Ketika aku membuka mata. Aku mendapati tubuhku terbaring di bangsal rumah sakit. Aku tahu ini rumah sakit karena ada perawatan medis didekat aku terbaring. Termasuk juga selang infus yang tersambung ke jariku.
"Oh, syukurlah kau sudah siuman!"Seseorang memelukku. Menangis tanpa suara."Bapak?" tanyaku lirih. Nyaris tercekat di tenggorokan.Kulihat juga ibuku di dekat pintu. Sedang menelepon seseorang."Selesaikan saja tanpa kehadiran putriku, kau hadiri proses mediasi dan proses sidangnya!" kata ibu pada seseorang di telepon."Ibu menelpon siapa, Pak?" tanyaku pelan. Perasaanku mendadak tidak enak ketika ibu menyebut proses mediasi dan sidang."Gak usah kamu pikirkan dulu omongan Ibu kamu. Yang penting sekarang istirahat dulu dan pulihkan kesehatanmu!" jawab bapak menggenggam tanganku."Bu...!" panggilku ketika kulihat ibu sudah selesai menelpon. Ibu menghampiriku."Sudah Ibu bilang dari dulu. Suami kamu itu memang gak waras. Coba kalo dari dulu kamu mau nurut sama Ibu," kata ibu memandangku marah."Sudahlah Bu! Yang lain dibahas nanti saja! Kasihan Mayang lagi sakit," kata bapak ketika melihat ibu hendak marah padaku."Untung kemaren itu ada Lita yang menelpon kita. Kalo tidak, mungkin sekarang anak kita udah ada di dunia lain," kata ibu lagi.Rupanya Lita yang menelpon ibuku. Tetangga depan rumahku. Tapi dimana mas Gandung, batinku bertanya."Apa Mas Gandung tadi ada kesini, Bu?" tanyaku kepada ibu yang masih memasang wajah masam menahan marah."Buat apa kamu masih nanyain lelaki gak berguna itu?" Ibu malah balik bertanya."Maksud Ibu apa?" tanyaku tak paham.Ibu menatapku tajam. Matanya terlihat jelas diliputi amarah."Lupakan saja suamimu itu!" jawab ibu ketus."Sudahlah Mayang, kamu istirahat saja ya! Biar semua Bapak Ibu yang ngurus!" Bapak menasehatiku.Aku terdiam. Sebenarnya banyak sekali yang ingin aku tanyakan. Siapa sebenarnya yang telah melempar benda yang mengenai kepalaku. Benda apa yang membuatku sampai pingsan dan berakhir di rumah sakit.Tok tok tok!Ada yang mengetuk pintu. Bapak bangkit dari duduk. Berjalan menuju pintu."Assalamualaikum!"Seseorang mengucap salam."Waalaikumsalam," Bapak menjawab salam."Maaf Pak, apa Bu Mayang dirawat disini?"Kudengar orang itu menanyakanku."Betul, ada apa ya?" jawab Bapak sekaligus bertanya."Kalo diperbolehkan saya ingin menengok Bu Mayang, Pak," jawab orang itu lagi.Sepertinya aku mulai mengenali sang pemilik suara."Oh, silahkan!" Bapak membuka pintu lebar-lebar.Seseorang masuk kedalam. Dan mataku membelalak. Benar dugaanku. Dia lagi yang datang.Laki-laki itu menyalami ibuku."Siapa kamu?" tanya ibu menatap tajam.Ibuku memang bukan tipe orang yang mau beramah tamah pada orang tak dikenal. Sikapnya cenderung selalu curiga dan ketus. Apalagi kalo suasana hati beliau tidak senang seperti sekarang ini."Saya Geri, Bu!" jawab Geri sedikit membungkukkan badannya. Hormat.Masih terlihat memar di wajahnya bekas pukulan mas Gandung kemaren. Ah, aku jadi merasa bersalah padanya."Kamu siapanya Mayang?" tanya ibu lagi. Menginterogasi."Saya tetangganya Mbak Mayang, Bu!" jawab Geri. Lalu mengalihkan pandangan ke arahku.Aku jadi merasa tidak enak hati ketika ibuku pun ikut-ikutan menatapku."Geri ini tetangga satu komplek sama aku, Bu." Aku memberi penjelasan pada ibuku."Oh." Hanya itu komentar ibu."Silahkan duduk Nak Geri!" kata bapak menarik sebuah kursi untuk Geri.Bapakku memang seorang yang ramah dan