Entah sudah keberapa kali. Aku terus memperhatikan ponselku di atas meja yang berkedap-kedip. Tidak ada suara nada dering karena aku memang membisukannya. Terlalu berisik.
Hingga akhirnya layar mati. Tapi beberapa detik kemudian menyala lagi. Mungkin ini panggilan masuk yang ke 8. Ya, aku menghitungnya tapi terlalu takut untuk mengangkatnya. Tidak. Aku juga tidak mau mengangkatnya mengingat kejadian tadi siang yang terus berputar di kepalaku.
Bagaimana bisa dia seperti itu? Dengan wanita lain di belakangku? Apa selama ini aku salah menilainya?
Aku kecewa. Sedih. Dan marah.
Tapi aku juga ingin bertanya tentang apa yang terjadi. Aku butuh kejelasan darinya. Walau sebenarnya semua yang ku liha
Ada Tuan James juga disana. Di samping Pak Daniel. Dengan langkah cepat, Pak Daniel menghampiri kami. "Apakah ini alasan kamu tidak bisa dihubungi?" Pak Daniel melirik sesaat ke arah Gatra. Tatapan yang sangat tidak ramah. Apa dia mencurigai Gatra? "Bukan-" Aku ingin menepis praduganya. "James," tapi Pak Daniel memotong. Seperti tidak mau mendengar apa yang akan kukatakan. "Urusanku sudah selesai 'kan?" Pak Daniel menoleh ke arah Tuan James. Tuan James mengangguk. "Mulai dari sini kuserahkan padamu." lanjutnya lagi.  
Ternyata, menyukai orang bisa sesakit ini. Ternyata, rasa dari sebuah kata, yaitu 'perpisahan' bisa sesakit ini. Pikiran tidak enak, hati tidak enak, tidur tidak enak, untuk makan dan mandi saja tidak enak. Kacau sekali. Sebenarnya malas turun dari tempat tidur, apalagi masih jam 5 pagi, tapi aku perlu ke toilet, membasuh muka dan terkejut melihat pantulan diriku di cermin. Disana, seperti bukan aku. Mataku sembab akibat terus menangis, ditambah tidak tidur sekali semalaman. Rambutku semrawut. Aku mencoba menyisirnya dengan tangan hingga lumayan lebih rapi. Aku menatap diriku sekali lagi di cermin. Kemudian memejamkan mata sambil menghembuskan nafas, kali saja pikiranku ikut terbuang dengan nafas itu.
Aku membelalakkan mata. Dia kecelakaan? "Lalu... gimana keadaannya, Bu?" "Pak Daniel beruntung cuma patah tulang tangan sama luka-luka ringan. Padahal mobilnya ringsek, Mit." Ibu merebut kembali bungkusan di tanganku dan masuk ke dalam rumah. Sementara aku masih membeku. 3 hari lalu? Bukankah, itu terakhir kali aku bertemu dengannya. Apa setelah itu, saat dia kembali dari apartemen di hari itu juga Pak Daniel mengalami kecelakaan? Jangan-jangan panggilan-panggilan itu… Dia sedang mencoba berbicara padaku untuk mengabari keadaannya? Tapi aku bahkan sama sekali tidak mengangkatnya.
"Saya ingin bicara denganmu." Glek. Aku memejamkan mata. Tahu tidak akan bisa menghindar lagi. Ada perban yang masih melilit di tangan kirinya yang memegang tanganku. "Samita. Saya tidak pernah menganggapmu sebagai sebuah barang... sekalipun." tekannya. Itu merupakan perkataanku saat bertengkar dengannya terakhir kali. Apakah dia masih mengingatnya? Jujur saja waktu itu aku mengucapkannya dengan emosi yang meluap. Aku bahkan tidak berpikir dua kali dan mengatakan langsung apa saja yang ada di pikiranku.
"Saya ada urusan di sini nanti sore. Jadi kita punya banyak waktu sebelum itu." Aku manggut-manggut. Ternyata ada urusan juga. Di Bali, pikiranku pasti memikirkan pantainya. Tempat itu pasti tidak boleh terlewatkan saat berada disini. Namun ternyata, pikiranku salah. Bersepeda di antara hamparan sawah lebih nikmat daripada berjalan di atas pasir dan air. Suasana yang masih asri benar-benar menenangkan. Sawah irigasi berkontur menjadi pemandangan alam yang menakjubkan. Sejenak aku seperti menjelajah ke zaman nenek moyang, tapi ini sangat menyenangkan. Tidak terlalu banyak orang juga kendaraan selain sepeda dan kuda yang disediakan oleh pihak pengelola tempat wisata. Mobil hanya terlihat sese
Sambil berjalan menghampiriku, dia menyeringai. Langkah yang penuh maksud tersembunyi. "Sa-Mi-Ta." Ia menekankan nada bicaranya saat menyebut namaku. "Tidak ku sangka, bisa menemuimu secara langsung." "Eliza? apa yang kamu lakukan disini?" Aku sama sekali tidak membalas senyumannya. "Hanya berkunjung. Ke rumahmu. Hm..." Matanya menyisir penampilanku. Dari atas sampai bawah. "Menengok Ibumu." lanjutnya. Pikiranku berkecamuk. Kenapa dia menemui Ibu? Tiba-tiba Eliza tertawa. "Wah, seharusnya tadi kamu melihat raut keterkejutan Ibumu."
