"Jadi, ada permasalahan apa antara Pak Gandung dan Pak Geri, kok bisa sampai jotos jotosan seperti ini?" tanya pak RT memulai mediasi.
Kami berempat sudah duduk di satu meja di ruang tamu. Sementara kerumunan tetangga yang mengiring kami berjubel di pintu dan di teras rumah."Si Geri ini Pak RT, ngejar-ngejar istri saya terus."Mas Gandung menjawab duluan.Aku yang mendengar jawaban mas Gandung menoleh. Bukannya tadi nuduh aku yang ngejar-ngejar Geri, sekarang malah balik nuduh Geri yang ngejar-ngejar aku. Dasar manusia aneh, batinku kesal."Apa benar begitu, Pak Geri ?"Pak RT menatap Geri."Mana ada maling mau ngaku, Pak RT."Mas Gandung langsung nyolot.Para tetangga yang di luar mulai riuh. Pak RT berusaha menenangkan, hingga keadaan kembali tenang."Semua ini hanya salah paham Pak RT, gak seperti yang suami saya omongkan."Aku berusaha meluruskan permasalahan yang sebenarnya."Jadi kamu masih mbelain Geri?" tuduh mas Gandung menunjuk mukaku dan Geri."Bukan begitu, Mas. Yang Mas Gandung bilang itu memang tidak benar."Aku masih berusaha menahan emosi. Karena sejujurnya aku merasa malu kalau tuduhan mas Gandung ini menjadi konsumsi warga komplek."Jadi yang benar gimana? Kamu yang ngejar ngejar dia, gitu?"Ya Allah, aku menelan ludah. Rasanya ingin lari menghilang dari permukaan bumi, mendengar mas Gandung yang terang-terangan mempermalukan aku di depan banyak warga."Sabar dulu Pak Gandung, biar Pak Geri ikut menjelaskan permasalahan ini. Karena gak mungkin kita hanya mendengarkan keterangan dari satu pihak saja."Pak RT berusaha menyabarkan mas Gandung."Jadi gimana menurut Pak Geri?" tanya pak RT.Sebelum Geri menjawab tiba-tiba seorang perempuan datang menerobos masuk. Ratih, istri Geri."Oh, jadi begini kelakuan kamu selama aku tinggal kerja? Nggodain istri orang ya?" Ratih melangkah hendak menyerang Geri. Ratih sehari hari bekerja sebagai karyawan di salah satu bank pemerintah."Tenang Bu Ratih, jangan emosi dulu!"Pak RT menahan langkah Ratih hingga tidak jadi memukul suaminya."Dan kamu Bu Mayang, udah punya suami masih juga kegatelan nggodain suami saya!"Ratih ganti menudingku.Lho? Kok malah dia ikut-ikutan nuduh aku, protesku merasa tak terima."Silahkan duduk dulu Bu Ratih, mari kita selesaikan secara baik baik. Mungkin benar yang di bilang Bu Mayang, kalo ini hanya salah paham saja,"Pak RT menyuruh Ratih duduk."Jadi gimana Pak Geri?"Pak RT kembali meminta penjelasan Geri.Lelaki itu tak segera menjawab. Tangannya mengusap- usap mukanya yang bengkak dihajar mas Gandung tadi.Sebenarnya aku merasa sangat bersalah melihat kondisi Geri, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.Sejenak suasana hening menunggu jawaban Geri. Namun karena ditunggu lama lelaki itu tak kunjung berbicara, suasana di luar mulai kembali riuh."Emang benar yang dituduhkan Pak Gandung itu kan Mas? Kamu naksir Bu Mayang?"Ratih mulai tak sabar."Ya jelas benar, saya ini sudah lama mengamati kelakuan suami kamu itu pada istri saya."Mas Gandung malah yang menjawab dan kembali membuat suasana memanas. Ratih berdiri dari tempat duduknya."Oh begitu? Jadi kamu juga sudah tanya istri kamu, apa dia juga nggodain suami saya?"Gantian Ratih menuding mas Gandung. Kali ini sudah berkamu-kamu ke mas Gandung.Nah lho? Ya Allah, kok jadi kacau balau