Bapak bergegas membuka pintu.
"Assalamualaikum."Kudengar suara pak RT mengucap salam."Waalaikumsalam," jawab bapak," eh Pak RT rupanya, silakan masuk, Pak!"Benar dugaanku. Pak RT sama istrinya, bu Ira yang datang. Bapak dan pak RT emang sudah saling kenal. Keduanya bersalaman.Pak RT dan istrinya masuk. Keduanya juga menyalami ibuku, yang hanya merespon dingin."Lo, udah ada Pak Geri rupanya?" Pak RT berjalan menuju Geri.Geri berdiri dan menyalami pak RT dan bu Ira."Iya, Pak RT. Saya tadi dari toko, mampir kesini," jawab Geri tersenyum."Gimana kabarnya, Bu Mayang?" Bu Ira, istri pak RT menanyakan keadaanku."Sudah mendingan, Bu," jawabku tersenyum."Syukurlah," sahut pak RT dan istrinya bersamaan."Gimana kabar mertua Pak Geri?" tanya pak RT."Masih diproses, Pak," jawab Geri."Asbak saya diambil sama polisi untuk jadi barang bukti. Padahal itu barang antik yang harganya jutaan," kata pak RT lagi.Pak RT memang penggemar barang antik. Rupanya asbak antik beliau yang dilempar bu Ida ke kepalaku. Pantas saja membuatku pingsan. Asbak itu berbentuk segi empat dan terbuat dari tembaga yang memiliki berat lumayan karena besarnya juga dua kali asbak biasa."Apa Mbak Mayang tidak mau bermediasi?" tanya pak RT.Aku menatap ibu. Bagaimanapun juga permasalahan ini sudah ditangani ibu. Dan aku tahu pasti bagaimana bila ibu menangani suatu permasalahan. Dapat dipastikan hanya beliaulah pengambil keputusan."Mediasi tetap dilakukan, tapi saya tetap menempuh jalur hukum", jawab ibu.Seolah tahu aku meminta jawaban atas pertanyaan pak RT."Sebenarnya ada masalah apa? Antara anak saya sama mertua Geri ini, sampai dia melukai anak saya?" tanya ibu pada pak RT."Lho, jadi Bu Danu belum tahu ya?" Pak RT malah balik bertanya."Lha ya belum. Saya langsung ke rumah sakit, ketika temannya anak saya menelepon. Katanya Mayang pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Kepalanya bocor dilukai orang," jawab ibuku panjang lebar."Mbak Mayang juga belum cerita?" tanya pak RT lagi.Aku menggeleng."Mayang baru sadar pagi ini, Pak RT!" Bapak menjelaskan."Lha, Pak Geri juga gak cerita sama Bapak?"Kali ini giliran Geri yang ditanya pak RT. Geri tak menjawab. Hanya diam menatapku. Seolah sudah tahu kalo dia tak perlu merespon pertanyaan pak RT."Daripada mutar-mutar gak jelas gitu, mending Pak RT saja yang cerita sama saya. Ada masalah apa sampai Mayang dilukai mertua Geri?"Ibuku memotong pertanyaan Pak RT."Gimana ya, Bu. Sebenarnya saya sendiri juga kurang begitu jelas, Bu," jawab pak RT sambil garuk-garuk kepala. Wajahnya tersenyum kecil.Aku yang mendengar jawaban pak RT, terpaksa menahan tawa. Heran juga bagaimana orang macam dia bisa diangkat menjadi ketua RT."Lha kurang jelas gimana to? Bukannya permasalahan mereka itu dibawa ke rumah Pak RT?" tanya ibu dengan raut muka keheranan.Pak RT menyenggol istrinya. Bukannya membantu menjawab, bu Ira malah memelototinya."Benar juga sih, Bu," jawab Pak RT masih garuk-garuk kepala," saya tahunya mereka sudah jotos-jotosan begitu.""Sudahlah, Bu! Kita tunggu sampai Mayang sehat