Daniel menoleh. Aku berjinjit agar bisa mengintip dari celah bahunya.
Seorang pria berdiri tegak di belakang Daniel. Memperhatikan kami berdua tanpa ekspresi. Aku segera mendorong Daniel menjauh. Aku pun menggeser tubuhku. Menjaga jarak dengan Daniel.
Apa orang itu melihat semua yang kami lakukan? Sepertinya iya.
Aku tidak tahu siapa dia. Ini pertama kali aku melihatnya. Tapi sepertinya dia juga bukan orang asing atau seorang tamu karena bisa masuk begitu saja tanpa membunyikan bel rumah terlebih dahulu.
"James?"
Aku memperhatikan Daniel yang juga tampak terkejut dengan kedatangan pria itu.
"Kenapa kau disini?" Daniel masih bertanya-tanya pada pria bernama James itu.
James sepertinya sepantar Daniel. Berusia menjelang 30an. Badannya sedikit berisi. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Parasnya tidak bule seperti Daniel. Dia sepertinya orang asli Indonesia.
"Ternyata hal ini yang membuatmu terus menunda kepulangan ke Australia?" James balik bertanya.
Daniel memasukkan tangannya ke saku celana. Dia tampak tenang saat James menyinggung 'Hal ini' yang pasti merujuk pada kegiatan kami yang tidak sengaja James lihat barusan.
Berbeda denganku. Aku langsung kikuk dan memilih untuk melanjutkan kegiatanku membereskan meja dapur dari sisa-sisa sampah masakan. Lebih baik aku diam saja.
Kami bertiga menoleh serempak ke arah pintu tempat ruang cuci yang terbuka. Ibu masuk ke dalam. Satu tangannya menyeret koper besar yang sudah bisa kutebak isinya adalah pakaian.
"Tuan James?" Ibu terlihat sumringah.
Aku membulatkan mata. Ibu juga mengenal orang itu? Aku terus memperhatikan Ibu yang berjalan mendekati James. Mereka tampak akrab dan berbincang sebentar kemudian Ibu melirik ke arahku.
"Ganti baju dulu sana." suruh Ibu.
"Hm." Aku mengambil koper yang tadi Ibu letakkan dekat pintu.
"Dia...?" James heran melihat interaksiku dengan Ibu.
"Oh dia anak perempuanku." jawab Ibu.
Aku bisa melihat James melirik Daniel dengan tatapan yang penuh arti. Entah kenapa jantungku berdegup kencang. Akankah ia mengatakan sesuatu pada Ibu?
Aku mencengkram gagang koper erat-erat. Menunggu siapa yang akan berbicara selanjutnya. Keheningan sepersekian detik begitu menegangkan.
"Kita berbicara di kamarku, James." Akhirnya Daniel lah yang memecah keheningan. Ia menghilang menaiki tangga. Diikuti James yang melirikku sebentar kemudian berpamitan pada Ibu.
****
"Ibu kenal orang itu. Siapa namanya? James?" tanyaku, setelah kembali ke dapur sehabis berganti baju.
"Ya, Tuan James. Dia anak teman Ayahmu dulu. Berkat bantuannya juga Ibu mendapatkan pekerjaan disini."
"Oh." Aku manggut-manggut. "Lalu dia siapa Pak Daniel?"
"Asisten." jawab Ibu singkat.
"Tuan James asisten Pak Daniel, tapi kenapa Mita baru lihat dia sekarang."
"Ibu nggak tahu. Mungkin Tuan James sibuk kerja. Udah sini bantuin Ibu nyusun piring di meja makan buat makan siang."
Sambil meletakkan piring di meja makan aku sedikit berpikir.
Daniel mempunyai seorang asisten? Apakah pekerjaannya bukan hanya seorang guru? Apa pekerjaannya yang lain di luar sana?
Entahlah. Banyak yang aku tidak tahu tentang dirinya, selain nama dan tempat tinggalnya saat ini, juga pekerjaannya yang sekarang terlihat di mataku.
Aku tidak akan berani bertanya. Tidak. Itu terlalu privasi.
Ponsel yang bergetar membuyarkan lamunanku. Lagi-lagi notifikasi dari grup kita berlima.
Sashi : Mit, Ran, bab baru L*** udah up nih.
