Pagi ini saya ingin berkeliling halaman rumah Rania yang luas. Melemaskan otot-otot kaki yang terasa kaku. Sekaligus berkenalan dengan pelayan lain yang ternyata masih ada beberapa pelayan yang bekerja di sini.
“Hai, Pak,” sapaku pada seorang tukang kebun yang sedang merawan tanaman. Bapak perawat tanaman itu menyahut dengan menganggukan kepala dengan sopan sambil menyunggingkan bibirnya.
Tanaman-tanaman yang dirawatnya tampak indah. Tentunya membuat semakin cantik halaman rumah ini. Semua terlihat terawat dan segar. Beberapa pohon perdu pun tengah dipangkas. Bunga-bunga yang indah terlihat basah seperti habis disiram.
Haaa! Tempat yang benar-benar nyaman. Membuat aku betah untuk tinggal di sini. Tapi, ish. aku hanya bisa bermimpi bisa punya rumah senyaman ini.
Dari kejauhan saya lihat Lily berlari menuju ke arahku. Dari wajahnya, dia terlihat panik. Tampaknya ada sesuatu yang membuat dia ketakutan seperti itu.
“Ada apa,
“Kalau begitu saya akan memberikan dia obat penenang. Tapi nanti diberikan seperlunya saja ketika dia benar-benar membutuhkan obat itu. Dan, saya percaya pada anda. Tolong bantu sepupu saya agar dia tidak mengalami hal-hal yang sama sekali tidak kita inginkan.” Dokter itu memohon padaku dengan tatapannya yang penuh harapan.“Anda bisa mengandalkan saya, Dokter.” Aku meyakinkannya, agar Dokter Harun tidak meragukan kemampuanku untuk mendampingi Rania dalam masalah ini.***Tiga hari sudah aku tergelatak di atas ranjang. Setelah Harun memeriksaku dan Sarah selalu merawat dan memberikan semangat untukku, kini berangsur-angsur kondisiku mulai membaik. Hatiku sedikit tenang, walau terkadang masih terbawa emosi karena mengingat peristiwa di bandara.Aku mencoba untuk bisa mengendalikan emosiku. Demi kedua putriku yang kini sedang sekolah di Amerika.Gawai yang kuletakkan di atas nakas berbunyi. Kulihat Sarah mengambil benda itu la
Aku berdiri di pinggir balkon kamar. Menikmati cakrawala yang dihiasi bintang. Tampak rembulan yang malu untuk bersinar. Terhimpit diantar awan menghitam.Angin malam berhembus sepoi-sepoi. Mengurai rambut lepas tergerai. Wajah sembab pun tak luput dibelai. Membawa rasa menjadi gontai.Hah! Aku menghela napas panjang, lalu menghempaskan perlahan. Melepas sesak yang mengganjal di dada. Agar keluar bersama beban.“Menghirup angin malam kadang-kadang membuat kita terbebas dari tekanan. Tetapi kadang-kadang ia membuat kita terbawa oleh hayalan.” Tiba-tiba suara Sarah muncul dari belakangku. Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Rupanya ia sudah berdiri di tengah pintu yang menghubungkan kamar dan balkon.“Sarah? Sudah lama di situ?” sambutku, lalu menyunggingkan bibir dan kembali menikmati pemandangan malam. Menyandarkan tubuh di pagar dinding balkon. Menumpuhkan siku untuk menopang lipatan tangan di dada.Sarah melangkah mendek
Dua bulan sudah Sarah tinggal di rumahku. Dia begitu banyak membantu dalam memulihkan kejiwaanku yang saat itu terganggu karena Alex yang sudah mengoyak hatiku.Berangsur-angsur aku bisa mengendalikan emosi. Mengikhlaskan semua yang sudah terjadi denganku. Sehingga aku bisa kembali bekerja dan memimpin Goden Group lagi semenjak Alex menghilang dari perusahaan itu.Selama ini Golden Group memang dalam kendali Alex. Namun, semua itu tak lepas dari campur tanganku. Sehingga ketika perusahaan ini mengalami kekosongan kepemimpinan, aku sebagai wakil Presdir bisa mengambil alih kendali.Seperti saat ini, semenjak terjadi insiden yang tak mengenakkan Alex pun tak pernah terlihat di ruangannya. Begitu pula dengan Chateryn. Mejanya tampak kosong, sehingga pekerjaan yang harus dia tangani aku alihkan pada staf lain.Aku masuk ke ruangan yang biasa digunakan Alex untuk melakukan aktivitasnya yang menyangkut dengan perusahaan ini. Memeriksa beberapa berkas laporan yang s