dulu!" kata bapak menengahi.Ibu mengerucutkan bibirnya. Menunjukkan hatinya sedang kesal."Kalo gitu saya permisi pulang Pak Danu! Semoga Mbak Mayang cepat sembuh dan sehat!" kata pak RT berpamitan pada bapak.Tidak mau membuang kesempatan rupanya pak RT ini, batinku. Takut diinterogasi lebih lanjut oleh Ibu. Pak RT dan istrinya akhirnya memilih berpamitan pulang."Pak Geri belum mau pulang nih?"Tiba-tiba pak RT membalikkan badannya sebelum sampai ke pintu. Geri yang ditanya agak terkejut."Saya.. emm...", jawab Geri bingung."Lho, kalo masih mau disini sama Mbak Mayang ya gak apa-apa!" Kali ini pak RT menjawab pertanyaannya sendiri.Geri mengusap mukanya yang agak memerah mendengar perkataan pak RT. Mungkin malu.Hahaha, lagian ngapain juga bilang menyukaiku waktu di rumah pak RT, batinku."Saya juga pamit, Pak, Bu!" kata Geri berdiri dari kursi menyalami Bapak dan Ibu."Oh, sekalian sama Pak RT, Nak Geri?'' Bapakku yang menjawab."Iya, Pak," jawab Geri tersenyum mengangguk.Geri berjalan ke arahku dan menyalamiku."Saya pamit dulu ya, Mbak Mayang!"Aku tersenyum mengangguk. Sebenarnya aku agak kikuk menghadapinya semenjak kejadian di Pak RT kemarin."Makasih ya, Geri!" sahutku berbasa-basi."Sama-sama, Mbak Mayang," kata Geri masih tersenyum. Mengangguk.Namun belum sempat Geri berbalik meninggalkanku, tiba-tiba kulihat mas Gandung nyelonong masuk."Oh, masih ngejar istriku sampai rumah sakit ya?" tuding Mas Gandung sambil mendorong Geri."Mas!" seruku kepada mas Gandung. Aku mencoba bangun. Berharap bisa mencegah mas Gandung agar tak melakukan tindakan yang lebih anarkis pada Geri."Hei, jaga sikap kamu ya!" tuding ibu ke mas Gandung.Kali ini rupanya ibu yang gantian mendorong mas Gandung menjauh dari tempat tidurku."Sabar, Bu!" Bapak menahan lengan ibu," jangan ribut di rumah sakit!""Harusnya Bapak itu ngomongnya ke menantu Bapak yang tidak bertanggung jawab itu!" sahut ibu marah ditahan bapak."Sebaiknya tinggalkan kami dulu ya, Nak Gandung!"Kali ini Bapak yang meminta mas Gandung untuk pergi."Laki-laki inilah, yang membuat Mayang terluka, Pak!" tuding mas Gandung ke Geri.Geri hanya terdiam."Sebaiknya kamu pulang dulu, Geri!" Aku menyuruh Geri pulang. Toh sebenarnya dia tadi juga sudah pamit mau pulang."Maaf semuanya, saya pamit dulu." Geri membalikkan tubuhnya dan bergegas pergi."Ingat ya, urusan kita belum selesai!" Kembali mas Gandung menuding Geri.Untung saja Geri tak mempedulikannya."Dan kamu, ngapain kamu kesini?" tanya ibu sinis menatap mas Gandung."Ya mau nengok istri sayalah, Bu!" jawab mas Gandung."Sekarang masih istrimu, besok lusa jangan pernah bermimpi Mayang bisa jadi istrimu lagi!" kata ibu ketus."Apa maksud Ibu?" tanya mas Gandung."Nanti kamu akan tahu sendiri!" jawab ibu, "oh ya, Pak aku mau keluar. Rasanya ruangan ini jadi panas. Mungkin karena ada orang yang sama sekali tak ingin aku lihat."Ibu menyambar tas kecilnya dan bergegas pergi. Dari awal ibu tak pernah menyukai mas Gandung. Berkali-kali ibu menyuruhku berpisah dari mas Gandung waktu masih pacaran. Pernikahanku