Beranda / Romansa / Excite 17 / Study Tour

Share

Study Tour

Penulis: Cho Ana
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-12 21:00:32

Setelah perkataan Daniel waktu itu, entah kenapa aku menjadi lebih semangat belajar daripada biasanya. 

Aku berusaha mendapatkan yang terbaik. Walau aku tidak yakin bisa mendapatkannya atau tidak, aku akan tetap berusaha. Padahal, aku juga tidak tahu apa yang kuinginkan darinya jika aku berhasil. 

Hah, Mita sebaiknya jangan terlalu berharap. Ya, Ya, Setidaknya aku masih tahu batas kemampuan otakku dan tidak terlalu berharap. 

Hari demi hari akhirnya berlalu. Aku sudah kembali ke rumahku dan ujian selesai seminggu kemudian. 

Bel istirahat belum berbunyi, jadinya murid-murid dalam kelasku hanya bisa merusuh di dalam. Apalagi kami semua sedang merayakan dan menikmati saat-saat terbebas dari beban pikiran yang menghantui kami dalam seminggu ini. 

"Beb, Lo nggak jawab ngasal 'kan?" Sashi memperhatikan Gilang dengan curiga. 

"Hmmm." Gilang yang meletakkan kepalanya di atas meja dengan mata menutup menjawab malas. "Ada satu dua sih yang gue jawab asal."

"Ish." Sashi mendengus kesal. Padahal sudah menduga kalau Gilang akan mengatakan hal itu. 

Aku memalingkan wajah dari mereka. Sudah terbiasa bagiku mendengar mereka berdebat, dan saat itu terjadi aku selalu menganggap ocehan mereka sebagai musik dari kaset rusak. Gatra dan Ranti pun selalu melakukan hal yang sama denganku.

"Lo gimana Mit? Kayaknya tenang-tenang aja kali ini." Ranti bersuara. 

Dia tidak tahu aku punya guru pembimbing yang sangat hebat. 

Aku mengangguk dan hanya memberikan senyum lebar penuh arti tanpa menjawab pertanyaan Ranti. 

Wali kelas kami, Bu Siska yang melangkah masuk membuat suasana kelas seketika hening setelah para murid berlomba untuk duduk rapi di kursinya masing-masing. 

"Gimana ujiannya?" tanyanya. Wanita paruh baya itu berdiri tegak di samping meja nya. Kita semua bisa menebak kalau Bu Siska ingin mengumumkan sesuatu. 

Bu Siska bukan guru yang galak. Tapi beliau selalu tegas dan tidak bisa bercanda. Membuat kami sedikit enggan jika berhadapan dengannya. Takut salah-salah kata. 

"Untuk study tour." Bu Siska sengaja menjeda ucapannya. Memperhatikan satu-satu raut wajah muridnya yang mulai berubah sumringah. Basak-bisik pun mulai terdengar. "Kita camping yah." 

Ada yang bersorak gembira. Ada yang biasa saja. Ada yang tidak suka. 

Aku dan Ranti termasuk yang biasa saja. Kemanapun tujuannya, apapun yang kami lakukan, menurutku semuanya menggembirakan saat kami semua saling berkumpul. Sashi berbeda, dia tampak tidak suka kegiatan outdoor yang melelahkan. Tapi Gilang dan Gatra tampak antusias. Mungkin karena mereka lelaki. Jiwa petualang mereka lebih besar daripada kami, kaum perempuan. 

"Yang mau ikut, pendaftarannya bisa ke Ibu yah."  

"Bu!" Ada yang mengacungkan tangan ke udara. "Guru pendampingnya siapa aja?"

"Karena ini kegiatan yang sedikit beresiko jadi banyak guru yang ikut kok. Ada Saya, Bu Indah, Pak Indra, Pak Gatot, sama-" Bu Siska membolak-balikkan kertas di tangannya. Lupa dengan nama terakhir. "Oh ya, sama Pak Daniel." 

Seketika keriuhan murid perempuan terjadi di dalam kelas. Bagaimana tidak, si pujaan para perempuan di sekolah ini, ada dalam daftar. Sashi yang tadinya tampak malas kini raut wajahnya pun ikut cerah.  

"Fix, gue ikut." teriak Sashi. 

Aku tidak menyangka pria itu mau ikut serta. Tampaknya, dia bukan orang yang mau menghabiskan waktunya untuk hal seperti itu. Aku mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan. 

Aku : Bapak ikut study tour? 

Tanyaku memastikan. Balasan datang 15 menit kemudian. 

