Beranda / Romansa / Excite 17 / The Punishment

Share

The Punishment

Penulis: Cho Ana
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-08 20:09:30

"Ibu pulang!"

Aku memalingkan wajah dari layar ponsel, menyelinguk ke belakang, melihat Ibu masuk dengan satu kantong plastik di tangan kirinya. 

"Udah makan, Mit?"

Cepat-cepat Aku menaruh ponsel, menurunkan ujung kakiku dari atas meja, kemudian menghampiri Ibu. 

"Belum, Bu." Aku merebut kantong plastik di tangan Ibu. Mengintip apa yang ada di dalamnya. Aku sudah menduga isinya, setiap pulang Ibu pasti membawa makanan. Tapi aku tetap ingin tahu menu makanan apa yang dibawa Ibu kali ini. Namun kali ini, ternyata hanya ada bahan-bahan mentah yang belum dimasak. 

"Nanti Ibu masakin." sahut Ibu.

"Ibu mandi aja sana. Biar Mita yang masak."

"Yakin?" 

Aku mengangguk mantap. Setelah itu aku langsung menuju dapur, bertepatan dengan Ibu yang menghilang di balik pintu kamar mandi. 

Setengah jam kemudian, Ibu menengok sampai mana proses memasakku, yang ternyata sudah selesai dan makanan sudah tertata rapi di atas meja.

"Ck, anak Ibu kalau masak pinter." Ucap Ibu setelah suapan pertamanya. "Giliran suruh bela-" 

"Ibu! Mita laperrr." potongku.  Mencegah Ibu mengucapkan sesuatu yang bisa menghilangkan nafsu makan. 

"Kamu itu! Ibu belum selesai ngomong. Tahu nggak tadi siang Ibu dapet keluhan dari sekolah." 

"Keluhan?" tanyaku heran. Berpikir, apa aku melakukan suatu kesalahan di sekolah hari ini? 

Aku meletakkan sendok ke atas piring. Nafsu makanku hilang seketika. "Siapa? Guru yang mana yang menghubungi Ibu?" 

"Pak Daniel."

Sudah kuduga. Dia pasti akan mengusikku. Apalagi dia kenal dengan Ibuku. Kenapa sih, dia harus mengajar di sekolahku?  Mengajar matematika lagi, dimana aku sangat bodoh di bidang itu. 

"Hm, kamu udah ketemu dia kemarin 'kan?" lanjut Ibu, Mengerti apa yang kupikirkan. "Hari ini dia mengeluh. Kamu sangat lemah dalam pelajaran yang di ajarkannya."

"Mau gimana lagi. Ibu tahu Mita dari dulu-"

"Makanya dengerin Ibu dulu. Pak Daniel bilang kamu harus ikut pelajaran tambahan."

Aku membelalak. "Hah?" bertemu dengan lelaki itu di sekolah saja terasa canggung, apalagi ditambah harus sering bertemu dengan beliau di jam pelajaran tambahan. 

Coba pertemuan pertama kami tidak seperti itu, aku pasti tidak akan se enggan ini untuk bertemu dengannya. 

"Mita nggak mau. Mita bisa belajar sama Gatra. Mita janji bakal berusaha." Itu bukan sekedar kata-kata. Aku memang sudah berniat untuk berusaha lebih keras lagi. 

Ibu mendesis kesal. "Mita, ini kesempatan buat kamu. Lebih bagus dibimbing sama yang ahli di bidangnya."

"Tapi, Bu…." Aku menghentikan ucapanku. Tidak bisa berterus terang pada Ibu tentang apa yang terjadi pada pertemuan pertama kami. 

"Kali ini saja," lanjut Ibu. "Perbaiki untuk nilai kelulusanmu. Untuk kesananya, Ibu tidak akan peduli." 

Kedua sorot mata Ibu sangat berharap. Membuatku tidak bisa menolaknya. Akhirnya, mau tidak mau aku menganggukkan kepala lemah. 

"Bagus." ibu melanjutkan suapannya sambil berbicara, "Besok jam 7 malem ke rumah Pak Daniel ya. Biar nanti pulangnya bisa bareng Ibu juga." 