Sashi memberikan sebuah link, agar kami langsung bisa membuka cerita yang dituju. Kebetulan, kami bertiga menjadi penggemar salah satu cerita dari platform pembuat novel online. Sayangnya cerita itu masih bersambung. Kami setia menunggu kelanjutannya dan akan saling bertukar kabar berita jika salah satu dari kami lebih dulu mengetahui munculnya kelanjutan novel itu.
Aku meninggalkan Ibu sambil membuka link yang di berikan Sashi. Menuju kolam ikan di bagian samping rumah melalui pintu samping. Dari sini aku bisa melihat langsung bagian dapur dan ruang tamu di depan karena kolam berbatasan langsung dengan tembok-tembok kaca di sisi rumah itu.
Aku duduk di pinggiran kolam. Suara gemericik air terdengar bagai musik. Ikan yang berwarna-warni tampak berenang kesana kemari tak tentu arah.
Ah, seandainya aku bisa melihat pemandangan dan merasakan suasana seperti ini setiap hari di rumah.
Aku mulai membaca. Mengernyit saat merasakan bagian baru cerita sedikit explicit. Ada bagian dimana penulis menceritakan adegan vulgar dengan gamblang. Dengan kata-kata sang penulis yang pintar, aku yakin yang membaca ikut hanyut dalam adegan itu. Membuatku sedikit merinding dan menelan ludah.
Bagaimana sang penulis menceritakan adegan bercumbu, membuat pikiranku berkelana ke ciuman Pak Daniel tadi. Aku menyentuh bibirku dengan ujung jari. Sentuhannya masih terasa disana.
Lalu adegan selanjutnya yang berakhir di tempat tidur… membuatku membayangkan...
Aish. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya sekarang adalah waktu yang salah untuk membacanya. Lebih baik aku melanjutkannya nanti malam saja.
Clak!
Aku beringsut mundur. Ikan-ikan itu sepertinya juga tidak suka aku berada disini. Aku mengelap wajahku dari cipratan air akibat salah satu ikan yang melompat dari air.
Gatra : Udah Gue bilang jangan baca cerita begini.
Notif kembali masuk di dalam grup. Aku terkikik. Sepertinya Gatra juga ikut membacanya.
Sashi : Bacot! Nggak usah baca kalau nggak suka.
Gatra : Mesum!
Sashi : Heh, gelut yok! Gilang, maju!
Gilang : Kok jadi Gue, beb?
Gatra : Bebek!
Sashi : Jadi Lo nggak mau ngebela Gue, Beb? Okeh. Diem Lo Gatra!
Gilang : Bukan gitu.
Aku : Ran, masak popcorn gih. Gue tunggu ya. Mumpung ada tontonan gelut gratis nih.
Ranti tidak membalas pesanku. Sepertinya dia sedang sibuk membantu kedua orang tuanya yang memiliki toko kelontong.
Suara dentingan membuat aku menoleh sejenak dari layar ponsel. Di ruang makan Pak Daniel dan Tuan James sudah duduk berhadapan menikmati kudapan.
Aku masuk ke dalam kamar dan tidak keluar lagi sampai alarm waktunya pelajaran tambahan berbunyi. Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat dan aku hanya menghabiskannya untuk sebuah telepon genggam.
Sebelum keluar kamar, aku mengecas ponsel dan mengambil beberapa buku yang… Astaga. tugas dari Daniel belum sempat ku kerjakan. Bagaimana ini? Bisa-bisanya aku asyik dengan hal yang lain. Aku meringis. Panik.
Haruskah aku mengerjakannya dulu sekarang? Aku melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 7 malam. Tidak sempat. Sudah waktunya.
Apa aku benar-benar tidak bisa menghindar? Ya, tidak bisa. Sepertinya aku harus pasrah menerima apapun hukuman yang diberikan kali ini. Tamatlah riwayatmu, Mita.
Dengan langkah sangat pelan, aku berjalan keluar dari kamar. Memeluk erat tumpukan buku di dekapanku. Dari celah pintu yang kubuka, aku mencoba melihat suasana di dalam ruang dapur. Tempat biasanya kami belajar.
Sepi. Daniel tidak tampak duduk di salah satu kursi meja makan. Sepertinya dia belum turun. Namun ada suara samar orang mengobrol. Itu suara Ibu dan seorang laki-laki yang kutebak si Tuan James.
Aku sedikit menggeser posisiku agar bisa melihat dari mana asal suara tersebut. Ada Ibu di dapur bersama Tuan James. Aku mencoba mendengarkan percakapan mereka.