Pak Daniel : Terpaksa.

jawabnya singkat. Benar 'kan? Dia bukan seseorang yang mau ikut dengan suka rela. 

Aku : Hah? 

Tapi jawabannya yang tampak kesal membuatku ingin tertawa. Kira-kira siapa dan apa yang bisa memaksanya? 

Pak Daniel : Mereka bilang butuh guru laki-laki lebih banyak. 

Mereka itu, pasti maksudnya para guru lainnya. Aku tersenyum kecil. 

"Cie… Mita punya pacar." seruan Sashi membuatku menoleh. Ada Ranti dan Gatra yang juga melihatku dengan tatapan selidik. 

"Ngaco." sahutku. 

"Kalau bukan pacar, siapa? Sms an sambil cengengesan begitu." 

"Ada deh... " jawabku dengan nada meledek. Sengaja, membuat tanda tanya dalam kepala mereka menjadi lebih besar. 

****

"Hosh." Aku menempelkan pantat sejenak di atas tanah. Masa bodoh mau kotor atau tidak. 

Ranti, dengan nafas yang tersengal sepertiku, juga berhenti. Membungkuk, memegang kedua lututnya yang pegal. 

Sebelumnya, memang sudah ada pemberitahuan jika kami perlu mendaki sedikit untuk sampai di tempat perkemahan. Namun sudah setengah jam perjalanan mendaki -yang ternyata terasa lebih melelahkan dari perjalanan biasa- kami belum juga sampai. Mungkin juga karena sering berhenti untuk beristirahat. Kami yang jarang berolahraga, ketahuan sekarang karena terlihat lebih cepat lelah. 

"Sashi, mulut doang bilang ogah-ogahan. Giliran berangkat semangat empat lima."

Aku mengikuti arah pandang Ranti ke depan sana. Benar sekali. Sashi bahkan yang paling terlihat bersemangat di antara kami. 

Aku kembali berdiri setelah nafasku sudah kembali normal. Menepuk-nepuk bokong ku untuk membersihkannya dari tanah. 

"Lanjut, yuk!" ajakku. 

"Duluan aja." Ranti masih tampak lelah. "Gue mau buka tas dulu. Lupa botol minum nggak ditaruh di luar."

"Yakin?" 

Setelah melihat anggukkan dari Ranti, aku kembali masuk ke tengah jalur pendakian yang diramaikan oleh barisan murid dari sekolahku yang mengular. Sejauh ini aku tidak melihat pendaki lain. Mungkin karena rombongan sekolah kami tiba pagi-pagi sekali, jadi suasana belum terlalu ramai.

Walau yang kami lewati adalah jalur umum yang bisa dilewati anak kecil hingga para lansia sekalipun, tapi bagi yang tidak terbiasa naik gunung, tetap saja terasa ekstrem. 

Berkali-kali aku hampir terjatuh. Menginjak kerikil yang membuatku hampir terjerembab, menyandung gundukan akar pohon yang menyembul dari dalam tanah, dan tanah lumpur yang membuatku hampir terpeleset, untung saja dari semua itu tidak ada yang benar-benar membuatku terjatuh. 

"Hati-hati Mit." 

Aku menoleh ke belakang. "Capek, Gat."

Dalam beberapa langkah Gatra berhasil menyusulku dan berjalan di sampingku. Seakan semua ini tidak seberapa baginya. 

Gatra mengulurkan tangannya. "Gue yakin sekali lagi Lo bakal bener-bener jatuh. Sini pegangan."

Aku berhenti. Menarik nafas. Gatra ikut berhenti. Menggoyangkan tangannya yang masih terulur. 

"Ayok. Bentar lagi tuh." Gatra mengedikkan dagunya ke atas. Kumpulan tenda-tenda yang sudah berhasil berdiri mulai terlihat dari tempat kami berhenti. Namun masih perlu berjalan lagi ke atas sana. Sementara aku sepertinya sudah kehabisan nafas. 

Aku memutuskan meraih tangan Gatra. Benar katanya, tenagaku yang sudah habis sepertinya tidak akan kuat untuk mencegah tubuhku lagi jika ingin terjatuh. 

Beberapa menit kemudian. Akhirnya… Aku bisa meregangkan badan. Padahal dari tadi aku juga di gunung, tapi baru saat ini aku bisa merasakan segarnya udara pegunungan yang sejuk. Mungkin karena sudah lebih santai dan bisa beristirahat, aku baru bisa menikmatinya. 