"Tanyain sama Pak Daniel, Kenapa nggak di sekolah aja sih?" keluhku. Merasa tidak enak hati menginjakkan kaki di rumah itu lagi. Padahal waktu pertama melihat, aku takjub dan langsung menyukai rumah itu, sekarang rasanya tidak lagi. 

"Bukannya makasih sama Pak Daniel, malah ngeluh terus. Kamu tahu nggak berapa mahal tarif kalau Ibu harus panggil guru pribadi? Kamu tahu nggak kalau-"

"Iya-iya-iya Bu. Maaf, maaf. Nanti Mita makasih sama Pak Daniel." ucapku terpaksa. Melanjutkan makanku kembali. 

"Oh iya, Bu. Di rumah itu Pak Daniel tinggal sendiri? Istrinya?" 

Tidak ada salahnya 'kan sedikit mengulik kehidupan pria itu? Aku juga ingin tahu. 

Bagaimanapun dia sudah berani menyentuh daerah terlarang di salah satu bagian tubuhku, bagaimana jika ternyata lelaki itu sudah menikah? Wah, bahaya. 

Ibu menggeleng pelan. "Dia sendirian. Dia hanya pulang ke rumah itu jika sedang pulang ke Indonesia. Yang Ibu tahu, Pak Daniel belum menikah."

Aku membuang nafas lega mendengar jawaban Ibu. "Pak Daniel tinggal di luar negeri?" 

"Australia. Jika Pak Daniel tidak ada, pekerjaan Ibu hanya membersihkan rumahnya saja setiap pagi."

****

Langit baru saja gelap saat Aku tiba. Waktu masih menunjukkan pukul 18.30. Sengaja datang lebih awal, tentu saja karena Ibu terus mengingatkanku untuk datang dan sepertinya tidak akan berhenti mengirimiku pesan sebelum Aku muncul di hadapannya. 

Aku sungguh tidak percaya akhirnya menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Seperti pertama kali datang, dari luar rumah itu selalu tampak sepi. Bagaimana tidak, rumah sebesar itu tapi penghuninya cuma seorang. 

Aku harus masuk dari pintu depan, atau samping? Huh… Untuk masuk ke dalam saja aku bingung. Tapi ini masih setengah jam lebih awal dari waktu belajar yang disepakati, bagaimana jika aku menemui Ibu dulu?

Aku mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Ibu. Seperti biasa, Ibu akan langsung mengangkatnya saat mengetahui itu panggilan dariku. 

"Bu, Mita di depan. Ibu dimana?"

"Di dapur." 

Berarti pintu samping. 

Aku mematikan panggilan dan berjalan menuju pintu samping. Lagipula aku hanya hafal jalan menuju dapur dari pintu samping, bukan dari depan. 

Ibu sedang memasak. Celemek berwarna abu-abu melapisi bajunya agar tidak kotor. Aku melepas ranselku dan menaruhnya di lantai kemudian memperhatikan apa yang tengah dilakukan Ibu. 

"Pak Daniel belum pulang." Ibu memberi tahu.

"Huft." Aku mendengus kesal. "Tadi aku tidak perlu cepat-cepat datang." gerutuku. 

Entah kenapa Aku malah berharap kalau Pak Daniel tidak pulang saja. Dengan begitu pelajaran hari ini pasti batal. 

Tapi doa ku tidak didengar. 

Bunyi klik terdengar dari pintu depan. Tidak berselang lama, dari dinding kaca ruang dapur yang berbatasan dengan ruang tamu, aku bisa melihatnya lewat. 

Apa dia punya pekerjaan ditempat lain? Sepertinya tadi siang dia memakai busana yang berbeda di sekolahan. 

Kali ini pakaiannya tampak santai. Setelan jas hitamnya berubah menjadi celana formal biru tua tanpa luaran, hanya kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku. 

Ah, masa bodo. Apa yang dia lakukan bukan urusanku.  

Ibu berjalan keluar dapur. Entah kemana. Aroma kuah santan yang masih mendidih di atas kompor mengalihkan perhatianku. Lezat, sudah pasti. Ibu bisa memasak apa saja dan masakan Ibu pasti sangat enak. 