penuh tata krama."Terima kasih, Pak," jawab Geri," ini saya bawa sedikit buah untuk Mbak Mayang."Geri menyerahkan beberapa bungkusan pada bapakku."Aduh, Nak Geri! Mana repot segala, bawain buah untuk Mayang," komentar bapak ketika menerima bungkusan kantong buah dari Geri."Gak papa,Pak! Gak repot kok," jawab Geri."Lagian biasa jugalah, Pak! Namanya menengok orang sakit itu ya biasa kalo bawa buah," sahut ibuku menimpali obrolan mereka berdua."Ih, Ibu ni apaan sih?" Aku yang mendengar sahutan ibuku jadi merasa tidak enak hati sama Geri.Tapi Geri biasa saja. Tidak menunjukkan ketersinggungan sedikitpun pada raut wajahnya atas ucapan ibuku barusan."Gimana kabar Mbak Mayang? Apa lukanya serius?" Geri menanyakan keadaanku."Ya luka seriuslah! Liat kepalanya tuh! Diperban dan dijahit sembilan jahitan karena sobek dan bocor." Ibuku yang menjawab."Saya minta maaf ya Mbak Mayang! Saya merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Mbak Mayang," kata Geri menunjukkan raut muka menyesal."Oh, jadi kamu yang melukai Mayang?" tanya ibuku meradang, "kamu lempar apa sampai anakku luka-meluka seperti ini?"Ibu berdiri menuding ke arah Geri. Aku sampai terkejut mendengar ucapan ibu yang menuduh Geri. Benarkah Geri yang melakukan pelemparan itu?"Maaf, Bu! Bukan saya yang melempar," jawab Geri menggeleng cepat."Kalo bukan kamu, ngapain juga kamu minta maaf?" Ibuku memotong penjelasan Geri."Mertua saya yang melakukannya, Bu! Makanya saya minta maaf atas nama beliau," jawab Geri.Mukanya menunjukkan mimik tidak enak hati. Oh, jadi bu Ida yang melempar benda ke kepalaku waktu itu. Bu Ida itu ibunya Ratih, mertua Geri."Bagaimana bisa, mertua kamu melukai anakku?" tanya ibuku. Menginterogasi Geri.Apa benar ibu dan bapakku belum tahu peristiwa yang semalam menimpaku? Apa Lita yang menelpon orangtuaku tak menceritakan asal muasal terjadinya pelemparan benda yang melukaiku?Geri menatapku sejenak. Seolah minta pertimbangan untuk menjawab pertanyaan ibuku.Aku menggelengkan kepalaku pelan. Berharap agar Geri tak menceritakan kejadian sebenarnya pada ibuku."Sebenarnya hanya salah paham saja, Bu! Cuma mertua saya memang temperamental orangnya," jawab Geri.Mungkin dia mengerti kode samar yang kuberikan agar tak buka mulut pada orang tuaku."Orang macam itu memang layak dipenjara," sungut ibuku ketus."Maksud Ibu apa?" tanyaku tak paham. Apa ibuku menempuh jalur hukum menyelesaikan masalahku ini."Ibu sudah laporkan ke polisi pelaku penyerangan kamu itu," jawab ibu santai.Aku kaget mendengan perkataan ibu.Geri hanya menunduk mendengar keterangan ibuku. Sepertinya dia sudah tahu hal itu."Maafkan Ibunya Mayang ya, Nak Geri!" pinta bapak pada Geri.Mungkin Bapak merasa tidak enak hati ketika mengetahui yang dilaporkan ke polisi adalah mertua Geri."Lah, kok malah Bapak yang minta maaf?" tanya ibu sewot."Sudahlah, Bu! Jangan diperpanjang lagi sama Bapak!" pintaku pada ibu ketika melihat beliau akan memarahi bapak.Tok tok tok!Kami berempat berbarengan menoleh ke pintu yang di ketuk.Bapak bergegas membuka pintu. "Assalamualaikum." Kudengar suara pak RT mengucap salam. "Waalaikumsalam," jawab bapak," eh Pak RT rupanya, silakan masuk, Pak!" Benar dugaanku. Pak RT sama istrinya, bu Ira yang datang. Bapak dan pak RT emang sudah saling kenal. Keduanya bersalaman. Pak RT dan istrinya masuk. Keduanya juga menyalami ibuku, yang hanya merespon dingin. "Lo, udah ada Pak Geri