"Miiit!" Sashi berlari menghampiri. "Gue setenda sama Lo sama Ranti, ya?"

Aku mengangguk. 

"Oh iya, Ranti mana?"

"Masih dibawah." jawabku. "Tengok yuk." 

Dari ketinggian, kami mencoba mencari sosok Ranti. 

"Itu dia!" Seru Sashi sambil melambaikan tangannya tinggi-tinggi di udara. Akhirnya, aku berhasil melihat sosok Ranti yang membalas lambaian tangan Sashi. Beberapa menit kemudian Ranti berhasil menyusul kami. 

Suara tepukan tangan di udara membuat kami semua yang sudah berkumpul memusatkan perhatian pada satu orang. Pak Indra, guru olahraga menginstruksikan pada kami untuk memulai tugas masing-masing. 

"Ok, Laki-laki bisa mulai bikin tenda ya. Yang perempuan bisa persiapan masak buat makan siang. Dipimpin Bu Indah sama Bu Siska."

Tanpa aba-aba lagi kami sudah bergerak menjadi dua kubu untuk segera melakukan tugas masing-masing.

Tiba-tiba saja aku teringat seseorang. Aku melirik ke arahnya. Ia sedang tersenyum kecil, memperhatikan siswa yang tak berpengalaman dalam mendirikan tenda kemudian membantunya. 

Ini pertama kalinya aku melihat dia berpenampilan santai. Celana cargo hitam, dan jaket parasut berwarna biru yang menempel di tubuhnya, membuat dia benar-benar terlihat berbeda. 

Selama ini aku selalu melihatnya berpakaian rapi dengan setelan jas, bahkan ia selalu memakai kemeja jika di rumah, seakan hidupnya hanya untuk terus bekerja, kerja dan kerja. 

Tersadar, aku cepat-cepat mengalihkan perhatianku darinya. Aku tidak boleh melihatnya seperti itu saat ini. Disaat di sekitarku adalah lingkungan sekolah. 

****

Sekali lagi, aku mencoba untuk membuka tutup botol air mineral tapi tetap tidak mau terbuka. Aku meringis sakit dan melihat telapak tangan yang memerah akibatnya. 

Tiba-tiba ada seseorang yang merebut botol dari tanganku. Aku pikir Gatra ingin membantu membukanya tapi dia malah menggantinya dengan secangkir susu hangat yang masih mengepul. Aku menerimanya. Tidak menolak minuman yang lebih enak. 

"Thank you, Gat."

Gatra duduk di sampingku dan malah dia yang minum dari air botol mineralku tadi. 

Cangkir di tanganku hangat sekali. Padahal api unggun terletak tidak jauh dari tempat kami duduk bersila di atas tikar, tapi hawa dingin tetap mampu menembus jaketku yang tebal. 

Setelah meraba-raba kantong jaketnya, Gatra mengulurkan sesuatu. Kali ini makanan kesukaanku. Coklat stik. 

Dengan senang hati, aku mengambil coklat dari Gatra setelah meletakkan cangkir susu di sebelahku. Langsung memakannya. 

"Terima kasih." ucapku lagi. 

"Kembali kasih." sahutnya mengikuti nada bicaraku. "Gila. Dingin banget." 

"Gat, nafas lo ada asepnya deh." 

Karena ucapanku, Gatra malah menghembus-hembuskan nafasnya. Memainkan nafasnya di udara. Aku tertawa lalu mulai mengikuti apa yang Gatra lakukan. 

"Eh, Ranti sama Sashi kemana ya?" tanyaku. Beberapa waktu lalu dua perempuan itu memang berpamitan padaku untuk mengambil kaos kaki di dalam tenda. Tapi sudah setengah jam mereka tidak kunjung kembali. 

Gatra menunjuk suatu tempat. Rupanya Ranti dan Sashi sedang berkumpul dengan sahabat-sahabat Gilang yang lainnya. Sashi tampak terbahak sambil menutup mulutnya. Entah karena hal apa Sashi bisa tertawa sampai seperti itu. 

"Lo nggak kesana, Gat?" 

Gatra menggeleng malas. 

Saat mataku hendak kembali melihat indahnya cahaya api unggun di tengah gelapnya malam, tidak sengaja mataku ikut menangkap seseorang yang tengah memperhatikanku. Namun saat aku melihat ke arahnya, dia malah memalingkan wajah. Melihat sesuatu yang ada di tangannya.  

Semenit kemudian ponselku bergetar. 

Pak Daniel : Menikmatinya hah? 