"Apa ada sesuatu yang terjadi Tuan?"
"Tidak. Hanya insiden kecil di perusahaan dan sepertinya mengharuskan Daniel kembali ke Australia secepat mungkin."
"Apa Tuan tidak menginap disini?"
"Ada yang harus aku urus di Surabaya."
"Baik. Hati-hati di perjalanan."
Suara langkah terdengar, kemudian pintu depan yang terbuka lalu menutup.
Apa si James itu pergi? Sepertinya Tuan James tidak menceritakan apapun yang ia lihat tadi siang pada Ibu. Jika tuan James sudah menceritakannya Ibu pasti sudah menginterogasiku dari tadi.
Aku keluar dari tempat persembunyian dan mendekati Ibu.
"Pak Daniel belum turun?" tanyaku malas. Duduk di depan meja bar kecil.
Ibu mengedikkan bahu. "Coba aja ke kamarnya."
"Nggak mau. Mita tunggu aja disini." Berpikir aku harus memasuki kamarnya, membuatku merinding.
"Kayaknya Pak Daniel lagi banyak pikiran." Ibu menduga-duga.
"Mita tanya aja di w******p deh." Dalam hati, aku berdoa Daniel membatalkan jam pelajaran hari ini agar aku bisa mengerjakan tugas darinya dulu.
"Nggak sopan." Ibu menusukkan tatapannya padaku.
Aku mengerucutkan bibir. Dengan malas turun dari kursi, memeluk buku-bukuku dan mulai menempuh perjalanan ke lantai atas yang sengaja ku perlambat.
Sesampai di depan pintu minimalis berwarna hitam. Aku berdiam dulu. Menghitung menit demi menit yang berlalu. Setelah kurasa sudah cukup lama, aku menarik nafas dan mulai mengetuk pintu.
"Masuk."
Aku mendorong pintu itu agar terbuka. Terlebih dulu memasukkan kepalaku ke dalam.
Pak Daniel sedang duduk di bawah. Di atas lantai berlapis karpet berwarna putih. Bersandar di dipan kayu tempat tidurnya. Laptop berada di pangkuannya. Ia melepas kaca matanya begitu melihat kepalaku yang melongok di celah pintu.
"Pak, jam belajar hari ini dibatalin?" harapku.
"Kata siapa?"
Ucapannya membuat gelembung harapanku memecah. Hanya tersisa udara kosong.
Daniel menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. Apa? Apa dia menyuruhku duduk disana? Oh tidak, aku sedang menghindar untuk masuk ke kamarnya. Tapi sepertinya aku harus masuk. Dia memperhatikanku, menunggu.
Aku mulai melangkah masuk. Tidak lupa menutup pintu di belakangku. Ini pertama kali aku masuk ke dalam kamarnya.
Aku melihat sepasang sofa abu-abu yang mengelilingi meja bundar saat pertama kali masuk. Lalu tempat tidur di tengah ruangan yang di seberangnya ada rak dan televisi yang menempel di tembok.
Di sisi paling ujung ada meja, sebuah komputer di atasnya, dan tirai panjang berwarna Abu-abu gelap menjuntai dari atas dinding sampai bagian bawah di belakang meja kerja. Aku tebak tirai itu untuk menutupi dinding kaca di belakangnya.
Partisi berbentuk bingkai-bingkai kotak berwarna hitam dengan ukuran yang tidak beraturan membatasi setengah ruang tidur dengan ruang kerja. Terlihat simple dan tetap nyaman.
Aku melepas sandal rumah sebelum naik ke atas karpet lalu duduk di sampingnya yang sudah kembali memperhatikan layar laptop setelah memastikan aku masuk.
Karpet bulu putih ini benar-benar nyaman. Mungkin ini alasan Pak Daniel lebih memilih duduk di bawah padahal ada meja kerja dan sofa yang masih kosong.
Dengan senyuman lebar, aku mengatakan kesalahanku. "Pak, maaf. Mita belum sempat ngerjain tugas dari Bapak."
Aku sendiri tidak yakin ia akan memberikanku keringanan, apalagi kata Ibu mungkin suasana pikirannya sedang buruk. Tapi barangkali saja hal itu malah membuatnya tidak ingin berurusan denganku lebih lanjut saat ini.