"Pak Daniel suruh kamu nunggu disini." ucap Ibu begitu kembali ke belakang kompor. 

"Bu, sepertinya Pak Daniel lelah sekali. Bagaimana jika Ibu memintanya untuk menunda-"

Tuk! 

Ibu meletakkan pisau dengan kasar di atas talenan sambil menatapku tajam. Aku meringis. 

"Mi-mita bercanda, Bu." Aku tersenyum, membuat Ibu tidak jadi melontarkan amarahnya. 

Mungkin sekitar 15 menit kemudian, tepat jarum pendek menunjuk di angka 7, dia datang dan langsung duduk di salah satu kursi meja makan. Aku memperhatikannya. 

Dia terlihat biasa saja melihatku. Maksudku, setelah kejadian di dapur waktu lalu, kita sering bertemu di sekolahan, tapi dia tidak tampak canggung sepertiku. Juga tidak ada tanda-tanda dia akan mengungkit kejadian kemarin itu. 

Baguslah. Aku juga harus sepertinya. Melupakan semua itu. 

Tapi itu ciuman pertamaku, walau aku tidak ingin mengingatnya, pasti akan selalu teringat. 

"Disini saja?" suara Pak Daniel terdengar. Memastikan jika aku tidak keberatan belajar di ruang makan. 

Aku mengangguk. Melirik Ibu yang masih berkonsentrasi dengan masakannya sebelum menyusul Pak Daniel untuk duduk di meja makan. 

Kali ini pasti aman 'kan? Ada Ibu di dekatku. Yang bisa mengawasi diriku. Ya, pasti aman. 

Aku duduk berhadapan dengannya. Melihat rambutnya basah seperti beberapa waktu lalu, seperti deja vu. Juga aroma maskulin khas nya, yang begitu menguar. Aku menduga ini memang wangi dari sabun atau sampo yang ia pakai.

Perhatianku teralihkan pada tiga buah buku yang tadi dipeluknya, diletakkan di atas meja, kemudian digesernya ke hadapanku. 

"Materi hari ini."

Glek! 

Apa-apaan, dia ingin membunuhku? 

Aku menatap tidak percaya. Bagaimana otakku bisa menelan sekaligus semua isi buku itu? 

Ingin rasanya aku berteriak meminta tolong pada Ibu yang berjalan menghampiri kami hanya untuk meletakkan secangkir teh yang masih mengepul di hadapan Pak Daniel, kemudian Ibu kembali melenggang pergi. Tentu saja, Ibu tidak akan mau menolongku di saat-saat seperti ini. 

"Kita mulai." ucap pria itu santai sambil menyeruput teh miliknya. 

****

Leherku kram. Tanganku pegal. Bokongku panas. Apalagi pikiranku, sudah mati rasa. Satu jam berkutat dengan deretan angka-angka, rasanya membuat kepalaku mengepul. 

"Waktunya habis." ucap Pak Daniel sambil melirik ke arah jam dinding.

Ya benar. Kumohon sudahi saja sampai disini. 

"Bawa pulang. Itu akan menjadi tugasmu di rumah." 

Aku menghitung beberapa soal yang belum selesai. Yes, kalau begitu aku bisa meminta bantuan Gatra untuk menyelesaikannya. Aku tertawa sinis dalam hati. 

"Jika kau selalu memperhatikan selama belajar tadi, kau pasti bisa menyelesaikan semuanya."

Aku tersenyum. "Aku pasti bisa, Pak." ucapku yakin dan mulai membereskan buku-buku ku. 

"Jika ada yang salah atau ditemukan indikasi kecurangan, Saya tidak akan segan memberikan hukuman."

Aku hanya membalas perkataannya dengan senyuman yang tidak tulus.

****

Keesokan malamnya, dengan penuh percaya diri aku kembali mendatangi rumah itu. 

Memang benar, ada bagusnya aku setuju belajar disini karena jam pulangku nanti bertepatan juga dengan selesai nya pekerjaan Ibu. Aku bisa sekaligus membonceng Ibu pulang. Jadi Ibu tidak harus berjalan kaki lagi. 

