"Besok aku mau menemui klienku di Osaka. Mungkin aku akan menginap untuk beberapa hari," Pria tampan, berkulit bersih, berbadan porposional itu monoleh ke pintu kamar yang telah kubuka. Alex angkat bicara ketika melihatku masuk.
Tampak ia tengah sibuk mondar-mandir dari lemari ke tempat tidur. Memasukkan pakaian dan barang-barang yang akan dibawa, ke dalam koper dan tasnya. Dari rautnya, sepertinya dia terlihat bingung. Kira-kira apa saja yang harus dibawa.
Maklum saja, biasanya jika dia akan pergi, aku yang selalu menyiapkan barang-barang yang perlu dibawanya. Sedangkan kali ini, sepertinya pria itu ingin mengerjakan sendiri.
"Kok mendadak, Sayang," balasku sambil mendekatinya, mecoba membantu memeriksa. Sekiranya barang apa saja yang harus dia bawa.
Kuraih koper Alex. Namun, bergegas dia menariknya kembali dengan sedikit kasar. Hingga membuatku terperangah. Menatap heran menyaksikan sikapnya yang tak seperti biasa.
"Sudah, nggak usah. Semua sudah selesai aku rapikan kok," ucap Alex. Tangannya dengan cepat menutup dan memutar tuas anak kunci hingga kopernya benar-benar tertutup rapat. Dan, menyimpan kuncinya ke dalam kantung tas.
Tak biasanya dia berprilaku seperti itu. Kasar dan bicaranya agak ketus. Wajahnya pun terlihat tegang. Guratan di dahinya melukiskan ada beban yang sedang dia pikirkan. Mungkin ada masalah dengan kliennya kah? Entahlah. Semoga semuanya baik-baik saja.
"Hans!” panggil Alex dari lantai atas pada Hans—sopir pribadi kami.
“Ya, Tuan?” jawab Hans seketika. Langkahnya pun terdengar cepat menghampiri suara yang memanggilnya.
“Koper sama tas saya, tolong kamu taruh di dalam mobil, ya. Sekarang! Soalnya besok pagi-pagi saya berangkat. Biar nggak ada yang ketinggalan," perintah Alex setelah melihat Hans sudah berada di hadapannya.
"Baik, Tuan," jawab Hans patuh. Dia pun segera membawa koper dan tas itu setelah Alex mengeluarkannya dari kamar. Sopir itu mengangkat benda yang dimaksud Alex menuruni tangga menuju garasi mobil. Badannya yang besar terlihat tak masalah untuk membawa barang itu. Tampak ringan tanpa beban yang berat.
“Jangan lupa, besok pagi-pagi kamu antar saya ke bandara, ya,” lanjut Alex sebelum Hans menghilang di balik tembok membawa koper dan tasnya ke mobil.
“Baik, Tuan!” jawab Hans seraya menoleh dan mengangguk.
“Loh, apa nggak besok saja naruh di mobilnya, Sayang? Biar aku cek dulu. Takutnya ada yang ketinggalan,” protesku. Kutatap wajahnya sambil mengernyitkan dahi. Mencoba menerka keanehan malam ini yang menimpa suamiku. Serasa hati ini berbisik, sepertinya ada yang tak beres dengan Alex. Namun, aku mencoba untuk menepisnya.
“Nggak usah! Sudah aku cek tadi," tolaknya dengan suara yang setengah oktav meninggi. Garis rahangnya yang tegas terlihat mengeras. Matanya tajam menatap, namun tak lama dia membuang pandangannya. Kedua telapak tangannya mengusap wajah, seolah-olah dia ingin membuang semua keresahan yang terlukis di wajahnya. Tak sedikit senyum pun tersungging.
Mungkinkah dia kesal denganku? Entahlah. Aku bingung melihat sikap Alex yang tak semestinya padaku.
Kupandang lekat pemilik wajah tampan itu. Yang dihiasi warna kebiruan pada sekeliling dagunya. Bekas bulu-bulu halus jambang yang belum lama dia cukur. Untuk memastikan bahwa lelaki itu dalam keadaan baik-baik saja. Tak secuil masalah atau tekanan dalam jiwanya.
