“Masuk!” pekik Evan saat mendengar pintu ruang kerjanya diketuk seseorang.Beberapa detik kemudian, Evan menoleh karena orang yang baru saja memasuki ruangannya tidak kunjung bicara.“Han?” Saat Evan tiba, kursi kerja Hana masih kosong, hingga ia mengira wanita itu akan izin lagi hari itu.“Aku mau ngasih jadwal kamu hari ini.”Evan terdiam. Bisa dilihatnya raut wajah Hana yang pucat, ditambah lagi gesture-nya yang seolah siaga, berdiri tidak terlalu jauh dari pintu, tidak seperti biasanya.“Kamu udah enakan? Kok udah masuk?”Pertanyaan bodoh sebenarnya kalau Evan sadar. Hari sebelumnya Hana pasti izin bukan karena tidak enak badan, melainkan karena kejadian di kamar hotel yang mungkin masih mengganggu pikirannya.“Aku penderita PTSD kalo kamu lupa, dan penderita PTSD punya tendensi untuk menyakiti diri sendiri, itu yang sedang aku lakukan.” Entah ucapan itu benar atau tidak, tapi memang menyakitkan untuk Hana, bahkan sekadar untuk menatap lelaki di depannya itu.Evan menghela napas,
"Evan, senyum dong. Kamu kayak mau dibawa ke tiang gantungan," ucap mamanya berusaha mencairkan suasana tegang di kamar hotel itu.Hari ini, Evan harus mengubur semua mimpinya, meninggalkan usaha yang dirintisnya demi memenuhi permintaan orang tuanya untuk terjun ke dalam perusahaan keluarga ayahnya."Ma ...." Masih ada waktu, mungkin ia masih bisa meyakinkan mamanya untuk membatalkan permintaan mamanya itu."Evan, maafin Mama ya," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kalo aja ayahmu masih muda, Mama nggak akan minta kamu buat ngelakuin yang sebenernya nggak kamu suka. Maafin Mama ya, Van."Melihat sudut mata mamanya yang sudah basah, tangan Evan langsung menggenggam tangan mamanya. "Nggak apa-apa, Ma. Aku ... coba ngerti. Ini tanggung jawabku sebagai anak sulung."Evan mencoba tersenyum di depan mamanya, walau hatinya juga hancur."Hei, Van! Kamu apain Mama kamu sampe matanya berkaca-kaca?" tanya ayahnya panik begitu keluar dari kamar mandi."Posesif," ledek Evan saat melihat kebucinan
"Evan!" Hana menatap Evan yang bersandar pada dinding, berusaha untuk berdiri tegap walaupun kesulitan."Panggil ... aku 'Pak'!" ucap Evan dengan nada yang menyiratkan kalau dia sudah benar-benar mabuk."Kita udah di rumah, Van. Aku nggak perlu manggil kamu 'Pak'. Oh please, Van. Aku juga pusing banget gara-gara kamu paksa minum."Evan terkekeh, kemudian menatap Hana tanpa berkedip. "Bohong!""Aku mau balik ke kamarku," ucap Hana tegas. Kepalanya semakin berdenyut dan matanya hampir menutup karena kantuknya tidak tertahan lagi. Hana lantas melangkah, mengabaikan Evan dengan segala ucapannya yang mulai tidak masuk akal.Tapi lagi-lagi Evan menariknya, kali ini hingga ke arah kasur dan mendorong Hana dengan cukup keras.Hana menggeram kesal. Namun sepertinya Evan tidak memperhatikannya."Kamu asistenku," ucapnya sambil menyeringai dan menahan tangan Hana.Meskipun Evan sedang mabuk, tapi tenaganya nyatanya masih bisa untuk mendorong dan menahan Hana dengan posisi mengungkungnya di atas