Begitu tiba, aku pasti masuk lewat pintu samping. Selain karena terbiasa, aku juga jadi bisa menyapa Ibu terlebih dahulu. Tidak ada pekerjaan lain bagi Ibu selain memasak makan malam pada waktu aku datang. 

"Pak Daniel nunggu di perpustakaan." Ibu memberi tahu. 

"Perpus- dimana?"

Kenapa Pak Daniel tidak memberitahuku memindah tempat belajar? Hah, Sudah malam, Aku malas pergi keluar lagi. 

"Lantai atas."

"Hah?" Aku menaikkan kedua alis lalu menengadahkan kepala ke atas. Seakan bisa menembus dinding-dinding langit untuk melihat apa yang ada di atas sana. "Ada perpustakaan di atas?"

"Ke atas saja, belok kanan. Cari pintu berwarna coklat di sebelah kananmu."

Aku menurut. Menaiki tangga yang berada tepat di sebelah ruang dapur. Begitu tiba di atas, ada lorong ke arah kanan dan kiri. Cahaya yang hanya bersumber dari beberapa lampu hias yang menempel di dinding membuat sepanjang lorong temaram. 

Aku berbelok ke arah kanan, seperti kata Ibu. Dan langsung menemukan pintu berwarna coklat yang mencolok karena berbeda dari pintu lainnya yang berwarna hitam. 

Di bagian atas terasa lebih sejuk. Untung saja kaki telanjangku berbatasan langsung dengan karpet berwarna abu-abu gelap yang melapisi seluruh permukaan lantai. Jika tidak, rasa dingin pasti terasa lebih menyengat. 

Aku mengetuk pintu. Ada sahutan dari dalam yang menyuruhku masuk. Itu suara Pak Daniel. 

Aku membuka pintu dan melangkah masuk. Deretan rak buku yang berdiri sejajar membuatku terperangah. Pak Daniel benar-benar membuat sebuah perpustakaan di rumahnya sendiri. 

Aku berjalan menghampiri seseorang yang duduk di balik meja di ujung ruangan setelah menutup pintu. 

Pak Daniel mencopot kaca matanya begitu melihatku memberikan tugasnya kemarin. 

Untuk beberapa saat, dia tampak biasa saja. Aku terus memperhatikan ekspresinya. Merasa tenang. Semua jawabanku pasti benar dan hal itu pasti mengejutkannya. Tentu saja, si pintar Gatra yang sudah mengerjakannya. Semua jawabannya pasti sempurna. 

Tetapi tidak lama kemudian tampak kernyitan di dahinya. Apa ada yang salah? 

"Kemari lah. Berdiri di samping."

Aku menurut. Berjalan memutar meja dan berdiri di sampingnya. 

"Semuanya benar."

Aku menghembuskan nafas lega. Tapi kenapa ia terlihat tidak puas?

"Tapi," Pak Daniel kembali membuka mulutnya, membuat jantungku berdegup kencang. "Tiga soal terakhir," Pak Daniel menengadahkan kepalanya untuk menatapku. "Ini soal jebakan."

Hah, apa maksudnya? 

"Melihat kemampuanmu, pasti tidak akan mampu menyelesaikan soal yang belum Saya ajarkan."

Apa? Aku tergagap. "I-Itu, Mita tanya sama temen, Pak."

"Jadi begitu." Pak Daniel mengembalikan tatapannya ke arah buku ku. Namun sesaat kemudian kembali menatapku dengan tajam. "Mungkin Saya bisa memakluminya jika Mita hanya bertanya."

"Tapi saya tahu kamu berbohong." lanjut Pak Daniel. Aku tercekat. "Kemarin Saya sudah bisa melihat jawaban nomor dua salah, tapi sekarang berubah benar."

Aku tergagap. Tidak bisa mengatakan apapun lagi. 

"Kamu bukan bertanya. Kamu membiarkan seseorang mengerjakannya. Menyerahkan tugasmu padanya. Membiarkan dia mengutak-atik jawabanmu. Dia sangat pintar, bahkan melihat jawabanmu yang salah, lalu membenarkannya. Apakah seseorang akan bertanya jawaban dari soal yang sudah dijawab? Padahal kamu sendiri tidak tahu itu benar atau salah."