Tak biasanya, dia yang selalu mengandalkan aku untuk melayani segala keperluannya, tapi kali ini Alex lebih memilih membereskan sendiri.
Ah! Mungkin dia tak mau merepotkan aku. Dia hanya ingin berusaha sendiri tanpa campur tanganku. Aku mencoba berfikir positif.
Pria itu tak membalas tatapanku. Dia mengalihkan pandangannya dan bergegas beranjak dari hadapanku. Seolah-olah tahu aku sedang mencari jawaban sebuah teka-teki di wajahnya. Dia tak ingin aku akan menemukan jawaban itu. Dia menuju ranjang. Merebahkan tubuhnya, bersiap menuju peraduan.
Aku pun menyusulnya, merebahkan tubuh di samping Alex yang mulai bersiap-siap memejamkan mata. Aku mendekat. Seraya merentangkan tangan untuk memeluk tubuh Alex. Mencoba merayu sambil bermanja. Merasakan hangat tubuhnya dan mendengarkan detak jantung dari dadanya yang bidang.
Tanganku mengusap-usap di atas dadanya, yang senantiasa menjadi tempatku bersandar dikala aku resah. Mencoba mencairkan suasana yang sedikit membeku. Sudah menjadi tradisi, sebagai pasangan suami istri kami selalu mempunyai ritual wajib jika salah satu diantara kami akan pergi untuk menginap. Walau hanya satu hari.
Namun, ternyata malam ini tidak. "Aku mau tidur, karena aku mau berangkat pagi-pagi. Takut besok kesiangan." Alex menepis tanganku, tanpa membuka sedikit pun netranya. Tampak jelas dia menolak ajakanku untuk bercinta malam ini.
Alex memalingkan tubuhnya membelakangiku, sambil menarik selimut tebal menutupi tubuhnya hingga leher.
Seketika aku terdiam. Mematung dengan mulut yang menganga. Kukerutkan dahi, merasa tak percaya apa yang terjadi baru saja.
Dari rentetan kejadian tadi hingga di atas ranjang. Benar-benar hal yang tak biasa.
Biasanya Alex selalu hangat, apa lagi jika mendapatkan penawaran yang paling disukai kaum pria dari wanita. Dia pasti tak kan pernah menolak. Pria itu pasti akan menyerang dengan garang hingga tanpa ampun.
Gak seperti biasanya, aneh. Aku bersungut dengan perasaan sedikit kecut. Kutarik kembali tangan ini. Memutar tubuh, membalas membelakangi pria yang malam ini sudah melukai hatiku.
Tak terasa, netraku menghangat. Perlahan buliran bening luruh membasahi pipi dan kain pembungkus bantal. Dada terasa sesak, hingga meninggalkan isak.
Rasanya sulit sekali aku mempercayai kejadian ini. Hingga mataku pun sulit untuk terpejam. Seribu tanya menghiasi benak.
Alex. Ada apa dengan dirimu, Sayang? Nggak seperti biasanya, kamu bersikap seperti ini padaku. Satria Alexa Darmawan yang aku kenal penuh kasih sayang. Selama dua puluh tahun dalam pernikahan kita. Nggak pernah kamu membuat kusedih. Apa lagi menangis seperti ini. Tapi, kenapa malam ini sikapmu begitu berubah?
Bukan… bukan… ini bukan Alex yang aku kenal. Tapi, siapa? Ah! Hal ini tak bisa dibiarkan begini. Aku harus tahu, aku harus menanyakan, apa yang tengah terjadi pada dirimu?
Kembali aku memutar tubuh menghadap pria itu. Ingin rasanya membangunkan dia untuk menanyakan semua kejanggalan ini. Agar besok permasalahan selesai tanpa ada beban yang mengganjal. Namun, ternyata rencanaku gagal. Kuurungkan niat ini. Ia tampak sudah tertidur lelap. Membuatku tak tega untuk membangunkannya.
Alex merubah posisinya. Kutatap lelaki itu dengan lekat, wajahnya yang menengadah lurus ke langit-langit kamar. Mulutnya yang sedikit terbuka, menghasilkan alunan nada dari tenggorokannya berirama turun dan naik.