rupanya?" Pak RT berjalan menuju Geri. Geri berdiri dan menyalami pak RT dan bu Ira. "Iya, Pak RT. Saya tadi dari toko, mampir kesini," jawab Geri tersenyum. "Gimana kabarnya, Bu Mayang?" Bu Ira, istri pak RT menanyakan keadaanku. "Sudah mendingan, Bu," jawabku tersenyum. "Syukurlah," sahut pak RT dan istrinya bersamaan. "Gimana kabar mertua Pak Geri?" tanya pak RT. "Masih diproses, Pak," jawab Geri. "Asbak saya diambil sama polisi untuk jadi barang bukti. Padahal itu barang antik yang harganya jutaan," kata pak RT lagi. Pak RT memang penggemar barang antik. Rupanya asbak antik beliau yan
Mas Gandung menoleh kaget. Aku dan Bapak juga kaget dengan datangnya Ibu yang tiba-tiba "Kenyataannya memang begitu!" jawab mas Gandung dengan entengnya. "Bagus kalo gitu!" kata ibuku. Membuat aku keheranan. Bapak diam saja. "Jadi Ibu mendukung Mayang berselingkuh?" tanya mas Gandung. Ibu menatap mas Gandung sinis. "Menurutmu?" Ibu malah balik bertanya. Mas Gandung tak menjawab. Mengusap-usap lehernya dengan raut muka sedikit gelisah. Meskipun dia tak tahu dengan sifat ibuku seperti apa. "Aku akan membantumu!" kata Ibu. Kulihat ibuku tersenyum. Mas Gandung semakin bingung. "Apa maksud Ibu?" tanya mas Gandung. Tersirat jelas kebingungan dan keheranan di wajahnya. "Sudah lama aku marah dengan Mayang karena menikahi lelaki sepertimu!" kata ibu sambil menatapku. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak berani membalas tatapan Ibu. Aku mulai merasakan firasat tidak enak. Sepertinya ada hal besar yang akan terjadi hari ini. "Kupikir sekarang adalah saat yang tepat untuk meng
Ibu menatap wajah mas Gandung yang masih kaget. "Kenapa?!" tanya ibu sinis," apa kamu masih mau melanjutkan hidupmu bersama si tukang selingkuh itu?"Ibu menudingkan jarinya ke arahku. Lagi-lagi ibu menyebutku tukang selingkuh. Sementara mas Gandung masih terdiam. Sepertinya dia agak shock dengan apa yang telah dibisikkan ibuku padanya."Apakah Ibu serius?" tanya mas Gandung akhirnya."Tentu saja!" sahut ibu cepat. "Apakah Mayang akan setuju?" tanya mas Gandung ragu."Setuju tidak setuju, dia tidak punya hak untuk menolak," jawab ibu tegas.Aku dan bapak diam saja mendengar pembicaraan antara ibu dan mas Gandung. "Bukankah sepertinya aku yang hendak Ibu hukum di sini?" tanya mas Gandung lirih.Mendadak ibu tertawa keras-keras."Tentu saja bukan," sahut ibu di sela tawanya," kalau Mayang yang berselingkuh, tidak mungkin kamu yang dihukum.""Sebenarnya apa yang Ibu bicarakan sama Mas Gandung?" tanyaku tidak sabar. Meskipun sebenarnya aku sudah bisa meraba arah percakapan mereka."Ibu
"Sudahlah Bu, kita abaikan saja masalah ini untuk sementara! Kita prioritaskan dulu kesembuhan Mayang!" Kudengar suara bapak menasehati ibu. Sebenarnya aku sudah siuman dari beberapa saat yang lalu. Tapi karena kudengar bapak dan ibu tengah berbicara tentangku. Aku memilih tetap memejamkan mata."Geram rasanya hatiku, Pak! Kalau tidak ingat dia itu masih suaminya Mayang, pasti dah lama kujebloskan dia itu ke penjara. Dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga." Kali ini ibu yang berbicara.Ibu tahu yang dilakukan mas Gandung terhadapku bisa di masukkan ke dalam tindakan KDRT. Karena KDRT tidak hanya dalam bentuk kekerasan secara fisik saja. Tapi juga segala tindakan yang bisa membuat si korban tertekan secara mental juga."Memang bodoh benar anak kau itu, Pak! Dijodohkan sama lelaki baik-baik, hidupnya sudah mapan pula malah tidak mau. Sekarang dia rasakan menikahi berandalan pengangguran itu. Dia rasakan sakitnya punya suami yang hanya bermodal dengkul itu! Modal dengkul kalau baik,