dengan mas Gandung juga tak mendapat restunya."Apa maksud perkataan Ibu tadi, Pak?" tanya mas Gandung pada bapak ketika ibu sudah tak ada."Sudahlah, gak usah dipikirkan!" jawab bapak.Akupun diam saja. Malas rasanya membahas apapun dengan lelaki yang masih menjadi suamiku itu. Bukan sekali ini sebenarnya permasalahan yang dibuat mas Gandung terhadapku. Berkali-kali aku harus berurusan dengan banyak orang ketika harus meluruskan tuduhan-tuduhan perselingkuhan yang selalu dilontarkan mas Gandung terhadapku. Dan klimaksnya mungkin sekarang ini. Karena sampai membuat aku terbaring di rumah sakit."Gimana keadaanmu?" tanya mas Gandung mendekatiku. Aku menghela napas kasar."Ya, Mas kan bisa liat sendiri!" jawabku asal. Entah apa yang diinginkan mas Gandung hingga tak pernah berhenti membuat tuduhan fitnah perselingkuhan padaku."Masa, sampai di rumah sakit pun kalian berdua masih saja mengambil kesempatan," kata mas Gandung."Kesempatan apa?" tanyaku agak tersinggung. Kutatap wajahnya dengan marah."Ya kesempatan berduaanlah, emang kesempatan apalagi!" jawab mas Gandung."Yaelah Mas.. Mas, kenapa pikiranmu itu selalu kotor?" tanyaku semakin tersulut emosi, "tanya saja sama Bapak tuh, tadi banyak orang disini. Bapak dan Ibu ada, pak RT sama Bu RT juga ada. Mana ada aku berduaan sama Geri.""Dia sendiri sudah bilang kalo menyukaimu, harusnya kamu tolak dia dong waktu mau bezuk kamu," kata mas Gandung, "ini bukannya nolak, malah ngarepin.""Masha Allah, tega ya Mas kamu ngomong kayak gitu!" kataku dengan suara bergetar. Sesak rasanya dada ini mendengar omongannya."Sudahlah, Nak Gandung! Mayang kan lagi sakit. Gak usah membebani pikirannya lagi!" Bapak berusaha menengahi."Tapi ini sudah keterlaluan, Pak!" kata mas Gandung tidak mau berhenti."Keterlaluan gimana, Nak Gandung? Gak baik menuduh istri sendiri!" kata Bapak menasehati."Ini bukan sekedar menuduh, Pak! Kenyataannya Mayang itu memang berselingkuh!" mas Gandung masih ngotot."Oh, jadi Mayang berselingkuh?"Tiba-tiba saja Ibuku membuka pintu dari luar. Bertanya pada mas Gandung dengan sorot mata penuh amarah.Mas Gandung menoleh kaget. Aku dan Bapak juga kaget dengan datangnya Ibu yang tiba-tiba "Kenyataannya memang begitu!" jawab mas Gandung dengan entengnya. "Bagus kalo gitu!" kata ibuku. Membuat aku keheranan. Bapak diam saja. "Jadi Ibu mendukung Mayang berselingkuh?" tanya mas Gandung. Ibu menatap mas Gandung sinis. "Menurutmu?" Ibu malah balik bertanya. Mas Gandung tak menjawab. Mengusap-usap lehernya dengan raut muka sedikit gelisah. Meskipun dia tak tahu dengan sifat ibuku seperti apa. "Aku akan membantumu!" kata Ibu. Kulihat ibuku tersenyum. Mas Gandung semakin bingung. "Apa maksud Ibu?" tanya mas Gandung. Tersirat jelas kebingungan dan keheranan di wajahnya. "Sudah lama aku marah dengan Mayang karena menikahi lelaki sepertimu!" kata ibu sambil menatapku. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak berani membalas tatapan Ibu. Aku mulai merasakan firasat tidak enak. Sepertinya ada hal besar yang akan terjadi hari ini. "Kupikir sekarang adalah saat yang tepat untuk meng