Aku mengernyit. Pertanyaannya ambigu sekali. 

Aku : Apa?

Pak Daniel : Bersama laki-laki yang di sampingmu. 

Oh, aku mengerti maksudnya. Apa dia bertanya apa aku sedang menikmati kebersamaanku dengan Gatra? Tunggu dulu. Apa dia… sedang cemburu? Tidak mungkin. Aku sudah pernah mengatakan hubunganku dengan Gatra hanya teman biasa. 

Aku : Bapak juga menikmatinya bersama Bu Indah. 

Setelah membalas aku kembali melihat ke arahnya. Selama kegiatan kami, aku bisa melihat usaha Bu Indah untuk terus menempel pada Pak Daniel. Aku biasa saja. Aku tahu Pak Daniel tidak akan tergoda. Tapi, tunggu… 

Apa-apaan itu? Setelah membaca pesanku dan mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel, dia malah menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Bu Indah. Dia melihat ke arahku lagi lalu mengedipkan sebelah matanya. 

Apa-apaan? Apa dia sedang menggodaku? 

"Ish." Aku mendesis pelan. "Gat, gue pinjem bahu Lo ya." tanyaku tiba-tiba. 

"Hah?" Gatra tidak mengerti. 

Belum mendengar jawaban dari Gatra, aku meletakkan kepalaku di atas pundak kiri Gatra, tidak peduli Gatra menyetujuinya atau tidak. 

"Ngantuk." ucapku. Namun perhatianku tertuju pada seseorang yang rahangnya kini tampak mengeras. Aku memejamkan mata sambil tersenyum kecil. 

Apakah sekarang aku memenangkan pertandingan?

"Heh, masuk tenda sana Mit. Jangan tidur disini." protes Gatra. 

"Enak disini. Anget." 

**** 

"Mit. Mit. Mitaaa… "

Badanku terguncang. Mau tidak mau aku berusaha membuka mata. 

"Apa sih Ran?" tanyaku parau. 

"Gue kebelet pipis. Anterin dong, Mit."

Aku menarik nafas dan mencoba bangun. Tidak bisa menolak permintaan Ranti. Membayangkan jika aku yang berada di posisinya, aku juga pasti akan mencari teman untuk menemani. Masih dalam keadaan setengah sadar, aku mengambil jaket kemudian memakainya. 

"Jangan lupa bawa senter, Mit." 

Kalau Ranti tidak mengingatkan, aku pasti sudah melupakannya. 

Di luar, tidak ada sosok manusia satupun. Mereka sudah terlelap di dalam tenda masing-masing. Terlalu malas keluar karena sangat dingin. 

Aku mengikuti Ranti. Menembus kegelapan antara rimbunan pepohonan. Sunyi sekali. Hanya ada suara-suara binatang. 

"Jangan jauh-jauh Ran." Aku tahu kami baru berjalan sebentar, tapi saat menoleh ke belakang tempat perkemahan kami sudah tidak terlihat. 

"Nggak kok, sini aja. Lo pengen pipis juga nggak?" 

"Nggak." jawabku. Pikiranku terus berusaha mengingat jalur yang kami lewati untuk kemari. Takut-takut tersesat dan tidak menemukan arah jalan untuk kembali. 

"Ya udah, jangan liatin Gue. Ntar Gue malah nggak bisa pipis."

Ranti bersembunyi di balik sebuah pohon yang lumayan besar. Sementara aku berdiri di sisi pohon yang lainnya. Berdiri membelakangi Ranti. 

Berhenti melangkah, malah membuat suasana sekitar semakin sunyi. Jika ingin melihat sesuatu atau ingin melihat ke arah tertentu, aku perlu menyorotnya dengan lampu senter. Karena selebihnya benar-benar terlalu gelap. Dahan pohon yang sangat rimbun membuat cahaya rembulan tidak mampu menembusnya. 

"Udah belum, Ran?"

Jantungku mulai berpacu saat tidak mendengar jawaban. Aku berbalik. Menyorot tempat dimana Ranti seharusnya berada. Tapi kosong. 

"Ran?"

Aku mulai panik. 

"Ranti!" panggilku sekali lagi. 

"RANTI!" Kali ini dengan teriakan. 

"Ran, nggak lucu." Aku mengarahkan sinar senter ke sekitar. Tetap tidak bisa menemukan sosok Ranti. 

"Ranti, lo kemana sih?" Aku meninggalkan tempatku, yang ternyata menjadi suatu kesalahan besar. Yang seharusnya tidak kulakukan. 

