Setelah selesai bersiap-siap, aku dan Andrew pun langsung menuju ke tanah lapang di samping sungai yang jaraknya sekitar tiga puluh meter dari tenda kami. Di sana sudah ada beberapa orang yang sedang duduk mengitari api unggun. Cuaca saat itu sangat dingin, Andrew terlihat menggigil walaupun sudah memakai dua lapis jaket tebal.
"Janice mana, ya? Apa dia belum selesai?" ujar Andrew yang terlihat sedikit cemas karena Janice belum juga tiba.
"Jangan terlalu mengkhawatirkan calon istrimu itu, dia sudah dewasa! Paling-paling dia sedang berdandan."
"Tanpa berdandan pun dia sudah sangat sempurna di mataku, Syd. Entah sampai kapan harus ku pendam perasaan ini."
"Dasar payah! Sekarang dia single, apalagi yang kau tunggu?" desakku.
"Nyaliku masih segini, Syd …," ujarnya dengan menunjukkan ujung kukun
Kira-kira apa ya yang akan dijawab Janice? Nantikan di chapter berikutnya <3
"Andrew, apa kau sudah gila? Kita sudah berteman sejak kecil! Bagaimana bisa kau menyukai sahabatmu sendiri? Kau tahu? Semua yang kau omongkan ini tidak lebih dari sekedar omong kosong! Kau punya Olivia dan sekarang kau menyatakan rasa cinta kepadaku!" pekik Janice yang terlihat begitu emosional.Ditengah perdebatan, Andrew lantas tertawa terbahak-bahak seusai mendengar perkataan Janice. Katanya, " Olivia? Hahaha! Sydney, Olivia katanya! Hahaha!""Dasar keterlaluan kau! Jangan pernah dekati aku lagi!" geram Janice yang kemudian langsung masuk ke dalam tenda dan menutup tirai.Aku dan Andrew hanya saling menatap heran tanpa berkata, lantas kemudian kami tertawa."Dasar keterlaluan kau. Kenapa tidak langsung kau jelaskan saja sih? Kau mau dia jadinya membencimu? Dasar bodoh!" ujarku sambil menepuk kepala Andrew.
Senin: Chrysanthemum (bunga Krisan), kejujuran.Selasa: Carnation (Bunga Anyelir), aku tidak akan pernah melupakanmu.Rabu: White Lily (Lily Putih), simpatik, mulia, suci, murni, pengabdian, ketulusan.Kamis: Red Rose (Mawar Merah), kasih sayang.Jumat: Red Tulip (Tulip Merah), sebagai alat untuk mengungkapkan isi hati. Kecintaan yang mendalam serta kasih sayang yang sempurna.Sabtu: White Jasmine (Melati Putih), sweet love.Minggu: Baby Breath, cinta sejati yang tak pernah berakhir.Ku baca berulang-ulang makna dari bunga-bunga tersebut. Sepertinya si mister X mencoba memberikan tanda disini, tapi apa? Sambil berpikir keras, kunyalakan sebatang rokok untuk kuhisap. Selain itu, aku mencoba membaca beberapa artikel di internet, siapa tahu ada sesuatu yang bisa melengkapi puzzle 'bunga-bungaan' si mister X itu.
Untuk kedua kalinya setelah yang semalam, Andrew tertawa mengakak mendengar kata 'Olivia'. "Janice, really? Jadi hanya karena itu kau menghindariku sejak semalam?""Kau keterlaluan Andrew! Aku benci padamu!" pekik Janice yang merasa kecewa. Lantas memalingkan badan, berniat untuk lari dari situ."Janice, tunggu! Dengarkan aku dulu! Ini …, aaahhh! Hahaha!" Andrew terlihat tak bisa mengendalikan diri. Tawanya makin pecah saat itu.Janice yang merasa tidak dihargai karena terus-terusan ditertawai Andrew merontak agak Andrew segera melepaskan tangannya dari cengkeraman tanga Andrew yang terlalu kuat."Lepaskan aku!""Dengarkan aku dulu!" Andrew menekankan kata-katanya. "Olivia itu anjing poodle pemberian pamanku! Kenapa kau cemburu dengan seeker anjing?"Sontak Janice terce
Sekarang sudah pukul delapan lebih lima belas menit. Aku masih tengkurap di atas sofa yang nyamannya minta ampun jika sedang merasa lelah. Sebelum pulang, aku dan Andrew mengantar 'princess' Janice dulu. Mereka belum saling menegur, tapi ada sedikit titik terang yang mencuat. Entahlah, mungkin mereka masih merasa kaku atau malu.Aku merayap ke lantai berniat mengambil ponsel yang tadi sudah ku isi dayanya. Kemarin aku lupa membalas chat Damon. Sepertinya aku telpon secara conference saja. Aku berniat ingin menyampaikan apa yang ku dapat kemarin. Bunga-bungaan yang memusingkan kepala."Hey, Dude! Sombong sekali kau tidak membalas pesanku kemarin? Plis, jangan sok sibuk!" ujar Damon.Aku tertawa mengakak seperti biasa. Kataku, "well, actually aku hanya membalas pesan orang-orang yang penting saja, jadi, sorry not sorry, bro!""Sialan kau! Hahaha!