Ibu menatap wajah mas Gandung yang masih kaget. "Kenapa?!" tanya ibu sinis," apa kamu masih mau melanjutkan hidupmu bersama si tukang selingkuh itu?"Ibu menudingkan jarinya ke arahku. Lagi-lagi ibu menyebutku tukang selingkuh. Sementara mas Gandung masih terdiam. Sepertinya dia agak shock dengan apa yang telah dibisikkan ibuku padanya."Apakah Ibu serius?" tanya mas Gandung akhirnya."Tentu saja!" sahut ibu cepat. "Apakah Mayang akan setuju?" tanya mas Gandung ragu."Setuju tidak setuju, dia tidak punya hak untuk menolak," jawab ibu tegas.Aku dan bapak diam saja mendengar pembicaraan antara ibu dan mas Gandung. "Bukankah sepertinya aku yang hendak Ibu hukum di sini?" tanya mas Gandung lirih.Mendadak ibu tertawa keras-keras."Tentu saja bukan," sahut ibu di sela tawanya," kalau Mayang yang berselingkuh, tidak mungkin kamu yang dihukum.""Sebenarnya apa yang Ibu bicarakan sama Mas Gandung?" tanyaku tidak sabar. Meskipun sebenarnya aku sudah bisa meraba arah percakapan mereka."Ibu
"Sudahlah Bu, kita abaikan saja masalah ini untuk sementara! Kita prioritaskan dulu kesembuhan Mayang!" Kudengar suara bapak menasehati ibu. Sebenarnya aku sudah siuman dari beberapa saat yang lalu. Tapi karena kudengar bapak dan ibu tengah berbicara tentangku. Aku memilih tetap memejamkan mata."Geram rasanya hatiku, Pak! Kalau tidak ingat dia itu masih suaminya Mayang, pasti dah lama kujebloskan dia itu ke penjara. Dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga." Kali ini ibu yang berbicara.Ibu tahu yang dilakukan mas Gandung terhadapku bisa di masukkan ke dalam tindakan KDRT. Karena KDRT tidak hanya dalam bentuk kekerasan secara fisik saja. Tapi juga segala tindakan yang bisa membuat si korban tertekan secara mental juga."Memang bodoh benar anak kau itu, Pak! Dijodohkan sama lelaki baik-baik, hidupnya sudah mapan pula malah tidak mau. Sekarang dia rasakan menikahi berandalan pengangguran itu. Dia rasakan sakitnya punya suami yang hanya bermodal dengkul itu! Modal dengkul kalau baik,
Mbak Sri masih memijat kedua kakiku."Diminum dulu Mbak, wedang jahenya!" Mbak Sri berdiri. Mengambil segelas wedang jahe dan sepiring pisang goreng crispy.Aku minum wedang jahe yang sudah hangat-hangat kuku itu. Sembari bercerita dengan mbak Sri, aku memakan pisang goreng crispy kesukaanku. Tak perlu waktu lama, kedua hidangan yang diberikan mbak Sri itupun sukses berat masuk ke dalam perutku. Mbak Sri berdiri sebentar untuk mengemasi gelas dan piringku. Lalu kembali memijat dan mengurutku.Aku memejamkan mata. Rasa nyaman mulai menjalari tubuhku ketika mbak Sri mulai intens mengurut badanku. Setahun sudah aku tak pernah merasakan sentuhan relaksasi seperti ini. Dan karena merasa keenakan, rasa kantukpun perlahan menyerangku. Membuatku menguap beberapa kali."Mbak Mayang tidak berubah ya? Kalau sudah dipijit pasti langsung tidur."Masih sempat kudengar suara mbak Sri. Samar-samar. Sebelum akhirnya aku benar-benar tertidur dan terlelap dalam mimpi.******"Mayang! Bangun! Dah sore!"