begini. Kedatangan Ratih bukannya membantu menyelesaikan masalah. Justru membuat suasana semakin tidak karuan.Kerumunan tetangga yang mengikuti jalannya mediasi ini juga mulai ramai dan tidak sabar."Kok bisa ya, Bu Mayang yang kalem gitu bisa ada affairs sama pak Geri."Terdengar suara sumbang di tengah kerumunan.Aku menghela nafas. Berusaha menahan sesak, sakit hati, dan pastilah rasa malu yang saat ini menderaku."Justru biasanya yang kalem kalem itu kalo sekali bergerak, lansung gerakan maut."Ada lagi sahutan seseorang yang memerahkan telingaku.Gerakan maut apanya, batinku kesal. Ini semua gara gara tuduhan mas Gandung. Entah apa sebenarnya yang diinginkan lelaki itu dengan selalu mengumbar tudingan perselingkuhan padaku.Pak RT kembali berusaha menenangkan warga."Jadi gimana Pak Geri, tolong beri penjelasan tentang masalah ini!"Pak RT kembali meminta penjelasan dari Geri.Geri menghela napas perlahan. Di usapnya ujung hidungnya yang mancung itu berkali-kali. Pandangannya kini lalu beralih menatapku.Jujur saja aku jadi risi ditatap Geri seintens itu. Seperti ada sesuatu yang lain, yang ingin dia katakan padaku. Padahal menurutku ngomong pun bukannya susah. Antara kami berdua memang tidak ada hubungan apapun selain hanya bertetangga saja.Setelah sekian lama menatapku. Geri menghela nafas panjang. Akhirnya dia mulai membuka suara."Sebenarnya, jujur saja... Saya selama ini memang menyukai Bu Mayang."Hah!? Aku yang mendengar jawaban yang di luar dugaan itu tentu saja melongo tak percaya."Nah, Pak RT sekarang bisa dengar sendiri kan? Saya tidak salah menuduh orang. Saya tahu kalo Geri ini memang ngejar-ngejar istri saya," kata mas Gandung lebih bersemangat lagi."Gila kamu ya, Mas!" Ratih menunjukkan jari telunjuknya ke muka Geri. Muka perempuan itu merah padam menahan amarah."Tapi saya gak pernah godain Mbak Mayang, apalagi ngejar-ngejar," kata Geri.Aku sendiri tidak bisa bicara apa-apa. Mendadak semua pikiran warasku menguap dan hilang begitu saja.Kerumunan tetangga yang dari tadi ikut mendengarkan menjadi ramai dan riuh rendah. Pak RT jadi sibuk berusaha menenangkan."Jadi Pak Geri beneran suka sama Mbak Mayang?" Giliran pak RT yang menanyakan pertanyaan konyol itu. Lebih konyol lagi jawaban Geri yang mengangguk. Membenarkan pertanyaan pak RT."Mbak Mayang sendiri bagaimana?" Pak RT giliran menanyaiku."Saya?" Aku menunjuk diriku sendiri."Halah, pake acara pura-pura bingung segala", Ratih memandangku dengan sinis,"dijawab aja kalo selama ini kamu itu udah jadi selingkuhan suami aku, dasar pelakor!""Tapi saya gak selingkuh sama Geri lo Mbak." Aku membela diri."Lagian bagaimana kamu bisa memperkeruh keadaan ini, Geri?" tanyaku pada Geri."Maafkan saya, Mbak!" jawab Geri menunduk.Ladalah! Memangnya hanya dengan kata maaf saja bisa menyelesaikan kekisruhan ini. Aku membatin kesal."Jadi benar nih, Mbak Mayang ada hubungan sama Pak Geri?" tanya pak RT lagi."Ya nggaklah, Pak RT! Saya gak ada hubungan apapun sama Geri. Sebatas tetangga saja," jelasku pada pak RT."Mbak Mayang mungkin gak tahu kalo saya suka sama dia. Soalnya saya juga gak pernah ngomong langsung ke Mbak Mayang," jelas Geri.Nah Lo?! Jadi apa maksud dia mengekspose perasaannya di depan semua orang. Padahal seharusnya dia membela diri. Dan mengklarifikasi semuanya. Bahwa