Ya sudah lah, besok pagi saja. Sebelum Dia berangkat ke bandara. Aku mendengus pelan sambil terus memandangi parasnya. Menelusuri satu per satu seluruh inderanya. Memastikan kembali, tak ada yang berubah pada suamiku.
Malam semakin larut. Suasana semakin hening. Yang terdengar hanya detakan jam dinding dan dengkuran Alex yang saling bersahutan di kamar. Namun, mata ini tak ingin terpejam juga. Akhirnya kuputuskan untuk mengambil air wudhu. Sholat sunah malam. Mengadu kepada sang Khalik pencipta alam semesta di sepertiga malam, tentang apa yang sedang aku rasakan saat ini.
Hingga tak terasa aku terlelap diatas sajadah dan mukena yang masih menutupi tubuhku.
Bersambung…!
Aku menolak Rania untuk membantuku merapikan barang-barang yang aku bawa. Walau sebenarnya aku merasa bingung barang-barang apa saja yang harus kubawa. Karena selama ini hanya dia yang tahu dan mengurus semua keperluan dan kebutuhanku selama dua puluh tahun ini kami menikah. Aku hanya tak ingin Rania tahu, dokumen-dokumen apa saja yang akan kubawa. Aku tak ingin istriku terluka karena melihat dokumen-dokumen ini. Bahkan aku merasa gugup dan tegang karena telah membohonginya.Segera kututup tas dan koperku. Menguncinya agar Rania tak melihat isi dalam koper saat dia mendekat. "Sudah, nggak usah. Semua sudah selesai aku rapikan sendiri kok," ucapku menepis bantuan yang secara tidak langsung ia tawarkan.Kulihat dari sudut mata, Rania menatapku. Sepertinya dia merasa heran dengan sikapku yang tak biasa. Semoga keheranannya itu tak membuatnya curiga.Aku memalingkan wajah, agar dia tak bisa membacanya. Sebab wajah ini mulai menegang akibat kebohongan yang telah kubuat.
“Biasa, ada urusan. Cepet, buka gerbangnya,” jawabku seraya berjalan cepat keluar dari halaman rumah menuju taksi online yang sudah menunggu. Apalagi lampu kamar tengah menyala. Aku takut itu Rania, terbangun karena suara klakson dari taksi online.“Baik, Tuan!” Pak Kim bergegas lari mendahuluiku untuk membukakan pintu gerbang.Syukurlah, dia tak banyak tanya macam-macam. Dengusku.Segera aku masuk ke taksi online itu dan memberi perintah pada drivernya untuk segera meninggalkan rumah.*****Aku tersentak dan terjaga dari tidur. Rasanya seperti mendengar suara klakson mobil dari luar pagar depan rumah. Semula aku tak curiga sedikit pun. Apalagi di atas tempat tidur Alex masih tidur dengan selimut yang menutup rapat tubuhnya. Sehingga membuatku tenang dan kembali merebahkan sebentar tubuh ini, sekadar meluruskan kembali otot-otot yang sempat terhimpit karena posisi tidurku yang tak benar.Seraya mengedarkan pandangan dan melihat j
Sepekan sudah Alex tak ada kabar. Sudah beberapa kali aku mencoba menelponnya. Namun, kedua nomornya tak satu pun aktif. Wa terakhir yang kukirim pun juga belum dia baca. Sehingga aku tak bisa mengetahui kabar beritanya. Membuatku cemas, khawatir, memikirkannya apa yang tengah terjadi pada suamiku.Apakah mungkin gawainya tak mendapatkan sinyal di sana? Ah! Rasanya tak mungkin, di negara yang maju akan teknologinya, bisa susah mendapatkan sinyal. Kecemasanku semakin menjadi.Aku menerawang jauh ke cakrawala dari balkon kamar. Berharap mendapatkan jawaban dari atas sana. Agar bisa melampiaskan kerinduan yang kian mendalam. Pada belahan jiwa yang telah menemani selama dua puluh tahun ini.Alex, dimana kamu, Sayang? Aku sudah rindu padamu. Aku kesepian tanpamu. Aku ingin bercinta denganmu. Menuangkan semua nafsuku hanya untukmu. Aku butuh pelukanmu yang hangat, agar tak kedinginan seperti ini.Tiba-tiba suara gawaiku berbunyi dari dalam kamar.