Geri yang menyadari perubahan sikap Mas Gandung segera berdiri dan memohon diri pamit pada bapak dan aku."Saya pamit dulu, Pak! Mbak Mayang!" Geri menyalami bapak dan aku.Aku tak tahu. Apakah bapak tahu perseteruan antara Mas Gandung dengan Geri apa tidak."Iya, iya... mampir saja kalau sedang di rumah Pak Johan!" kata bapak pada Geri. Entah benar-benar tulus menawarkan atau hanya basa basi saja."Siap, Pak!" jawab Geri tersenyum mengangguk. Geri juga mengangguk ke Mas Gandung. Tapi Mas Gandung membuang muka.Setelah Geri berlalu bapak mempersilakan Mas Gandung masuk ke rumah. "Silakan ngobrol dulu sama Mayang, Nak Gandung! Bapak ke belakang sebentar!" kata bapak.Setelah itu bapak pergi ke belakang meninggalkan kami berdua."Apa kau menghubungi dia agar mendatangimu sampai ke sini?" tanya Mas Gandung menatapku tajam. Penuh kecurigaan."Dia siapa?" tanyaku balik bertanya. Meskipun sebenarnya aku tahu dia siapa yang dimaksud mas Gandung. Pasti Geri."Gak mungkin dia bisa sampai kes
"Ya, Om?" Aku mengernyitkan kening. Menunggu kelanjutan omongan om Hendri yang sepertinya sengaja diputus."Kalau kesini minggu depan, gak usah ngajak bodyguard lagi!" jawab om Hendri tersenyum sambil ekor matanya mengarah ke ibu.Ibu tahu maksud om Hendri. Merasa tak terima diolok om Hendri, ibu langsung berdiri. Tangan ibu cepat meraih sekotak tissue di atas meja. "Dasar kau ya!!" Ibu memaki. Melempar tissue itu ke arah om Hendri.Om Hendri tergelak. Tertawa puas. Merasa berhasil mengerjai ibu. Aku hanya tersenyum menggeleng-gekengkan kepala melihat tingkah mereka berdua. Memang selalu begitu sejak dulu. Perhatian, gurauan dan pertengkaran kecil seringkali mewarnai kebersamaan mereka."Jangan dengarkan omongan Om-mu!" sungut ibu. Bicara padaku."Seorang klien harus mendengarkan dan menuruti omongan lawyer-nya," kata om Hendri padaku.Aku menatap ibu dan adik lelakinya itu bergantian. Aku merasa terjebak diantara percakapan keduanya."Aku sudah tahu masalah Mayang versi Mbak Sita. A
Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku."Mas Gandung?!"Kulihat Mas Gandung berlari kecil menghampiriku."Akhirnya aku bisa bertemu denganmu!" kata Mas Gandung yang membuatku mengernyitkan dahi. Memangnya selama ini dia tidak bisa menemuiku? Bukankah dia sendiri yang tak mau menemuiku? Atau apakah selama ini ibu melarang mas Gandung menemuiku? "Kau? Semakin cantik kamu sekarang!" puji mas Gandung ketika menatapku. Memindaiku dari atas hingga bawah. Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya. Mungkin karena perawatan di salon Tice tadi."Aku yakin kamu sudah sembuh sekarang" kata mas Gandung," kenapa kamu tidak balik ke rumah?"Aku diam. Tak menjawab pertanyaannya."Aku kangen kamu!" kata mas Gandung lagi. Kali ini tangannya menggenggam kedua tanganku," memangnya kamu gak kangen sama aku?""Mayang?!!" Suara ibu yang memanggilku membuatku kaget. Ibu sudah duduk dibelakang kemudi mobil."Sebentar, Bu!" sahutku sembari melepas tangan mas Gandung yang masih memggenggam tanganku."Apa kam