Mbak Sri masih memijat kedua kakiku."Diminum dulu Mbak, wedang jahenya!" Mbak Sri berdiri. Mengambil segelas wedang jahe dan sepiring pisang goreng crispy.Aku minum wedang jahe yang sudah hangat-hangat kuku itu. Sembari bercerita dengan mbak Sri, aku memakan pisang goreng crispy kesukaanku. Tak perlu waktu lama, kedua hidangan yang diberikan mbak Sri itupun sukses berat masuk ke dalam perutku. Mbak Sri berdiri sebentar untuk mengemasi gelas dan piringku. Lalu kembali memijat dan mengurutku.Aku memejamkan mata. Rasa nyaman mulai menjalari tubuhku ketika mbak Sri mulai intens mengurut badanku. Setahun sudah aku tak pernah merasakan sentuhan relaksasi seperti ini. Dan karena merasa keenakan, rasa kantukpun perlahan menyerangku. Membuatku menguap beberapa kali."Mbak Mayang tidak berubah ya? Kalau sudah dipijit pasti langsung tidur."Masih sempat kudengar suara mbak Sri. Samar-samar. Sebelum akhirnya aku benar-benar tertidur dan terlelap dalam mimpi.******"Mayang! Bangun! Dah sore!"
Geri yang menyadari perubahan sikap Mas Gandung segera berdiri dan memohon diri pamit pada bapak dan aku."Saya pamit dulu, Pak! Mbak Mayang!" Geri menyalami bapak dan aku.Aku tak tahu. Apakah bapak tahu perseteruan antara Mas Gandung dengan Geri apa tidak."Iya, iya... mampir saja kalau sedang di rumah Pak Johan!" kata bapak pada Geri. Entah benar-benar tulus menawarkan atau hanya basa basi saja."Siap, Pak!" jawab Geri tersenyum mengangguk. Geri juga mengangguk ke Mas Gandung. Tapi Mas Gandung membuang muka.Setelah Geri berlalu bapak mempersilakan Mas Gandung masuk ke rumah. "Silakan ngobrol dulu sama Mayang, Nak Gandung! Bapak ke belakang sebentar!" kata bapak.Setelah itu bapak pergi ke belakang meninggalkan kami berdua."Apa kau menghubungi dia agar mendatangimu sampai ke sini?" tanya Mas Gandung menatapku tajam. Penuh kecurigaan."Dia siapa?" tanyaku balik bertanya. Meskipun sebenarnya aku tahu dia siapa yang dimaksud mas Gandung. Pasti Geri."Gak mungkin dia bisa sampai kes
"Ya, Om?" Aku mengernyitkan kening. Menunggu kelanjutan omongan om Hendri yang sepertinya sengaja diputus."Kalau kesini minggu depan, gak usah ngajak bodyguard lagi!" jawab om Hendri tersenyum sambil ekor matanya mengarah ke ibu.Ibu tahu maksud om Hendri. Merasa tak terima diolok om Hendri, ibu langsung berdiri. Tangan ibu cepat meraih sekotak tissue di atas meja. "Dasar kau ya!!" Ibu memaki. Melempar tissue itu ke arah om Hendri.Om Hendri tergelak. Tertawa puas. Merasa berhasil mengerjai ibu. Aku hanya tersenyum menggeleng-gekengkan kepala melihat tingkah mereka berdua. Memang selalu begitu sejak dulu. Perhatian, gurauan dan pertengkaran kecil seringkali mewarnai kebersamaan mereka."Jangan dengarkan omongan Om-mu!" sungut ibu. Bicara padaku."Seorang klien harus mendengarkan dan menuruti omongan lawyer-nya," kata om Hendri padaku.Aku menatap ibu dan adik lelakinya itu bergantian. Aku merasa terjebak diantara percakapan keduanya."Aku sudah tahu masalah Mayang versi Mbak Sita. A
Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku."Mas Gandung?!"Kulihat Mas Gandung berlari kecil menghampiriku."Akhirnya aku bisa bertemu denganmu!" kata Mas Gandung yang membuatku mengernyitkan dahi. Memangnya selama ini dia tidak bisa menemuiku? Bukankah dia sendiri yang tak mau menemuiku? Atau apakah selama ini ibu melarang mas Gandung menemuiku? "Kau? Semakin cantik kamu sekarang!" puji mas Gandung ketika menatapku. Memindaiku dari atas hingga bawah. Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya. Mungkin karena perawatan di salon Tice tadi."Aku yakin kamu sudah sembuh sekarang" kata mas Gandung," kenapa kamu tidak balik ke rumah?"Aku diam. Tak menjawab pertanyaannya."Aku kangen kamu!" kata mas Gandung lagi. Kali ini tangannya menggenggam kedua tanganku," memangnya kamu gak kangen sama aku?""Mayang?!!" Suara ibu yang memanggilku membuatku kaget. Ibu sudah duduk dibelakang kemudi mobil."Sebentar, Bu!" sahutku sembari melepas tangan mas Gandung yang masih memggenggam tanganku."Apa kam
Aku beranikan mendekati Geri ketika dia tak juga bergerak dari tempat tidur. Aku naik keatas ranjang. Beringsut mendekati tubuhnya yang tengah terbaring. Kuperhatikan sebentar wajah itu seperti tertidur. Apa mungkin Geri lelah setelah di perjalanan tadi sementara kondisi dia juga sedang sakit. "Ger?!" panggilku lirih. Khawatir mengagetkannya.Geri tak menyahut. Entah memang tak mendengar karena tertidur atau hanya pura-pura.Aku jadi bingung harus berbuat apa. Di kamar berdua bersama Geri seperti ini jujur saja membuat hatiku tidak tenang.Aku membalikkan badan dan bermaksud turun dari tempat tidur ketika tiba-tiba dikejutkan tangan Geri yang mencekal pergelangan tanganku dari belakang.Aku menoleh. Bersamaan dengan Geri yang langsung bangun dan duduk berhadapan denganku."Kau?!" Aku terkejut menatap wajahnya.Geri juga menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Aku berusaha melepaskan cekalan tangannya. Tapi Geri tak mau melepaskan."Geri? Aaa..aku...!" Belum sempat aku me
Aku tak begitu menanggapi candaan Geri. Takutnya kalau kutanggapi malah ngelantur kemana-mana. "Kok nggak respon, Mbak?" tanya Geri menyalakan sebatang rokok. Dibukanya sedikit kaca jendela mobilku."Takutnya kebablasan jadi dukun cabul."Ups! Rasanya hendak kutarik ucapanku barusan. Padahal sebelumnya sudah kuniati untuk tak menanggapi omongan Geri. Namun kenapa malah omongan itu yang justru keluar dari bibirku.Geri sontak menoleh mendengar ucapanku. Entah apa maksudnya."Bercanda!!" sanggahku cepat. Agak malu juga sebenarnya kenapa aku menanggapi ocehannya tadi."Kalau dokter cinta saja gimana, Mbak?" tanyanya.Yaelah! Untung sudah sampai ke kantor om Hendri. Jadi aku tak perlu lagi menjawab pertanyaannya."Ikut turun?" tanyaku membuka handle pintu mobil. Geri ikut membuka pintu mobil dan turun bersamaku memasuki kantor om Hendri.Om Hendri yang memang sudah menyuruhku datang ke kantornya sedari kemarin juga sudah menungguku di ruang kerjanya.Tak banyak yang aku ceritakan karena
"Emangnya Ibumu ini punya tampang kriminal?" Ibu malah balik bertanya. Menjitak kepalaku. Lagi-lagi aku meringis."Berarti Ibu cuma menggertak saja kan?" tanyaku." Hemmm!" Aku bernapas lega. Tak bisa aku bayangkan jika memiliki ibu seorang pembunuh. Hih, aku tergidik ngeri."Makanya cepat diurus perceraianmu dengan suamimu itu! Besok Om Hendri nyuruh kamu datang ke kantor," kata ibu memberitahuku."Tanyakan sama Om Hendri bagaimana secepatnya perceraian itu bisa di proses agar tak berlarut-larut," kata bapak menambahi perkataan ibu.Waktu berjalan tanpa terasa saat kami bertiga mengobrol.Aku menguap beberapa kali sebelum akhirnya ibu menyuruhku tidur."Sana, istirahat! Kalau kamu sudah menguap terus itu tandanya tubuhmu perlu tidur! Istirahat! Masuk kamar sana! Ibu masih ingin ngobrol dulu sama bapakmu!" usir ibu sambil mendorong tubuhku agar masuk kamar."Iyalah, Bu...Pak, Mayang tidur dulu lah," sahutku sambil menguap lagi. Setelah itu aku bergegas masuk kamar.******Pagi-pagi s
