"Irena?" lirih kembali kuucap nama itu. Aku kembali menatapnya beberapa saat. Entah mengapa aku justru bertemu perempuan itu di sini. Tempat yang tak kuduga sebelumnya. Perempuan itu masih sama dengan foto yang kutemukan di dompet Mas Bian waktu itu. Masih tetap cantik dan menarik. Pantas Mas Bian tak bisa melupakan sosoknya, sebab dia terlihat begitu anggun, lembut, keibuan dan pintar. Meski aku tahu siapa dia, detik ini aku pura-pura tak tahu. Mencoba berkenalan seperti pada umumnya. Perkenalan untuk pertama kali bersua. "Nama Mbak Irena juga?" tanyaku mulai berbasa-basi dengan senyum tipis. "Iya, Mbak. Maaf kalau ikut jawab, ya?" balasnya dengan malu-malu. Setelah membasuh dan mengeringkan kedua tangannya, dia pun menjabat tanganku. "Saya Iren, Mbk. Ini anak saya Rizqi," ucapnya begitu lembut. Iya, selembut itu. Pantas saja Mas Bian tak bisa melupakan perempuan itu, aura keibuan dan kelembutannya memang terpancar. Senyum manisnya membuat orang di sekelilingnya merasa nyaman, b
Aku kembali menghela napas panjang lalu tersenyum tipis saat bersirobok dengan perempuan itu. Perempuan cantik yang sampai detik ini masih dicintai suamiku. "Mungkin dulu Mbak Irena cukup tertutup, makanya jarang memiliki teman akrab, tapi kalau teman dekat atau kekasih pasti ada kan, Mbak? Masa perempuan secantik Mbak Iren nggak punya kekasih? Aku yakin Mbak Irena jadi primadona kampus saat itu. Mmmm ... apa Mbak Irena memang nggak mau pacaran dan mau ta'aruf saja?" tanyaku kemudian.Pujianku kali ini cukup jujur. Irena memang secantik itu. Aku yakin tak hanya Mas Bian yang tergila-gila padanya, tapi banyak lelaki lain juga terpesona dengan kecantikan dan kelembutannya. Aku yang sama-sama perempuan saja senang melihat perempuan sepertinya, apalagi laki-laki yang memang cenderung melihat sisi perempuan dari parasnya?"Mbak Nia terlalu memuji. Memang ada beberapa yang ingin dekat, Mbak. Namun saya menolak, sebab sudah dekat dengan seseorang. Bagi saya, dia tetap yang terbaik meski saya
Aku masih di sini bersama perempuan itu dan anak lelakinya. Banyak hal yang dia ceritakan. Sepertinya memang butuh teman untuk mengungkapkan segala rasa yang selama ini selalu dia pendam. Aku sendiri tak tahu, mengapa dia lebih memilihku untuk menjadi pendengar setianya padahal aku dan dia baru saja berkenalan. Belum tahu karakter masing-masing bahkan dia belum tahu siapa aku sebenarnya.Mungkin memang benar jika dia merasa aku cocok untuk dijadikan tempat curhat, hanya karena ada sedikit keterikatan batin gara-gara menyukai satu nama. Irena. Lebih-lebih karena aku dan dia sama-sama dijodohkan, mungkin karena itu pula dia merasa senasib tapi tak sepenanggungan. "Maaf, Mbak. Apa mungkin ada kisah yang belum selesai antara Mbak dengan laki-laki di masa lalu Mbak Iren, hingga suami Mbak bersikap sedzalim itu?" tanyaku ragu, tapi tetap berusaha senatural mungkin untuk menanyakannya. Dia sudah mengajakku nyemplung ke kisah rumah tangganya, sekalian saja aku tanya banyak hal tentang hubu