Ketika tiba di Coffeetoria, kebetulan saat itu suasananya memang sedang ramai. Itu bisa terlihat dari luar sini. Aku langsung keluar dan bergegas membukakan pintu mobil untuk Abby."Apa sih kamu? Aku bisa membuka pintu sendiri. Ada-ada saja," akunya sambil tersipu malu.Saat keluar dari mobil, secara tak sengaja, sinar dari lampu mobil yang lewat menyoroti wajahnya. Pipinya terlihat memerah dihiasi senyum kecil yang terlihat canggung. Kami pun langsung bersicepat agar bisa mendapatkan tempat duduk.Ketika memasuki pintu, disana berdiri seorang pelayan yang langsung mengarahkan kami ke meja yang masih kosong di lantai dua. Kami pun mengikutinya sampai ke atas. Begitu sampai di meja, sang pelayan langsung memberikan menu dan mencatat pesanan kami. Tak perlu berlama-lama lagi karena kami memang sudah kelaparan setengah mati.Malam itu kami berdua m
Sepanjang hari aku mendapati diriku berpikir soal kejadian yang semalam. Beberapa kali kucoba meyakinkan bahwa itu tidak disengage. Tapi, entah mengapa di sudut lain bagian otakku berkata itu memang keinginanku. Entah kenapa sekarang itu terasa menjadi begitu rumit dan membingungkan. Aku tidak tahu pasti apa yang ku rasakan, namun di sudut hatiku yang paling dalam, aku sangat merindukan kebersamaan kami yang seperti dulu."Sydney, ini masih pagi dan kau sudah melamun! Ayo kerja!" ujar Sebastian si manajer baruku sambil berlalu dengan menyeruput kopi.Seumur-umur aku bekerja disini, pak Daniel tidak pernah sekalipun berjalan kesana-kemari membawa cangkir di depan customer. Pak Daniel pun tidak pernah menegurku seperti itu. Atau mungkin aku saja yang sedang sensi? Entahlah.Ini baru jam setengah dua belas, tapi entah kenapa rasanya aku ingin segera cepat pulang. Aku pun melanjutkan
Pukul 3:45Aku hampir selesai dengan mengelap semua cangkir dan gelas yang baru diantar. Tinggal lima menit lagi dan aku bebas."Oke! It's done!" ujarku sambil meletakkan kain lap yang sudah kulipat di atas meja bar. "Hey, ayo! Saatnya pergantian shift," kataku kepada Andrew yang sedang mengutak-atik ponselnya.Biasanya di jam-jam seperti ini, kami sudah sedikit leluasa karena memang pergantian jam kerja adalah sepuluh menit sebelum jam pulang. Namun tiba-tiba kami berdua terkejut ketika Bastian menghampiri kami dan berkata, "hey, letakkan ponselmu di loker jika masih sementara bekerja! Ini belum genap jam empat!"Aku dan Andrew hanya saling menatap dengan keheranan. Karena sebelumnya pak Daniel tidak pernah menegur sampai seperti itu. Dan biasanya memang sepuluh menit sebelum pulang, kami sudah bebas dari tugas asalkan sudah selesai menyiapkan
"Abigail Godfrey!" teriak Damon yang tiba-tiba muncul di depan pintu kedai. Ia kemudian menghampiri Abby dan memeluknya sambil berkata, "aku tak menyangka bisa bertemu denganmu hari ini," katanya sambil melepaskan pelukan kemudian menggenggam erat kedua pundak Abby. "Kau tau, aku bahkan sudah lupa berapa lama kita tidak berjumpa." Abby yang terkejut hanya bisa pasrah sambil tertawa. Katanya, "aku juga senang bisa berkumpul bersama kalian berdua disini." Tak bisa kupungkiri, apa yang dilihat oleh kedua mataku saat ini adalah momen yang bisa dikatakan membuatku bahagia. Kami bertiga sudah berteman sejak masa SMA dan baru sekarang kami berkumpul lagi. "Sudah, hentikan drama berlebihanmu itu," seruku kepada Damon. "Kau mau pesan apa? Dan Abby?" "Kebetulan aku baru saja selesai makan, jadi aku pesan a
