Rencananya besok perusahaan akan kedatangan investor yang ingin bergabung dengan perusahaanku. Jadi aku dan Chaterin lembur untuk mempersiapkan dokumen-dokumen dan MOU. Serta memeriksa kembali kondisi keuangan mereka yang telah lulus dalam pengauditan.
Di ruang Presdir di lantai dua puluh satu. Ruang itu memang khusus untukku dan Rania. Serta beberapa staf saja yang menjadi kepercayaanku termasuk Chaterin, menempati ruang di lantai itu. Kini tinggal aku dan perempuan itu saja yang berada di sana. Karena staf yang lain sudah pulang sejak sore tadi.
Setelah semua selesai, aku masih menikmati kesendirianku di ruang itu. Duduk bersandar di kursi kebesaranku sambil memejamkan mata untuk melepas kepenatan.
Tiba-tiba Chaterin masuk, dengan membawa secangkir kopi yang tidak kupesan. Ia membuatkan minuman itu berdasarkan inisiatifnya.
“Hai, Chat. Bawa apa itu? Kamu belum pulang?” tanyaku seraya menurunkan kaki dari meja.
Chaterin melangkah dan m
“Sadar, Chat. Apa yang sudah kamu….” Belum selesai aku bicara, Chaterin sudah menyumpal mulutku dengan bibirnya. Ia tak memberikan kesempatan padaku untuk membuka suara.Tubuh perempuan itu yang tengah duduk di atas pahaku, bergerak maju hingga perut kami saling beradu. Menimbulkan gesekan yang membuat sesuatu yang berada di dalam sana menunjukkan reaksi yang tak bisa kucegah. Dan aku tak bisa menolak Chaterin untuk melakukan tugas suka relanya padaku.Semenjak kejadian itu sering terulang, aku tak bisa mengelak dan menolak ajakan Chaterin. Aku bagai kerbau yang di cocok hidungnya setiap Chaterin mulai menggodaku. Suguhan-suguhan yang dia berikan padaku, memang sangat berbeda dari pada yang Rania lakukan. Sensasinya selalu mampu membuatku menikmatinya.Hingga suatu saat Chaterin menuntutku untuk menikahinya. Karena hubunga kami yang sudah teramat dekat dan sering melakukan hal-hal terlarang, baik di kantor maupun di luar kantor. Bahkan sering
Hari pun semakin larut. Angin malam berhembus, meniup kesekujur tubuhku. Udaranya yang mulai dingin menembus tulang belulang, menyadarkanku dari lamunan. Kusesap rokok terakhirku, kemudian mematikan puntungnya ke asbak yang ada di atas meja. Lalu kembali masuk ke kamar untuk menyusul Rania yang sudah pergi ke alam mimpinya.Saat setelah mengunci pintu dan menutup gordennya, ketika memutar badan, tanpa sengaja aku melihat wajah Rania yang tersorot lampu tidur yang terletak di sisi pojok ranjang. Wajahnya tampak begitu cantik dengan sorotan lampu itu.Aku mendekat. Berdiri mematung di sana. Kubungkukan badanku serasa membisikan kata, maaf. Lalu, mengecup keningnya perlahan.Setelah puas memandangi wajahnya, aku berdiri. Melangkah menuju sisi lain dari ranjang ini. lalu, menjatuhkan diri untuk pergi berpetualang di alam mimpi. Bersama istri.“Ah…!” Tiba-tiba, sebuah sinar menyilaukan menyorot wajahku. Kuhalangi cahaya itu dengan kedua bela
“Chat, kamu siap-siap ya. Besok temani saya meeting ke New Zeland. Kali ini Bu Rania tidak bisa mendampingi saya. Karena dia mau nengok ayahnya yang sakit di London,” perintah Pak Alex ketika aku masuk ke ruangannya untuk memberikan berkas-berkas yang akan menjadi bahan meeting besok. Setelah Bos itu memanggilku melalui nir-kable.Ke New Zeland tanpa Bu Rania? Yes…! Akhirnya, apa yang gue tunggu-tunggu terkabul juga. Nenek-nenek peot itu nggak bisa dampingin lakinya buat nemuin klain dan vendor di sana. Jadi, gue yang dapat tugas buat nemenin Bos incaran gue. Setelah sekian lama gue menanti kesempatan ini, pergi dengan Bos tanpa istrinya. Kesempat emas yang nggak boleh gue lewati. Gue harus mempersiapkan sebaik mungkin.Sudah pasti aku menerima tugas dari Pak Alex dengan senang hati, karena istrinya tak bisa mendampingi suaminya.Pertama kalinya aku mendapatkan tugas untuk mendampingi Pak Alex, tugas ke luar negeri tanpa Bu Rania-istrinya.