tuduhan mas Gandung itu salah. Tidak benar. Aku benar benar tidak mengerti jalan pikiran Geri ini. Apalagi status dia pun sudah beristri, demikian pula statusku yang sudah bersuami."Jadi Pak Geri ini suka dengan Mbak Mayang? Tapi Mbak Mayang gak tahu kalo ditaksir Pak Geri? Karena Pak Geri belum pernah bilang sendiri pada Mbak Mayang. Begitu kan?" tanya pak RT memperjelas.Geri mengangguk.Kepalaku menggeleng pelan. Tak menyangka situasinya malah semakin menjadi konyol begini.Sementara terdengar tertawaan para tetangga yang berada diluar rumah mendengar pertanyaan pak RT barusan."Sudahlah Pak RT, kita usir saja orang seperti Geri ini keluar dari kampung kita!" kata mas Gandung penuh provokasi."Lhah, enak saja main usir-usiran suami orang!" Ratih menuding mas Gandung dengan sewot," istri kamu yang pelakor itu yang seharusnya diusir dari kampung kita ini. Sudah punya suami, masih juga kegatelan nggodain suami orang. Mas Geri itu kalo nggak digodain sama istri kamu, gak mungkin bisa suka sama istri kamu.""Kamu itu jadi istri yang gak bisa jaga suami! Masa suami sendiri bisa suka sama istri orang. Sekarang istri aku yang diganggunya, besok lusa istri siapa lagi yang jadi korbannya," kata mas Gandung membalas tudingan Ratih."Oh, jadi gak ngaca tuh, dengan kelakuan istri kamu sendiri yang gangguin suami orang. Kamu itu suami yang gak bisa jaga istri. Istri sendiri kok dibiarkan jadi pelakor," tuding Ratih tak mau kalah."Astagfirullohaladhim," lirihku sambil mengelus dada. Mendengar mas Gandung dan Ratih saling melempar tudingan membuat kepalaku tidak mampu berpikir jernih. Apalagi Ratih yang sudah berkali-kali menyebutku dengan sebutan pelakor."Jadi gimana ni Pak RT?" tanya salah satu tetanggaku. Pak Wiryo namanya."Saya malah jadi bingung ini', jawab pak RT yang langsung disambut gelak tawa para tetangga yang mendengar.Yaelah! Kalau memang tidak bisa ngasih solusi ngapain juga tadi bawa kami kesini, batinku dongkol. Rasa malu yang aku rasakan seperti bahan lawakan warga saat ini."Maaf Pak RT, kalo dibolehkan, saya mau pulang aja!" Aku berdiri. Menghadap pak RT. Namun sebelum sempat aku beranjak dari kursi tiba tiba sebuah benda melayang dan menghantamku. Mengenai kepalaku disertai suara makian seseorang."Enak saja mau pulang, pulang sana ke neraka!"Aku ambruk ke kursi akibat hantaman benda itu. Masih sempat kulihat darah segar mengucur deras dari kepalaku. Setelah itu gelap. Aku tak ingat apa-apa lagi.Ketika aku membuka mata. Aku mendapati tubuhku terbaring di bangsal rumah sakit. Aku tahu ini rumah sakit karena ada perawatan medis didekat aku terbaring. Termasuk juga selang infus yang tersambung ke jariku. "Oh, syukurlah kau sudah siuman!" Seseorang memelukku. Menangis tanpa suara. "Bapak?" tanyaku lirih. Nyaris tercekat di tenggorokan. Kulihat juga ibuku di dekat pintu. Sedang menelepon seseorang. "Selesaikan saja tanpa kehadiran putriku, kau hadiri proses mediasi dan proses sidangnya!" kata ibu pada seseorang di telepon. "Ibu menelpon siapa, Pak?" tanyaku pelan. Perasaanku mendadak tidak enak ketika ibu menyebut proses mediasi dan sidang. "Gak usah kamu pikirkan dulu omongan Ibu kamu. Yang penting sekarang istirahat dulu dan pulihkan kesehatanmu!" jawab bapak menggenggam tanganku. "Bu...!" panggilku ketika kulihat ibu sudah selesai menelpon. Ibu menghampiriku. "Sudah Ibu bilang dari dulu. Suami kamu itu memang gak waras. Coba kalo dari dulu kamu mau nurut sama Ibu," kata