"Ujian 3 hari lagi. Apa kamu benar-benar tidak ada niat belajar?" tatapan datarnya malah membuatku semakin takut.
Aku menggeleng. "Mita, bener-bener lupa, Pak. Mita kerjain sekarang deh." Aku buru-buru membuka buku tapi dia malah merebutnya dengan kasar.
Ah, sepertinya aku memang membuat kesalahan di waktu yang salah. Akankah ini malah memperburuk keadaan?
"Kamu tahu konsekuensi nya 'kan?"
Ya Pak. Aku tahu. Sangat tahu. Tapi lidahku kelu. Aku tidak bisa menyahut apapun perkataannya saat ini karena takut.
Aku menunggu, dengan degup jantung yang keras.
Menunggu hukuman darinya.
Hukuman kali ini, apa yang akan ia ambil?
"Akh!" Tiba-tiba ia menarik kedua kakiku. Melebar ke sisi kiri dan kanan tubuhnya. Membuat dirinya sendiri terperangkap antara kedua kakiku. Ini dia.
"Ini milikku." mulainya.
Apa? Dia menginginkan kakiku?
Aku menahan nafas saat dia mulai mendaratkan kecupan-kecupan singkat di punggung kaki kiri ku. Sialnya, tidak hanya disana. Dia mulai bergerak ke atas, ke atas tulang kering, semakin naik ke lututk, dengan intensitas kecupannya yang semakin cepat.
Ujung jarinya menjepit ujung rok yang sedang kupakai. Sementara telapak tangannya yang sedari tadi menyentuh pahaku semakin bergerak naik, membuat rok yang kupakai juga bergerak naik.
Sial! Seharusnya aku tidak memakai rok saat ini.
Aku bergidik, saat bibirnya yang hangat kini ikut menyentuh pahaku. Seakan dia sedang menjelajah setiap inci kulit kakiku.
Naik.
Terus naik.
Aku menggigit bibir, jika tidak segera kuhentikan ini, aku tidak tahu dia akan terus naik sampai dimana.
Aku hendak mendorong pundaknya tapi ternyata dia lebih dulu menghentikan aktivitasnya. Aku menunduk. Dari atas, aku bisa melihat kakiku yang benar-benar terbuka lebar dibuatnya. Rokku sebentar lagi terangkat sampai pinggang. Kakiku terekspos seluruhnya. Ini memalukan.
Sementara punggung Pak Daniel terlihat naik turun dengan cepat, seakan nafasnya sedang memburu.
Dia kembali duduk. Saat itu juga aku melihat iris matanya yang menggelap. Kenapa mata itu selalu menggelap saat kami sedang saling bersentuhan?
Ia membalas tatapanku sebelum memejamkan matanya dan menstabilkan nafasnya.
Dia mengecup bibirku singkat, meluruskan kakiku, merapikan rok ku yang tersingkap, kemudian tiba-tiba meletakkan kepalanya di atas kedua pahaku. Dia tidur menyamping dengan pahaku sebagai bantalnya.
"Biarkan seperti ini sebentar." pintanya dengan suara serak.
Aku terdiam. Masih membeku. Masih menetralkan perasaanku yang bergejolak akibat apa yang ia lakukan barusan.
Jangan bilang, kalau dia hanya ingin tertidur di pangkuanku? Kenapa sih, dia harus membuatku terkena serangan jantung lebih dulu? Tapi akhirnya, dia hanya melakukan sesuatu yang diluar pikiranku.
"Mit."
"Hm?" Aku menyahut jengkel.
"Saya akan memberikan apapun yang kamu minta, kalau kali ini hasil ujianmu memuaskan."
"Janji?" tanyaku senang. Seketika teralihkan dari kejadian barusan.
"Hm. Janji."
Itu ucapannya terakhir. Beberapa menit kemudian dia benar-benar tertidur pulas. Disaat itu, aku baru menyadari wajahnya yang tampak lelah.