Letta mematung di depan pintu, sebelum akhirnya berhasil menguasai diri dan berjalan ke arah kasur untuk menyeret anaknya agar bangun. Sementara Hana yang kini telah berdiri dengan hanya mengenakan kemeja Evan, menambah pemandangan yang membuat Letta menghela napas."Evan!" Letta memukul betis Evan yang sedang tengkurap, berkali-kali, karena hanya itu area yang bisa dijangkau Letta.Meskipun Evan sering berolah raga, terutama pergi ke gym, hingga otot-ototnya tidak perlu diragukan lagi bagaimana liatnya, pukulan mamanya yang merupakan pemegang sabuk hitam tae kwon do dan mantan atlet tae kwon do saat SMA tidak perlu ditanya lagi kekuatannya.Evan langsung berteriak pada pukulan kedua, dan masih terus berteriak karena mamanya belum berhenti memukulnya. Pada akhrinya, entah di pukulan yang ke berapa, Evan tidak kuat lagi dan bangkit dari posisinya. Ia berdiri di atas kasur mengambil jarak sejauh mungkin dari mamanya."Mama kenapa sih?" tanya Evan bersungut. Tidak biasanya mamanya memban
"Kak, ngerasa aneh nggak sih sama suasana makan tadi?" tanya Elga yang mengekori Elaksi menuju kamarnya usai sarapan."Aneh gimana?" Elaksi memang paling cuek di antara tiga bersaudara itu, karenanya ia tidak memperhatikan hal-hal detail seperti adiknya, Elga yang berbeda delapan tahun darinya itu."Mama sama Ayah kayak kelihatan tegang gitu. Trus Mas Evan kayak ketakutan gitu, nunduk terus. Apa Mas Evan ngelakuin kesalahan ya, Kak?""Ya ampun, El. Mas Evan udah sedewasa itu, bukan anak sekolahan lagi yang ketahuan nilainya jelek atau cabut dari sekolah. Kesalahan apa yang bisa bikin dia ketakutan kayak asumsimu? Tidur sama cewek?""Hush! Kakak ah. Ngomongnya itu loh."Elaksi terbahak melihat adiknya yang bergidik ngeri sambil merebahkan diri di kasurnya.Di keluarga Cakrawangsa, tidak mengenal istilah seks sebelum menikah. Ares dan Letta selalu mengajarkan kepada mereka untuk tidak melakukannya sebelum menikah. Ares tahu hal itu sulit, di zaman sekarang yang serba bebas, apalagi jik
"Kenapa kamu masih di kamarku?" tanya Hana yang mendapati Evan masih berada di dalam kamarnya."Ini gudang," balas Evan. "Mama bilang apa?"Hana terdiam, ia masih mengingat bagaimana raut wajah mama Evan saat memintanya menikah dengan Evan. Wanita itu bahkan memohon kepadanya, bukan hanya sekadar meminta.Kecelakaan yang dialami orang tuanya saat ia masih duduk di bangku kelas 2 SD membuatnya benar-benar terpuruk. Menjadi seorang anak yatim piatu tidak pernah ada dalam bayangannya. Sejak itu, Hana tinggal dengan kakek dari pihak ibunya, namun sekitar dua tahun kemudian, kakeknya juga meninggal karena sakit. Ia tidak bisa tinggal di keluarga ayahnya, karena ayahnya hanya punya saudara jauh, tidak ada keluarga inti yang bisa merawat Hana.Sejak itu, Ares dan Letta merawat Hana layaknya anak sendiri. Tidak pernah sekali pun Ares dan Letta membedakan perlakuan mereka terhadap anak kandung mereka dan Hana.Karena itu lah, Hana menyayangi dan menghormati Ares dan Letta layaknya orang tua se
"Selamat pagi, Pak," ucap Hana sambil menunduk singkat saat melihat Evan melewati mejanya untuk masuk ke dalam ruangan.Evan tidak menjawab sapaan Hana, bahkan melemparkan senyuman pun tidak.Hana mengoceh tanpa suara melihat kelakuan Evan padanya."Mbak Hana kenapa?" tanya seorang cleaning service yang bertugas membersihkan lantai itu saat melihat mulut Hana komat-kamit.Hana mencebik kesal. "Tuh, bos songong," jawabnya singkat."Oh, bos yang baru ya, Mbak? Anaknya Pak Ares? Masa sih songong, Mbak? Pak Ares baik banget loh.""Nggak semua buah jatuh deket pohonnya, Mbak. Kali aja buahnya sebelum jatuh ke tanah udah kesundul sama jerapah, trus nggelundung jauh," jawab Hana asal.Cleaning service bernama Tina itu terbahak mendengar gerutuan Hana di pagi hari. "Tapi ganteng, Mbak. Wajar songong.""Ih." Hana makin berdecak kesal mendengar pujian Tina terhadap Evan. "Teori dari mana itu?"Mengabaikan Tina yang masih mengelap dispenser sambil terkekeh, Hana memilih mengetuk pintu ruangan Ev