Masih mencoba untuk mencari Ranti. Nihil. 

Ketakutan tiba-tiba menyergap. Haruskah aku kembali ke perkemahan saja dan meminta yang lain untuk membantuku mencari Ranti? Ya, mencarinya sendiri juga terlalu berisiko untukku. 

Aku berbalik dan berniat kembali ke perkemahan. Tapi, tunggu dulu. Kemana arah perkemahan tadi? Depan? Belakang? Kiri? Kanan? 

Ya ampun. Karena panik dan mencari Ranti, sekarang yang kutakutkan benar-benar terjadi. Aku kehilangan arah. 

Sial! Bagaimana ini? 

Duar! 

"Ah!"

Aku menutup kedua kupingku. Berjongkok. Kilat begitu menyilaukan. Gemuruh memekakkan telinga. 

Ketakutan menyergap. Aku mulai menangis seiring rintik hujan yang turun. 

Tidak boleh. Aku tidak boleh menangis. Aku pasti akan menemukan jalan keluar. 

Walau kakiku sudah lemas, tidak seluruh tubuhku terasa lemas sekarang, aku berusaha melanjutkan langkahku. Mencoba mengingat-ingat darimana arah kedatanganku tadi. Namun, aku malah berjalan tak tentu arah. Aku tetap tidak bisa menemukan jalan kembali setelah sekian lama menyusuri kedalaman hutan. 

Bodohnya aku juga tidak membawa ponsel. Kupikir tidak perlu membawanya. Toh, aku hanya pergi sebentar bersama Ranti. Lagipula disini juga tidak ada sinyal. 

Hujan semakin deras. Dingin semakin menusuk. Aku menghentikan langkahku. Terduduk lemas. Bersandar pada salah satu pohon besar. 

"Ranti!" harapku sekali lagi mendengar sahutan. Suara teriakanku bahkan sudah kalah dengan suara hujan. 

Angin semakin kencang. Tanah semakin licin. Badanku sudah basah kuyup. Aku harus segera pergi dari sini. 

Aku mencoba untuk berkeliling sekali lagi. Kali ini cukup lama, karena aku terus berharap bisa kembali. 

Aku lari. 

Lari. 

Terus lari. 

Sampai pada akhirnya kakiku malah menyandung sesuatu, membuatku terjerembab keras. Sungguh, aku sudah tidak bisa memperhatikan 

langkahku. Terlalu takut. Yang ku khawatirkan saat ini hanya takut bertemu jurang, bukan tersandung sesuatu. 

Aku berusaha bangun seiring tangisku yang pecah. 

Mataku sudah tidak bisa melihat  dengan jelas karena hujan. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kosong, gelap. Aku sendiri. 

Aku memeluk kedua lututku. Muncul pikiran-pikiran aneh dalam otakku. Aku mulai berhalusinasi. 

Yang kurasakan saat ini adalah, aku takut pada belakangku. Takut sesuatu muncul tepat di belakangku.  Memelukku dari belakang, lalu menarik tubuhku. Aku bergidik ngeri. Menggeser dudukku, agar punggungku bisa bersandar pada sebuah pohon terdekat. 

Jika aku tidak kembali sampai nanti, pasti mereka akan mencariku kan? Haruskah aku menunggu disini saja? Jika aku berjalan terlalu jauh aku malah takut mereka lebih sulit menemukanku. 

Kepalaku mulai pening. Tiba-tiba semuanya menggelap. 

Bab terkait

  • Excite 17   The Excite

    Seluruh tubuhku terasa lelah juga sakit. Tapi kenapa rasanya aku berbaring di atas tempat yang sangat nyaman? Suasana juga tidak lagi sepi. Suara langkah dan gumaman orang yang sedang bercengkrama sesekali terdengar. Seharusnya tidak ada suara seperti itu jika aku masih tersesat di hutan. Hutan? Kejadian tadi malam terputar di otakku dengan sangat cepat. Membuatku segera berusaha untuk membuka mata. Ada sinar menyilaukan, tapi bukan pepohonan rimbun lagi yang kulihat di sekitar, melainkan suatu ruangan yang rapi dan bersih. Aku berada di rumah sakit sekarang? Apa yang telah terjadi? Apa mereka sudah menemukanku? Atau ini tempat di surga? Tidak mungkin.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-15
  • Excite 17   His Family