Perlahan isakku mulai mereda. Walau tubuh ini masih dalam kuasa Alex. Tangannya yang menangkup wajahku, berkali-kali mengusap linangan air mata. Seakan dia tak ingin melihatku menangis.“Please, maafin aku. Aku mengaku salah. Aku khilaf. Kasih aku kesempatan, sekali lagi. Agar aku bisa memperbaiki semua kesalahan yang sudah kulakukan. Aku masih mencintaimu, Rania. Demi anak-anak kita dan nama baik kita di mata publik.” Alex memohon. Suaranya bergetar, dari keseriusannya sepertinya dia bersungguh-sungguh.Selama dua puluh tahun kami menikah, tak pernah aku melihat Alex sefrustrasi ini. Berharap aku mau memaafkannya. Dia telah mengakui kesalahannya. Tapi, apakah aku sanggup untuk memaafkannya?Aku teringat lagi dengan Paula dan Cylla, sudah pasti mereka masih membutuhkan sosok papanya. Sebagai pelindung, panutan dan tempat mereka bermanja. Apa lagi di saat menjelang mereka menikah nanti. Sudah pasti, Alex lah yang akan mendampingi mereka karena sebagai
Akhirnya aku pulang ke rumah yang telah kubangun bersama Rania. Dulu, tempat ini masih berupa sebidang tanah kosong. Sedikit demi sedikit kami mengumpulkan pundi-pundi untuk membangun rumah ini. Sebagian besar, rumah ini adalah rancangan Rania. Hingga terlihat sedemikian megah. Selera istriku memang luar biasa dalam mengatur segala hal.Aku menerabas ke dalam rumah menuju kamar. Tak kuhiraukan sapaan penjaga dan pelayan yang menyapa setiap bertemu denganku. Hanya senyum dan anggukan tipis sebagai balasan sapaanku pada mereka jika terpaksa kami bertatap muka.Aku berlari kecil menaiki anak tangga satu per satu dengan cepat. Ingin segera sampai di dalam dan menunggu Rania pulang. Aku bayangkan wajah surprise Rania saat melihatku di sini. Senang, marah, kecewa atau ….Kubuka handle pintu dan memutar tuasnya. Rupanya, pintu kamar tak terkunci. Kebetulan sekali, sehingga aku tak perlu mencari-cari Bik Shu untuk meminta kuncinya.Aku segera masu
Aku dalam kendali alam kenikmatan walau harus mengerahkan seluruh tenaga karena Rania tak sedikit pun membalas setiap sentuhan ini. Namun, aku tak putus asa. Aku tetap mencoba terus menyusuri tubuhnya inci demi inci. Meski Rania sering kali mengelak.Aku berhasil membuatnya menyerah dan memberikan apa yang kuinginkan malam ini hingga tuntas.Saat terjaga, hari sudah larut. Jam di dinding menunjukkan setengah satu malam. Aku terdiam sebentar, kemudian menoleh ke kanan, lalu memutar tubuh menghadap perempuan yang tengah tertidur di sampingku. Memerhatikan perempuan yang telah terbungkus selimut tebal.Kupandangi lekat wajah perempuan itu. Tampak polos, terpancar jelas kesedihannya di sana, membuatku semakin merasa bersalah.“Maafkan aku, Sayang. Aku sudah membuatmu kecewa. Aku sudah membuatmu terluka. Aku menyesal, tapi aku tak bisa menghindar dari kesalahan yang sudah kubuat sendiri. Aku harus mempertanggung jawabkan semua ini. Yah, semua ini karena kebodohank