Setelah Sarah pamit untuk menutup telponnya, aku pun bersiap-siap merebahkan tubuh di atas ranjang. Sendiri, tanpa Alex di sampingku. Aku merasa benar-benar kesepian di kamar ini. Dingin, tak ada pria yang biasanya selalu dengan senang hati bisa memelukku. Dada yang bidang serta tangan yang kekar, membuatku selalu nyaman berlama-lama di sana. Sambil mendengarkan alunan detak jantung yang seirama dengan napasnya.Menit kemudian, mataku mulai terasa berat. Kelopaknya sudah tak mampu menahan bola manik untuk tetap terjaga. Perlahan cahayanya mulai redup, lalu terpejam untuk membawaku ke alam bawah sadar.Berselang tak lama, tiba-tiba pipiku merasakan belaian halus dari tangan yang sangat kukenal. Mengusap lembut disetiap incinya. Membuatku dengan mudah bisa menebak siapa gerangan yang berada di belakangku. Memberikan kejutan cinta yang hangat.Aku menoleh ke samping kanan. Tanpa diberi aba-aba aku bergegas bangun dan menubruk pria berbadan atletis itu. Memeluk tubu
Kurebahkan kembali tubuh ini. Setelah menghabiskan air mineral di dalam gelas hingga kurasa tubuh kembali segar. Mencoba kembali memejamkan mata disisa malam ini.Akan tetapi, sudah beberapa menit mata ini tak mau terpejam. Pikiranku melayang terbawa mimpi yang baru saja kualami. Rasanya seperti benar-benar terjadi. Tiba-tiba saja aku menjadi gelisah. Membayangkan mimpi itu akan menjadi kenyataan.“Ya Tuhan. Jangan sampai terjadi,” gumamku. Kuusap wajah ini. Agar bayangan suram itu menghilang. Tak lagi menggangguku yang sedang kesepian.Kuambil gawai yang tergeletak di sebelahku. Mengusap layarnya, mencoba mengecek beberapa chat di sana. Siapa tahu ada berita dari Alex. Akan tetapi, harapan itu membuatku kecewa. Tak ada satu pun chating dari Alex.Kulirik jam di dinding, jarum pendeknya menunjukkan angka dua, sedangkan jarum panjang menunjuk keangka lima. Ah, ternyata waktunya untuk mengadu disepertiga malam.Bergegas aku beran
Netraku seketika terbelalak, serasa ingin keluar dari kelopaknya. Jantung berdegup sangat kencang hingga mampu memompa kobaran api dalam darah. Walau aku masih belum percaya dengan mata sendiri, tapi aku yakin aku hapal betul sosok itu. Walau dalam gelap sekali pun."Halo, Rania. Are you alrigh?" Tanya Sarah saat melihat ekspresi wajahku yang tiba-tiba berubah."Ada apa, Rania? Jangan kamu buat saya jadi takut juga! Kamu tidak melihat monster, kan?" celetuk konyol Sarah, namun tetap tak kugubris. Aku masih fokus melihat sosok pria yang sangat kukenal sedang berdua-duaan begitu mesra dengan wanita, seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran.Aku bangun dari tempat duduk. Untuk lebih memastikan, aku menghampiri pria itu. Dia nyaris membelakangiku. Sehingga dia tak sadar aku mendekatinya."Alex?" Panggilku sedikit ragu. Pria itu menoleh. Bagaikaan teror menyalip wajahnya. Seketika ekspresinya b