Aku nggak tahu bagaimana perasaan Mas Bian andai saat ini dia tahu Irena terluka dengan kisah cintanya. Irena yang belum move on dan masih memendam rasa cintanya begitu sempurna. Mungkinkah Mas Bian sudah tahu jika status Irena saat ini janda beranak satu? Jika memang sudah tahu, mungkinkah dia lebih memilih Irena dibandingkan memperbaiki hubungannya denganku? "Mbak Nia sendiri bagaimana? Bukankah tadi bilang kalau Mbak juga dijodohkan? Apakah pernikahan Mbak Nia bahagia? Jika memang iya, Mbak Nia termasuk perempuan yang beruntung. Banyak perempuan korban perjodohan yang nasibnya sama denganku bahkan jauh lebih buruk daripada itu, Mbak," ucap Irena dengan tatapan sendu. Aku sedikit tersentak saat perempuan dengan hijab merah mudanya itu kembali bertanya padaku. Dia menatapku beberapa saat lalu kembali melukiskan senyum tipis di kedua sudut bibirnya saat aku menatapnya balik. "Seperti pernikahan pada umumnya, Mbak," balasku singkat. Aku tak ingin menjelaskan lebih detail bagaimana k
"Mbak, kalau nggak ada acara, bisa main ke rumahku sekarang. Mau?" tawar perempuan berlesung pipit itu saat kami sudah keluar resto menuju tempat parkir. "Sekarang sih kami mau ke rumah neneknya Iren, Mbak. Neneknya kangen, maklum cucu pertama. Mungkin lain kali, ya? Alamatnya juga sudah ada, nanti aku kabari kalau mau ke sana, gimana?" balasku dengan senyum tipis. Wajah Mbak Iren mendadak berubah sendu, tak seperti tadi yang tampak berseri-seri. Tepatnya setelah dia bertukar pesan dengan Mas Bian. Aku jadi penasaran, apa yang mereka bahas di sana. Beruntung sekali aku sudah menyadap ponsel Mas Bian jauh-jauh hari, jadi aku bisa terus mengawasi aktivitasnya tanpa bertanya. "Kenapa murung, Mbak. Adakah yang salah?" tanyaku lagi. Aku mendekatinya yang baru saja meminta anak lelakinya masuk ke mobil. Namun Rizqi menolak dan lebih memilih duduk di samping Irena sembari ngobrol entah apa. "Nggak ada, Mbak. Hanya saja kadang aku kasihan dengan Rizqi."Kedua alisku tertaut. Tak paham art
Aku pamit. Aku mulai menstarter motor lalu Iren melambaikan tangan ke arah Rizqi yang membuka separuh kaca jendela mobilnya. Kedua makhluk kecil itu saling senyum. Lagi-lagi hati ini berdesir nyeri saat mengingat tentang siapa ayah biologis anak laki-laki itu. Mungkinkah ada keterikatan batin antara Irena dan Rizqi sampai mereka bisa akrab secepat itu? Aku pun tak tahu. Namun, hatiku mencelos tiap kali melihat keakraban dan keasyikan mereka saat bermain bersama. Ada rasa cemburu, khawatir dan takut tiap kali melihat senyum dan tawa mereka. Seolah yang kulihat adalah tawa dan canda papa dan mamanya. Kutepis berbagai prasangka yang kembali menyesaki benak. Aku tak ingin tenggelam dalam opini burukku sendiri. Lebih baik tetap tenang dan terus mencari bukti, apakah dugaanku benar jika Rizqi adalah darah daging Mas Bian. Kuhela napas panjang lalu kembali beristighfar lirih. Irena sedikit menganggukkan kepalanya. Aku pun melakukan hal yang sama. Ucapan salam mengakhiri pertemuan kali ini.