Setelah perkataan Daniel waktu itu, entah kenapa aku menjadi lebih semangat belajar daripada biasanya. Aku berusaha mendapatkan yang terbaik. Walau aku tidak yakin bisa mendapatkannya atau tidak, aku akan tetap berusaha. Padahal, aku juga tidak tahu apa yang kuinginkan darinya jika aku berhasil. Hah, Mita sebaiknya jangan terlalu berharap. Ya, Ya, Setidaknya aku masih tahu batas kemampuan otakku dan tidak terlalu berharap. Hari demi hari akhirnya berlalu. Aku sudah kembali ke rumahku dan ujian selesai seminggu kemudian. Bel istirahat belum berbunyi, jadinya murid-murid dalam kelasku hanya bisa merusuh di dalam. Apalagi kami semua sedang
Seluruh tubuhku terasa lelah juga sakit. Tapi kenapa rasanya aku berbaring di atas tempat yang sangat nyaman? Suasana juga tidak lagi sepi. Suara langkah dan gumaman orang yang sedang bercengkrama sesekali terdengar. Seharusnya tidak ada suara seperti itu jika aku masih tersesat di hutan. Hutan? Kejadian tadi malam terputar di otakku dengan sangat cepat. Membuatku segera berusaha untuk membuka mata. Ada sinar menyilaukan, tapi bukan pepohonan rimbun lagi yang kulihat di sekitar, melainkan suatu ruangan yang rapi dan bersih. Aku berada di rumah sakit sekarang? Apa yang telah terjadi? Apa mereka sudah menemukanku? Atau ini tempat di surga? Tidak mungkin.
Aku menggeliat. Merasakan tubuhku terasa berat. Ada sesuatu yang menindih pinggangku dan membuatku tidak leluasa bergerak. Aku mencoba mengangkat dan menyingkirkannya. Tapi sesuatu itu tidak mau menyingkir, malah menarik tubuhku hingga punggungku menempel pada sesuatu yang hangat. Aku terkesiap. Segera membuka mata. Itu tangannya, yang berotot dan kekar, memelukku dari belakang. Kulit kami benar-benar saling menempel di balik sehelai selimut, karena tidak ada dari kami yang memakai sehelai pakaian pun. Untuk sesaat, aku teringat apa yang kami berdua lakukan barusan. Kejadian panas dari meja makan hingga berakhir disini, di sofa ruang tamu. Wajahku menghangat saat membayangkan kejadian itu. Aku berusaha menggeser tubuhku sedikit. Tidak bisa bergeser le
Jadi begitu… "Kalau lo suka sama Gatra, kenapa gue yang jadi sasaran, Ran? Lo seharusnya langsung bilang sama Gatra." "Nggak bisa." Ranti menggeleng. "Kenapa?" "Karena Lo, Mit. Karena Lo!" Aku menarik nafas. Masih tidak mengerti kenapa jadi aku yang disalahkan. "Gue nggak ngerti deh Ran. Kenapa semuanya jadi salah gue." "Ini kenapa gue jadi benci sama lo. Lo nggak ngerti-ngerti. Lo nggak ngerti sama keadaan sekitar. Lo nggak pernah ngerti gimana perasaan gue atau gimana perasaan Gatra. Coba kalau lo pa
Gatra memberi salam pada Pak Daniel. Berusaha menetralkan raut keterkejutannya. Walau Gatra berusaha untuk tampak biasa saja, tapi saat melihatku tatapannya berbicara. Melontar beribu pertanyaan yang mungkin muncul di benaknya. Gatra melanjutkan langkahnya setelah kami hanya bertukar sapa. Begitupun denganku yang lanjut mengekor di belakang Pak Daniel menuju parkiran mobil. Suasana jadi aneh di sekitar kami. Kami hanya terdiam selama perjalanan bahkan sampai aku tiba di rumah. "Saya… Akan kembali ke rumah. Tolong sampaikan itu pada Ibumu." ucapnya sebelum aku turun dari mobil. Aku mengangguk. Merasa senang mendengar keputusannya.
Entah sudah keberapa kali. Aku terus memperhatikan ponselku di atas meja yang berkedap-kedip. Tidak ada suara nada dering karena aku memang membisukannya. Terlalu berisik. Hingga akhirnya layar mati. Tapi beberapa detik kemudian menyala lagi. Mungkin ini panggilan masuk yang ke 8. Ya, aku menghitungnya tapi terlalu takut untuk mengangkatnya. Tidak. Aku juga tidak mau mengangkatnya mengingat kejadian tadi siang yang terus berputar di kepalaku. Bagaimana bisa dia seperti itu? Dengan wanita lain di belakangku? Apa selama ini aku salah menilainya? Aku kecewa. Sedih. Dan marah. Tapi aku juga ingin bertanya tentang apa yang terjadi. Aku butuh kejelasan darinya. Walau sebenarnya semua yang ku liha
Ada Tuan James juga disana. Di samping Pak Daniel. Dengan langkah cepat, Pak Daniel menghampiri kami. "Apakah ini alasan kamu tidak bisa dihubungi?" Pak Daniel melirik sesaat ke arah Gatra. Tatapan yang sangat tidak ramah. Apa dia mencurigai Gatra? "Bukan-" Aku ingin menepis praduganya. "James," tapi Pak Daniel memotong. Seperti tidak mau mendengar apa yang akan kukatakan. "Urusanku sudah selesai 'kan?" Pak Daniel menoleh ke arah Tuan James. Tuan James mengangguk. "Mulai dari sini kuserahkan padamu." lanjutnya lagi.  