Sreek.Sreek.Dengan gerakan cepat. Ibu menarik pelatuk senapan laras panjang. Benda yang diambilnya dari dalam rumah. Mengarahkannya ada mas Gandung.Astaghfirullah! Aku menutup mulutku karena ketakutan."Masya Allah, Bu! Jangan lakukan itu! Sabar, Bu!" Bapak gegas menghampiri ibu dan berusaha menurunkan tangan ibu yang lurus mengarah ke mas Gandung."Pergi dari rumahku!!! Atau kau akan pulang tinggal nama!!" teriak ibu dari arah pintu. Tetap mengarahkan senapan laras panjang itu ke mas Gandung.Mas Gandung yang sempat terkejut. Kini malah semakin terpaku di tempatnya berdiri. Seolah tak menyangka kalau ibu akan berbuat senekat itu Aku sendiri juga tak tahu entah darimana ibu memiliki senapan itu."Ibu hanya menggertakku, kan?" tanya mas Gandung lirih.Ada keraguan dalam nada bicaranya. "Nak Gandung, tolonglah tinggalkan tempat ini segera!" kata bapak pada mas Gandung.Mas Gandung menatap bapak dan ibu bergantian."Kalian mencoba menakuti aku kan? Dengan senapan mainan itu?" tanya m
"Aku belum selesai bicara!" kata mas Gandung menarik tubuhku hingga berdiri di hadapannya."Mau bicara apa lagi?""Jauhi lelaki itu!" kata mas Gandung. Mirip sebuah ancaman.Aku menghela nafas kasar. Bagaimana bisa mas Gandung menyuruhku menjauhi lelaki bernama Juan itu. Sementara aku memang tidak pernah dekat dan tidak pernah menjalin hubungan apapun dengannya."Kau dengar yang aku bilang?" tanya mas Gandung. Seolah hendak memastikan kalau telingaku ini masih sanggup berfungsi dan mendengar perkataannya.Aku mengangguk. Aku tak ingin memperpanjang masalah. Terus terang pertengkaran demi pertengkaran yang aku alami membuatku merasa sangat lelah."Kau harus janji!" kata mas Gandung setengah memaksa.Aku mendongakkan kepala yang rasanya sudah berdenyut-denyut. Pukulan dan tamparan yang aku terima di awal pertengkaran tadi baru terasa akibatnya sekarang."Iya!" jawabku datar. Tanpa ekspresi. Dan aku memang tak lagi merasakan apapun pada lelaki yang tengah berdiri di hadapanku ini selain r
Aku menatap tak percaya pada mas Gandung. Apa dia tidak berpikir kalau permintaannya itu sangat tidak masuk akal? Bahkan akan membuat bapak dan ibu semakin ilfeel padanya."Kenapa?" tanya mas Gandung sedikit terkejut dengan reaksiku yang tidak seperti biasanya."Apa Mas nggak malu meminta uang pada orang tuaku? Mas kan tahu bagaimana sikap Ibu pada Mas?" tanyaku sekaligus menjawab pertanyaan mas Gandung."Ya kamu jangan bilang dong, kalau yang makai uang itu ibunya Mas" mas Gandung masih mencoba membujukku."Dengar ya Mas! Selama aku disini saja aku diurus sama Bapak dan Ibu. Mas saja nggak pernah memberi aku uang. Lhah ini malah ibunya Mas yang minta ke aku. Kenapa bukan Mas saja yang memberi uang pada ibunya Mas?" tanyaku mulai geram."Mas kan belum kerja, Yang! Nanti Mas ganti kalau Mas sudah dapat kerjaan!" jawab mas Gandung dengan percaya diri."Kapan Mas bisa dapat kerjaan? Mas aja selama ini nggak pernah mau cari kerja!" sahutku kesal. Mas Gandung selalu memilih-milih pekerjaan.