    Aku menggeliat. Merasakan tubuhku terasa berat. Ada sesuatu yang menindih pinggangku dan membuatku tidak leluasa bergerak. Aku mencoba mengangkat dan menyingkirkannya. Tapi sesuatu itu tidak mau menyingkir, malah menarik tubuhku hingga punggungku menempel pada sesuatu yang hangat. Aku terkesiap. Segera membuka mata. Itu tangannya, yang berotot dan kekar, memelukku dari belakang. Kulit kami benar-benar saling menempel di balik sehelai selimut, karena tidak ada dari kami yang memakai sehelai pakaian pun. Untuk sesaat, aku teringat apa yang kami berdua lakukan barusan. Kejadian panas dari meja makan hingga berakhir disini, di sofa ruang tamu. Wajahku menghangat saat membayangkan kejadian itu. Aku berusaha menggeser tubuhku sedikit. Tidak bisa bergeser le

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-17
  • Excite 17   Broken Friendships

    Jadi begitu… "Kalau lo suka sama Gatra, kenapa gue yang jadi sasaran, Ran? Lo seharusnya langsung bilang sama Gatra." "Nggak bisa." Ranti menggeleng. "Kenapa?" "Karena Lo, Mit. Karena Lo!" Aku menarik nafas. Masih tidak mengerti kenapa jadi aku yang disalahkan. "Gue nggak ngerti deh Ran. Kenapa semuanya jadi salah gue." "Ini kenapa gue jadi benci sama lo. Lo nggak ngerti-ngerti. Lo nggak ngerti sama keadaan sekitar. Lo nggak pernah ngerti gimana perasaan gue atau gimana perasaan Gatra. Coba kalau lo pa

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-19
  • Excite 17   (1) Something Between Eliza and Daniel

    Gatra memberi salam pada Pak Daniel. Berusaha menetralkan raut keterkejutannya. Walau Gatra berusaha untuk tampak biasa saja, tapi saat melihatku tatapannya berbicara. Melontar beribu pertanyaan yang mungkin muncul di benaknya. Gatra melanjutkan langkahnya setelah kami hanya bertukar sapa. Begitupun denganku yang lanjut mengekor di belakang Pak Daniel menuju parkiran mobil. Suasana jadi aneh di sekitar kami. Kami hanya terdiam selama perjalanan bahkan sampai aku tiba di rumah. "Saya… Akan kembali ke rumah. Tolong sampaikan itu pada Ibumu." ucapnya sebelum aku turun dari mobil. Aku mengangguk. Merasa senang mendengar keputusannya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-21
  • Excite 17   (2) Something Between Eliza and Daniel

    Entah sudah keberapa kali. Aku terus memperhatikan ponselku di atas meja yang berkedap-kedip. Tidak ada suara nada dering karena aku memang membisukannya. Terlalu berisik. Hingga akhirnya layar mati. Tapi beberapa detik kemudian menyala lagi. Mungkin ini panggilan masuk yang ke 8. Ya, aku menghitungnya tapi terlalu takut untuk mengangkatnya. Tidak. Aku juga tidak mau mengangkatnya mengingat kejadian tadi siang yang terus berputar di kepalaku. Bagaimana bisa dia seperti itu? Dengan wanita lain di belakangku? Apa selama ini aku salah menilainya? Aku kecewa. Sedih. Dan marah. Tapi aku juga ingin bertanya tentang apa yang terjadi. Aku butuh kejelasan darinya. Walau sebenarnya semua yang ku liha

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-22
  • Excite 17   The Punishment (3)

    Ada Tuan James juga disana. Di samping Pak Daniel. Dengan langkah cepat, Pak Daniel menghampiri kami. "Apakah ini alasan kamu tidak bisa dihubungi?" Pak Daniel melirik sesaat ke arah Gatra. Tatapan yang sangat tidak ramah. Apa dia mencurigai Gatra? "Bukan-" Aku ingin menepis praduganya. "James," tapi Pak Daniel memotong. Seperti tidak mau mendengar apa yang akan kukatakan. "Urusanku sudah selesai 'kan?" Pak Daniel menoleh ke arah Tuan James. Tuan James mengangguk. "Mulai dari sini kuserahkan padamu." lanjutnya lagi.  