Pak Daniel menyilangkan tangannya di depan dada. "Bagaimana ini? Tidak akan ada kemajuan jika kamu terus seperti itu. Dan jika Ibumu-"

Aku berlutut di depannya. "Jangan. Jangan bilang ke Ibu, Pak. Mita mohon." Aku melihat Pak Daniel tidak bergeming. "Mita janji bakalan serius belajar. Mita janji. Maafin Mita, Mita juga janji nggak bakalan kayak gitu lagi. Ini salah Mita. Hukum aja Mita."

"Nah, kamu pasti ingat apa yang Saya bilang kemarin, ya?"

Aku mengangguk lemah. 

"Benar. Hukuman." Pak Daniel seperti bergumam untuk dirinya sendiri. "Seharusnya Saya katakan kemarin. Pasti membuatmu enggan melakukan sebuah kesalahan. Ingin tahu hukumannya?"

Aku tidak menjawab. Kenapa dia harus bertanya? Tentu saja aku tidak ingin tahu. Mendengar kata 'Hukuman' nya saja sudah menakutkan. 

Aku menunggunya melanjutkan, tapi Daniel terdiam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari dalam mulutnya untuk beberapa saat. Membuat ruangan sangat sunyi. Degup jantungku yang sangat kencang, mungkin sanggup terdengar saat ini. Detik yang terlewati terasa lama sekali. 

Aku terlonjak mendengar keheningan yang tiba-tiba terpecah. Suara kursi Pak Daniel yang berputar ke arahku terdengar keras dan mengagetkan. 

Refleks, aku mendengak. Mendapatkan tatapan pria itu yang menggelap, sebelum ia menunduk dan berbicara pelan di samping telingaku. 

Setelah kejadian waktu itu, ini kedua kalinya aku berada sedekat ini dengannya. Dia berbisik. 

"Hukumannya adalah… Saya akan mengklaim salah satu bagian tubuhmu, menjadi milikku." 

Apa?! 

Bab terkait

  • Excite 17   Lips, Then Hands, Then...

    Dia semakin mendekat. "Dan kamu, tidak bisa menolak, Mita."Aura yang menguar dari tubuhnya seakan mengikatku. Membuatku tidak berkutik. Jenis hukuman apa itu? Kenapa terdengar tidak biasa? Kenapa dia tidak memberi hukuman yang biasa-biasa saja?Tubuhku… bagaimana bisa dia berhak memilikinya? Tidak. Mungkin itu hanya ancaman untuk menakutiku agar tidak melakukan sesuatu yang salah lagi.Aku tidak bisa berkata-kata karena saat ini, tatapannya seperti tidak ingin mendengar protes keluar dari mulutku. Aku tidak bisa menolak, benar katanya. Apalagi mengingat aku telah membuat kesalahan.Dia menjauhkan kepala nya. "Bangunlah." perintahnya sambil mengulurkan kedua tangannya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-12
  • Excite 17   Hot Kitchen

    Beberapa menit kemudian, mobil mulai memasuki pekarangan yang akhir-akhir ini juga tidak asing bagiku. Padahal semenjak meninggalkan rumah ini pertama kali aku bersumpah tidak akan pernah kembali lagi. Tapi keadaan malah mengharuskanku kembali ke sini berkali-kali. Aku tidak bisa apa-apa, selain membiarkan takdir untuk menuntun jalan kehidupanku. "Bersihkan dulu dirimu. Saya bisa menunda jam makan siang." ucapnya sebelum kami berpisah setelah keluar dari mobil. Sehabis itu, aku benar-benar tidak melihatnya lagi. Sampai aku selesai mandi dan melupakan baju ganti yang masih di ambil Ibu. Sambil menunggu Ibu datang, aku hanya bisa memakai bathrobe.