Pada saatnya tiba, ketika setelah kupaparkan semua produk-produk dan kinerja perusahaan secara profesional, beberapa klain banyak yang tertarik. Klain yang semula hanya ingin mendengarkan saja tak berniat untuk gabung pun akhirnya ikut juga menanamkan sahamnya di Golden Group. Sehingga, ketika meeting akan di tutup kami merayakan kesuksesan ini dengan memesan wine. Lebih tepatnya aku yang memesan wine pada pelayan hotel tanpa sepengetahuan Pak Alex.Semula Pak Alex tak meminum wine itu. Aku tahu, ia tak pernah minum minuman yang beralkohol semacam itu. Karena selama ini setiap ada acara meeting atau pesta dan sejenisnya, dia selalu membawa istrinya dan sudah bisa dipastikan ia dalam kendalinya.Hah! Dasar, suami-suami takut istri.Suatu kesempatan buatku. Kubujuk Bos Golden itu untuk meminum wine sebagai tanda penghormatan pada tamu-tamu yang sudah bersedia menanamkan sahamnya ke perusahaannya. Untungnya dia mengikuti saranku. Kemudian meminumnya hingga minuman
“Nia, aku tahu kamu pasti menyusulku. Untuk bercinta dengaku kan, Sayang.” Tiba-tiba Pak Alex bangun. Dengan bicaranya yang ngawur dan tubuh yang sempoyongan, dia memelukku. Mendekatkan bibirnya yang masih tersisa aroma wine ke bibirku. Aku pun tak akan menyia-nyiakan hal ini. Kubalas serangan bibirnya hingga ia terjatuh lagi di atas tempat tidur.Berkali-kali pria itu menyebut nama istrinya. Membuat aku menjadi muak, tak suka dengan nama itu dia sebut di saat kami sedang bercinta. Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya, hingga pria itu tak bisa lagi menyebut nama perempuan yang sangat kubenci.Tetapi, tak apa lah. Mungkin karena permainan ini baru dimulai. Lagi pula pria itu masih dalam pengaruh alkohol. Jadi aku yang harus bersabar.Permainanku berjalan dengan lancar. Tak ada sedikit pun gangguan. Bahkan Bos Golden ini walau masih dalam keadaan mabuk, dia sangat menikmati permainan yang aku suguhkan. Sepertinya dia merasa sangat puas. Dengan sentuhan
Seperti hari ini. Disaat aku dan Pak Alex lembur untuk mempersiapkan dokumen-dokumen dan memeriksa beberapa berkas calon investor yang akan meeting besok. Jam kerja sudah berlalu, hari pun sudah semakin larut. Bisa dipastikan semua staf sudah pulang. Tinggal aku dan Pak Alex di ruangan yang sudah terlihat sepi.Sebuah kesempatan buatku untuk melancarkan skandal kedua. Merayu dan menggoda Pak Alex. Agar terperangkap kembali dalam perangkapku. Aku yakin dia pasti tak menolak.Saat mengantarkan kopi yang baru saja kupesan dari deliveri online, aku melihat Pak Alex duduk santai di kursi kebesarannya. Wajahnya setengah menengada, matanya terpejam, dan kedua kakinya dinaikkan, ujung tumitnya bertumpu di atas meja. Serta kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalannya. Pria itu semakin terlihat menarik, membuat jantungku berdebar kencang. Tak tahan ingin memeluknya dan ingin menyandarkan kepala ke dadanya yang bidang.“Hai, Chate. Bawa apa itu? Kamu belum