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-24
  • Excite 17   The Truth from Gatra

    Ternyata, menyukai orang bisa sesakit ini. Ternyata, rasa dari sebuah kata, yaitu 'perpisahan' bisa sesakit ini. Pikiran tidak enak, hati tidak enak, tidur tidak enak, untuk makan dan mandi saja tidak enak. Kacau sekali. Sebenarnya malas turun dari tempat tidur, apalagi masih jam 5 pagi, tapi aku perlu ke toilet, membasuh muka dan terkejut melihat pantulan diriku di cermin. Disana, seperti bukan aku. Mataku sembab akibat terus menangis, ditambah tidak tidur sekali semalaman. Rambutku semrawut. Aku mencoba menyisirnya dengan tangan hingga lumayan lebih rapi. Aku menatap diriku sekali lagi di cermin. Kemudian memejamkan mata sambil menghembuskan nafas, kali saja pikiranku ikut terbuang dengan nafas itu.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-25
  • Excite 17   Misunderstand

    Aku membelalakkan mata. Dia kecelakaan? "Lalu... gimana keadaannya, Bu?" "Pak Daniel beruntung cuma patah tulang tangan sama luka-luka ringan. Padahal mobilnya ringsek, Mit." Ibu merebut kembali bungkusan di tanganku dan masuk ke dalam rumah. Sementara aku masih membeku. 3 hari lalu? Bukankah, itu terakhir kali aku bertemu dengannya. Apa setelah itu, saat dia kembali dari apartemen di hari itu juga Pak Daniel mengalami kecelakaan? Jangan-jangan panggilan-panggilan itu… Dia sedang mencoba berbicara padaku untuk mengabari keadaannya? Tapi aku bahkan sama sekali tidak mengangkatnya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-02

Bab terbaru

  • Excite 17   Sekali, Seumur Hidup - Ending

    1 hari.2 hari.3 hari.Sudah 3 hari semenjak kepulangan Pak Daniel ke Australia. Tuan Lambert meminta Daniel menemaninya berkunjung ke makam almarhum sang istri, ibu Pak Daniel.Walaupun komunikasiku dengan Pak Daniel tidak terputus, tapi tetap saja rindu untuk bertemu dengan sosoknya.Namun aku tahu, banyak pekerjaan juga yang harus Pak Daniel urus, sepertinya dia tidak akan kembali dalam waktu dekat.Aku tahu resiko menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki posisi penting, memang seperti ini. Aku tidak bisa menuntut semua waktunya untuk di berikan kepad

  • Excite 17   Terjebak di Keheningan

    Aku rasa Pak Daniel tidak bisa berpikir jernih sekarang. Jadi aku mengambil alih plastik yang ada di tangannya kemudian meletakkannya di bawah, di sembarang tempat, berikut juga plastik di tanganku, kemudian menuntun Pak Daniel duduk di sofa yang berhadapan dengan Tuan Lambert. Hanya keheningan yang ada. Membuat kita semua jadi sedikit canggung. Sampai akhirnya Ibu berpamitan untuk pergi ke kamar. Mungkin sebaiknya aku mengikuti langkah Ibu. Aku tidak perlu terlalu ikut campur di antara mereka. Urusanku cukup sampai membuat Pak Daniel bertemu dengan Tuan Lambert. "Kalau begitu Mita juga-" "Tetaplah disini. Saya pikir, Daniel bisa lebih nyaman jika ada dirimu." Baru setengah bangun, Tu

  • Excite 17   Sudah Ada Yang Punya

    Pagi ini, aku sedang sibuk membuat sarapan begitu Pak Daniel keluar dari kamarnya. "Kopi?" tawarku. Dia menghampiri. Berdiri di dekatku. "Boleh." jawabnya. Untuk membuatkan kopi, aku meninggalkan sejenak sarapan yang sedang ku masak. Pak Daniel masih berdiri di sampingku. Tubuhnya bersender menyamping pada salah satu lemari dapur yang tinggi. Tangannya bersedekap di depan dada. Saat aku melirik, dia menelengkan kepalanya. Perhatiannya tidak pernah teralih dari diriku. Membuatku sedikit gugup diperhatikan seperti itu. "Apa?" tanyaku. Takut-takut dia sedang membutuhkan sesuatu.