Bapak bergegas membuka pintu. "Assalamualaikum." Kudengar suara pak RT mengucap salam. "Waalaikumsalam," jawab bapak," eh Pak RT rupanya, silakan masuk, Pak!" Benar dugaanku. Pak RT sama istrinya, bu Ira yang datang. Bapak dan pak RT emang sudah saling kenal. Keduanya bersalaman. Pak RT dan istrinya masuk. Keduanya juga menyalami ibuku, yang hanya merespon dingin. "Lo, udah ada Pak Geri rupanya?" Pak RT berjalan menuju Geri. Geri berdiri dan menyalami pak RT dan bu Ira. "Iya, Pak RT. Saya tadi dari toko, mampir kesini," jawab Geri tersenyum. "Gimana kabarnya, Bu Mayang?" Bu Ira, istri pak RT menanyakan keadaanku. "Sudah mendingan, Bu," jawabku tersenyum. "Syukurlah," sahut pak RT dan istrinya bersamaan. "Gimana kabar mertua Pak Geri?" tanya pak RT. "Masih diproses, Pak," jawab Geri. "Asbak saya diambil sama polisi untuk jadi barang bukti. Padahal itu barang antik yang harganya jutaan," kata pak RT lagi. Pak RT memang penggemar barang antik. Rupanya asbak antik beliau yan
Mas Gandung menoleh kaget. Aku dan Bapak juga kaget dengan datangnya Ibu yang tiba-tiba "Kenyataannya memang begitu!" jawab mas Gandung dengan entengnya. "Bagus kalo gitu!" kata ibuku. Membuat aku keheranan. Bapak diam saja. "Jadi Ibu mendukung Mayang berselingkuh?" tanya mas Gandung. Ibu menatap mas Gandung sinis. "Menurutmu?" Ibu malah balik bertanya. Mas Gandung tak menjawab. Mengusap-usap lehernya dengan raut muka sedikit gelisah. Meskipun dia tak tahu dengan sifat ibuku seperti apa. "Aku akan membantumu!" kata Ibu. Kulihat ibuku tersenyum. Mas Gandung semakin bingung. "Apa maksud Ibu?" tanya mas Gandung. Tersirat jelas kebingungan dan keheranan di wajahnya. "Sudah lama aku marah dengan Mayang karena menikahi lelaki sepertimu!" kata ibu sambil menatapku. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak berani membalas tatapan Ibu. Aku mulai merasakan firasat tidak enak. Sepertinya ada hal besar yang akan terjadi hari ini. "Kupikir sekarang adalah saat yang tepat untuk meng
Ibu menatap wajah mas Gandung yang masih kaget. "Kenapa?!" tanya ibu sinis," apa kamu masih mau melanjutkan hidupmu bersama si tukang selingkuh itu?"Ibu menudingkan jarinya ke arahku. Lagi-lagi ibu menyebutku tukang selingkuh. Sementara mas Gandung masih terdiam. Sepertinya dia agak shock dengan apa yang telah dibisikkan ibuku padanya."Apakah Ibu serius?" tanya mas Gandung akhirnya."Tentu saja!" sahut ibu cepat. "Apakah Mayang akan setuju?" tanya mas Gandung ragu."Setuju tidak setuju, dia tidak punya hak untuk menolak," jawab ibu tegas.Aku dan bapak diam saja mendengar pembicaraan antara ibu dan mas Gandung. "Bukankah sepertinya aku yang hendak Ibu hukum di sini?" tanya mas Gandung lirih.Mendadak ibu tertawa keras-keras."Tentu saja bukan," sahut ibu di sela tawanya," kalau Mayang yang berselingkuh, tidak mungkin kamu yang dihukum.""Sebenarnya apa yang Ibu bicarakan sama Mas Gandung?" tanyaku tidak sabar. Meskipun sebenarnya aku sudah bisa meraba arah percakapan mereka."Ibu