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-26
  • Excite 17   The Punishment (2)

    Daniel menoleh. Aku berjinjit agar bisa mengintip dari celah bahunya.Seorang pria berdiri tegak di belakang Daniel. Memperhatikan kami berdua tanpa ekspresi. Aku segera mendorong Daniel menjauh. Aku pun menggeser tubuhku. Menjaga jarak dengan Daniel.Apa orang itu melihat semua yang kami lakukan? Sepertinya iya.Aku tidak tahu siapa dia. Ini pertama kali aku melihatnya. Tapi sepertinya dia juga bukan orang asing atau seorang tamu karena bisa masuk begitu saja tanpa membunyikan bel rumah terlebih dahulu."James?"Aku memperhatikan Daniel yang juga tampak terkejut dengan kedatangan pria itu.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-10
  • Excite 17   Study Tour

    Setelah perkataan Daniel waktu itu, entah kenapa aku menjadi lebih semangat belajar daripada biasanya. Aku berusaha mendapatkan yang terbaik. Walau aku tidak yakin bisa mendapatkannya atau tidak, aku akan tetap berusaha. Padahal, aku juga tidak tahu apa yang kuinginkan darinya jika aku berhasil. Hah, Mita sebaiknya jangan terlalu berharap. Ya, Ya, Setidaknya aku masih tahu batas kemampuan otakku dan tidak terlalu berharap. Hari demi hari akhirnya berlalu. Aku sudah kembali ke rumahku dan ujian selesai seminggu kemudian. Bel istirahat belum berbunyi, jadinya murid-murid dalam kelasku hanya bisa merusuh di dalam. Apalagi kami semua sedang

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-12
  • Excite 17   The Excite

    Seluruh tubuhku terasa lelah juga sakit. Tapi kenapa rasanya aku berbaring di atas tempat yang sangat nyaman? Suasana juga tidak lagi sepi. Suara langkah dan gumaman orang yang sedang bercengkrama sesekali terdengar. Seharusnya tidak ada suara seperti itu jika aku masih tersesat di hutan. Hutan? Kejadian tadi malam terputar di otakku dengan sangat cepat. Membuatku segera berusaha untuk membuka mata. Ada sinar menyilaukan, tapi bukan pepohonan rimbun lagi yang kulihat di sekitar, melainkan suatu ruangan yang rapi dan bersih. Aku berada di rumah sakit sekarang? Apa yang telah terjadi? Apa mereka sudah menemukanku? Atau ini tempat di surga? Tidak mungkin.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-15
  • Excite 17   His Family

    Aku menggeliat. Merasakan tubuhku terasa berat. Ada sesuatu yang menindih pinggangku dan membuatku tidak leluasa bergerak. Aku mencoba mengangkat dan menyingkirkannya. Tapi sesuatu itu tidak mau menyingkir, malah menarik tubuhku hingga punggungku menempel pada sesuatu yang hangat. Aku terkesiap. Segera membuka mata. Itu tangannya, yang berotot dan kekar, memelukku dari belakang. Kulit kami benar-benar saling menempel di balik sehelai selimut, karena tidak ada dari kami yang memakai sehelai pakaian pun. Untuk sesaat, aku teringat apa yang kami berdua lakukan barusan. Kejadian panas dari meja makan hingga berakhir disini, di sofa ruang tamu. Wajahku menghangat saat membayangkan kejadian itu. Aku berusaha menggeser tubuhku sedikit. Tidak bisa bergeser le

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-17
  • Excite 17   Broken Friendships

    Jadi begitu… "Kalau lo suka sama Gatra, kenapa gue yang jadi sasaran, Ran? Lo seharusnya langsung bilang sama Gatra." "Nggak bisa." Ranti menggeleng. "Kenapa?" "Karena Lo, Mit. Karena Lo!" Aku menarik nafas. Masih tidak mengerti kenapa jadi aku yang disalahkan. "Gue nggak ngerti deh Ran. Kenapa semuanya jadi salah gue." "Ini kenapa gue jadi benci sama lo. Lo nggak ngerti-ngerti. Lo nggak ngerti sama keadaan sekitar. Lo nggak pernah ngerti gimana perasaan gue atau gimana perasaan Gatra. Coba kalau lo pa

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-19
  • Excite 17   (1) Something Between Eliza and Daniel