Damon menyeringai mendengar perkataanku tadi. Dengan senyuman sinis ia kemudian menghampiriku dan berkata, "lihat dirimu sekarang? Kau sudah seperti gembel pengecut yang setiap hari kerjanya hanya mabuk-mabukan saja!""Lalu apa hubunganmu dengan itu?""Ya tentu saja ada hubungannya dasar brengsek! Kau adalah sahabatku!" bentak Damon."Aku memang sahabatmu, tapi apa salahnya jika gaya hidupku seperti ini?""Dasar sialan! Tidak sadar juga kau dengan kesalahanmu, ya!"Tanpa ampun Damon terus saja memukuliku. Kami berdua bergulat layaknya seorang lawan yang sedang bertanding memperebutkan piala."Di ma
Sambil mendengarkan bunyi nada panggilan telpon, sejenak aku sempat menyesali kejadian di bar tadi. Harusnya aku tak memancing amarah si orang kaya sombong itu! Sekarang aku terkapar tak berdaya di atas tanah setengah basah ini. Namun beberapa detik kemudian kutarik kembali penyesalanku itu. Bajingan itu memang menyebalkan, jadi dia pantas menerima akibatnya."Di mana kau!" tanya Damon dengan penuh amarah.Dengan tawa yang melengking, ku jawab pertanyaan Damon tadi. Kataku, "I'm here! Terkapar di atas tanah dan tak berdaya …, hahahaha!""Sydney Lucian Ellis! Ku tanya sekali lagi, di mana kau? Aku tidak sedang bercanda. Kita harus bicara sekarang juga!" bentak Damon dari balik telpon
Kemarahan Omar memuncak ketika ia melihat tanganku mencoba meraih Virgie yang terkena tepisan tangannya. Seketika saja ia langsung menghujamkan kepalan tangannya yang tepat mengenai rahangku.Bukkkk!Badanku terhempas sampai membentur meja yang ada di belakangku. Karena merasa dipermalukan, dengan cepat aku berdiri dan mencoba membalas perbuatan lelaki itu."Bangsat kau!" ujarku dengan sangat murka.Dengan emosi yang menggebu-gebu dan degupan jantung yang terasa begitu cepat, adrenalinku memuncak seketika. Tanpa berpikir panjang, langsung ku serang pria sombong yang sedang berdiri dengan gaya sok dan angkuh itu. Pergulatan pun terjadi. Entah mengapa sekarang aku merasa sangat kuat, entah karena pengaruh minuman atau
Ini sudah hampir seminggu sejak Athena menghubungiku, namun tak jua ada kabar darinya lagi. Aku sempat menghubungi ibunya lagi dua hari yang lalu, tapi katanya keadaan Athena masih seperti itu, hanya mengurung diri di kamar dan enggan keluar. Hari ini aku berencana untuk datang ke rumahnya, karena jujur saja, aku khawatir dengan keadaan wanita cerewet yang satu itu.Ini masih jam tujuh malam, namun aku sudah mabuk. Rencana awal yang telah disusun dengan sedemikian rupa untuk bertandang ke kediaman Athena pun gagal karena sudah dikuasai minuman yang bisa membuatku berjalan empat kaki sambil berteriak itu. Aku sempat tertidur selama kurang lebih satu jam sebelum terbangun karena jatuh dari sofa. Karena sadar wiski di botolku tinggal sedikit, aku memutuskan untuk ke Finley's saja.Sekitar setengah jam kemudian kudapati diriku tengah dud
Hari demi hari kujalani hanya dengan mabuk-mabukan dan tidur. Pekerjaan sampingan sebagai penulis di Thoughtstetic pun ku abaikan. Hidupku terasa tak lagi pada tempatnya. Beberapa hari yang lalu, Mommy sempat menelpon untuk mengajakku pulang, namun tak ku hiraukan. Walaupun terasa seperti orang yang sedang kehilangan arah, aku masih ingin di sini, di kota ini.Aku menutup diri dari dunia luar dan sahabat-sahabatku, tak jua Abby. Ia selalu mencoba untuk menghubungiku, namun aku memang sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Setiap malam ku habiskan uangku hanya untuk memenuhi hasrat untuk kesenangan sesaat. Tiada hari kulewati tanpa kesadaran. Aku benar-benar kacau dan tak tahu lagi kemana arah dan tujuan hidupku.Siang itu cuaca terasa dingin menusuk sampai ke tulang. Tapi setidaknya aku punya penangkal yang ampuh. Aku tersadar ke