"Sudahlah Bu, kita abaikan saja masalah ini untuk sementara! Kita prioritaskan dulu kesembuhan Mayang!" Kudengar suara bapak menasehati ibu. Sebenarnya aku sudah siuman dari beberapa saat yang lalu. Tapi karena kudengar bapak dan ibu tengah berbicara tentangku. Aku memilih tetap memejamkan mata."Geram rasanya hatiku, Pak! Kalau tidak ingat dia itu masih suaminya Mayang, pasti dah lama kujebloskan dia itu ke penjara. Dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga." Kali ini ibu yang berbicara.Ibu tahu yang dilakukan mas Gandung terhadapku bisa di masukkan ke dalam tindakan KDRT. Karena KDRT tidak hanya dalam bentuk kekerasan secara fisik saja. Tapi juga segala tindakan yang bisa membuat si korban tertekan secara mental juga."Memang bodoh benar anak kau itu, Pak! Dijodohkan sama lelaki baik-baik, hidupnya sudah mapan pula malah tidak mau. Sekarang dia rasakan menikahi berandalan pengangguran itu. Dia rasakan sakitnya punya suami yang hanya bermodal dengkul itu! Modal dengkul kalau baik,
Mbak Sri masih memijat kedua kakiku."Diminum dulu Mbak, wedang jahenya!" Mbak Sri berdiri. Mengambil segelas wedang jahe dan sepiring pisang goreng crispy.Aku minum wedang jahe yang sudah hangat-hangat kuku itu. Sembari bercerita dengan mbak Sri, aku memakan pisang goreng crispy kesukaanku. Tak perlu waktu lama, kedua hidangan yang diberikan mbak Sri itupun sukses berat masuk ke dalam perutku. Mbak Sri berdiri sebentar untuk mengemasi gelas dan piringku. Lalu kembali memijat dan mengurutku.Aku memejamkan mata. Rasa nyaman mulai menjalari tubuhku ketika mbak Sri mulai intens mengurut badanku. Setahun sudah aku tak pernah merasakan sentuhan relaksasi seperti ini. Dan karena merasa keenakan, rasa kantukpun perlahan menyerangku. Membuatku menguap beberapa kali."Mbak Mayang tidak berubah ya? Kalau sudah dipijit pasti langsung tidur."Masih sempat kudengar suara mbak Sri. Samar-samar. Sebelum akhirnya aku benar-benar tertidur dan terlelap dalam mimpi.******"Mayang! Bangun! Dah sore!"
Geri yang menyadari perubahan sikap Mas Gandung segera berdiri dan memohon diri pamit pada bapak dan aku."Saya pamit dulu, Pak! Mbak Mayang!" Geri menyalami bapak dan aku.Aku tak tahu. Apakah bapak tahu perseteruan antara Mas Gandung dengan Geri apa tidak."Iya, iya... mampir saja kalau sedang di rumah Pak Johan!" kata bapak pada Geri. Entah benar-benar tulus menawarkan atau hanya basa basi saja."Siap, Pak!" jawab Geri tersenyum mengangguk. Geri juga mengangguk ke Mas Gandung. Tapi Mas Gandung membuang muka.Setelah Geri berlalu bapak mempersilakan Mas Gandung masuk ke rumah. "Silakan ngobrol dulu sama Mayang, Nak Gandung! Bapak ke belakang sebentar!" kata bapak.Setelah itu bapak pergi ke belakang meninggalkan kami berdua."Apa kau menghubungi dia agar mendatangimu sampai ke sini?" tanya Mas Gandung menatapku tajam. Penuh kecurigaan."Dia siapa?" tanyaku balik bertanya. Meskipun sebenarnya aku tahu dia siapa yang dimaksud mas Gandung. Pasti Geri."Gak mungkin dia bisa sampai kes