Melihat Rania muncul, aku merasa senang. Aku bangun untuk menyambutnya. Walau tubuh ini gontai, aku menyambutnya dengan bahagia. Mengajaknya untuk bermain cinta.“Nia, aku tahu kamu pasti datang menyusul. Untuk bercinta denganku kan, Sayang,” ucapku sambil merentangkan tangan untuk menyambutnya. Memeluk. Mendekapnya erat-erat. Seakan rasa rindu ini sudah lama sekali terpendam.“Kenapa kamu diam saja di situ, Sayang? Ayo, lah. Mendekat. Aku sudah rindu sekali denganmu.”Tak sabar, kurenggut begitu saja tubuh Rania. Hingga kami berdua terjatuh di atas tempat tidur. Aku yang masih dipengaruhi alkohol tak dapat menahan keseimbangan. Dan, kami pun larut dalam alam antah beranta, yang tak dapat diceritakan.Malam berganti pagi. Cahaya mentari memaksa masuk melalui cela-cela gorden jandela hotel. Kupicingkan mata sambil perlahan membuka kelopaknya. Untuk menyongsong hari di tanah berawan putih panjang ini.Akan tetapi aku merasa ad
Rencananya besok perusahaan akan kedatangan investor yang ingin bergabung dengan perusahaanku. Jadi aku dan Chaterin lembur untuk mempersiapkan dokumen-dokumen dan MOU. Serta memeriksa kembali kondisi keuangan mereka yang telah lulus dalam pengauditan.Di ruang Presdir di lantai dua puluh satu. Ruang itu memang khusus untukku dan Rania. Serta beberapa staf saja yang menjadi kepercayaanku termasuk Chaterin, menempati ruang di lantai itu. Kini tinggal aku dan perempuan itu saja yang berada di sana. Karena staf yang lain sudah pulang sejak sore tadi.Setelah semua selesai, aku masih menikmati kesendirianku di ruang itu. Duduk bersandar di kursi kebesaranku sambil memejamkan mata untuk melepas kepenatan.Tiba-tiba Chaterin masuk, dengan membawa secangkir kopi yang tidak kupesan. Ia membuatkan minuman itu berdasarkan inisiatifnya.“Hai, Chat. Bawa apa itu? Kamu belum pulang?” tanyaku seraya menurunkan kaki dari meja.Chaterin melangkah dan m
“Apa yang akan kamu lakukan, Chateryn…?” tanpa memberikan kesempatan pria itu untuk bertanya lebih panjang lagi, aku langsung mengunci mulutnya dengan bibirku. Tak kubiarkan dia sedetik pun mengambil napas tanpa intimidasi dari seranganku, hingga kecapan pun mulai terdengar karena bibir kami saling beradu.Di bawah sana. Di antara kedua belah pahanya. Sebuah benda yang sangat berharga, terasa semakin keras tertindas. Membuatku menjadi semakin penasaran. Ingin melihat seperti apa wujudnya. Apakah sama dengan waktu dia mabuk dulu?Kedua kaki kuturunkan. Lalu, jari-jari tanganku mulai menampilkan kepiawaiannya. Membuka pengait dan resleting yang semakin sempit karenanya. Pria itu menggeliat, antara malu dan mau. Cih!“Chat. Ja-jangan, Chat,” ucapnya tak berkutik.“Sssttt! Pak Alex tenang saja. Kita akan bermain seperti waktu di New Zeland,” balasku sambil membuka dua lapis penutupnya.“Waow!” seru
Seperti hari ini. Disaat aku dan Pak Alex lembur untuk mempersiapkan dokumen-dokumen dan memeriksa beberapa berkas calon investor yang akan meeting besok. Jam kerja sudah berlalu, hari pun sudah semakin larut. Bisa dipastikan semua staf sudah pulang. Tinggal aku dan Pak Alex di ruangan yang sudah terlihat sepi.Sebuah kesempatan buatku untuk melancarkan skandal kedua. Merayu dan menggoda Pak Alex. Agar terperangkap kembali dalam perangkapku. Aku yakin dia pasti tak menolak.Saat mengantarkan kopi yang baru saja kupesan dari deliveri online, aku melihat Pak Alex duduk santai di kursi kebesarannya. Wajahnya setengah menengada, matanya terpejam, dan kedua kakinya dinaikkan, ujung tumitnya bertumpu di atas meja. Serta kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalannya. Pria itu semakin terlihat menarik, membuat jantungku berdebar kencang. Tak tahan ingin memeluknya dan ingin menyandarkan kepala ke dadanya yang bidang.“Hai, Chate. Bawa apa itu? Kamu belum