    Gatra memberi salam pada Pak Daniel. Berusaha menetralkan raut keterkejutannya. Walau Gatra berusaha untuk tampak biasa saja, tapi saat melihatku tatapannya berbicara. Melontar beribu pertanyaan yang mungkin muncul di benaknya. Gatra melanjutkan langkahnya setelah kami hanya bertukar sapa. Begitupun denganku yang lanjut mengekor di belakang Pak Daniel menuju parkiran mobil. Suasana jadi aneh di sekitar kami. Kami hanya terdiam selama perjalanan bahkan sampai aku tiba di rumah. "Saya… Akan kembali ke rumah. Tolong sampaikan itu pada Ibumu." ucapnya sebelum aku turun dari mobil. Aku mengangguk. Merasa senang mendengar keputusannya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-21

Bab terbaru

  • Excite 17   Sekali, Seumur Hidup - Ending

    1 hari.2 hari.3 hari.Sudah 3 hari semenjak kepulangan Pak Daniel ke Australia. Tuan Lambert meminta Daniel menemaninya berkunjung ke makam almarhum sang istri, ibu Pak Daniel.Walaupun komunikasiku dengan Pak Daniel tidak terputus, tapi tetap saja rindu untuk bertemu dengan sosoknya.Namun aku tahu, banyak pekerjaan juga yang harus Pak Daniel urus, sepertinya dia tidak akan kembali dalam waktu dekat.Aku tahu resiko menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki posisi penting, memang seperti ini. Aku tidak bisa menuntut semua waktunya untuk di berikan kepad

  • Excite 17   Terjebak di Keheningan

    Aku rasa Pak Daniel tidak bisa berpikir jernih sekarang. Jadi aku mengambil alih plastik yang ada di tangannya kemudian meletakkannya di bawah, di sembarang tempat, berikut juga plastik di tanganku, kemudian menuntun Pak Daniel duduk di sofa yang berhadapan dengan Tuan Lambert. Hanya keheningan yang ada. Membuat kita semua jadi sedikit canggung. Sampai akhirnya Ibu berpamitan untuk pergi ke kamar. Mungkin sebaiknya aku mengikuti langkah Ibu. Aku tidak perlu terlalu ikut campur di antara mereka. Urusanku cukup sampai membuat Pak Daniel bertemu dengan Tuan Lambert. "Kalau begitu Mita juga-" "Tetaplah disini. Saya pikir, Daniel bisa lebih nyaman jika ada dirimu." Baru setengah bangun, Tu

  • Excite 17   Sudah Ada Yang Punya

    Pagi ini, aku sedang sibuk membuat sarapan begitu Pak Daniel keluar dari kamarnya. "Kopi?" tawarku. Dia menghampiri. Berdiri di dekatku. "Boleh." jawabnya. Untuk membuatkan kopi, aku meninggalkan sejenak sarapan yang sedang ku masak. Pak Daniel masih berdiri di sampingku. Tubuhnya bersender menyamping pada salah satu lemari dapur yang tinggi. Tangannya bersedekap di depan dada. Saat aku melirik, dia menelengkan kepalanya. Perhatiannya tidak pernah teralih dari diriku. Membuatku sedikit gugup diperhatikan seperti itu. "Apa?" tanyaku. Takut-takut dia sedang membutuhkan sesuatu.

  • Excite 17   Hutang Janji

    "Terima kasih." sahut Ibu setelah mendengar tanggapan Pak Daniel. Walau perkataan Ibu tadi demi diriku, tapi aku merasa tidak suka. Aku berjalan mendekati ranjang. "Ibu ngomong apa sih? Ibu nggak akan pergi kemana-mana." Ibu hanya tersenyum kecil mendengar ucapanku. **** Selama 2 hari, Ibu harus menginap di ICU. Setelah kondisinya berangsur-angsur membaik, akhirnya Ibu dipindahkan lagi ke ruang rawat inap. Aku sama sekali tidak mengeluarkan kaki dari gedung rumah sakit demi menjaga Ibu. Bi Laksmi juga sering datang hanya untuk membawakan pakaian ganti untukku dan