"Mana bahan buat meeting siang ini?" tanya Evan sedikit berteriak kesal pada Hana yang baru masuk ke dalam ruangannya."Kan sudah saya email, Pak," jawab Hana juga tak kalah kesalnya."Saya mau print out-nya," desak Evan.Hana mengernyit, tapi kemudian menurut pada Evan. "Sebentar, Pak," ucap Hana sambil menahan geraman kesalnya. Ia keluar ruangan Evan dan kembali tak lama kemudian. "Jadi, mulai sekarang Pak Evan maunya bentuk print out, bukan softcopy via email?" tanya Hana memastikan."Ya terserah saya mau bentuknya apa," jawab evan dingin.Ingin rasanya Hana mencekik laki-laki di depannya ini. Padahal dulu saat menjadi asisten Direktur Utama, pekerjaannya tidak seruwet ini. Hey, Evan hanya Direktur Pengembangan Usaha dan tingkahnya melebihi Komisaris Utama."Baik, Pak. Lain kali saya tanyakan dulu ke Pak Evan. Maaf, soalnya saya baru tahu kalau untuk bahan meeting pun harus mengikuti mood Pak Evan yang naik turun." Hana lantas pergi begitu saja setelah menyentil ego Evan.Evan mend
“Masuk!” pekik Evan saat mendengar pintu ruang kerjanya diketuk seseorang.Beberapa detik kemudian, Evan menoleh karena orang yang baru saja memasuki ruangannya tidak kunjung bicara.“Han?” Saat Evan tiba, kursi kerja Hana masih kosong, hingga ia mengira wanita itu akan izin lagi hari itu.“Aku mau ngasih jadwal kamu hari ini.”Evan terdiam. Bisa dilihatnya raut wajah Hana yang pucat, ditambah lagi gesture-nya yang seolah siaga, berdiri tidak terlalu jauh dari pintu, tidak seperti biasanya.“Kamu udah enakan? Kok udah masuk?”Pertanyaan bodoh sebenarnya kalau Evan sadar. Hari sebelumnya Hana pasti izin bukan karena tidak enak badan, melainkan karena kejadian di kamar hotel yang mungkin masih mengganggu pikirannya.“Aku penderita PTSD kalo kamu lupa, dan penderita PTSD punya tendensi untuk menyakiti diri sendiri, itu yang sedang aku lakukan.” Entah ucapan itu benar atau tidak, tapi memang menyakitkan untuk Hana, bahkan sekadar untuk menatap lelaki di depannya itu.Evan menghela napas,
Intro lagu dari Sam Smith yang berjudul Too Good at Goodbyes mengalun pelan dari ponsel Hana. Sengaja ia meletakkan ponselnya di ruang makan sementara ia berada di sofa ruang tamu, hanya untuk mencegahnya menghubungi Evan terlebih dulu, sebelum ia bisa menenangkan diri.Dengan malas, Hana memaksakan kakinya untuk melangkah menuju meja makan, sekadar untuk mengetahui siapa yang meneleponnya berulang sejak tadi.Elga. Hana setidaknya merasa tenang begitu melihat caller id yang muncul di layar ponselnya."Ya, El?""Kak, lama banget ngangkatnya." Suara Elga terdengar sedikit kesal."Sorry, tadi Kakak di depan TV. Kenapa?""Mas Evan nitip pesen, katanya barang-barang Kak Hana yang mau dibawa ke rumah baru kalian, udah bisa mulai di-packing."Hana mengernyit bingung. Ia benar-benar belum mengerti ke mana arah pikiran Evan. Evan masih mau melanjutkan pernikahan mereka?"Kak?" Elga memanggil Hana sekali lagi karena tidak mendengar sahutan dari Hana."Iya iya, nanti kakak packing. Masmu udah p