“Nia, aku tahu kamu pasti menyusulku. Untuk bercinta dengaku kan, Sayang.” Tiba-tiba Pak Alex bangun. Dengan bicaranya yang ngawur dan tubuh yang sempoyongan, dia memelukku. Mendekatkan bibirnya yang masih tersisa aroma wine ke bibirku. Aku pun tak akan menyia-nyiakan hal ini. Kubalas serangan bibirnya hingga ia terjatuh lagi di atas tempat tidur.Berkali-kali pria itu menyebut nama istrinya. Membuat aku menjadi muak, tak suka dengan nama itu dia sebut di saat kami sedang bercinta. Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya, hingga pria itu tak bisa lagi menyebut nama perempuan yang sangat kubenci.Tetapi, tak apa lah. Mungkin karena permainan ini baru dimulai. Lagi pula pria itu masih dalam pengaruh alkohol. Jadi aku yang harus bersabar.Permainanku berjalan dengan lancar. Tak ada sedikit pun gangguan. Bahkan Bos Golden ini walau masih dalam keadaan mabuk, dia sangat menikmati permainan yang aku suguhkan. Sepertinya dia merasa sangat puas. Dengan sentuhan
Pada saatnya tiba, ketika setelah kupaparkan semua produk-produk dan kinerja perusahaan secara profesional, beberapa klain banyak yang tertarik. Klain yang semula hanya ingin mendengarkan saja tak berniat untuk gabung pun akhirnya ikut juga menanamkan sahamnya di Golden Group. Sehingga, ketika meeting akan di tutup kami merayakan kesuksesan ini dengan memesan wine. Lebih tepatnya aku yang memesan wine pada pelayan hotel tanpa sepengetahuan Pak Alex.Semula Pak Alex tak meminum wine itu. Aku tahu, ia tak pernah minum minuman yang beralkohol semacam itu. Karena selama ini setiap ada acara meeting atau pesta dan sejenisnya, dia selalu membawa istrinya dan sudah bisa dipastikan ia dalam kendalinya.Hah! Dasar, suami-suami takut istri.Suatu kesempatan buatku. Kubujuk Bos Golden itu untuk meminum wine sebagai tanda penghormatan pada tamu-tamu yang sudah bersedia menanamkan sahamnya ke perusahaannya. Untungnya dia mengikuti saranku. Kemudian meminumnya hingga minuman
“Chat, kamu siap-siap ya. Besok temani saya meeting ke New Zeland. Kali ini Bu Rania tidak bisa mendampingi saya. Karena dia mau nengok ayahnya yang sakit di London,” perintah Pak Alex ketika aku masuk ke ruangannya untuk memberikan berkas-berkas yang akan menjadi bahan meeting besok. Setelah Bos itu memanggilku melalui nir-kable.Ke New Zeland tanpa Bu Rania? Yes…! Akhirnya, apa yang gue tunggu-tunggu terkabul juga. Nenek-nenek peot itu nggak bisa dampingin lakinya buat nemuin klain dan vendor di sana. Jadi, gue yang dapat tugas buat nemenin Bos incaran gue. Setelah sekian lama gue menanti kesempatan ini, pergi dengan Bos tanpa istrinya. Kesempat emas yang nggak boleh gue lewati. Gue harus mempersiapkan sebaik mungkin.Sudah pasti aku menerima tugas dari Pak Alex dengan senang hati, karena istrinya tak bisa mendampingi suaminya.Pertama kalinya aku mendapatkan tugas untuk mendampingi Pak Alex, tugas ke luar negeri tanpa Bu Rania-istrinya.