  • Excite 17   Bersyukur Dia Di Sampingku

    Aku berlari menyusul mereka.Ibu ada di atas ranjang itu, dengan badan yang terus bergoyang-goyang karena ketiga petugas kesehatan itu menyeret ranjang Ibu sambil berlari, tapi mata Ibu terus terpejam. Hal itu membuatku langsung tahu kalau Ibu sedang tidak sadarkan diri.Sayangnya, seorang suster menghalangi kami agar tidak melangkah lebih jauh ke dalam unit perawatan intensif."Mohon ditunggu di luar aja ya, Mbak." pinta suster itu."Kita tidak disana. Bisa jelaskan apa yang terjadi?" Pak Daniel mencegah suster itu yang hendak pergi tanpa menjelaskan apapun."Tadi ada suster yang mau ganti infus, Pak. Pas suster ngecek, Ibu Li

  • Excite 17   Tertangkap Basah

    "Kalau begitu, saya kembali ke ruangan, Pak." Si Dokter yang sedari tadi menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar di samping Pak Daniel, mengakhiri pembicaraannya.Pak Daniel mengangguk. Akhirnya mengalihkan perhatiannya kepada dokter itu. "Hm. Terima kasih."Setelah Dokter itu menghilang kembali ke ruangan tempat mereka keluar tadi, Pak Daniel melihatku kembali.Tanpa peduli Milen yang masih bicara dalam telepon, aku menurunkan ponsel dari telinga dan mematikan sambungan."Mita pikir, Bapak di sini bukanlah sebuah kebetulan." Aku memberanikan diri untuk bicara."I-itu…. Saya berobat di sini."

  • Excite 17   Pulang

    Aku langsung meminta cuti begitu mendengar kabar Ibu dan langsung kembali ke Jakarta.Di tengah kesibukannya, Milen malah membantuku mencari jadwal kereta yang bisa berangkat paling cepat dan menyuruhku untuk tidak panik.Jadi, masih dengan baju dinas, sore hari aku sudah sampai di sebuah rumah sakit dimana ibu di rawat.Walau seluruh tubuhku lemas seakan tulang-tulang di tubuhku lenyap, namun aku masih bisa berlari-lari kecil saat berusaha mencari kamar Ibu. Dan setelah menemukannya, melihat kedatanganku, Ibu sedikit terkejut. Sementara Bi Laksmi yang duduk di samping ranjang Ibu tampak lega.Dengan kaki bergetar, aku berjalan mendekat.

  • Excite 17   Hubungan Yang Rumit

    "Kemana aja, Mit?" Milen sedang melahap roti panggangnya begitu aku kembali. Penampilannya sudah rapi. Ia melirik jam di pergelangan tangan untuk melihat apa masih ada waktu yang tersisa untuk bersiap-siap. "Masih lama. Udah cepet sana siap-siap."Aku mengacuhkan Milen. Memang berniat untuk langsung masuk ke kamar mandi. Menyiapkan diri untuk bekerja dalam keheningan. Juga sambil berusaha mengumpulkan konsentrasi untuk bekerja nanti. Walau aku yakin pikiranku pasti akan terpecah belah nanti.Di tengah perjalanan, Milen yang sudah menahannya sedari tadi, akhirnya menyuarakan pertanyaannya."Jadi, tadi malem Mita tidur dimana?"Dari ujung mata, aku melirik Milen sebentar, kemudian kembali lagi berkon

  • Excite 17   Apakah Bisa Bertahan

    Walau ragu, aku akhirnya berjalan mendekat perlahan-lahan.Merasakan kehadiranku, lelaki itu menoleh dan langsung menegakkan pundak, bersikap siaga akan kedatanganku.Dia tampaknya sama sekali tidak ingin menyapaku, namun dia terlihat ingin mengatakan sesuatu namun segera di urungkannya, terlihat dari pergerakan mulutnya yang terbuka kemudian menutup dengan cepat."Pak Daniel ada di dalam?" tanyaku.Dia hanya mengangguk."Baiklah kalau begitu, tadinya Mita ingin berpamitan, tapi nunggu Pak Daniel keluar aja." aku berniat pergi, tapi berbalik dan bertanya lagi pada pria itu. "Apa… Tuan Lambert juga ada di dalam?"

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status