Ternyata, menyukai orang bisa sesakit ini. Ternyata, rasa dari sebuah kata, yaitu 'perpisahan' bisa sesakit ini. Pikiran tidak enak, hati tidak enak, tidur tidak enak, untuk makan dan mandi saja tidak enak. Kacau sekali. Sebenarnya malas turun dari tempat tidur, apalagi masih jam 5 pagi, tapi aku perlu ke toilet, membasuh muka dan terkejut melihat pantulan diriku di cermin. Disana, seperti bukan aku. Mataku sembab akibat terus menangis, ditambah tidak tidur sekali semalaman. Rambutku semrawut. Aku mencoba menyisirnya dengan tangan hingga lumayan lebih rapi. Aku menatap diriku sekali lagi di cermin. Kemudian memejamkan mata sambil menghembuskan nafas, kali saja pikiranku ikut terbuang dengan nafas itu.
1 hari.2 hari.3 hari.Sudah 3 hari semenjak kepulangan Pak Daniel ke Australia. Tuan Lambert meminta Daniel menemaninya berkunjung ke makam almarhum sang istri, ibu Pak Daniel.Walaupun komunikasiku dengan Pak Daniel tidak terputus, tapi tetap saja rindu untuk bertemu dengan sosoknya.Namun aku tahu, banyak pekerjaan juga yang harus Pak Daniel urus, sepertinya dia tidak akan kembali dalam waktu dekat.Aku tahu resiko menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki posisi penting, memang seperti ini. Aku tidak bisa menuntut semua waktunya untuk di berikan kepad
Aku rasa Pak Daniel tidak bisa berpikir jernih sekarang. Jadi aku mengambil alih plastik yang ada di tangannya kemudian meletakkannya di bawah, di sembarang tempat, berikut juga plastik di tanganku, kemudian menuntun Pak Daniel duduk di sofa yang berhadapan dengan Tuan Lambert. Hanya keheningan yang ada. Membuat kita semua jadi sedikit canggung. Sampai akhirnya Ibu berpamitan untuk pergi ke kamar. Mungkin sebaiknya aku mengikuti langkah Ibu. Aku tidak perlu terlalu ikut campur di antara mereka. Urusanku cukup sampai membuat Pak Daniel bertemu dengan Tuan Lambert. "Kalau begitu Mita juga-" "Tetaplah disini. Saya pikir, Daniel bisa lebih nyaman jika ada dirimu." Baru setengah bangun, Tu
Pagi ini, aku sedang sibuk membuat sarapan begitu Pak Daniel keluar dari kamarnya. "Kopi?" tawarku. Dia menghampiri. Berdiri di dekatku. "Boleh." jawabnya. Untuk membuatkan kopi, aku meninggalkan sejenak sarapan yang sedang ku masak. Pak Daniel masih berdiri di sampingku. Tubuhnya bersender menyamping pada salah satu lemari dapur yang tinggi. Tangannya bersedekap di depan dada. Saat aku melirik, dia menelengkan kepalanya. Perhatiannya tidak pernah teralih dari diriku. Membuatku sedikit gugup diperhatikan seperti itu. "Apa?" tanyaku. Takut-takut dia sedang membutuhkan sesuatu.