Hari pun semakin larut. Angin malam berhembus, meniup kesekujur tubuhku. Udaranya yang mulai dingin menembus tulang belulang, menyadarkanku dari lamunan. Kusesap rokok terakhirku, kemudian mematikan puntungnya ke asbak yang ada di atas meja. Lalu kembali masuk ke kamar untuk menyusul Rania yang sudah pergi ke alam mimpinya.Saat setelah mengunci pintu dan menutup gordennya, ketika memutar badan, tanpa sengaja aku melihat wajah Rania yang tersorot lampu tidur yang terletak di sisi pojok ranjang. Wajahnya tampak begitu cantik dengan sorotan lampu itu.Aku mendekat. Berdiri mematung di sana. Kubungkukan badanku serasa membisikan kata, maaf. Lalu, mengecup keningnya perlahan.Setelah puas memandangi wajahnya, aku berdiri. Melangkah menuju sisi lain dari ranjang ini. lalu, menjatuhkan diri untuk pergi berpetualang di alam mimpi. Bersama istri.“Ah…!” Tiba-tiba, sebuah sinar menyilaukan menyorot wajahku. Kuhalangi cahaya itu dengan kedua bela
“Sadar, Chat. Apa yang sudah kamu….” Belum selesai aku bicara, Chaterin sudah menyumpal mulutku dengan bibirnya. Ia tak memberikan kesempatan padaku untuk membuka suara.Tubuh perempuan itu yang tengah duduk di atas pahaku, bergerak maju hingga perut kami saling beradu. Menimbulkan gesekan yang membuat sesuatu yang berada di dalam sana menunjukkan reaksi yang tak bisa kucegah. Dan aku tak bisa menolak Chaterin untuk melakukan tugas suka relanya padaku.Semenjak kejadian itu sering terulang, aku tak bisa mengelak dan menolak ajakan Chaterin. Aku bagai kerbau yang di cocok hidungnya setiap Chaterin mulai menggodaku. Suguhan-suguhan yang dia berikan padaku, memang sangat berbeda dari pada yang Rania lakukan. Sensasinya selalu mampu membuatku menikmatinya.Hingga suatu saat Chaterin menuntutku untuk menikahinya. Karena hubunga kami yang sudah teramat dekat dan sering melakukan hal-hal terlarang, baik di kantor maupun di luar kantor. Bahkan sering
Rencananya besok perusahaan akan kedatangan investor yang ingin bergabung dengan perusahaanku. Jadi aku dan Chaterin lembur untuk mempersiapkan dokumen-dokumen dan MOU. Serta memeriksa kembali kondisi keuangan mereka yang telah lulus dalam pengauditan.Di ruang Presdir di lantai dua puluh satu. Ruang itu memang khusus untukku dan Rania. Serta beberapa staf saja yang menjadi kepercayaanku termasuk Chaterin, menempati ruang di lantai itu. Kini tinggal aku dan perempuan itu saja yang berada di sana. Karena staf yang lain sudah pulang sejak sore tadi.Setelah semua selesai, aku masih menikmati kesendirianku di ruang itu. Duduk bersandar di kursi kebesaranku sambil memejamkan mata untuk melepas kepenatan.Tiba-tiba Chaterin masuk, dengan membawa secangkir kopi yang tidak kupesan. Ia membuatkan minuman itu berdasarkan inisiatifnya.“Hai, Chat. Bawa apa itu? Kamu belum pulang?” tanyaku seraya menurunkan kaki dari meja.Chaterin melangkah dan m
Melihat Rania muncul, aku merasa senang. Aku bangun untuk menyambutnya. Walau tubuh ini gontai, aku menyambutnya dengan bahagia. Mengajaknya untuk bermain cinta.“Nia, aku tahu kamu pasti datang menyusul. Untuk bercinta denganku kan, Sayang,” ucapku sambil merentangkan tangan untuk menyambutnya. Memeluk. Mendekapnya erat-erat. Seakan rasa rindu ini sudah lama sekali terpendam.“Kenapa kamu diam saja di situ, Sayang? Ayo, lah. Mendekat. Aku sudah rindu sekali denganmu.”Tak sabar, kurenggut begitu saja tubuh Rania. Hingga kami berdua terjatuh di atas tempat tidur. Aku yang masih dipengaruhi alkohol tak dapat menahan keseimbangan. Dan, kami pun larut dalam alam antah beranta, yang tak dapat diceritakan.Malam berganti pagi. Cahaya mentari memaksa masuk melalui cela-cela gorden jandela hotel. Kupicingkan mata sambil perlahan membuka kelopaknya. Untuk menyongsong hari di tanah berawan putih panjang ini.Akan tetapi aku merasa ad