Aku keluar dari kamar Rania. Menuruni anak tangga satu per satu. Sambil melihat suasan rumah Rania yang besar. Rumah yang sangat megah. Disepanjan dinding tangga, dihiasi dengan foto-foto yang terpajang di sana. Aku tertarik untuk melihatnya.Perlahan aku amati satu demi satu foto-foto itu. Tampak sebuah foto pernikahan Rania bersama suaminya. Rania tampak cantik sekali dengan pakaian pernikahannya yang serba putih dan mahkota di kepalanya. Senyumnya selalu memikat pria yang melihatnya. Tak terkecuali Irwan saat kuliah dulu. Aku sempat iri dengannya kala itu.Jojo, kakak tingkat kami saat kuliah dulu. Terkenal pria yang cool dan tak mudah jatuh cinta dengan wanita mana pun. Walau banyak perempuan yang ingin menjadi kekasihnya. Akan tetapi ketika dia mengenal Rania, Jojo langsung jatuh hati tanpa ada yang bisa menghalangi.Aku beralih melihat foto disebelahnya. Tampak dua gadis yang tersenyum manis. Hidungnya mancung, kelopak mata yang sedikit berkantung, gigi gi
Pagi ini saya ingin berkeliling halaman rumah Rania yang luas. Melemaskan otot-otot kaki yang terasa kaku. Sekaligus berkenalan dengan pelayan lain yang ternyata masih ada beberapa pelayan yang bekerja di sini.“Hai, Pak,” sapaku pada seorang tukang kebun yang sedang merawan tanaman. Bapak perawat tanaman itu menyahut dengan menganggukan kepala dengan sopan sambil menyunggingkan bibirnya.Tanaman-tanaman yang dirawatnya tampak indah. Tentunya membuat semakin cantik halaman rumah ini. Semua terlihat terawat dan segar. Beberapa pohon perdu pun tengah dipangkas. Bunga-bunga yang indah terlihat basah seperti habis disiram.Haaa! Tempat yang benar-benar nyaman. Membuat aku betah untuk tinggal di sini. Tapi, ish. aku hanya bisa bermimpi bisa punya rumah senyaman ini.Dari kejauhan saya lihat Lily berlari menuju ke arahku. Dari wajahnya, dia terlihat panik. Tampaknya ada sesuatu yang membuat dia ketakutan seperti itu.“Ada apa,
“Apa yang akan kamu lakukan, Chateryn…?” tanpa memberikan kesempatan pria itu untuk bertanya lebih panjang lagi, aku langsung mengunci mulutnya dengan bibirku. Tak kubiarkan dia sedetik pun mengambil napas tanpa intimidasi dari seranganku, hingga kecapan pun mulai terdengar karena bibir kami saling beradu.Di bawah sana. Di antara kedua belah pahanya. Sebuah benda yang sangat berharga, terasa semakin keras tertindas. Membuatku menjadi semakin penasaran. Ingin melihat seperti apa wujudnya. Apakah sama dengan waktu dia mabuk dulu?Kedua kaki kuturunkan. Lalu, jari-jari tanganku mulai menampilkan kepiawaiannya. Membuka pengait dan resleting yang semakin sempit karenanya. Pria itu menggeliat, antara malu dan mau. Cih!“Chat. Ja-jangan, Chat,” ucapnya tak berkutik.“Sssttt! Pak Alex tenang saja. Kita akan bermain seperti waktu di New Zeland,” balasku sambil membuka dua lapis penutupnya.“Waow!” seru
Seperti hari ini. Disaat aku dan Pak Alex lembur untuk mempersiapkan dokumen-dokumen dan memeriksa beberapa berkas calon investor yang akan meeting besok. Jam kerja sudah berlalu, hari pun sudah semakin larut. Bisa dipastikan semua staf sudah pulang. Tinggal aku dan Pak Alex di ruangan yang sudah terlihat sepi.Sebuah kesempatan buatku untuk melancarkan skandal kedua. Merayu dan menggoda Pak Alex. Agar terperangkap kembali dalam perangkapku. Aku yakin dia pasti tak menolak.Saat mengantarkan kopi yang baru saja kupesan dari deliveri online, aku melihat Pak Alex duduk santai di kursi kebesarannya. Wajahnya setengah menengada, matanya terpejam, dan kedua kakinya dinaikkan, ujung tumitnya bertumpu di atas meja. Serta kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalannya. Pria itu semakin terlihat menarik, membuat jantungku berdebar kencang. Tak tahan ingin memeluknya dan ingin menyandarkan kepala ke dadanya yang bidang.“Hai, Chate. Bawa apa itu? Kamu belum