"Meeting kali," jawab Hana berusaha mengalihkan pembicaraan."Iya, meeting. Mempertemukan apa yang perlu dipertemukan.""Apa sih, Van? Kamu udah beres-beresnya? Aku mau beres-beres juga, biar kita bisa cepet pulang."Evan mengerucutkan bibir. "Bisa check out besok siang loh padahal. Sayang nggak sih kamar hotelnya? Mending dipake dulu.""Aku sih lebih sayang nyawamu daripada kamar hotel.""Hah? Apa hubungannya sama nyawaku?""Iya, kalo kita nggak balik, nanti malem pasti Om sama Tante nyamperin ke sini, siap nendang kamu."Evan terkekeh, membiarkan Hana bangkit dari posisinya meskipun rasanya tak ingin. Evan melirik sebentar ke arah ponselnya yang ia letakkan di atas nakas kemudian menatap ke arah Hana. 'Kamu punyaku, Han.'Setelah berhasil melepaskan diri dari Evan, Hana melangkah menuju kulkas mini yang berada di dalam kabinet bawah televisi. Evan hanya bisa menatap Hana dengan bigung. Untuk apa wanita itu tiba-tiba membuka kulkas setelah bangun tidur.Masih dengan mengenakan kemeja
-Group Whatsapp E3H (Evan Elaksi Elga Hana)-Elaksi: Aku baru jalan dari BogorElaksi: Ada yang masih kurang? Biar aku minta stafku buat ngurusEvan: Udah, kamu fokus aja nyetir, jangan mikirin yang di siniEvan: Kan mas udah nyuruh orang buat ngerjainElga: Aku udah di kamar hotel sama Kak HanaEvan: Mas udah di lobbyEvan: Mas naik ke kamar sekarang gapapa kan?Elga: Ok, udah ready kok Kak HanaEvan: Yaaa, telatElga: Bilangin Mama nihElaksi menggeleng-gelengkan kepala melihat chat group yang hanya berisikan dirinya, kedua saudaranya, dan beberapa hari sebelumnya Evan menambahkan Hana ke dalam whatsapp group itu.Harusnya, Elaksi mengurus segala hal yang berkaitan dengan pernikahan kakaknya, tapi sayang untuk kali ini ia tidak bisa membantu karena ada salah satu kliennya di Bogor yang mendadak memajukan tanggal pernikahan, dan ternyata bentrok dengan persiapan foto prewedding kakaknya.Evan juga menolak saat Elaksi menunjuk stafnya untuk membantu Evan dan Hana. “Cuma foto prewed do
“Udah cakep, Han,” ledek Letta yang melihat calon menantunya masih terpekur di depan cermin.Pagi itu, kediaman keluarga Cakrawangsa sudah disibukkan dengan persiapan acara keluarga untuk syukuran sekaligus mendoakan kelancaran rencana pernikahan Evan dan Hana.“Tante butuh bantuan? Bentar lagi aku turun kok,” ucap Hana yang merasa tidak enak karena sejak pagi semua orang melarangnya untuk ikut membantu persiapan acara.Letta menggeleng. “Udah banyak yang bantuin, makanan juga pake catering kan, kita tinggal nunggu keluarga dateng aja.”“Tante, semuanya dateng ya, Tan?” Hana terlihat cukup resah. Sebenarnya ,Hana sudah mengenal semua anggota keluarga Evan, baik dari pihak mamanya ataupun ayahnya. Tapi tetap saja, ia gelisah. Apalagi keluarga dari pihak ayah Evan adalah keluarga besar.“Deg-degan ya? Kamu kan udah kenal mereka semua.”Hana mencoba tersenyum walau tetap saja tidak bisa menutupi rasa gelisahnya.“Ada yang mau Tante omongin. Lebih tepatnya, Tante mau ngasih peringatan ke