"Nggak usah." Aku menarik tangan Pak Daniel. Mencegahnya berjalan menuju dapur. "Mita. Cuma sebentar di sini." Akhirnya dia duduk. Di sampingku. Aku sama sekali tidak berani menatapnya. "Ada apa? Ceritakan padaku." Sangat gugup untuk mengatakannya. Di pangkuanku, aku terus memainkan jari-jemariku, berharap hal itu bisa mengurangi sedikit kegugupanku. "Pak," Aku menghela nafas. "Mita ingin, mulai sekarang, kita tidak usah bertemu lagi." Dia terdiam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku menunggu. Sampai merasakan dia mengalihkan pandangannya dariku.&n
6 tahun kemudian… **** "Sial! Aku harus bagaimana?" Kami hanya bisa terdiam, melihat Milen terus mondar-mandir di dalam ruang rapat dengan raut wajah depresi. "Kenapa dia ceroboh sekali?" Bagaimana tidak, sang sekretaris mengalami kecelakaan mobil menjelang keberangkatan mereka ke Jawa Tengah. Padahal harus mempersiapkan pembukaan cabang resort baru disana. Kini sebagian besar tanggung jawabnya turut berbaring di ranjang rumah sakit. Milen adalah bos yang santai tapi cerewet. Dia selalu menganggap para bawahannya adalah sahabat. Dia ceria hingga mudah akrab dengan seseorang. Namun tegas jika menyangkut pekerjaan, apalagi melihat seorang pegaw
1 hari.2 hari.3 hari.Sudah 3 hari semenjak kepulangan Pak Daniel ke Australia. Tuan Lambert meminta Daniel menemaninya berkunjung ke makam almarhum sang istri, ibu Pak Daniel.Walaupun komunikasiku dengan Pak Daniel tidak terputus, tapi tetap saja rindu untuk bertemu dengan sosoknya.Namun aku tahu, banyak pekerjaan juga yang harus Pak Daniel urus, sepertinya dia tidak akan kembali dalam waktu dekat.Aku tahu resiko menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki posisi penting, memang seperti ini. Aku tidak bisa menuntut semua waktunya untuk di berikan kepad
Aku rasa Pak Daniel tidak bisa berpikir jernih sekarang. Jadi aku mengambil alih plastik yang ada di tangannya kemudian meletakkannya di bawah, di sembarang tempat, berikut juga plastik di tanganku, kemudian menuntun Pak Daniel duduk di sofa yang berhadapan dengan Tuan Lambert. Hanya keheningan yang ada. Membuat kita semua jadi sedikit canggung. Sampai akhirnya Ibu berpamitan untuk pergi ke kamar. Mungkin sebaiknya aku mengikuti langkah Ibu. Aku tidak perlu terlalu ikut campur di antara mereka. Urusanku cukup sampai membuat Pak Daniel bertemu dengan Tuan Lambert. "Kalau begitu Mita juga-" "Tetaplah disini. Saya pikir, Daniel bisa lebih nyaman jika ada dirimu." Baru setengah bangun, Tu
Pagi ini, aku sedang sibuk membuat sarapan begitu Pak Daniel keluar dari kamarnya. "Kopi?" tawarku. Dia menghampiri. Berdiri di dekatku. "Boleh." jawabnya. Untuk membuatkan kopi, aku meninggalkan sejenak sarapan yang sedang ku masak. Pak Daniel masih berdiri di sampingku. Tubuhnya bersender menyamping pada salah satu lemari dapur yang tinggi. Tangannya bersedekap di depan dada. Saat aku melirik, dia menelengkan kepalanya. Perhatiannya tidak pernah teralih dari diriku. Membuatku sedikit gugup diperhatikan seperti itu. "Apa?" tanyaku. Takut-takut dia sedang membutuhkan sesuatu.