"Terima kasih." sahut Ibu setelah mendengar tanggapan Pak Daniel. Walau perkataan Ibu tadi demi diriku, tapi aku merasa tidak suka. Aku berjalan mendekati ranjang. "Ibu ngomong apa sih? Ibu nggak akan pergi kemana-mana." Ibu hanya tersenyum kecil mendengar ucapanku. **** Selama 2 hari, Ibu harus menginap di ICU. Setelah kondisinya berangsur-angsur membaik, akhirnya Ibu dipindahkan lagi ke ruang rawat inap. Aku sama sekali tidak mengeluarkan kaki dari gedung rumah sakit demi menjaga Ibu. Bi Laksmi juga sering datang hanya untuk membawakan pakaian ganti untukku dan
Aku berlari menyusul mereka.Ibu ada di atas ranjang itu, dengan badan yang terus bergoyang-goyang karena ketiga petugas kesehatan itu menyeret ranjang Ibu sambil berlari, tapi mata Ibu terus terpejam. Hal itu membuatku langsung tahu kalau Ibu sedang tidak sadarkan diri.Sayangnya, seorang suster menghalangi kami agar tidak melangkah lebih jauh ke dalam unit perawatan intensif."Mohon ditunggu di luar aja ya, Mbak." pinta suster itu."Kita tidak disana. Bisa jelaskan apa yang terjadi?" Pak Daniel mencegah suster itu yang hendak pergi tanpa menjelaskan apapun."Tadi ada suster yang mau ganti infus, Pak. Pas suster ngecek, Ibu Li
"Kalau begitu, saya kembali ke ruangan, Pak." Si Dokter yang sedari tadi menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar di samping Pak Daniel, mengakhiri pembicaraannya.Pak Daniel mengangguk. Akhirnya mengalihkan perhatiannya kepada dokter itu. "Hm. Terima kasih."Setelah Dokter itu menghilang kembali ke ruangan tempat mereka keluar tadi, Pak Daniel melihatku kembali.Tanpa peduli Milen yang masih bicara dalam telepon, aku menurunkan ponsel dari telinga dan mematikan sambungan."Mita pikir, Bapak di sini bukanlah sebuah kebetulan." Aku memberanikan diri untuk bicara."I-itu…. Saya berobat di sini."
Aku langsung meminta cuti begitu mendengar kabar Ibu dan langsung kembali ke Jakarta.Di tengah kesibukannya, Milen malah membantuku mencari jadwal kereta yang bisa berangkat paling cepat dan menyuruhku untuk tidak panik.Jadi, masih dengan baju dinas, sore hari aku sudah sampai di sebuah rumah sakit dimana ibu di rawat.Walau seluruh tubuhku lemas seakan tulang-tulang di tubuhku lenyap, namun aku masih bisa berlari-lari kecil saat berusaha mencari kamar Ibu. Dan setelah menemukannya, melihat kedatanganku, Ibu sedikit terkejut. Sementara Bi Laksmi yang duduk di samping ranjang Ibu tampak lega.Dengan kaki bergetar, aku berjalan mendekat.
"Kemana aja, Mit?" Milen sedang melahap roti panggangnya begitu aku kembali. Penampilannya sudah rapi. Ia melirik jam di pergelangan tangan untuk melihat apa masih ada waktu yang tersisa untuk bersiap-siap. "Masih lama. Udah cepet sana siap-siap."Aku mengacuhkan Milen. Memang berniat untuk langsung masuk ke kamar mandi. Menyiapkan diri untuk bekerja dalam keheningan. Juga sambil berusaha mengumpulkan konsentrasi untuk bekerja nanti. Walau aku yakin pikiranku pasti akan terpecah belah nanti.Di tengah perjalanan, Milen yang sudah menahannya sedari tadi, akhirnya menyuarakan pertanyaannya."Jadi, tadi malem Mita tidur dimana?"Dari ujung mata, aku melirik Milen sebentar, kemudian kembali lagi berkon
Walau ragu, aku akhirnya berjalan mendekat perlahan-lahan.Merasakan kehadiranku, lelaki itu menoleh dan langsung menegakkan pundak, bersikap siaga akan kedatanganku.Dia tampaknya sama sekali tidak ingin menyapaku, namun dia terlihat ingin mengatakan sesuatu namun segera di urungkannya, terlihat dari pergerakan mulutnya yang terbuka kemudian menutup dengan cepat."Pak Daniel ada di dalam?" tanyaku.Dia hanya mengangguk."Baiklah kalau begitu, tadinya Mita ingin berpamitan, tapi nunggu Pak Daniel keluar aja." aku berniat pergi, tapi berbalik dan bertanya lagi pada pria itu. "Apa… Tuan Lambert juga ada di dalam?"