Taman biasa, begitu pesan Mas Bian untuk Irena itu. Taman yang mana? Bahkan selama empat tahun bersamanya aku belum pernah dia ajak ke taman itu. Dia begitu rapat menyembunyikan semua kenangan dan masa lalunya. Pura-pura bahagia hidup denganku, padahal dia masih menyimpan rindu dan cinta untuk perempuan itu. Sekalipun sejak sama-sama menikah mereka tak pernah bertemu. |Ma, mama tahu nggak taman favorit Mas Bian saat kuliah dulu? Nia mau mengikuti Mas Bian sore ini, Ma. Sepertinya dia mau bertemu dengan Irena|Kukirimkan pesan itu pada mama. Aku yakin mama bisa diajak kerja sama sebab dia sangat menyayangiku dan Iren. Mama juga tak ingin Mas Bian dan mantan kekasihnya itu bersatu. Benar dugaanku. Mama pasti sangat kaget membaca pesan yang kukirimkan, karena itulah mama langsung menelponku. Gegas kuterima panggilan darinya. "Assalamu'alaikum, Nia. Maksudmu gimana?" tanya Mama sedikit gugup. "Wa'alaikumsalam, Ma. Iren sudah kembali ke kota ini, Ma. Mas Bian sudah menemukan nomor pons
Bakda ashar aku sudah siap dengan segala kostum yang sudah kususun sejak beberapa jam yang lalu. Beruntung Irena mau kutinggal bersama ibu, bahkan kini dia sudah asyik bermain dengan nenek dan pakdhenya, yang kebetulan baru sampai dari Jogja.Setelah pamit pada mereka di halaman belakang, aku pun segera mengambil kontak motor Mas Fano untuk melengkapi penyamaranku kali ini.Ada rasa nyeri yang tiba-tiba datang. Bayangan Irena dan Mas Bian yang begitu merindu kembali berkelebat dalam benakku.Senyum tipis dan binar mata mereka saat beradu pandang dan debar cinta yang bisa kupastikan semakin mengembang selalu lalu lalang di pelupuk mata.Semoga saja aku tak tumbang saat mendapati kenyataan suamiku jauh lebih memilihnya, dibandingkan mempertahankan rumah tangganya denganku. Ya Allah aku benar-benar merasa tak berharga jika dia pada akhirnya Mas Bian lebih memilih Irena. Pengorbanan dan perjuangan yang selama ini kuberikan padanya ternyata hanya sia-sia belaka. Sekalipun aku sudah menyi
Pov : BIANLima kali bertemu dengan gadis itu, membuatku semakin yakin jika dia memang bidadari yang Allah kirimkan untuk melengkapi hidupku. Dia yang sederhana, tapi terlihat nyaris sempurna. Tak ingin seperti laki-laki lain yang mengajaknya pacaran demi embel-embel saling mengenal, aku lebih nyaman mengikuti pesan mama untuk langsung melamarnya. Selain umur tak pantas lagi mengobral cinta, status duda juga membuatku sadar diri bahwa aku tak muda lagi. Urusan ditolak atau diterima urusan nanti. Yang penting aku sudah berusaha mengutarakan isi hati. Setelah aku memberinya waktu untuk istikharah selama seminggu. Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba. Waktu di mana Maura akan mengatakan pilihannya untuk mengiyakan atau menolak niat baikku. Tak mengapa kalaupun dia menolak. Aku cukup sadar diri, terlalu banyak perbedaan antara kami. Lagipula, aku juga tak ingin dia menerima lamaran ini karena terpaksa. Aku tak ingin dia seperti Dania beberapa tahun silam yang terpaksa mengiyakan per
Pov : BIANSeperti itulah awal perjalan cintaku dengan Maura. Aku yang tak berani mengungkapkan cinta karena merasa bukan pria idamannya dan dia yang memilih diam menunggu pria baik melamarnya. Setidaknya seperti itulah yang dikatakan sang mama. Hingga aku memberanikan diri untuk melamarnya detik ini. Tak ingin kembali menyesal, andai ada laki-laki lain yang lebih dulu melamar bahkan ingin segera mengikatnya dalam kehalalan. Iya, aku tak ingin menyesal ke sekian kalinya. Disaksikan mama dan anak kesayanganku Rizqi, aku kembali ke rumah ini. Rumah dengan dua lantai berwarna hijau pupus. Ada seorang laki-laki lain yang memang sudah lebih dulu datang. Laki-laki tampan, sepertinya juga mapan dan berpendidikan. Dia terlihat begitu akrab dengan mama dan papa Maura. Sementara aku duduk dengan gelisah dan tak tenang. Rasanya ingin mengajak mama untuk pulang, tapi sayangnya mama masih cukup sibuk ngobrol dengan Tante Lydia. "Pa, jangan khawatir. Tante Maura pasti lebih memilih papa," bisik