“Apa yang akan kamu lakukan, Chateryn…?” tanpa memberikan kesempatan pria itu untuk bertanya lebih panjang lagi, aku langsung mengunci mulutnya dengan bibirku. Tak kubiarkan dia sedetik pun mengambil napas tanpa intimidasi dari seranganku, hingga kecapan pun mulai terdengar karena bibir kami saling beradu.Di bawah sana. Di antara kedua belah pahanya. Sebuah benda yang sangat berharga, terasa semakin keras tertindas. Membuatku menjadi semakin penasaran. Ingin melihat seperti apa wujudnya. Apakah sama dengan waktu dia mabuk dulu?Kedua kaki kuturunkan. Lalu, jari-jari tanganku mulai menampilkan kepiawaiannya. Membuka pengait dan resleting yang semakin sempit karenanya. Pria itu menggeliat, antara malu dan mau. Cih!“Chat. Ja-jangan, Chat,” ucapnya tak berkutik.“Sssttt! Pak Alex tenang saja. Kita akan bermain seperti waktu di New Zeland,” balasku sambil membuka dua lapis penutupnya.“Waow!” seru
"Besok aku mau menemui klienku di Osaka. Mungkin aku akan menginap untuk beberapa hari," Pria tampan, berkulit bersih, berbadan porposional itu monoleh ke pintu kamar yang telah kubuka. Alex angkat bicara ketika melihatku masuk.Tampak ia tengah sibuk mondar-mandir dari lemari ke tempat tidur. Memasukkan pakaian dan barang-barang yang akan dibawa, ke dalam koper dan tasnya. Dari rautnya, sepertinya dia terlihat bingung. Kira-kira apa saja yang harus dibawa.Maklum saja, biasanya jika dia akan pergi, aku yang selalu menyiapkan barang-barang yang perlu dibawanya. Sedangkan kali ini, sepertinya pria itu ingin mengerjakan sendiri."Kok mendadak, Sayang," balasku sambil mendekatinya, mecoba membantu memeriksa. Sekiranya barang apa saja yang harus dia bawa.Kuraih koper Alex. Namun, bergegas dia menariknya kembali dengan sedikit kasar. Hingga membuatku terperangah. Menatap heran menyaksikan sikapnya yang tak seperti biasa."Sudah, nggak usah. Semua sudah sele
“Apa yang akan kamu lakukan, Chateryn…?” tanpa memberikan kesempatan pria itu untuk bertanya lebih panjang lagi, aku langsung mengunci mulutnya dengan bibirku. Tak kubiarkan dia sedetik pun mengambil napas tanpa intimidasi dari seranganku, hingga kecapan pun mulai terdengar karena bibir kami saling beradu.Di bawah sana. Di antara kedua belah pahanya. Sebuah benda yang sangat berharga, terasa semakin keras tertindas. Membuatku menjadi semakin penasaran. Ingin melihat seperti apa wujudnya. Apakah sama dengan waktu dia mabuk dulu?Kedua kaki kuturunkan. Lalu, jari-jari tanganku mulai menampilkan kepiawaiannya. Membuka pengait dan resleting yang semakin sempit karenanya. Pria itu menggeliat, antara malu dan mau. Cih!“Chat. Ja-jangan, Chat,” ucapnya tak berkutik.“Sssttt! Pak Alex tenang saja. Kita akan bermain seperti waktu di New Zeland,” balasku sambil membuka dua lapis penutupnya.“Waow!” seru
Seperti hari ini. Disaat aku dan Pak Alex lembur untuk mempersiapkan dokumen-dokumen dan memeriksa beberapa berkas calon investor yang akan meeting besok. Jam kerja sudah berlalu, hari pun sudah semakin larut. Bisa dipastikan semua staf sudah pulang. Tinggal aku dan Pak Alex di ruangan yang sudah terlihat sepi.Sebuah kesempatan buatku untuk melancarkan skandal kedua. Merayu dan menggoda Pak Alex. Agar terperangkap kembali dalam perangkapku. Aku yakin dia pasti tak menolak.Saat mengantarkan kopi yang baru saja kupesan dari deliveri online, aku melihat Pak Alex duduk santai di kursi kebesarannya. Wajahnya setengah menengada, matanya terpejam, dan kedua kakinya dinaikkan, ujung tumitnya bertumpu di atas meja. Serta kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalannya. Pria itu semakin terlihat menarik, membuat jantungku berdebar kencang. Tak tahan ingin memeluknya dan ingin menyandarkan kepala ke dadanya yang bidang.“Hai, Chate. Bawa apa itu? Kamu belum
