dengan serius sang dokter mendengarkan ceritaku. Mas Reza bertanya ini itu, terlihat cukup khawatir dengan kesehatanku dan calon buah hatinya. Selama di mobil, papa memang menceritakan bagaimana aku sampai terjengkang dari kursi. Mas Reza beberapa mengucapkan istighfar saat papa menceritakan ulah menantu pertamanya. Papa juga menceritakan bagaimana wajah asli Mas Aris dan istrinya itu. Aku sendiri tak menyangka jika firasatku tentang ketidakberesan mereka ada benarnya. Beruntung papa sudah tahu sebelumnya. Aku hanya khawatir papa shock saat mendengar rekaman percakapan Mas Aris dan Mbak Shila yang rencananya akan kuberi
Pov : DANIASyukuran empat bulan digelar hari ini. Banyak sekali tamu yang datang. Tak hanya keluarga papa, tetangga dan teman-teman Mas Reza, tapi juga beberapa karyawan Mas Reza. Tak ketinggalan mama dan Mas Bian. Laki-laki itu tengah ngobrol dengan Mas Reza dan Mas Fano. Entah membicarakan apa, tapi di sampingnya ada jagoan kecil yang begitu familiar. Rizqi. Laki-laki kecil yang tampan itu sekarang menjadi anak asuh Mas Bian. Meski tetap tinggal bersama kakek dan neneknya, tapi biaya hidup dan pendidikannya ditanggung Mas Bian. Begitu yang kudengar dari cerita Mas Reza beberapa menit lalu padaku. Aku sangat bersyukur akhirnya Mas Bian lebih ikhlas menerima segala takdirNya. Kulihat sekarang dia jauh lebih tenang, murah senyum dan tak lagi gemar melamun seperti dulu. Mungkin memang banyak belajar arti hidup yang sebenarnya, sebab akhir-akhir ini memang banyak sekali ujian yang menerpanya. Banyak perubahan yang kulihat darinya. Selain lebih tenang, Mas Bian juga terlihat lebih d
Kabar bahagia itu benar-benar datang. Aku positif hamil dan kini hampir empat bulan janin itu tumbuh di rahimku. Malaikat kecil yang begitu diimpikan Mas Reza dan papa karena memang mereka yang paling antusias saat mendengar kabar bahagia ini. Aku sendiri tak paham mengapa papa selalu bilang bahwa ini adalah cucu pertama yang begitu dinantikannya. Padahal Mas Aris juga sudah memiliki buah hati. Rista yang kini berusia tujuh tahun. Saat aku merasakan hari-hari yang membahagiakan, kabar duka pun datang. Mas Bian benar-benar berpisah dengan Irena. Tak hanya itu saja, bahkan kabar tak terduga itu pun datang. Kepergian Irena yang mendadak benar-benar membuatku shock seketika.Tak terasa bulir bening menetes dari kelopak mata. Mengingat dan sengaja membaca kembali pesan-pesan yang dia kirimkan beberapa hari sebelum kepergiannya.|Maaf jika sudah mengganggu hari-hari bahagiamu, Dania. Aku dapatkan nomor barumu dari mama, setelah berusaha meyakinkannya jika aku tak akan menyakitimu. Entahla
Pov : Dania "Semangat pagi, Sayang. Gimana, udah enakan badannya?" Mas Reza sudah duduk di samping pembaringan sembari tersenyum manis ke arahku. Aku yang ternyata bangun kesiangan. Bakda subuh, aku memang sengaja rebahan sebab kepala mendadak pusing sepertinya bumi bergoyang-goyang nggak jelas. Mas Reza pun membantuku ke kamar setelah menyiapkan secangkir kopi untuknya di meja makan. Dia begitu mengkhawatirkanku, sebab itulah memintaku untuk istirahat. Tak perlu menemaninya joging seperti biasanya. "Mas joging sendiri deh, Sayang. Rena juga belum bangun. Biarlah, mungkin dia kecapekan karena kemarin main seharian dengan papanya, kan?" Ucapan Mas Reza tadi pagi kembali terlintas dalam ingatan. Rena Bagaskara. Iya, nama anak perempuanku itu memang sudah diganti. Cukup singkat sekarang. Mas Bian yang meminta agar nama anak semata wayangnya itu tak ada hubungannya dengan masa lalu. Toh semua hanya karena dendam dan keegoisan semata, bukan karena memang menyukai namanya. "Mas, udah