Aku ternganga dan menutup mulutku secepatnya. Tak percaya ketika melihat poster-poster besar yang menempel di dinding ruangan. Semuanya berisi gambarku. Ada posterku saat berambut panjang dan berikat kepala bendera Amerika Tengah memainkan gitar. Berpose ala Axl Rose, vokalis Gun'n Roses. Ada juga poster hitam putih saat aku memakai jaket kulit. Berphoto bersama vokalis Gigi, Armand Maulana yang juga berkostum sama. Juga photoku bersama Luki, vokalis Resonansi, band kampusku dulu. Aku mendekat ke poster terakhir. Sebuah photo wisuda sarjanaku. Aku berdiri di tengah. Memakai toga. Membawa buket bunga. Diapit bapak dan ibu yang tersenyum bahagia.Aku menggelengkan kepala. Tak percaya. "A-appa maksud semua ini, Bu?" Aku menatap ibu yang tengah berdiri dan bersandar di dinding. Bersidekap dada."Apa kau suka?" Ibu malah balik bertanya. Tanpa melihatku. Ekspresinya datar saja. Matanya menatap ke poster-poster di dinding. "Tapi apa maksud ini semua, Bu?" Aku masih bertanya hal yang sama t
Aku beranikan mendekati Geri ketika dia tak juga bergerak dari tempat tidur. Aku naik keatas ranjang. Beringsut mendekati tubuhnya yang tengah terbaring. Kuperhatikan sebentar wajah itu seperti tertidur. Apa mungkin Geri lelah setelah di perjalanan tadi sementara kondisi dia juga sedang sakit. "Ger?!" panggilku lirih. Khawatir mengagetkannya.Geri tak menyahut. Entah memang tak mendengar karena tertidur atau hanya pura-pura.Aku jadi bingung harus berbuat apa. Di kamar berdua bersama Geri seperti ini jujur saja membuat hatiku tidak tenang.Aku membalikkan badan dan bermaksud turun dari tempat tidur ketika tiba-tiba dikejutkan tangan Geri yang mencekal pergelangan tanganku dari belakang.Aku menoleh. Bersamaan dengan Geri yang langsung bangun dan duduk berhadapan denganku."Kau?!" Aku terkejut menatap wajahnya.Geri juga menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Aku berusaha melepaskan cekalan tangannya. Tapi Geri tak mau melepaskan."Geri? Aaa..aku...!" Belum sempat aku me
Aku tak begitu menanggapi candaan Geri. Takutnya kalau kutanggapi malah ngelantur kemana-mana. "Kok nggak respon, Mbak?" tanya Geri menyalakan sebatang rokok. Dibukanya sedikit kaca jendela mobilku."Takutnya kebablasan jadi dukun cabul."Ups! Rasanya hendak kutarik ucapanku barusan. Padahal sebelumnya sudah kuniati untuk tak menanggapi omongan Geri. Namun kenapa malah omongan itu yang justru keluar dari bibirku.Geri sontak menoleh mendengar ucapanku. Entah apa maksudnya."Bercanda!!" sanggahku cepat. Agak malu juga sebenarnya kenapa aku menanggapi ocehannya tadi."Kalau dokter cinta saja gimana, Mbak?" tanyanya.Yaelah! Untung sudah sampai ke kantor om Hendri. Jadi aku tak perlu lagi menjawab pertanyaannya."Ikut turun?" tanyaku membuka handle pintu mobil. Geri ikut membuka pintu mobil dan turun bersamaku memasuki kantor om Hendri.Om Hendri yang memang sudah menyuruhku datang ke kantornya sedari kemarin juga sudah menungguku di ruang kerjanya.Tak banyak yang aku ceritakan karena
"Emangnya Ibumu ini punya tampang kriminal?" Ibu malah balik bertanya. Menjitak kepalaku. Lagi-lagi aku meringis."Berarti Ibu cuma menggertak saja kan?" tanyaku." Hemmm!" Aku bernapas lega. Tak bisa aku bayangkan jika memiliki ibu seorang pembunuh. Hih, aku tergidik ngeri."Makanya cepat diurus perceraianmu dengan suamimu itu! Besok Om Hendri nyuruh kamu datang ke kantor," kata ibu memberitahuku."Tanyakan sama Om Hendri bagaimana secepatnya perceraian itu bisa di proses agar tak berlarut-larut," kata bapak menambahi perkataan ibu.Waktu berjalan tanpa terasa saat kami bertiga mengobrol.Aku menguap beberapa kali sebelum akhirnya ibu menyuruhku tidur."Sana, istirahat! Kalau kamu sudah menguap terus itu tandanya tubuhmu perlu tidur! Istirahat! Masuk kamar sana! Ibu masih ingin ngobrol dulu sama bapakmu!" usir ibu sambil mendorong tubuhku agar masuk kamar."Iyalah, Bu...Pak, Mayang tidur dulu lah," sahutku sambil menguap lagi. Setelah itu aku bergegas masuk kamar.******Pagi-pagi s