Evan melajukan mobilnya, berusaha menembus kepadatan jalan raya di saat rush hour. Jantungnya mulai menggila setelah mendengar kabar tentang Hana dari mamanya. Tanpa pikir panjang, ia menghubungi Hana, tetapi justru adiknya, Elga, yang menjawab, mengatakan kalau Hana berada di apartemen dan tidak bisa mengangkat telepon.Separah itu kah keadaannya sampai tidak bisa mengangkat telepon?Orang tua Evan juga bergegas menuju mobil yang dikendarai supir keluarga mereka, tapi tentu saja kecepatan supirnya kalah telak dibanding Evan yang menyetir seperti orang kesetanan.***"El, tolongin kakak buka pintunya, El." Hana tidak bisa meninggalkan apa yang sedang dikerjakannya, karena itu, ia meminta Elga untuk membuka pintu setelah mendengar bunyi bel berulang kali.Elga memang datang ke apartemen Hana sore itu. Semula ia ingin pergi ke kantor ayahnya dan meminta tumpangan pulang, tapi urung dilakukannya karena jarak apartemen Hana lebih dekat dengan tempat ia hang out bersama teman-temannya.Ba
"Kesel banget gue sama dia." Hana menggeram tertahan."Kenapa lagi sih? Perasaan kemaren udah baekan. Kemaren sore bukannya udah pulang bareng?" Ribka menatap Hana dengan bingung.Keduanya tidak sempat makan di luar kantor karena harus menyiapkan meeting, dan akhirnya memilih makan siang di kantin kantor, daripada di atas meja kerja.Evan? Hana sudah menawarinya makan siang, tapi lelaki itu kembali ke mode dinginnya.“Gue rasa ya, di belakang punggungnya ada tombol on/off deh,” ucap Hana asal.Ribka terbahak meskipun belum mengerti ke mana arah pembicaraan Hana, namun yang jelas Ribka merasa lega melihat Hana bisa menceritakannya dengan terang-terangan. Ia tidak pernah suka melihat Hana menyembunyikan masalahnya. “Jadi lo udah grepe-grepe punggungnya?”“Astaga, Ribka! Mulut dijaga woy.”“Ya habisnya gue nggak ngerti maksud lo apa, trus apa lagi barusan ngomongin punggungnya, ya jangan salahkan
“Van.”Suara mamanya terdengar memanggil Evan saat ia baru saja menginjakkan kaki ke dalam rumah.Evan memang pulang agak telat dan tidak ikut makan malam bersama, wajar kalau mamanya menunggu di ruang keluarga sembari berkutat dengan laptopnya. Bukan berarti dia anak mama, tapi memang begitu perlakuan di keluarga Cakrawangsa, tidak hanya berlaku untuk Evan, tetapi juga untuk kedua adiknya, dan bahkan Hana kalau sedang menginap di sana.“Mama ngapain?”“Nunggu kamu,” jawab Letta singkat sambil tetap mengutak-atik keyboard laptop-nya.“Iya, aku tau. Maksudku itu loh, Mama lagi ngerjain apa, kok jam segini masih main laptop, bukannya kayak ibu-ibu lain yang nonton sinetron.”Letta berjengit ngeri mendengar seloroh Evan. “Enak aja! Mama? Nonton yang ribuan episode itu? Makasih deh.”Evan menatap layar yang sejak tadi dilihat mamanya dan seketika ia menelan ludahnya. Mamanya, seo
Ribka mengendap-endap undur diri dari suasana tegang di depannya. Evan masih menatap Hana, menunggu jawaban yang tidak kunjung keluar dari wanita itu.“Ke ruanganku, cerita di dalem!” Evan berbicara dengan nada memerintah dan berjalan lebih dulu masuk ke ruangannya.Hana mengekori Evan, beberapa langkah di belakangnya. Ia ikut masuk sebelum pintu ruangan Evan menutup sempurna.“Duduk!”Evan benar-benar terlihat seperti atasan yang hendak memarahi bawahannya. Bahkan ia mengambil posisi setengah bersandar pada meja kerjanya, meminta Hana duduk di kursi tamu yang ada di depan meja kerjanya, bukan di sofa seperti dulu kalau mereka sedang berbincang.“Kamu diapain?” tanya Evan lagi setelah Hana duduk di kursi yang ditunjuknya.“Kamu pikir dia bakal ngapain aku?”“Dia itu terkenal player dari jaman kuliah dulu, sampe sekarang juga dia belum berubah, nganggep cewek kayak tisu yang abis di