"Ya, Om?" Aku mengernyitkan kening. Menunggu kelanjutan omongan om Hendri yang sepertinya sengaja diputus."Kalau kesini minggu depan, gak usah ngajak bodyguard lagi!" jawab om Hendri tersenyum sambil ekor matanya mengarah ke ibu.Ibu tahu maksud om Hendri. Merasa tak terima diolok om Hendri, ibu langsung berdiri. Tangan ibu cepat meraih sekotak tissue di atas meja. "Dasar kau ya!!" Ibu memaki. Melempar tissue itu ke arah om Hendri.Om Hendri tergelak. Tertawa puas. Merasa berhasil mengerjai ibu. Aku hanya tersenyum menggeleng-gekengkan kepala melihat tingkah mereka berdua. Memang selalu begitu sejak dulu. Perhatian, gurauan dan pertengkaran kecil seringkali mewarnai kebersamaan mereka."Jangan dengarkan omongan Om-mu!" sungut ibu. Bicara padaku."Seorang klien harus mendengarkan dan menuruti omongan lawyer-nya," kata om Hendri padaku.Aku menatap ibu dan adik lelakinya itu bergantian. Aku merasa terjebak diantara percakapan keduanya."Aku sudah tahu masalah Mayang versi Mbak Sita. A
Aku beranikan mendekati Geri ketika dia tak juga bergerak dari tempat tidur. Aku naik keatas ranjang. Beringsut mendekati tubuhnya yang tengah terbaring. Kuperhatikan sebentar wajah itu seperti tertidur. Apa mungkin Geri lelah setelah di perjalanan tadi sementara kondisi dia juga sedang sakit. "Ger?!" panggilku lirih. Khawatir mengagetkannya.Geri tak menyahut. Entah memang tak mendengar karena tertidur atau hanya pura-pura.Aku jadi bingung harus berbuat apa. Di kamar berdua bersama Geri seperti ini jujur saja membuat hatiku tidak tenang.Aku membalikkan badan dan bermaksud turun dari tempat tidur ketika tiba-tiba dikejutkan tangan Geri yang mencekal pergelangan tanganku dari belakang.Aku menoleh. Bersamaan dengan Geri yang langsung bangun dan duduk berhadapan denganku."Kau?!" Aku terkejut menatap wajahnya.Geri juga menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Aku berusaha melepaskan cekalan tangannya. Tapi Geri tak mau melepaskan."Geri? Aaa..aku...!" Belum sempat aku me
Aku tak begitu menanggapi candaan Geri. Takutnya kalau kutanggapi malah ngelantur kemana-mana. "Kok nggak respon, Mbak?" tanya Geri menyalakan sebatang rokok. Dibukanya sedikit kaca jendela mobilku."Takutnya kebablasan jadi dukun cabul."Ups! Rasanya hendak kutarik ucapanku barusan. Padahal sebelumnya sudah kuniati untuk tak menanggapi omongan Geri. Namun kenapa malah omongan itu yang justru keluar dari bibirku.Geri sontak menoleh mendengar ucapanku. Entah apa maksudnya."Bercanda!!" sanggahku cepat. Agak malu juga sebenarnya kenapa aku menanggapi ocehannya tadi."Kalau dokter cinta saja gimana, Mbak?" tanyanya.Yaelah! Untung sudah sampai ke kantor om Hendri. Jadi aku tak perlu lagi menjawab pertanyaannya."Ikut turun?" tanyaku membuka handle pintu mobil. Geri ikut membuka pintu mobil dan turun bersamaku memasuki kantor om Hendri.Om Hendri yang memang sudah menyuruhku datang ke kantornya sedari kemarin juga sudah menungguku di ruang kerjanya.Tak banyak yang aku ceritakan karena
"Emangnya Ibumu ini punya tampang kriminal?" Ibu malah balik bertanya. Menjitak kepalaku. Lagi-lagi aku meringis."Berarti Ibu cuma menggertak saja kan?" tanyaku." Hemmm!" Aku bernapas lega. Tak bisa aku bayangkan jika memiliki ibu seorang pembunuh. Hih, aku tergidik ngeri."Makanya cepat diurus perceraianmu dengan suamimu itu! Besok Om Hendri nyuruh kamu datang ke kantor," kata ibu memberitahuku."Tanyakan sama Om Hendri bagaimana secepatnya perceraian itu bisa di proses agar tak berlarut-larut," kata bapak menambahi perkataan ibu.Waktu berjalan tanpa terasa saat kami bertiga mengobrol.Aku menguap beberapa kali sebelum akhirnya ibu menyuruhku tidur."Sana, istirahat! Kalau kamu sudah menguap terus itu tandanya tubuhmu perlu tidur! Istirahat! Masuk kamar sana! Ibu masih ingin ngobrol dulu sama bapakmu!" usir ibu sambil mendorong tubuhku agar masuk kamar."Iyalah, Bu...Pak, Mayang tidur dulu lah," sahutku sambil menguap lagi. Setelah itu aku bergegas masuk kamar.******Pagi-pagi s