Sreek.Sreek.Dengan gerakan cepat. Ibu menarik pelatuk senapan laras panjang. Benda yang diambilnya dari dalam rumah. Mengarahkannya ada mas Gandung.Astaghfirullah! Aku menutup mulutku karena ketakutan."Masya Allah, Bu! Jangan lakukan itu! Sabar, Bu!" Bapak gegas menghampiri ibu dan berusaha menurunkan tangan ibu yang lurus mengarah ke mas Gandung."Pergi dari rumahku!!! Atau kau akan pulang tinggal nama!!" teriak ibu dari arah pintu. Tetap mengarahkan senapan laras panjang itu ke mas Gandung.Mas Gandung yang sempat terkejut. Kini malah semakin terpaku di tempatnya berdiri. Seolah tak menyangka kalau ibu akan berbuat senekat itu Aku sendiri juga tak tahu entah darimana ibu memiliki senapan itu."Ibu hanya menggertakku, kan?" tanya mas Gandung lirih.Ada keraguan dalam nada bicaranya. "Nak Gandung, tolonglah tinggalkan tempat ini segera!" kata bapak pada mas Gandung.Mas Gandung menatap bapak dan ibu bergantian."Kalian mencoba menakuti aku kan? Dengan senapan mainan itu?" tanya m
"Aku belum selesai bicara!" kata mas Gandung menarik tubuhku hingga berdiri di hadapannya."Mau bicara apa lagi?""Jauhi lelaki itu!" kata mas Gandung. Mirip sebuah ancaman.Aku menghela nafas kasar. Bagaimana bisa mas Gandung menyuruhku menjauhi lelaki bernama Juan itu. Sementara aku memang tidak pernah dekat dan tidak pernah menjalin hubungan apapun dengannya."Kau dengar yang aku bilang?" tanya mas Gandung. Seolah hendak memastikan kalau telingaku ini masih sanggup berfungsi dan mendengar perkataannya.Aku mengangguk. Aku tak ingin memperpanjang masalah. Terus terang pertengkaran demi pertengkaran yang aku alami membuatku merasa sangat lelah."Kau harus janji!" kata mas Gandung setengah memaksa.Aku mendongakkan kepala yang rasanya sudah berdenyut-denyut. Pukulan dan tamparan yang aku terima di awal pertengkaran tadi baru terasa akibatnya sekarang."Iya!" jawabku datar. Tanpa ekspresi. Dan aku memang tak lagi merasakan apapun pada lelaki yang tengah berdiri di hadapanku ini selain r
Aku menatap tak percaya pada mas Gandung. Apa dia tidak berpikir kalau permintaannya itu sangat tidak masuk akal? Bahkan akan membuat bapak dan ibu semakin ilfeel padanya."Kenapa?" tanya mas Gandung sedikit terkejut dengan reaksiku yang tidak seperti biasanya."Apa Mas nggak malu meminta uang pada orang tuaku? Mas kan tahu bagaimana sikap Ibu pada Mas?" tanyaku sekaligus menjawab pertanyaan mas Gandung."Ya kamu jangan bilang dong, kalau yang makai uang itu ibunya Mas" mas Gandung masih mencoba membujukku."Dengar ya Mas! Selama aku disini saja aku diurus sama Bapak dan Ibu. Mas saja nggak pernah memberi aku uang. Lhah ini malah ibunya Mas yang minta ke aku. Kenapa bukan Mas saja yang memberi uang pada ibunya Mas?" tanyaku mulai geram."Mas kan belum kerja, Yang! Nanti Mas ganti kalau Mas sudah dapat kerjaan!" jawab mas Gandung dengan percaya diri."Kapan Mas bisa dapat kerjaan? Mas aja selama ini nggak pernah mau cari kerja!" sahutku kesal. Mas Gandung selalu memilih-milih pekerjaan.