Pov : BIAN "Maura maunya laki-laki yang lebih dewasa, lebih ngemong dan setia, yang pasti bisa bimbing dia ke jalanNya." "Maura nggak suka pacaran sebelum nikah. Dia ingin pacaran setelah halal karena semua jadi berpahala dan InsyaAllah berkah." "Maura memang masih ingin sendiri, tapi jika ada laki-laki baik melamarnya, kenapa enggak? Tak ada salahnya menikah muda asalkan sudah siap segala konsekwensinya." Cerita-cerita mama barusan membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah aku ada di salah satu pria idamannya? Bibirku kembali tersenyum saat membayangkan pertemuanku dengannya kemarin sore secara tak disengaja. Aku yang tengah memperhatikan Rizqi dan Rena di alun-alun tak jauh dari rumah mama, mendadak bertemu dengannya yang juga tengah mengantar keponakan-keponakannya bermain di sana.Tiap kali weekend, tempat itu memang ramai pengunjung. Pedagang kaki lima pun banyak berjejeran, menjajakan aneka kuliner murah meriah yang unik dan enak di lidah. Tak hanya golongan menengah ke bawah
Langit gelap. Mendung menggantung di sana. Sepertinya sebentar lagi hujan akan tiba. Angin berhembus menampar wajah yang gelisah. Beberapa minggu belakangan, jam tidurku mulai berantakan. Makan pun rasanya hambar. Berulang kali mama menyindirku soal jatuh cinta, tapi aku selalu menegelaknya. Di usia nyaris 35 tahun ini, mungkinkah aku merasakan jatuh cinta kembali? Aku yang sudah dua kali gagal berumah tangga, masihkah ada perempuan yang percaya jika aku tipe laki-laki setia?Entahlah. Namun kehadiran gadis itu beberapa waktu lalu di restoran ini benar-benar membuatku kesulitan tidur. Namanya Maura. Gadis manis dengan hijab dan gamis panjangnya itu adalah anak Tante Lydia yang tak lain teman arisan mama. Mama tak sengaja lewat di depan restoran yang kubangun dua tahun belakangan pasca resign dari kantor dulu, karena itulah sekalian mampir dan memperkenalkanku dengan perempuan itu. Tak banyak hal yang mama bicarakan. Hanya sekadar perkenalan biasa. Mama pun tak ada rencana menjodoh
Pov : BIAN Tahun berlalu. Kepergian Irena membuat perubahan besar dalam hidupku. Aku memang memilih berpisah dengannya, tapi tak menyangka jika perpisahanku itu tak hanya perpisahan dunia. Namun dia benar-benar pergi meninggalkan semua menuju alam keabadian yang nyata.Air mata tak terasa lolos begitu saja dari porosnya tiap kali mengingat bagaimana perjuanganku dulu untuk mendapatkannya. Hingga dia menghancurkan semua kepercayaan yang kupunya. Memilih laki-laki lain yang nyatanya tak pernah tulus mencintainya. Laki-laki yang kini disesaki perasaan bersalahnya dan pamit pergi bersama teman hidupnya yang baru. Dia yang memberikan sekepal tanggungjawab untukku dan dia yang puluhan kali minta maaf karena telah menusukku. Zaky."Gue mau minta maaf sama Lo, Bian. Selama ini gue udah hancurin keluarga Lo. Gue nikam Lo dari belakang. Semua salah gue. Gue ancam Iren hingga dia menuruti semua kemauan gue. Rizqi sebagai tamengnya sebab Iren tahu jika dia adalah darah daging gue. Iren selalu b