Untung saja mobil yang sekarang ada aku dan Geri didalamnya sudah memasuki pelataran rumah om Johan. Halaman rumah om Johan memang sangat luas karena punya usaha mebel yang sangat besar. Jadi mobil-mobil truk maupun pick up sering lalu lalang di situ."Yaaahh!" Geri mendesah. Seperti kecewa."Kenapa?" tanyaku. Walaupun aku sudah tahu dia sebenarnya tak ingin mobil ini sampai ke rumah om Johan seperti yang dia bilang. Kumatikan mesin mobil dan berniat keluar. Namun urung kulakukan karena kulihat tak ada pergerakan dari Geri untuk keluar dari mobil."Kok nggak turun?" tanyaku menoleh ke arahnya. Geri malah menyandarkan badannya ke jok mobil. Matanya terpejam. "Ger?!" panggilku sambil menepuk lengnnya.Geri membuka matanya. Sesaat mata kami bertemu. Dan meski hanya sesaat, hal itu membuat aku sedikit gugup. Sejurus kemudian aku lihat senyum terkembang dari wajah tampan milik Geri."Aku turun!" kata Geri masih dengan senyumannya. Menarik handle pintu mobil dan membukanya. Keluar dari mob
"Apa Mbak Mayang beneran mau jadi istri saya?"Hah! Pertanyaan Geri membuat aku terperangah. Ini orang ya? Apa segitunya ingin menikah denganku?"Yang ada sepertinya malah kamu lho yang pingin banget jadi suami aku!" jawabku setengah tertawa. Entah tertawa bahagia karena keGRan atau tertawa kebingungan karena tak tahu harus menjawab bagaimana. "Itu sih jelas banget Mbak Mayang. Tapi kan saya pingin tahu juga perasaan Mbak Mayang. Jangan sampai rasa cinta saya bertepuk sebelah tangan," sahut Geri.Aku tertawa lagi. Jadi teringat lagu Dewa "Pupus" saat Geri berkata tentang cinta bertepuk sebelah tangan."Menurutmu gimana?" pancingku."Menurut saya sih Mbak Mayang nggak keberatan," jawab Geri penuh percaya diri. Alamak! Haruskah aku bahagia ataukah harus protes karena terus menerus terkaget-kaget mendengar ungkapan cinta Geri selama seharian ini."Benar kan, Mbak?" tanya Geri setengah mendesakku. Aku tersenyum kecut. Kalau pertanyaannya sudah seperti aku harus jawab apa coba? "Diam, b
Dengan perlahan aku menurunkan lengan Geri yang tadi aku angkat. Aku jadi merasa sedikit malu karena Geri memergoki aku tengah memberi perhatian padanya. Sedikit sih.Mata hitam Geri menatapku lekat-lekat. Bukannya tadi Geri sedang tidur? Mengapa cepat sekali dia terbangun?"Mbak Mayang ngapain?" tanya Geri masih menatapku. Aku tersenyum setengah malu."Itu... selang infusnya tertindih lengan kamu, jadi aku benerin. Maaf ya kalau kamu lalu jadi terbangun!" jawabku. Jujur sih. Karena apa yang aku lakukan tadi memang tulus tanpa modus apapun.Geri tersenyum mendengar jawabanku. Mungkin bahagia karena mendapat perhatian dari calon ibu dari anak-anaknya. Yaelah! Ini sih virus Geri dah mulai mengkontaminasi otakku, batinku. Mungkin juga setengah halu.Rasanya aku sudah berjam-jam nungguin di rumah sakit. Namun om Johan maupun bapak tak juga muncul. Apa belum selesai juga urusan kecelakaan tadi? Batinku."Mbak Mayang nggak lapar?" tanya Geri padaku.Aku tertawa. Bukannya aku yang seharusn