“Nia, aku tahu kamu pasti menyusulku. Untuk bercinta dengaku kan, Sayang.” Tiba-tiba Pak Alex bangun. Dengan bicaranya yang ngawur dan tubuh yang sempoyongan, dia memelukku. Mendekatkan bibirnya yang masih tersisa aroma wine ke bibirku. Aku pun tak akan menyia-nyiakan hal ini. Kubalas serangan bibirnya hingga ia terjatuh lagi di atas tempat tidur.Berkali-kali pria itu menyebut nama istrinya. Membuat aku menjadi muak, tak suka dengan nama itu dia sebut di saat kami sedang bercinta. Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya, hingga pria itu tak bisa lagi menyebut nama perempuan yang sangat kubenci.Tetapi, tak apa lah. Mungkin karena permainan ini baru dimulai. Lagi pula pria itu masih dalam pengaruh alkohol. Jadi aku yang harus bersabar.Permainanku berjalan dengan lancar. Tak ada sedikit pun gangguan. Bahkan Bos Golden ini walau masih dalam keadaan mabuk, dia sangat menikmati permainan yang aku suguhkan. Sepertinya dia merasa sangat puas. Dengan sentuhan
Pada saatnya tiba, ketika setelah kupaparkan semua produk-produk dan kinerja perusahaan secara profesional, beberapa klain banyak yang tertarik. Klain yang semula hanya ingin mendengarkan saja tak berniat untuk gabung pun akhirnya ikut juga menanamkan sahamnya di Golden Group. Sehingga, ketika meeting akan di tutup kami merayakan kesuksesan ini dengan memesan wine. Lebih tepatnya aku yang memesan wine pada pelayan hotel tanpa sepengetahuan Pak Alex.Semula Pak Alex tak meminum wine itu. Aku tahu, ia tak pernah minum minuman yang beralkohol semacam itu. Karena selama ini setiap ada acara meeting atau pesta dan sejenisnya, dia selalu membawa istrinya dan sudah bisa dipastikan ia dalam kendalinya.Hah! Dasar, suami-suami takut istri.Suatu kesempatan buatku. Kubujuk Bos Golden itu untuk meminum wine sebagai tanda penghormatan pada tamu-tamu yang sudah bersedia menanamkan sahamnya ke perusahaannya. Untungnya dia mengikuti saranku. Kemudian meminumnya hingga minuman
“Chat, kamu siap-siap ya. Besok temani saya meeting ke New Zeland. Kali ini Bu Rania tidak bisa mendampingi saya. Karena dia mau nengok ayahnya yang sakit di London,” perintah Pak Alex ketika aku masuk ke ruangannya untuk memberikan berkas-berkas yang akan menjadi bahan meeting besok. Setelah Bos itu memanggilku melalui nir-kable.Ke New Zeland tanpa Bu Rania? Yes…! Akhirnya, apa yang gue tunggu-tunggu terkabul juga. Nenek-nenek peot itu nggak bisa dampingin lakinya buat nemuin klain dan vendor di sana. Jadi, gue yang dapat tugas buat nemenin Bos incaran gue. Setelah sekian lama gue menanti kesempatan ini, pergi dengan Bos tanpa istrinya. Kesempat emas yang nggak boleh gue lewati. Gue harus mempersiapkan sebaik mungkin.Sudah pasti aku menerima tugas dari Pak Alex dengan senang hati, karena istrinya tak bisa mendampingi suaminya.Pertama kalinya aku mendapatkan tugas untuk mendampingi Pak Alex, tugas ke luar negeri tanpa Bu Rania-istrinya.