Gubrak!Tubuh Bastian terhempas ke lantai ketika bertemu dengan kepalan tinjuku. Aku tak bisa lagi menahan emosi yang sedari tadi sudah menguasaiku. Bagaimana bisa kau menjadi seorang manajer, tapi cara bicaramu terkesan sangat merendahkan?"Bangsat kau!" erang Bastian yang sedang berusaha berdiri sambil memegang sudut bibirnya yang terlihat mengeluarkan bercak darah.Tiba-tiba dari pintu depan terdengar suara Alice yang terburu-buru masuk dan langsung menahan Bastian. Ia berkata, "kenapa masih pagi-pagi begini kalian berkelahi?"Andrew pun tak mau ketinggalan, kini ia dan Alice sedang berusaha menahan tubuh Bastian yang memang jauh lebih besar dari tubuhku.
Dari atas sini terlihat Virgie yang sedang menuruni tangga menghampiri Omar yang sedang menunggu sambil bersandar di mobilnya. Omar pun menyambut Virgie dengan ciuman mesra di keningnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku hanya bisa menahan rasa cemburu yang begitu besar ketika melihat adegan yang sudah seperti di film drama romantis itu.Aku mencoba menepis rasa yang mulai menyeruak dari dalam diriku. Ingin rasanya aku turun ke bawah dan memukul lelaki yang kini sedang membukakan pintu untuk wanita yang kusayangi, Virgie Petterson. Dan untuk pertama kalinya, aku marah dengan apa yang dilakukannya padaku. Tanpa kusadari, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Ingin sekali ku berteriak sekuat mungkin dan menumpahkan rasa kecewa yang kini terpatri dalam lubuk hatiku.*****
"Maksudku? Sempat-sempatnya kau masih bertanya apa maksudku? Apa kau tidak sadar? Alasan selama ini aku sering menghilang karena semata-mata aku tidak pernah yakin denganmu!" pekik Virgie dengan sangat lantang. "Selama kita dekat, apa kau pernah memberikanku sesuatu? Apa kau pernah mengajakku ke sesuatu tempat? Pernah?""Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Vi!""Aahh! Alasan saja kau! Kau saja yang memang tidak pernah peka denganku! Apa kau tahu selama ini aku capek? Aku capek bekerja, aku capek harus mencari nafkah untuk diriku sendiri! Aku ingin ada seseorang yang bisa melengkapiku, Syd!""Melengkapimu dengan uang? Begitu kan maksudmu? Hahaha!" jawabku sambil terkekeh."Bu-bukan begitu maksudku, sayang…,"
Siang ini cuaca terasa begitu panas. Aku baru kembali dari supermarket membeli bahan makanan untuk dimasak. Ditengah perjalanan Abby menghubungiku namun tak ku hiraukan. Aku pun melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki, karena memang letak dari supermarket hanya dua blok dari apartemenku. Aku memacu langkahku lebih cepat agar bisa lebih cepat pula sampai di apartemen. Kunaiki anak tangga dengan cepat, satu langkah untuk dua anak tangga. Ketika tiba di dekat pintu kamarku, terdengar suara Virgie yang sedang berseru tidak jelas.Karena rasa penasaran yang begitu besar, aku belum langsung masuk ke dalam. Pelan-pelan ku hampiri pintu kamarku bermaksud untuk menguping pembicaraan Virgie. Sayup-sayup terdengar suara Virgie, sepertinya ia sedang berbicara ditelpon dengan seseorang. Ku coba menempelkan telinga ke daun pintu agar bisa mendengar lebih jelas. Ternyata mereka sedang berdebat. K