  • Excite 17   Hutang Janji

    "Terima kasih." sahut Ibu setelah mendengar tanggapan Pak Daniel. Walau perkataan Ibu tadi demi diriku, tapi aku merasa tidak suka. Aku berjalan mendekati ranjang. "Ibu ngomong apa sih? Ibu nggak akan pergi kemana-mana." Ibu hanya tersenyum kecil mendengar ucapanku. **** Selama 2 hari, Ibu harus menginap di ICU. Setelah kondisinya berangsur-angsur membaik, akhirnya Ibu dipindahkan lagi ke ruang rawat inap. Aku sama sekali tidak mengeluarkan kaki dari gedung rumah sakit demi menjaga Ibu. Bi Laksmi juga sering datang hanya untuk membawakan pakaian ganti untukku dan

  • Excite 17   Bersyukur Dia Di Sampingku

    Aku berlari menyusul mereka.Ibu ada di atas ranjang itu, dengan badan yang terus bergoyang-goyang karena ketiga petugas kesehatan itu menyeret ranjang Ibu sambil berlari, tapi mata Ibu terus terpejam. Hal itu membuatku langsung tahu kalau Ibu sedang tidak sadarkan diri.Sayangnya, seorang suster menghalangi kami agar tidak melangkah lebih jauh ke dalam unit perawatan intensif."Mohon ditunggu di luar aja ya, Mbak." pinta suster itu."Kita tidak disana. Bisa jelaskan apa yang terjadi?" Pak Daniel mencegah suster itu yang hendak pergi tanpa menjelaskan apapun."Tadi ada suster yang mau ganti infus, Pak. Pas suster ngecek, Ibu Li

  • Excite 17   Tertangkap Basah

    "Kalau begitu, saya kembali ke ruangan, Pak." Si Dokter yang sedari tadi menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar di samping Pak Daniel, mengakhiri pembicaraannya.Pak Daniel mengangguk. Akhirnya mengalihkan perhatiannya kepada dokter itu. "Hm. Terima kasih."Setelah Dokter itu menghilang kembali ke ruangan tempat mereka keluar tadi, Pak Daniel melihatku kembali.Tanpa peduli Milen yang masih bicara dalam telepon, aku menurunkan ponsel dari telinga dan mematikan sambungan."Mita pikir, Bapak di sini bukanlah sebuah kebetulan." Aku memberanikan diri untuk bicara."I-itu…. Saya berobat di sini."

  • Excite 17   Pulang

    Aku langsung meminta cuti begitu mendengar kabar Ibu dan langsung kembali ke Jakarta.Di tengah kesibukannya, Milen malah membantuku mencari jadwal kereta yang bisa berangkat paling cepat dan menyuruhku untuk tidak panik.Jadi, masih dengan baju dinas, sore hari aku sudah sampai di sebuah rumah sakit dimana ibu di rawat.Walau seluruh tubuhku lemas seakan tulang-tulang di tubuhku lenyap, namun aku masih bisa berlari-lari kecil saat berusaha mencari kamar Ibu. Dan setelah menemukannya, melihat kedatanganku, Ibu sedikit terkejut. Sementara Bi Laksmi yang duduk di samping ranjang Ibu tampak lega.Dengan kaki bergetar, aku berjalan mendekat.

  • Excite 17   Hubungan Yang Rumit

    "Kemana aja, Mit?" Milen sedang melahap roti panggangnya begitu aku kembali. Penampilannya sudah rapi. Ia melirik jam di pergelangan tangan untuk melihat apa masih ada waktu yang tersisa untuk bersiap-siap. "Masih lama. Udah cepet sana siap-siap."Aku mengacuhkan Milen. Memang berniat untuk langsung masuk ke kamar mandi. Menyiapkan diri untuk bekerja dalam keheningan. Juga sambil berusaha mengumpulkan konsentrasi untuk bekerja nanti. Walau aku yakin pikiranku pasti akan terpecah belah nanti.Di tengah perjalanan, Milen yang sudah menahannya sedari tadi, akhirnya menyuarakan pertanyaannya."Jadi, tadi malem Mita tidur dimana?"Dari ujung mata, aku melirik Milen sebentar, kemudian kembali lagi berkon

  • Excite 17   Apakah Bisa Bertahan

    Walau ragu, aku akhirnya berjalan mendekat perlahan-lahan.Merasakan kehadiranku, lelaki itu menoleh dan langsung menegakkan pundak, bersikap siaga akan kedatanganku.Dia tampaknya sama sekali tidak ingin menyapaku, namun dia terlihat ingin mengatakan sesuatu namun segera di urungkannya, terlihat dari pergerakan mulutnya yang terbuka kemudian menutup dengan cepat."Pak Daniel ada di dalam?" tanyaku.Dia hanya mengangguk."Baiklah kalau begitu, tadinya Mita ingin berpamitan, tapi nunggu Pak Daniel keluar aja." aku berniat pergi, tapi berbalik dan bertanya lagi pada pria itu. "Apa… Tuan Lambert juga ada di dalam?"

DMCA.com Protection Status