“Nia, aku tahu kamu pasti menyusulku. Untuk bercinta dengaku kan, Sayang.” Tiba-tiba Pak Alex bangun. Dengan bicaranya yang ngawur dan tubuh yang sempoyongan, dia memelukku. Mendekatkan bibirnya yang masih tersisa aroma wine ke bibirku. Aku pun tak akan menyia-nyiakan hal ini. Kubalas serangan bibirnya hingga ia terjatuh lagi di atas tempat tidur.Berkali-kali pria itu menyebut nama istrinya. Membuat aku menjadi muak, tak suka dengan nama itu dia sebut di saat kami sedang bercinta. Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya, hingga pria itu tak bisa lagi menyebut nama perempuan yang sangat kubenci.Tetapi, tak apa lah. Mungkin karena permainan ini baru dimulai. Lagi pula pria itu masih dalam pengaruh alkohol. Jadi aku yang harus bersabar.Permainanku berjalan dengan lancar. Tak ada sedikit pun gangguan. Bahkan Bos Golden ini walau masih dalam keadaan mabuk, dia sangat menikmati permainan yang aku suguhkan. Sepertinya dia merasa sangat puas. Dengan sentuhan
Pada saatnya tiba, ketika setelah kupaparkan semua produk-produk dan kinerja perusahaan secara profesional, beberapa klain banyak yang tertarik. Klain yang semula hanya ingin mendengarkan saja tak berniat untuk gabung pun akhirnya ikut juga menanamkan sahamnya di Golden Group. Sehingga, ketika meeting akan di tutup kami merayakan kesuksesan ini dengan memesan wine. Lebih tepatnya aku yang memesan wine pada pelayan hotel tanpa sepengetahuan Pak Alex.Semula Pak Alex tak meminum wine itu. Aku tahu, ia tak pernah minum minuman yang beralkohol semacam itu. Karena selama ini setiap ada acara meeting atau pesta dan sejenisnya, dia selalu membawa istrinya dan sudah bisa dipastikan ia dalam kendalinya.Hah! Dasar, suami-suami takut istri.Suatu kesempatan buatku. Kubujuk Bos Golden itu untuk meminum wine sebagai tanda penghormatan pada tamu-tamu yang sudah bersedia menanamkan sahamnya ke perusahaannya. Untungnya dia mengikuti saranku. Kemudian meminumnya hingga minuman
“Chat, kamu siap-siap ya. Besok temani saya meeting ke New Zeland. Kali ini Bu Rania tidak bisa mendampingi saya. Karena dia mau nengok ayahnya yang sakit di London,” perintah Pak Alex ketika aku masuk ke ruangannya untuk memberikan berkas-berkas yang akan menjadi bahan meeting besok. Setelah Bos itu memanggilku melalui nir-kable.Ke New Zeland tanpa Bu Rania? Yes…! Akhirnya, apa yang gue tunggu-tunggu terkabul juga. Nenek-nenek peot itu nggak bisa dampingin lakinya buat nemuin klain dan vendor di sana. Jadi, gue yang dapat tugas buat nemenin Bos incaran gue. Setelah sekian lama gue menanti kesempatan ini, pergi dengan Bos tanpa istrinya. Kesempat emas yang nggak boleh gue lewati. Gue harus mempersiapkan sebaik mungkin.Sudah pasti aku menerima tugas dari Pak Alex dengan senang hati, karena istrinya tak bisa mendampingi suaminya.Pertama kalinya aku mendapatkan tugas untuk mendampingi Pak Alex, tugas ke luar negeri tanpa Bu Rania-istrinya.