Untung saja mobil yang sekarang ada aku dan Geri didalamnya sudah memasuki pelataran rumah om Johan. Halaman rumah om Johan memang sangat luas karena punya usaha mebel yang sangat besar. Jadi mobil-mobil truk maupun pick up sering lalu lalang di situ."Yaaahh!" Geri mendesah. Seperti kecewa."Kenapa?" tanyaku. Walaupun aku sudah tahu dia sebenarnya tak ingin mobil ini sampai ke rumah om Johan seperti yang dia bilang. Kumatikan mesin mobil dan berniat keluar. Namun urung kulakukan karena kulihat tak ada pergerakan dari Geri untuk keluar dari mobil."Kok nggak turun?" tanyaku menoleh ke arahnya. Geri malah menyandarkan badannya ke jok mobil. Matanya terpejam. "Ger?!" panggilku sambil menepuk lengnnya.Geri membuka matanya. Sesaat mata kami bertemu. Dan meski hanya sesaat, hal itu membuat aku sedikit gugup. Sejurus kemudian aku lihat senyum terkembang dari wajah tampan milik Geri."Aku turun!" kata Geri masih dengan senyumannya. Menarik handle pintu mobil dan membukanya. Keluar dari mob
"Apa Mbak Mayang beneran mau jadi istri saya?"Hah! Pertanyaan Geri membuat aku terperangah. Ini orang ya? Apa segitunya ingin menikah denganku?"Yang ada sepertinya malah kamu lho yang pingin banget jadi suami aku!" jawabku setengah tertawa. Entah tertawa bahagia karena keGRan atau tertawa kebingungan karena tak tahu harus menjawab bagaimana. "Itu sih jelas banget Mbak Mayang. Tapi kan saya pingin tahu juga perasaan Mbak Mayang. Jangan sampai rasa cinta saya bertepuk sebelah tangan," sahut Geri.Aku tertawa lagi. Jadi teringat lagu Dewa "Pupus" saat Geri berkata tentang cinta bertepuk sebelah tangan."Menurutmu gimana?" pancingku."Menurut saya sih Mbak Mayang nggak keberatan," jawab Geri penuh percaya diri. Alamak! Haruskah aku bahagia ataukah harus protes karena terus menerus terkaget-kaget mendengar ungkapan cinta Geri selama seharian ini."Benar kan, Mbak?" tanya Geri setengah mendesakku. Aku tersenyum kecut. Kalau pertanyaannya sudah seperti aku harus jawab apa coba? "Diam, b
Dengan perlahan aku menurunkan lengan Geri yang tadi aku angkat. Aku jadi merasa sedikit malu karena Geri memergoki aku tengah memberi perhatian padanya. Sedikit sih.Mata hitam Geri menatapku lekat-lekat. Bukannya tadi Geri sedang tidur? Mengapa cepat sekali dia terbangun?"Mbak Mayang ngapain?" tanya Geri masih menatapku. Aku tersenyum setengah malu."Itu... selang infusnya tertindih lengan kamu, jadi aku benerin. Maaf ya kalau kamu lalu jadi terbangun!" jawabku. Jujur sih. Karena apa yang aku lakukan tadi memang tulus tanpa modus apapun.Geri tersenyum mendengar jawabanku. Mungkin bahagia karena mendapat perhatian dari calon ibu dari anak-anaknya. Yaelah! Ini sih virus Geri dah mulai mengkontaminasi otakku, batinku. Mungkin juga setengah halu.Rasanya aku sudah berjam-jam nungguin di rumah sakit. Namun om Johan maupun bapak tak juga muncul. Apa belum selesai juga urusan kecelakaan tadi? Batinku."Mbak Mayang nggak lapar?" tanya Geri padaku.Aku tertawa. Bukannya aku yang seharusn