Hari pun semakin larut. Angin malam berhembus, meniup kesekujur tubuhku. Udaranya yang mulai dingin menembus tulang belulang, menyadarkanku dari lamunan. Kusesap rokok terakhirku, kemudian mematikan puntungnya ke asbak yang ada di atas meja. Lalu kembali masuk ke kamar untuk menyusul Rania yang sudah pergi ke alam mimpinya.Saat setelah mengunci pintu dan menutup gordennya, ketika memutar badan, tanpa sengaja aku melihat wajah Rania yang tersorot lampu tidur yang terletak di sisi pojok ranjang. Wajahnya tampak begitu cantik dengan sorotan lampu itu.Aku mendekat. Berdiri mematung di sana. Kubungkukan badanku serasa membisikan kata, maaf. Lalu, mengecup keningnya perlahan.Setelah puas memandangi wajahnya, aku berdiri. Melangkah menuju sisi lain dari ranjang ini. lalu, menjatuhkan diri untuk pergi berpetualang di alam mimpi. Bersama istri.“Ah…!” Tiba-tiba, sebuah sinar menyilaukan menyorot wajahku. Kuhalangi cahaya itu dengan kedua bela
“Sadar, Chat. Apa yang sudah kamu….” Belum selesai aku bicara, Chaterin sudah menyumpal mulutku dengan bibirnya. Ia tak memberikan kesempatan padaku untuk membuka suara.Tubuh perempuan itu yang tengah duduk di atas pahaku, bergerak maju hingga perut kami saling beradu. Menimbulkan gesekan yang membuat sesuatu yang berada di dalam sana menunjukkan reaksi yang tak bisa kucegah. Dan aku tak bisa menolak Chaterin untuk melakukan tugas suka relanya padaku.Semenjak kejadian itu sering terulang, aku tak bisa mengelak dan menolak ajakan Chaterin. Aku bagai kerbau yang di cocok hidungnya setiap Chaterin mulai menggodaku. Suguhan-suguhan yang dia berikan padaku, memang sangat berbeda dari pada yang Rania lakukan. Sensasinya selalu mampu membuatku menikmatinya.Hingga suatu saat Chaterin menuntutku untuk menikahinya. Karena hubunga kami yang sudah teramat dekat dan sering melakukan hal-hal terlarang, baik di kantor maupun di luar kantor. Bahkan sering
Rencananya besok perusahaan akan kedatangan investor yang ingin bergabung dengan perusahaanku. Jadi aku dan Chaterin lembur untuk mempersiapkan dokumen-dokumen dan MOU. Serta memeriksa kembali kondisi keuangan mereka yang telah lulus dalam pengauditan.Di ruang Presdir di lantai dua puluh satu. Ruang itu memang khusus untukku dan Rania. Serta beberapa staf saja yang menjadi kepercayaanku termasuk Chaterin, menempati ruang di lantai itu. Kini tinggal aku dan perempuan itu saja yang berada di sana. Karena staf yang lain sudah pulang sejak sore tadi.Setelah semua selesai, aku masih menikmati kesendirianku di ruang itu. Duduk bersandar di kursi kebesaranku sambil memejamkan mata untuk melepas kepenatan.Tiba-tiba Chaterin masuk, dengan membawa secangkir kopi yang tidak kupesan. Ia membuatkan minuman itu berdasarkan inisiatifnya.“Hai, Chat. Bawa apa itu? Kamu belum pulang?” tanyaku seraya menurunkan kaki dari meja.Chaterin melangkah dan m
Melihat Rania muncul, aku merasa senang. Aku bangun untuk menyambutnya. Walau tubuh ini gontai, aku menyambutnya dengan bahagia. Mengajaknya untuk bermain cinta.“Nia, aku tahu kamu pasti datang menyusul. Untuk bercinta denganku kan, Sayang,” ucapku sambil merentangkan tangan untuk menyambutnya. Memeluk. Mendekapnya erat-erat. Seakan rasa rindu ini sudah lama sekali terpendam.“Kenapa kamu diam saja di situ, Sayang? Ayo, lah. Mendekat. Aku sudah rindu sekali denganmu.”Tak sabar, kurenggut begitu saja tubuh Rania. Hingga kami berdua terjatuh di atas tempat tidur. Aku yang masih dipengaruhi alkohol tak dapat menahan keseimbangan. Dan, kami pun larut dalam alam antah beranta, yang tak dapat diceritakan.Malam berganti pagi. Cahaya mentari memaksa masuk melalui cela-cela gorden jandela hotel. Kupicingkan mata sambil perlahan membuka kelopaknya. Untuk menyongsong hari di tanah berawan putih panjang ini.Akan tetapi aku merasa ad