Hari pun semakin larut. Angin malam berhembus, meniup kesekujur tubuhku. Udaranya yang mulai dingin menembus tulang belulang, menyadarkanku dari lamunan. Kusesap rokok terakhirku, kemudian mematikan puntungnya ke asbak yang ada di atas meja. Lalu kembali masuk ke kamar untuk menyusul Rania yang sudah pergi ke alam mimpinya.Saat setelah mengunci pintu dan menutup gordennya, ketika memutar badan, tanpa sengaja aku melihat wajah Rania yang tersorot lampu tidur yang terletak di sisi pojok ranjang. Wajahnya tampak begitu cantik dengan sorotan lampu itu.Aku mendekat. Berdiri mematung di sana. Kubungkukan badanku serasa membisikan kata, maaf. Lalu, mengecup keningnya perlahan.Setelah puas memandangi wajahnya, aku berdiri. Melangkah menuju sisi lain dari ranjang ini. lalu, menjatuhkan diri untuk pergi berpetualang di alam mimpi. Bersama istri.“Ah…!” Tiba-tiba, sebuah sinar menyilaukan menyorot wajahku. Kuhalangi cahaya itu dengan kedua bela
“Sadar, Chat. Apa yang sudah kamu….” Belum selesai aku bicara, Chaterin sudah menyumpal mulutku dengan bibirnya. Ia tak memberikan kesempatan padaku untuk membuka suara.Tubuh perempuan itu yang tengah duduk di atas pahaku, bergerak maju hingga perut kami saling beradu. Menimbulkan gesekan yang membuat sesuatu yang berada di dalam sana menunjukkan reaksi yang tak bisa kucegah. Dan aku tak bisa menolak Chaterin untuk melakukan tugas suka relanya padaku.Semenjak kejadian itu sering terulang, aku tak bisa mengelak dan menolak ajakan Chaterin. Aku bagai kerbau yang di cocok hidungnya setiap Chaterin mulai menggodaku. Suguhan-suguhan yang dia berikan padaku, memang sangat berbeda dari pada yang Rania lakukan. Sensasinya selalu mampu membuatku menikmatinya.Hingga suatu saat Chaterin menuntutku untuk menikahinya. Karena hubunga kami yang sudah teramat dekat dan sering melakukan hal-hal terlarang, baik di kantor maupun di luar kantor. Bahkan sering
Rencananya besok perusahaan akan kedatangan investor yang ingin bergabung dengan perusahaanku. Jadi aku dan Chaterin lembur untuk mempersiapkan dokumen-dokumen dan MOU. Serta memeriksa kembali kondisi keuangan mereka yang telah lulus dalam pengauditan.Di ruang Presdir di lantai dua puluh satu. Ruang itu memang khusus untukku dan Rania. Serta beberapa staf saja yang menjadi kepercayaanku termasuk Chaterin, menempati ruang di lantai itu. Kini tinggal aku dan perempuan itu saja yang berada di sana. Karena staf yang lain sudah pulang sejak sore tadi.Setelah semua selesai, aku masih menikmati kesendirianku di ruang itu. Duduk bersandar di kursi kebesaranku sambil memejamkan mata untuk melepas kepenatan.Tiba-tiba Chaterin masuk, dengan membawa secangkir kopi yang tidak kupesan. Ia membuatkan minuman itu berdasarkan inisiatifnya.“Hai, Chat. Bawa apa itu? Kamu belum pulang?” tanyaku seraya menurunkan kaki dari meja.Chaterin melangkah dan m
Melihat Rania muncul, aku merasa senang. Aku bangun untuk menyambutnya. Walau tubuh ini gontai, aku menyambutnya dengan bahagia. Mengajaknya untuk bermain cinta.“Nia, aku tahu kamu pasti datang menyusul. Untuk bercinta denganku kan, Sayang,” ucapku sambil merentangkan tangan untuk menyambutnya. Memeluk. Mendekapnya erat-erat. Seakan rasa rindu ini sudah lama sekali terpendam.“Kenapa kamu diam saja di situ, Sayang? Ayo, lah. Mendekat. Aku sudah rindu sekali denganmu.”Tak sabar, kurenggut begitu saja tubuh Rania. Hingga kami berdua terjatuh di atas tempat tidur. Aku yang masih dipengaruhi alkohol tak dapat menahan keseimbangan. Dan, kami pun larut dalam alam antah beranta, yang tak dapat diceritakan.Malam berganti pagi. Cahaya mentari memaksa masuk melalui cela-cela gorden jandela hotel. Kupicingkan mata sambil perlahan membuka kelopaknya. Untuk menyongsong hari di tanah berawan putih panjang ini.Akan tetapi aku merasa ad