"Terima kasih." sahut Ibu setelah mendengar tanggapan Pak Daniel. Walau perkataan Ibu tadi demi diriku, tapi aku merasa tidak suka. Aku berjalan mendekati ranjang. "Ibu ngomong apa sih? Ibu nggak akan pergi kemana-mana." Ibu hanya tersenyum kecil mendengar ucapanku. **** Selama 2 hari, Ibu harus menginap di ICU. Setelah kondisinya berangsur-angsur membaik, akhirnya Ibu dipindahkan lagi ke ruang rawat inap. Aku sama sekali tidak mengeluarkan kaki dari gedung rumah sakit demi menjaga Ibu. Bi Laksmi juga sering datang hanya untuk membawakan pakaian ganti untukku dan
Aku berlari menyusul mereka.Ibu ada di atas ranjang itu, dengan badan yang terus bergoyang-goyang karena ketiga petugas kesehatan itu menyeret ranjang Ibu sambil berlari, tapi mata Ibu terus terpejam. Hal itu membuatku langsung tahu kalau Ibu sedang tidak sadarkan diri.Sayangnya, seorang suster menghalangi kami agar tidak melangkah lebih jauh ke dalam unit perawatan intensif."Mohon ditunggu di luar aja ya, Mbak." pinta suster itu."Kita tidak disana. Bisa jelaskan apa yang terjadi?" Pak Daniel mencegah suster itu yang hendak pergi tanpa menjelaskan apapun."Tadi ada suster yang mau ganti infus, Pak. Pas suster ngecek, Ibu Li
"Kalau begitu, saya kembali ke ruangan, Pak." Si Dokter yang sedari tadi menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar di samping Pak Daniel, mengakhiri pembicaraannya.Pak Daniel mengangguk. Akhirnya mengalihkan perhatiannya kepada dokter itu. "Hm. Terima kasih."Setelah Dokter itu menghilang kembali ke ruangan tempat mereka keluar tadi, Pak Daniel melihatku kembali.Tanpa peduli Milen yang masih bicara dalam telepon, aku menurunkan ponsel dari telinga dan mematikan sambungan."Mita pikir, Bapak di sini bukanlah sebuah kebetulan." Aku memberanikan diri untuk bicara."I-itu…. Saya berobat di sini."
Aku langsung meminta cuti begitu mendengar kabar Ibu dan langsung kembali ke Jakarta.Di tengah kesibukannya, Milen malah membantuku mencari jadwal kereta yang bisa berangkat paling cepat dan menyuruhku untuk tidak panik.Jadi, masih dengan baju dinas, sore hari aku sudah sampai di sebuah rumah sakit dimana ibu di rawat.Walau seluruh tubuhku lemas seakan tulang-tulang di tubuhku lenyap, namun aku masih bisa berlari-lari kecil saat berusaha mencari kamar Ibu. Dan setelah menemukannya, melihat kedatanganku, Ibu sedikit terkejut. Sementara Bi Laksmi yang duduk di samping ranjang Ibu tampak lega.Dengan kaki bergetar, aku berjalan mendekat.
"Kemana aja, Mit?" Milen sedang melahap roti panggangnya begitu aku kembali. Penampilannya sudah rapi. Ia melirik jam di pergelangan tangan untuk melihat apa masih ada waktu yang tersisa untuk bersiap-siap. "Masih lama. Udah cepet sana siap-siap."Aku mengacuhkan Milen. Memang berniat untuk langsung masuk ke kamar mandi. Menyiapkan diri untuk bekerja dalam keheningan. Juga sambil berusaha mengumpulkan konsentrasi untuk bekerja nanti. Walau aku yakin pikiranku pasti akan terpecah belah nanti.Di tengah perjalanan, Milen yang sudah menahannya sedari tadi, akhirnya menyuarakan pertanyaannya."Jadi, tadi malem Mita tidur dimana?"Dari ujung mata, aku melirik Milen sebentar, kemudian kembali lagi berkon
Walau ragu, aku akhirnya berjalan mendekat perlahan-lahan.Merasakan kehadiranku, lelaki itu menoleh dan langsung menegakkan pundak, bersikap siaga akan kedatanganku.Dia tampaknya sama sekali tidak ingin menyapaku, namun dia terlihat ingin mengatakan sesuatu namun segera di urungkannya, terlihat dari pergerakan mulutnya yang terbuka kemudian menutup dengan cepat."Pak Daniel ada di dalam?" tanyaku.Dia hanya mengangguk."Baiklah kalau begitu, tadinya Mita ingin berpamitan, tapi nunggu Pak Daniel keluar aja." aku berniat pergi, tapi berbalik dan bertanya lagi pada pria itu. "Apa… Tuan Lambert juga ada di dalam?"