Sreek.Sreek.Dengan gerakan cepat. Ibu menarik pelatuk senapan laras panjang. Benda yang diambilnya dari dalam rumah. Mengarahkannya ada mas Gandung.Astaghfirullah! Aku menutup mulutku karena ketakutan."Masya Allah, Bu! Jangan lakukan itu! Sabar, Bu!" Bapak gegas menghampiri ibu dan berusaha menurunkan tangan ibu yang lurus mengarah ke mas Gandung."Pergi dari rumahku!!! Atau kau akan pulang tinggal nama!!" teriak ibu dari arah pintu. Tetap mengarahkan senapan laras panjang itu ke mas Gandung.Mas Gandung yang sempat terkejut. Kini malah semakin terpaku di tempatnya berdiri. Seolah tak menyangka kalau ibu akan berbuat senekat itu Aku sendiri juga tak tahu entah darimana ibu memiliki senapan itu."Ibu hanya menggertakku, kan?" tanya mas Gandung lirih.Ada keraguan dalam nada bicaranya. "Nak Gandung, tolonglah tinggalkan tempat ini segera!" kata bapak pada mas Gandung.Mas Gandung menatap bapak dan ibu bergantian."Kalian mencoba menakuti aku kan? Dengan senapan mainan itu?" tanya m
"Aku belum selesai bicara!" kata mas Gandung menarik tubuhku hingga berdiri di hadapannya."Mau bicara apa lagi?""Jauhi lelaki itu!" kata mas Gandung. Mirip sebuah ancaman.Aku menghela nafas kasar. Bagaimana bisa mas Gandung menyuruhku menjauhi lelaki bernama Juan itu. Sementara aku memang tidak pernah dekat dan tidak pernah menjalin hubungan apapun dengannya."Kau dengar yang aku bilang?" tanya mas Gandung. Seolah hendak memastikan kalau telingaku ini masih sanggup berfungsi dan mendengar perkataannya.Aku mengangguk. Aku tak ingin memperpanjang masalah. Terus terang pertengkaran demi pertengkaran yang aku alami membuatku merasa sangat lelah."Kau harus janji!" kata mas Gandung setengah memaksa.Aku mendongakkan kepala yang rasanya sudah berdenyut-denyut. Pukulan dan tamparan yang aku terima di awal pertengkaran tadi baru terasa akibatnya sekarang."Iya!" jawabku datar. Tanpa ekspresi. Dan aku memang tak lagi merasakan apapun pada lelaki yang tengah berdiri di hadapanku ini selain r
Aku menatap tak percaya pada mas Gandung. Apa dia tidak berpikir kalau permintaannya itu sangat tidak masuk akal? Bahkan akan membuat bapak dan ibu semakin ilfeel padanya."Kenapa?" tanya mas Gandung sedikit terkejut dengan reaksiku yang tidak seperti biasanya."Apa Mas nggak malu meminta uang pada orang tuaku? Mas kan tahu bagaimana sikap Ibu pada Mas?" tanyaku sekaligus menjawab pertanyaan mas Gandung."Ya kamu jangan bilang dong, kalau yang makai uang itu ibunya Mas" mas Gandung masih mencoba membujukku."Dengar ya Mas! Selama aku disini saja aku diurus sama Bapak dan Ibu. Mas saja nggak pernah memberi aku uang. Lhah ini malah ibunya Mas yang minta ke aku. Kenapa bukan Mas saja yang memberi uang pada ibunya Mas?" tanyaku mulai geram."Mas kan belum kerja, Yang! Nanti Mas ganti kalau Mas sudah dapat kerjaan!" jawab mas Gandung dengan percaya diri."Kapan Mas bisa dapat kerjaan? Mas aja selama ini nggak pernah mau cari kerja!" sahutku kesal. Mas Gandung selalu memilih-milih pekerjaan.