Pov : DANIAPapa dan Mas Reza tampak begitu khawatir saat kubilang ada bercak coklat di celana dalam. Mereka saling pandang lalu buru-buru mengajakku ke klinik yang tak jauh dari rumah. Klinik Medika.Setelah mengantri di urutan ke empat, akhirnya aku diizinkan untuk masuk ke dalam ruangan. Seorang dokter mempersilakanku duduk dan menceritakan keluhan yang terjadi. Dengan serius sang dokter mendengarkan ceritaku. Mas Reza bertanya ini itu, terlihat cukup khawatir dengan kesehatanku dan calon buah hatinya. Selama di mobil, papa memang menceritakan bagaimana aku sampai terjengkang dari kursi. Mas Reza beberapa mengucapkan istighfar saat papa menceritakan ulah menantu pertamanya. Papa juga menceritakan bagaimana wajah asli Mas Aris dan istrinya itu. Aku sendiri tak menyangka jika firasatku tentang ketidakberesan mereka ada benarnya. Beruntung papa sudah tahu sebelumnya. Aku hanya khawatir papa shock saat mendengar rekaman percakapan Mas Aris dan Mbak Shila yang rencananya akan kuberi
Pov : DANIASyukuran empat bulan digelar hari ini. Banyak sekali tamu yang datang. Tak hanya keluarga papa, tetangga dan teman-teman Mas Reza, tapi juga beberapa karyawan Mas Reza. Tak ketinggalan mama dan Mas Bian. Laki-laki itu tengah ngobrol dengan Mas Reza dan Mas Fano. Entah membicarakan apa, tapi di sampingnya ada jagoan kecil yang begitu familiar. Rizqi. Laki-laki kecil yang tampan itu sekarang menjadi anak asuh Mas Bian. Meski tetap tinggal bersama kakek dan neneknya, tapi biaya hidup dan pendidikannya ditanggung Mas Bian. Begitu yang kudengar dari cerita Mas Reza beberapa menit lalu padaku. Aku sangat bersyukur akhirnya Mas Bian lebih ikhlas menerima segala takdirNya. Kulihat sekarang dia jauh lebih tenang, murah senyum dan tak lagi gemar melamun seperti dulu. Mungkin memang banyak belajar arti hidup yang sebenarnya, sebab akhir-akhir ini memang banyak sekali ujian yang menerpanya. Banyak perubahan yang kulihat darinya. Selain lebih tenang, Mas Bian juga terlihat lebih d
Kabar bahagia itu benar-benar datang. Aku positif hamil dan kini hampir empat bulan janin itu tumbuh di rahimku. Malaikat kecil yang begitu diimpikan Mas Reza dan papa karena memang mereka yang paling antusias saat mendengar kabar bahagia ini. Aku sendiri tak paham mengapa papa selalu bilang bahwa ini adalah cucu pertama yang begitu dinantikannya. Padahal Mas Aris juga sudah memiliki buah hati. Rista yang kini berusia tujuh tahun. Saat aku merasakan hari-hari yang membahagiakan, kabar duka pun datang. Mas Bian benar-benar berpisah dengan Irena. Tak hanya itu saja, bahkan kabar tak terduga itu pun datang. Kepergian Irena yang mendadak benar-benar membuatku shock seketika.Tak terasa bulir bening menetes dari kelopak mata. Mengingat dan sengaja membaca kembali pesan-pesan yang dia kirimkan beberapa hari sebelum kepergiannya.|Maaf jika sudah mengganggu hari-hari bahagiamu, Dania. Aku dapatkan nomor barumu dari mama, setelah berusaha meyakinkannya jika aku tak akan menyakitimu. Entahla
Pov : Dania "Semangat pagi, Sayang. Gimana, udah enakan badannya?" Mas Reza sudah duduk di samping pembaringan sembari tersenyum manis ke arahku. Aku yang ternyata bangun kesiangan. Bakda subuh, aku memang sengaja rebahan sebab kepala mendadak pusing sepertinya bumi bergoyang-goyang nggak jelas. Mas Reza pun membantuku ke kamar setelah menyiapkan secangkir kopi untuknya di meja makan. Dia begitu mengkhawatirkanku, sebab itulah memintaku untuk istirahat. Tak perlu menemaninya joging seperti biasanya. "Mas joging sendiri deh, Sayang. Rena juga belum bangun. Biarlah, mungkin dia kecapekan karena kemarin main seharian dengan papanya, kan?" Ucapan Mas Reza tadi pagi kembali terlintas dalam ingatan. Rena Bagaskara. Iya, nama anak perempuanku itu memang sudah diganti. Cukup singkat sekarang. Mas Bian yang meminta agar nama anak semata wayangnya itu tak ada hubungannya dengan masa lalu. Toh semua hanya karena dendam dan keegoisan semata, bukan karena memang menyukai namanya. "Mas, udah