Untung saja mobil yang sekarang ada aku dan Geri didalamnya sudah memasuki pelataran rumah om Johan. Halaman rumah om Johan memang sangat luas karena punya usaha mebel yang sangat besar. Jadi mobil-mobil truk maupun pick up sering lalu lalang di situ."Yaaahh!" Geri mendesah. Seperti kecewa."Kenapa?" tanyaku. Walaupun aku sudah tahu dia sebenarnya tak ingin mobil ini sampai ke rumah om Johan seperti yang dia bilang. Kumatikan mesin mobil dan berniat keluar. Namun urung kulakukan karena kulihat tak ada pergerakan dari Geri untuk keluar dari mobil."Kok nggak turun?" tanyaku menoleh ke arahnya. Geri malah menyandarkan badannya ke jok mobil. Matanya terpejam. "Ger?!" panggilku sambil menepuk lengnnya.Geri membuka matanya. Sesaat mata kami bertemu. Dan meski hanya sesaat, hal itu membuat aku sedikit gugup. Sejurus kemudian aku lihat senyum terkembang dari wajah tampan milik Geri."Aku turun!" kata Geri masih dengan senyumannya. Menarik handle pintu mobil dan membukanya. Keluar dari mob
"Apa Mbak Mayang beneran mau jadi istri saya?"Hah! Pertanyaan Geri membuat aku terperangah. Ini orang ya? Apa segitunya ingin menikah denganku?"Yang ada sepertinya malah kamu lho yang pingin banget jadi suami aku!" jawabku setengah tertawa. Entah tertawa bahagia karena keGRan atau tertawa kebingungan karena tak tahu harus menjawab bagaimana. "Itu sih jelas banget Mbak Mayang. Tapi kan saya pingin tahu juga perasaan Mbak Mayang. Jangan sampai rasa cinta saya bertepuk sebelah tangan," sahut Geri.Aku tertawa lagi. Jadi teringat lagu Dewa "Pupus" saat Geri berkata tentang cinta bertepuk sebelah tangan."Menurutmu gimana?" pancingku."Menurut saya sih Mbak Mayang nggak keberatan," jawab Geri penuh percaya diri. Alamak! Haruskah aku bahagia ataukah harus protes karena terus menerus terkaget-kaget mendengar ungkapan cinta Geri selama seharian ini."Benar kan, Mbak?" tanya Geri setengah mendesakku. Aku tersenyum kecut. Kalau pertanyaannya sudah seperti aku harus jawab apa coba? "Diam, b
Dengan perlahan aku menurunkan lengan Geri yang tadi aku angkat. Aku jadi merasa sedikit malu karena Geri memergoki aku tengah memberi perhatian padanya. Sedikit sih.Mata hitam Geri menatapku lekat-lekat. Bukannya tadi Geri sedang tidur? Mengapa cepat sekali dia terbangun?"Mbak Mayang ngapain?" tanya Geri masih menatapku. Aku tersenyum setengah malu."Itu... selang infusnya tertindih lengan kamu, jadi aku benerin. Maaf ya kalau kamu lalu jadi terbangun!" jawabku. Jujur sih. Karena apa yang aku lakukan tadi memang tulus tanpa modus apapun.Geri tersenyum mendengar jawabanku. Mungkin bahagia karena mendapat perhatian dari calon ibu dari anak-anaknya. Yaelah! Ini sih virus Geri dah mulai mengkontaminasi otakku, batinku. Mungkin juga setengah halu.Rasanya aku sudah berjam-jam nungguin di rumah sakit. Namun om Johan maupun bapak tak juga muncul. Apa belum selesai juga urusan kecelakaan tadi? Batinku."Mbak Mayang nggak lapar?" tanya Geri padaku.Aku tertawa. Bukannya aku yang seharusn